Share

Bab 2: Suamiku seorang mata-mata

Hari itu hujan. Bayangan tubuh Nala menggelap, seiring dengan suara petir yang bersahutan membangunkan seorang balita. Tangis pecah terdengar di seluruh penjuru rumah. Nala bergeming, tak mempedulikan anaknya yang meronta-ronta ketakutan.

Sepucuk surat dibacanya dengan tangan bergetar.

‘Aku harus pergi, Nala. Sudah saatnya langit menjemputku. Mungkin, di kemudian hari, saat air sudah bisa kutunggangi, aku akan kembali. Jangan tunggu aku.

Aku mencintaimu, Nala. Dan Bayu.’

Pintu gerbang sudah dikunci, tapi melihat ada seseorang yang bisa masuk sampai pintu depan rumah dengan mudah tanpa adanya alarm yang berbunyi…

Nala bergegas mengecek CCTV.

Benar.

“Kau datang, Bram.”

Bram tampak muncul di CCTV. Ia membuka gerbang dan berdiri cukup lama di depan pintu rumah sampai ia mengeluarkan sepucuk surat.

Setelah meletakkan surat itu di lantai, Bram beranjak pergi. Ia menengadahkan wajahnya melihat CCTV. Ia menjulurkan tangannya ke arah kamera dan meletakkannya di dada kirinya.

“I.. itu!!” Nala memekik. Itu adalah gerakan yang biasa Bram gunakan saat sedang ingin mengucapkan ‘aku mencintaimu’ padanya.

Bram selalu membutuhkan tiga hari sebelum menampakkan diri setelah menghilang. Tapi kali ini, ia hanya datang untuk mengucapkan salam perpisahan.

Setelah menenangkan Bayu yang terbangun karena suara petir menggelegar, Nala kembali menekuri surat di tangannya.

Nala sudah membaik. Ia tak lagi dilanda kegundahan dan sudah cukup tegar menyikapi situasi. Satu hal yang membuatnya terpaku pada surat pemberian Bram adalah, kata-kata metafora yang digunakan.

Seingat Nala, Bram tak pernah menggunakan metafora dalam menuliskan sesuatu karena ia orang yang lugas dan ceplas-ceplos. Meskipun terkadang hawa dingin menyelimuti ucapannya, kata-kata Bram tak pernah berarti sesuatu yang sulit dipahami.

Ding! Dong!

Suara bel di pintu gerbang terdengar. Aneh, pikir Nala. Seharusnya tak ada yang berkunjung ke rumahnya di hari hujan, apalagi nyaris tengah malam begini.

Begitu Nala mengecek CCTV, tampak sosok pria bertubuh tegap, memakai topi rajut dan mengenakan selubung jaket hitam, berdiri di bawah payung.

Siapa, pikir Nala. Ia tak pernah ingat punya kenalan dengan sosok seperti itu. Sosok yang tinggi seperti Bram, meskipun Nala yakin itu bukan suaminya.

Dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran, Nala membuka gerbang dari sebuah tombol di dekat pintu teras. Pintu gerbang bergeser otomatis. Sosok itu bergegas masuk.

“Cepat tutup pintu gerbangnya.”

“Eh? Apa?”

“Cepat! Lakukan saja!”

Nala menurut dan pintu gerbang kembali bergeser. Sekarang, di dalam rumahnya, ada sosok pria tampan tak dikenal yang agak kebasahan karena hujan.

“Fiyuh, hujannya deras sekali.” katanya. “Ada handuk tidak?”

“Kau siapa?”

Pria itu tersenyum miring, tampak licik. “Kau membukakan pintu tanpa tahu siapa yang sedang kau temui ya?”

“A.. Apa kau bilang?”

Pria itu mendekati Nala dan memojokkannya ke dinding. Nala sudah siap berteriak sampai pria itu membekapnya. “Kau tidak ingin membangunkan keponakanku, kan?”

Tu.. tunggu dulu. Keponakan? Benak Nala bekerja cukup keras mengingat kembali daftar keluarganya. Ia tak pernah punya adik laki-laki. Bahkan, sepupu-sepupunya pun tak ada yang memiliki pawakan tinggi atletis seperti Bram.

Tunggu! Seperti Bram….

Pria itu melepaskan tangannya. “Sudah sadar siapa aku?”

“Kau.. saudaranya Bram, ya?”

Pria itu berjalan semakin dalam sampai menemukan sebuah handuk. Ia mengeringkan tubuhnya sambil mendidihkan seteko air.

“Apa kau keberatan kalau aku menyeduh secangkir teh?”

“Jawab pertanyaanku!”

Pria itu mendengus. “Kau dan kakakku sama saja. Sama-sama tidak sabaran.”

“Kakakmu? Jadi, kau adiknya Bram?”

“Oh, jadi sekarang namanya Bram ya?”

Nala sudah hampir semaput. Wajahnya pucat. Suaminya menghilang, kemudian ia mendapatkan surat perpisahan setelah tiga hari tak ada kabar, lalu didatangi oleh seorang pria yang kalau dugaannya tidak salah adalah adik iparnya. Dan adik ipar itu memberikan fakta kalau Bram bukanlah nama asli.

Pria itu tertawa sinis. “Benar-benar kau, kak. Kukira hidup normal yang dimaksud adalah memulai kejujuran. Rupanya tetap saja main sembunyi-sembunyi.”

“Aku.. aku pusing.”

Nala mencari tempat duduk di sekitarnya dan memilih untuk bersandar sejenak. Ia mencoba menyusun beberapa kepingan puzzle yang selama ini ia miliki. Mulai dari pekerjaan Bram yang tidak jelas, identitasnya yang kabur dan samar-samar namun memiliki ikatan yang kuat dengan panti asuhan, dan tato..

“Bisakah kau kemari sebentar?” pinta Nala.

“Sebelum itu, biar kubuatkan kau teh.”

“Kemari, sekarang!”

Pria itu terdiam. Ia menatap Nala cukup serius. Setelah mematikan kompor, Pria itu mendekati Nala. Saat sudah berdiri di depannya, Nala menarik tangan pria itu sampai wajah mereka berdekatan. Aroma kayu yang hangat tercium. Dengan energi yang tersisa, Nala menekuk cuping kiri pria itu.

Ada. Di situ ada gambar trisula yang persis sama dengan milik Bram, suaminya.

“Kau, kau mau apa?” pekik pria itu.

Nala melepaskan tangan pria itu dengan tangan gemetar. Melihat reaksi Nala, senyumnya tersungging.

“Sepertinya kau sudah tahu sedikit, ya, kan?”

“Siapa sebenarnya kalian?”

Pria itu menatap Nala lurus-lurus. Nala sudah siap dengan segala jawaban yang mungkin terucap dari bibir pria itu. Pria yang memiliki perawakan yang sama persis degan suaminya. Pria yang memiliki aroma kesturi di tubuhnya, sama seperti suaminya. Pria yang memiliki tato trisula. Pria yang mungkin paling bisa ia tanyai tentang apa yang sedang terjadi pada Bram.

“Aku adik suamimu. Kami berdua adalah agen intelijen negara.”

Nala menelan ludah. Jauh di lubuk hatinya, ia sudah menduganya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dina0505
Makin menarik ni ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status