Hari itu hujan. Bayangan tubuh Nala menggelap, seiring dengan suara petir yang bersahutan membangunkan seorang balita. Tangis pecah terdengar di seluruh penjuru rumah. Nala bergeming, tak mempedulikan anaknya yang meronta-ronta ketakutan.
Sepucuk surat dibacanya dengan tangan bergetar.‘Aku harus pergi, Nala. Sudah saatnya langit menjemputku. Mungkin, di kemudian hari, saat air sudah bisa kutunggangi, aku akan kembali. Jangan tunggu aku.Aku mencintaimu, Nala. Dan Bayu.’Pintu gerbang sudah dikunci, tapi melihat ada seseorang yang bisa masuk sampai pintu depan rumah dengan mudah tanpa adanya alarm yang berbunyi…Nala bergegas mengecek CCTV.Benar.“Kau datang, Bram.”Bram tampak muncul di CCTV. Ia membuka gerbang dan berdiri cukup lama di depan pintu rumah sampai ia mengeluarkan sepucuk surat.Setelah meletakkan surat itu di lantai, Bram beranjak pergi. Ia menengadahkan wajahnya melihat CCTV. Ia menjulurkan tangannya ke arah kamera dan meletakkannya di dada kirinya.“I.. itu!!” Nala memekik. Itu adalah gerakan yang biasa Bram gunakan saat sedang ingin mengucapkan ‘aku mencintaimu’ padanya.Bram selalu membutuhkan tiga hari sebelum menampakkan diri setelah menghilang. Tapi kali ini, ia hanya datang untuk mengucapkan salam perpisahan.Setelah menenangkan Bayu yang terbangun karena suara petir menggelegar, Nala kembali menekuri surat di tangannya.Nala sudah membaik. Ia tak lagi dilanda kegundahan dan sudah cukup tegar menyikapi situasi. Satu hal yang membuatnya terpaku pada surat pemberian Bram adalah, kata-kata metafora yang digunakan.Seingat Nala, Bram tak pernah menggunakan metafora dalam menuliskan sesuatu karena ia orang yang lugas dan ceplas-ceplos. Meskipun terkadang hawa dingin menyelimuti ucapannya, kata-kata Bram tak pernah berarti sesuatu yang sulit dipahami.Ding! Dong!Suara bel di pintu gerbang terdengar. Aneh, pikir Nala. Seharusnya tak ada yang berkunjung ke rumahnya di hari hujan, apalagi nyaris tengah malam begini.Begitu Nala mengecek CCTV, tampak sosok pria bertubuh tegap, memakai topi rajut dan mengenakan selubung jaket hitam, berdiri di bawah payung.Siapa, pikir Nala. Ia tak pernah ingat punya kenalan dengan sosok seperti itu. Sosok yang tinggi seperti Bram, meskipun Nala yakin itu bukan suaminya.Dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran, Nala membuka gerbang dari sebuah tombol di dekat pintu teras. Pintu gerbang bergeser otomatis. Sosok itu bergegas masuk.“Cepat tutup pintu gerbangnya.”“Eh? Apa?”“Cepat! Lakukan saja!”Nala menurut dan pintu gerbang kembali bergeser. Sekarang, di dalam rumahnya, ada sosok pria tampan tak dikenal yang agak kebasahan karena hujan.“Fiyuh, hujannya deras sekali.” katanya. “Ada handuk tidak?”“Kau siapa?”Pria itu tersenyum miring, tampak licik. “Kau membukakan pintu tanpa tahu siapa yang sedang kau temui ya?”“A.. Apa kau bilang?”Pria itu mendekati Nala dan memojokkannya ke dinding. Nala sudah siap berteriak sampai pria itu membekapnya. “Kau tidak ingin membangunkan keponakanku, kan?”Tu.. tunggu dulu. Keponakan? Benak Nala bekerja cukup keras mengingat kembali daftar keluarganya. Ia tak pernah punya adik laki-laki. Bahkan, sepupu-sepupunya pun tak ada yang memiliki pawakan tinggi atletis seperti Bram.Tunggu! Seperti Bram….Pria itu melepaskan tangannya. “Sudah sadar siapa aku?”“Kau.. saudaranya Bram, ya?”Pria itu berjalan semakin dalam sampai menemukan sebuah handuk. Ia mengeringkan tubuhnya sambil mendidihkan seteko air.“Apa kau keberatan kalau aku menyeduh secangkir teh?”“Jawab pertanyaanku!”Pria itu mendengus. “Kau dan kakakku sama saja. Sama-sama tidak sabaran.”“Kakakmu? Jadi, kau adiknya Bram?”“Oh, jadi sekarang namanya Bram ya?”Nala sudah hampir semaput. Wajahnya pucat. Suaminya menghilang, kemudian ia mendapatkan surat perpisahan setelah tiga hari tak ada kabar, lalu didatangi oleh seorang pria yang kalau dugaannya tidak salah adalah adik iparnya. Dan adik ipar itu memberikan fakta kalau Bram bukanlah nama asli.Pria itu tertawa sinis. “Benar-benar kau, kak. Kukira hidup normal yang dimaksud adalah memulai kejujuran. Rupanya tetap saja main sembunyi-sembunyi.”“Aku.. aku pusing.”Nala mencari tempat duduk di sekitarnya dan memilih untuk bersandar sejenak. Ia mencoba menyusun beberapa kepingan puzzle yang selama ini ia miliki. Mulai dari pekerjaan Bram yang tidak jelas, identitasnya yang kabur dan samar-samar namun memiliki ikatan yang kuat dengan panti asuhan, dan tato..“Bisakah kau kemari sebentar?” pinta Nala.“Sebelum itu, biar kubuatkan kau teh.”“Kemari, sekarang!”Pria itu terdiam. Ia menatap Nala cukup serius. Setelah mematikan kompor, Pria itu mendekati Nala. Saat sudah berdiri di depannya, Nala menarik tangan pria itu sampai wajah mereka berdekatan. Aroma kayu yang hangat tercium. Dengan energi yang tersisa, Nala menekuk cuping kiri pria itu.Ada. Di situ ada gambar trisula yang persis sama dengan milik Bram, suaminya.“Kau, kau mau apa?” pekik pria itu.Nala melepaskan tangan pria itu dengan tangan gemetar. Melihat reaksi Nala, senyumnya tersungging.“Sepertinya kau sudah tahu sedikit, ya, kan?”“Siapa sebenarnya kalian?”Pria itu menatap Nala lurus-lurus. Nala sudah siap dengan segala jawaban yang mungkin terucap dari bibir pria itu. Pria yang memiliki perawakan yang sama persis degan suaminya. Pria yang memiliki aroma kesturi di tubuhnya, sama seperti suaminya. Pria yang memiliki tato trisula. Pria yang mungkin paling bisa ia tanyai tentang apa yang sedang terjadi pada Bram.“Aku adik suamimu. Kami berdua adalah agen intelijen negara.”Nala menelan ludah. Jauh di lubuk hatinya, ia sudah menduganya.“Jadi, begitu, ya..” Nara berkomentar. Ia tampak tak terlalu terkejut. “Kalian berdua sama-sama agen intelijen negara. Kakak beradik, satu profesi, tato yang sama.”“Tato itu urusan lain.” sahut pria itu.“Boleh aku mengetahui namamu?”“Bram.” jawab pria itu.Nala mendengus kesal. “Jangan konyol. Kau bisa memikirkan nama samaran yang lain, kan? Seorang agen bukankah orang yang kreatif?”“Sial. Padahal itu nama samaranku selama ini. Kakakku sudah memakainya duluan.” Pria itu melemparkan dirinya ke sofa di pinggir Nala. Ia tampak berpikir.“Ya, sudah. Jadi Bram saja.”“Ya, kurasa itu solusi bagus.” Pria itu tiba-tiba terkejut. “Apa? Maksudmu aku menjadi Bram?”“Ya. Kau gantikan posisinya saja. Aku harus bilang apa pada tetanggaku, pada teman-temannya, dan orang-orang yang mengenalku? Ribet.” Lebih dari itu, ia juga kebingungan bagaimana menjelaskan kepada Bayu, anaknya, alasan ayahnya tiba-tiba menghilan
Sepuluh tahun kemudian..“Ah..” Suara desahan memecah lagu heavy metal yang mengisi seluruh kamar. Tampak seorang wanita berambut pirang menggerakan pinggulnya di atas tubuh Blue. Tubuh mereka setengah telanjang, dan wanita itu tampak masih mengenakan stiletto.Blue menarik wajah wanita pirang bertubuh semampai itu dan menciuminya, seolah desahannya dapat mengganggu ritme permainan mereka. Tangan Blue sibuk meraba punggung wanita itu sampai tak tahu kalau ada seseorang sedang mengawasinya dari pintu. Sosok wanita, yang berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya. Wajahnya sudah dipenuhi rasa kesal.“Sepertinya kau bersenang-senang lagi, ya.”Pinggul wanita pirang berhenti dan Blue berhenti menciumnya. Mereka terkejut melihat Nala. “Kyaaa!!” pekik wanita itu.“Oh, halo. Kau..” Nala menyipitkan matanya, mencoba mengenali wanita pirang itu. “Aku.. baru mengenalmu ya?”“Si.. siapa kau?” tanya wanita pirang. Nala berjalan ke
Blue dan Nala kelabakan. Mereka tak pernah menyangka akan bercumbu di depan seorang anak berusia 10 tahun. Apalagi Nala. Fakta kalau ia adalah seorang ibu, sangat mengganggunya. Padahal, mereka berpindah-pindah karena Nala sedang mencari kemana suaminya pergi.“Anu, sebenarnya..”“Tidurku terganggu karena suara pintu yang dibanting.” Bayu memotong kata-kata Nala. Ia tak tega melihat ibunya berusaha mencari alasan. “Sudahlah, aku mengerti apa yang terjadi.”“Kau mengerti apa yang terjadi?” tanya Nala, heran. Bagaimana mungkin seorang anak imut-imut bisa terlihat tenang saat melihat dua orang yang seharusnya tidak bercumbu malah tertangkap basah.Blue mendengus. “Kau tidak tahu kalau Bayu ini unik?”Bayu mengangkat bahunya, seolah tak peduli. Ia berjalan mendekati tempat tidur, mencari celah di antara Nala dan Blue. Ia merapikan bantalnya, sebelum menidurinya. “Jadi, Bu. Kau bekerja dimana?”“Ehem,” Nala berdeham, berusaha mengharg
Bayu sudah terlelap saat senja datang. Nala menghisap rokoknya di balkon kamar sambil melihat lampu kota bertebaran. Bau lembab mulai memasuki paru-parunya, berlomba dengan asap rokok yang menusuk. Angin menerbangkan rambutnya. Nala berusaha tak memikirkan apapun. Ia berjuang keras untuk menyuruh otaknya beristirahat. Ada banyak hal yang sudah terjadi belakangan ini, membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam semalam, sepuluh tahun yang lalu.Nala berdiri anggun, memantapkan posisi dan bernafas tanpa suara, menikmati petang di ibukota. Meskipun dalam kondisi tenang, benaknya tetap berteriak mengagungkan sebuah nama.Bram.“Nala..”Nala menoleh. Blue membawa dua cangkir teh panas dan menaruhnya di meja terdekat. Ia menyalakan rokoknya, dan berjalan ke tempat Nala berdiri.“Hari ini makan malamnya apa?”“Sepertinya menu khususnya kepiting. Aku alergi makanan laut, jadi kita pesan layanan kamar saja.”Sebenarnya, Nala tahu kalau hotel pasti sudah menyiapkan menu
“Hoahmm..”Nala meregangkan tubuhnya. Tangannya mengenai kepala Bayu yang sudah lebih dulu terjaga dan memilih membaca novel detektif.“Pagi sayangnya akuuu..” Nala menarik pipi Bayu dan mengecupnya.Bayu menarik diri. “Ibu bau alkohol.”Mendengar hal itu, Nala menghembuskan nafas ke arah telapak tangannya. “Ha.. Ha.. Wah, iya. Ibu semalem mabuk, ya?”“Kayaknya, sih, begitu.”Nala menekan kepalanya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang terlupakan, entah apa. “Blue mana?”“Paman sudah pergi daritadi.”“Eh? Kemana?”Bayu mengangkat bahunya. “Mencari hotel baru, mungkin. Atau ke klub.”Nala tertawa. “Mana ada klub yang buka pagi-pagi?”Bayu melirik ibunya yang tampaknya masih setengah terjaga. Bayu juga membantu Nala membersihkan kotoran di kedua matanya. “Aku tidak bilang paman pergi pagi-pagi. Kurasa dia belum pulang sejak kemarin.”“Kenapa?”“Karena kamar mandinya kering saat aku pakai subuh tadi, dan paman sudah tidak ada. Kupikir, antara dia pergi buru-buru tanpa mandi, atau memang bel
Dalam waktu kurang dari seminggu, Nala, Bayu, dan Blue, sudah menemukan rumah layak huni yang dekat dengan rumah sakit tempat Nala bekerja. Mereka memilih perumahan yang tidak terlalu ramai, dan dekat dengan fasilitas umum agar tidak terlalu sering keluar lingkungan. Rumah mereka dua tingkat, dengan bagasi dan taman lebar yang menjadi satu dan memiliki banyak kaca di bagian belakang. Dindingnya cukup tinggi, membuat suasana di dalam rumah cukup sejuk, didukung dengan sirkulasi udara yang bagus. Lantai bawah rumah ini terdiri dari ruang tamu yang juga bisa menjadi ruang keluarga, kamar mandi kecil, dan dapur. Sedangkan di lantai atas terdapat satu kamar kecil, satu kamar mandi dan satu kamar besar dengan kamar mandi dalam. Luas tanahnya tak begitu besar, sekitar separuh luas tanah rumah Nala dan Bram sepuluh tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kota tempat tinggal Nala dulu memang kota kecil yang harga tanahnya cukup murah. Sedangkan kota ini adalah ibukota negara, ya
Nala, Bayu, dan Blue, duduk melingkar di atas tempat tidur. Bayu memeluk boneka serigala kecilnya. Kata Nala, itu satu-satunya benda yang dibelikan ayahnya, Bram, yang bisa dibawa. Mereka bertiga tampak serius menyusun rencana, membahas soal peran apa yang akan mereka lakukan: menjadi ‘keluarga’ sungguhan.“Kapan kau mulai masuk kerja?” tanya Blue.Nala menempelkan telunjuknya ke dagu, berpikir. “Kupikir mulai minggu depan. Pembukaan rumah sakit itu sendiri masih satu bulan lagi. Sepertinya seluruh karyawan masuk lebih awal untuk mempersiapkan segala hal sebelum rumah sakit benar-benar menerima pasien.”“Sejauh yang kau tahu, rumah sakit ini punya berapa poli?”Nala menghitung dengan jari-jarinya. “Seingatku, aku melihat ada tujuh papan nama poli. Kandungan, bedah, penyakit gigi dan mulut, orthopaedi, paru, penyakit dalam, dan satu papan terbalik jadi aku tidak tahu apa yang tertulis.”“Poli anak.” sahut Bayu. “Poli kandungan selalu dibar
Saat ini, Nala sedang mengendarai sebuah motor matic hitam yang sudah dimodifikasi sehingga suara knalpot dan mesinnya tak terdengar. Sebuah bagasi juga sudah dipasang di belakang jok untuk memudahkannya membawa beberapa barang penting, misalnya saja sebuah senapan. Kecepatannya, setara dengan mesin baru yang sanggup melaju kencang 3 detik setelah mesin dinyalakan. Sedangkan Blue mengendarai sebuah mobil SUV tua 4 pintu berwarna abu gelap, dengan ban yang tinggi. Meskipun keluaran lama, interior mobil tersebut sudah dimutakhirkan dengan teknologi terbaru.Klik!Blue sudah menghubungkan sambungan telepon satelit dengan Bayu dan Nala ke mobilnya. Ia juga sudah menyalakan layar, yang terhubung dengan tablet yang diutak-atik Bayu.“Roger!” seru Blue. “Sudah kau dapatkan plat nomernya?”“Roger!” Bayu, dikelilingi banyak orang, memantau CCTV. “JK 190 L. Pelaku sepertinya sudah keluar dari kompleks.”“Roger!” seru Blue dan Nala, bergantian.Bayu mengutak-atik tabletnya. Tampak ia sudah bisa