“Bukankah mereka sungguh romantis, Bram.” Nala menyandarkan kepalanya di bahu Bram.
“Apa iya? Seorang mata-mata dan gadis lugu?”“Memangnya kau tidak merasa begitu?”Bram tertawa kecil. “Pria mata-mata itu bisa kapan saja mengancam nyawa istrinya. Tentu saja hidup bersama sebuah langkah yang egois.”“Kau ini tidak mengerti ya.” tukas Nala sambil mengangkat kepalanya kembali. “Bram, apapun yang terjadi, jangan tinggalkan aku, oke?”Mereka baru saja melaksanakan pesta pernikahan tadi siang, dan sekarang sedang beristirahat sambil menonton film. Nala tampak bersemangat menunggu jawaban Bram. Mata Nala menyala-nyala seolah akan melahapnya kalau tak mengucapkan jawaban yang menyenangkan.Satu-satunya yang dilakukan Bram adalah menutup mata itu. Ia menarik wajah Nala dan mengecupnya.Setelahnya, mereka memiringkan wajah dan saling memeluk kehangatan satu sama lain. Tangan Nala menyentuh punggung Bram, menekuri setiap sudutnya dengan hati-hati.Bram membantu Nala melepaskan pakaian dan mendekap Nala lebih erat lagi. Ia menidurkan tubuh Nala setelah membuka bajunya.Nala merasa aneh. Sekalipun tubuhnya ditindih oleh pria seksi berotot, ia tak merasa terintimidasi. Nala semakin mempererat pelukan dan ciumannya. Di momen itu, setiap jengkal tubuh Nala teraba oleh Bram. Mereka tak mengenakan sehelai kain pun.Wajah Nala memerah dan kepanasan karena degupan jantungnya tak beraturan. Ia bisa merasakan desah nafas mereka beradu. Dalam benaknya saat itu, inilah saatnya ia memberikan mahkotanya kepada pria yang sudah bersumpah untuk sehidup semati bersamanya.Nala yang menyipitkan matanya, hanyut dalam sentuhan sensual yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hangatnya bibir Bram, lembutnya jemari Bram. Sampai matanya terpaku pada sebuah gambar tato kecil di balik cuping telinga kiri pria itu. Sebuah gambar trisula.“Bram, kamu punya tato?”Nala tahu, Bram tampak terkejut. Namun, Bram mengalihkan perhatian dengan mengecup leher Nala. Bram memainkan jarinya sampai ia membuka kedua kaki Nala.Nala tak kuasa menahan desahan saat Bram menyentuhnya sampai akhirnya Bram mengecup bagian di antara dua kaki itu. Nala merasakan nikmat yang luar biasa setelah itu, sampai ia melupakan rasa penasarannya.Sampai setahun berikutnya, Nala dan Bram tetap saling mencintai satu sama lain hingga dikaruniai seorang bayi yang lucu dan tak pernah membahas soal tato trisula kecil. Hal kecil semacam tato bukan alasan yang cukup untuk membuat perasaannya luntur.Mata Nala berseri-seri. Ia mengecup kening Bayu, seorang balita yang baru saja bisa menyebutkan ‘Papa’ sambil bermain Kokeshi, sebuah boneka Jepang.“Mama, Bayu.” Nala berujar kesal. Ia merasa tak adil baginya kalau kata pertama yang diucapkan oleh anak yang sudah susah payah dikandungnya bukan panggilan untuk dirinya.“Papa..” Bayu bersikeras, sambil menunjukkan sebagian giginya yang sudah tumbuh.Nala mendengus kesal. “Terserah Bayu saja, deh..”“Ada apa?” seorang lelaki bertubuh tegap, berpawakan tinggi, dan berambut ikal pendek muncul di balik pintu kamar. Tampak jejak oli di kedua tangan dan kulit kakinya yang kulit langsat. Bram, suami Nala.“Bayu..” jawab Nala. “Dia malah mengucapkan ‘Papa’ saat bersamaku. Apakah itu wajar?”Bram tertawa. Tawa itu membuat Nala tersipu dan terpesona. “Mungkin wajar karena dia anakku, kan?”“Memangnya dia bukan anakku?”Bram mendekati Nala dan mengecup bibirnya dengan lembut. “Tentu saja dia anakmu, sayang. Aku tak pernah lupa jeritanmu beberapa bulan yang lalu di ruang persalinan.”Nala termenung sejenak dan mendorong kecil Bram agar tidak salah tingkah. Hal kecil seperti ini yang membuat Nala tak kuasa menolak pesona suaminya meskipun terkadang terkesan misterius.“Kenapa kau masuk kamar saat pakaianmu kotor, sih?”“Oh, aku lupa kalau ada pakaian usang yang akan kubuang. Sepertinya bisa kugunakan untuk kain lap motorku.”“Kau ini ada-ada saja.” Nala membantu Bram mencari pakaian yang dimaksud di lemari, sebelum akhirnya menyerahkannya. “Kalau sudah, nanti aku buatkan kopi, ya.”Sayangnya, sebuah pemandangan indah keluarga harmonis itu tak bertahan lama.Bram tak pernah mencicipi kopinya.Sebelum menghilang, Nala mendengar Bram mendapatkan panggilan dari teleponnya dan tampak hanyut dalam obrolan yang serius. Keheningan terjadi selama 30 menit setelahnya, dan terdengar suara motor menjauh dari garasi.Nala terkejut. Ia bergegas keluar dan mendapati Bram dan motornya menghilang. Tanpa sedikitpun kata pamit yang terlontar. Berkali-kali Nala menghubunginya, dan panggilan selalu dialihkan ke kotak suara.“Kau gila, ya? Apa yang membuatmu pergi begitu saja tanpa memberitahuku apa-apa? Apa yang terjadi padamu?”Klik!Karena putus asa, Nala mengirimi Bram pesan suara yang entah kapan akan dibuka oleh suaminya itu.Dalam kesunyian malam, Nala menangis. Ia berusaha menahan diri agar napas berat dan suaranya tak membangunkan anaknya yang baru saja tertidur.Bram. Nala berkenalan dengannya saat mereka sama-sama menjadi tenaga sukarelawan di wilayah banjir bandang di sebuah kota, dua tahun yang lalu. Saat itu, Nala masih bekerja sebagai seorang akuntan. Sedangkan Bram mengaku sebagai seorang radiografer di rumah sakit. Mereka sudah saling suka sejak pertama kali bertemu sampai setahun berikutnya mereka memutuskan menikah.Tapi, Nala tak pernah mengetahui apa pun tentang asal usul Bram. Bahkan, ia tak mengenal keluarga suaminya itu sama sekali.“Kau di mana, Bram?”Ini bukan pertama kalinya Bram menghilang tanpa bisa dihubungi. Saat dulu menjalin kasih, Bram pernah tak bisa dihubungi selama 3 hari lamanya dan nomernya tidak aktif.Saat itu, Bram beralasan telepon genggamnya rusak dan mengalami kecelakaan yang menyebabkan tangannya tak bisa menghubungi Nala karena digips.“Tidak!” tukas Nala. “Tidak mungkin. Nala, sadarkan dirimu! Dia Bram, suamimu. Kau seharusnya mempercayainya dan menunggunya kembali.”Ya, Nala pada akhirnya menunggu Bram kembali dan mencoba menahan rasa penasarannya sampai suaminya datang.Namun, tiga hari setelahnya, Nala malah menemukan sepucuk surat di depan pintu rumahnya.Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi