“Jadi, begitu, ya..” Nara berkomentar. Ia tampak tak terlalu terkejut. “Kalian berdua sama-sama agen intelijen negara. Kakak beradik, satu profesi, tato yang sama.”
“Tato itu urusan lain.” sahut pria itu.“Boleh aku mengetahui namamu?”“Bram.” jawab pria itu.Nala mendengus kesal. “Jangan konyol. Kau bisa memikirkan nama samaran yang lain, kan? Seorang agen bukankah orang yang kreatif?”“Sial. Padahal itu nama samaranku selama ini. Kakakku sudah memakainya duluan.” Pria itu melemparkan dirinya ke sofa di pinggir Nala. Ia tampak berpikir.“Ya, sudah. Jadi Bram saja.”“Ya, kurasa itu solusi bagus.” Pria itu tiba-tiba terkejut. “Apa? Maksudmu aku menjadi Bram?”“Ya. Kau gantikan posisinya saja. Aku harus bilang apa pada tetanggaku, pada teman-temannya, dan orang-orang yang mengenalku? Ribet.”Lebih dari itu, ia juga kebingungan bagaimana menjelaskan kepada Bayu, anaknya, alasan ayahnya tiba-tiba menghilang karena sedang bertugas melayani negara dari balik layar.“Tapi, aku ada tugas lain setelah ini.” tukas pria itu.“Apa?”“Mencari kakakku.”Nala tertawa. “Ya, sudah. Solusi paling aman adalah mencarinya, kan? Tidak kah kau pikir lebih baik menyamar sebagai orang yang kau cari untuk memancingnya keluar?”Pria itu termenung. Ia tak menyangka Nala bisa berpikir sekritis itu. Dalam hati, ia mengakui kehebatan kakaknya memilih wanita ini sebagai istrinya.“Boleh juga.”“Selain itu,” tambah Nala. “Aku tidak ingin Bayu hidup tanpa ayah sepertiku.”Nala bukannya seorang yatim piatu. Dulunya, ia seorang anak perempuan bahagia sampai ayahnya mendadak meninggalkannya bersama ibunya. Karena frustasi, ibunya menikahi pria lain dan ‘membuang’ Nala dalam asuhan neneknya di sebuah pedesaan yang jauh.Sebenarnya, masa lalu Nala adalah cerita pahit yang panjang. Ia bahkan cukup jarang menceritakan masa kecilnya kepada Bram ketika sedang dalam tahap pendekatan. Satu-satunya yang bisa Nala banggakan adalah kedai bubur enak milik neneknya.Nala membuka topi rajut pria itu, yang kini mengganti posisi Bram. Tampak rambutnya lurus, berbeda dengan suaminya yang memiliki rambut keriting keong.“Rambutmu lurus.”“Iya, kenapa? Seksi, ya?”“Aku bisa mengenyahkanmu, asal kau tahu.” ujar Nala, sebal. “Ceritakan padaku semuanya!”Pria itu tampak ragu. Ia menimbang seberapa berbahayanya posisi Nala kalau ikut terjebak dalam posisi ini. Tapi, ia juga ingin mencari kakaknya.Setidaknya kalau aku berpura-pura menjadi suaminya, aku bisa melindunginya untuk kakakku, pikirnya.Setelah itu, pria itu pun memulai ceritanya. Bram adalah seorang agen yang sudah pensiun. Sebenarnya, ia pernah menangani suatu kasus yang melibatkan sebuah gembong narkoba besar yang susah dilacak. Setelah Bram berhasil menaklukan orang nomer dua di organisasi itu, Bram memilih pensiun karena alasan pribadi.“Apakah itu ada hubungannya dengan menikahiku?” tanya Nala.“Jangan GR! Aku tahu dia memang ingin pensiun karena ingin punya bengkel sendiri dan hidup tenang.”Nala berusaha keras untuk tidak meninju pria itu demi mendengar lanjutan ceritanya.Pria itu melanjutkan ceritanya. Bram menjadi agen sejak lulus SMP. Sebenarnya dia memang dididik untuk menjadi agen. Bahkan, ia diarahkan untuk mengambil banyak kelas keterampilan termasuk mengambil gelar untuk itu.Gelar aslinya hanya 2. Sisanya, adalah gelar palsu. Bram pernah selama 2 tahun menjadi seorang dokter hewan demi menyusup di suatu organisasi penyelundupan hewan langka.“Aku tahu itu.” potong Nala. “Bram pernah memberitahuku kalau pernah dibiayai oleh sosok misterius yang pendapatannya naik-turun.”Pria itu terdiam. Ia tak tahu harus melanjutkan ceritanya dengan kalimat apa. Ia pikir, sepertinya kakaknya sudah memberi gambaran lain soal panti asuhan dan asal-usul pembiayaan mereka.Kini, ia berusaha untuk berhati-hati agar tidak membuat Nala berpikir yang tidak-tidak terkait masa lalu mereka sebagai kakak beradik.“Umur asli Bram, berapa?”“Kau pikir berapa?”“50 tahun?”“Kau ini bodoh, ya?”Nala menghela nafas lega. Setidaknya, ia tahu kalau tidak sedang menikahi seseorang yang berusia sama dengan ibunya.“Singkatnya, organisasi narkoba ini sudah mengakar di negeri ini, dan sudah menewaskan banyak agen sejak kakakku memasukkan salah satu orang pentingnya ke penjara. Kakakku dipanggil oleh pusat, dan dalam waktu 3 hari, kakakku tidak bisa dihubungi lagi. Lalu aku diarahkan untuk mencari tahu. Sampailah aku disini.”“Apa ada kemungkinan aku akan dibunuh setelah aku mengetahui fakta ini?” tanya Nala.“Tentu saja.”Nala terhenyak. Sebenarnya, kenapa Tuhan memberikan kehidupan yang pelik dan rumit begini padanya.“Aku jadi Bram, kan?”“Apa?”“Kalau begitu, aku suamimu kan?”Nala menatap pria itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dilihat bagaimanapun, pria itu memiliki perawakan yang sama dengan suaminya, bahkan garis wajah yang mirip. Yang membedakan hanya rambut dan warna kulit Bram yang lebih gelap.“Tapi aku akan membunuhmu kalau kau berani menyentuhku.” ancam Nala. “Kita harus mencari Bram, bagaimanapun caranya.”“Ya, oke. Terserah padamu saja.”Nala teringat sesuatu. Lalu, ia beranjak. Mencari di sekitar ruang tamu, dan kembali lagi ke ruang tengah.Nala menyodorkan surat dari Bram kepada pria itu. “Kau tahu apa maksud metafora ini?”Pria itu nampak serius membaca surat dari Bram. “Ya, aku tahu. Tapi, kau tanya saja kepada kakakku langsung. Pantang menyebutkan nama asli seorang agen saat sedang bertugas.”“Eh? Di surat itu ada nama aslinya?” Nala merebut surat itu dan membacanya lagi. Namun, Nala tidak menemukan apapun.“Sky.” kata pria itu.“Apa?”“Sky adalah kode kakakku sebagai agen. Sedangkan aku Blue.”Sky, pikir Nala. Nama yang bagus dan sangat Bram sekali.“Blue, nama organisasi narkoba itu.. apakah Elang Grup?”Blue tampak terkejut. Keringat dingin mengalir disekitar pelipisnya. Ia khawatir kalau-kalau kakaknya tak sengaja membeberkan rahasia saat mabuk pada Nala. “Kau.. Bagaimana kau mengetahuinya? Apa Sky pernah memberitahumu sesuatu tentang Elang Grup?”Nala menggeleng pelan. “Aku pernah menemukan.. sesuatu.”Blue mendesah kesal. “Oh, kau mengutil ya?”Nala melempari Blue dengan boneka Kokeshi, mainan Bayu. Tentu saja Blue dengan cepat mengelak.“Aku pernah menemukan sebuah dokumen yang berstempelkan nama perusahaan itu. Tapi, bukankah Elang Grup sebuah perusahaan makanan terkenal?” tanya Nala. “Tidak ada yang aneh dengan perusahaan itu. Bahkan beberapa kali muncul diberita bahwa mereka sudah banyak memberikan bantuan untuk anak-anak, termasuk ke panti asuhan.”Rahang Blue mengeras. Tampaknya ia sudah cukup marah. “Tapi mereka banyak membunuh orang dan anak-anak juga, sebenarnya.”Nala terdiam. Ia sudah muak dengan segala hal yang terjadi di hidupnya. Dulu, ia pasrah saat ditinggalkan oleh ayah, ibu dan neneknya. Sekarang, ia tak mau lagi ditinggalkan siapapun.“Blue..” panggil Nala. Dadanya bergemuruh. Matanya menyala-nyala. Hatinya berkobar karena marah. Siapa yang dengan berani merebut suaminya yang penyayang? Siapa yang berani menculik suaminya yang takut serangga?Nala sudah bertekad. “Ayo, kita cari Bram!”Sepuluh tahun kemudian..“Ah..” Suara desahan memecah lagu heavy metal yang mengisi seluruh kamar. Tampak seorang wanita berambut pirang menggerakan pinggulnya di atas tubuh Blue. Tubuh mereka setengah telanjang, dan wanita itu tampak masih mengenakan stiletto.Blue menarik wajah wanita pirang bertubuh semampai itu dan menciuminya, seolah desahannya dapat mengganggu ritme permainan mereka. Tangan Blue sibuk meraba punggung wanita itu sampai tak tahu kalau ada seseorang sedang mengawasinya dari pintu. Sosok wanita, yang berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya. Wajahnya sudah dipenuhi rasa kesal.“Sepertinya kau bersenang-senang lagi, ya.”Pinggul wanita pirang berhenti dan Blue berhenti menciumnya. Mereka terkejut melihat Nala. “Kyaaa!!” pekik wanita itu.“Oh, halo. Kau..” Nala menyipitkan matanya, mencoba mengenali wanita pirang itu. “Aku.. baru mengenalmu ya?”“Si.. siapa kau?” tanya wanita pirang. Nala berjalan ke
Blue dan Nala kelabakan. Mereka tak pernah menyangka akan bercumbu di depan seorang anak berusia 10 tahun. Apalagi Nala. Fakta kalau ia adalah seorang ibu, sangat mengganggunya. Padahal, mereka berpindah-pindah karena Nala sedang mencari kemana suaminya pergi.“Anu, sebenarnya..”“Tidurku terganggu karena suara pintu yang dibanting.” Bayu memotong kata-kata Nala. Ia tak tega melihat ibunya berusaha mencari alasan. “Sudahlah, aku mengerti apa yang terjadi.”“Kau mengerti apa yang terjadi?” tanya Nala, heran. Bagaimana mungkin seorang anak imut-imut bisa terlihat tenang saat melihat dua orang yang seharusnya tidak bercumbu malah tertangkap basah.Blue mendengus. “Kau tidak tahu kalau Bayu ini unik?”Bayu mengangkat bahunya, seolah tak peduli. Ia berjalan mendekati tempat tidur, mencari celah di antara Nala dan Blue. Ia merapikan bantalnya, sebelum menidurinya. “Jadi, Bu. Kau bekerja dimana?”“Ehem,” Nala berdeham, berusaha mengharg
Bayu sudah terlelap saat senja datang. Nala menghisap rokoknya di balkon kamar sambil melihat lampu kota bertebaran. Bau lembab mulai memasuki paru-parunya, berlomba dengan asap rokok yang menusuk. Angin menerbangkan rambutnya. Nala berusaha tak memikirkan apapun. Ia berjuang keras untuk menyuruh otaknya beristirahat. Ada banyak hal yang sudah terjadi belakangan ini, membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam semalam, sepuluh tahun yang lalu.Nala berdiri anggun, memantapkan posisi dan bernafas tanpa suara, menikmati petang di ibukota. Meskipun dalam kondisi tenang, benaknya tetap berteriak mengagungkan sebuah nama.Bram.“Nala..”Nala menoleh. Blue membawa dua cangkir teh panas dan menaruhnya di meja terdekat. Ia menyalakan rokoknya, dan berjalan ke tempat Nala berdiri.“Hari ini makan malamnya apa?”“Sepertinya menu khususnya kepiting. Aku alergi makanan laut, jadi kita pesan layanan kamar saja.”Sebenarnya, Nala tahu kalau hotel pasti sudah menyiapkan menu
“Hoahmm..”Nala meregangkan tubuhnya. Tangannya mengenai kepala Bayu yang sudah lebih dulu terjaga dan memilih membaca novel detektif.“Pagi sayangnya akuuu..” Nala menarik pipi Bayu dan mengecupnya.Bayu menarik diri. “Ibu bau alkohol.”Mendengar hal itu, Nala menghembuskan nafas ke arah telapak tangannya. “Ha.. Ha.. Wah, iya. Ibu semalem mabuk, ya?”“Kayaknya, sih, begitu.”Nala menekan kepalanya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang terlupakan, entah apa. “Blue mana?”“Paman sudah pergi daritadi.”“Eh? Kemana?”Bayu mengangkat bahunya. “Mencari hotel baru, mungkin. Atau ke klub.”Nala tertawa. “Mana ada klub yang buka pagi-pagi?”Bayu melirik ibunya yang tampaknya masih setengah terjaga. Bayu juga membantu Nala membersihkan kotoran di kedua matanya. “Aku tidak bilang paman pergi pagi-pagi. Kurasa dia belum pulang sejak kemarin.”“Kenapa?”“Karena kamar mandinya kering saat aku pakai subuh tadi, dan paman sudah tidak ada. Kupikir, antara dia pergi buru-buru tanpa mandi, atau memang bel
Dalam waktu kurang dari seminggu, Nala, Bayu, dan Blue, sudah menemukan rumah layak huni yang dekat dengan rumah sakit tempat Nala bekerja. Mereka memilih perumahan yang tidak terlalu ramai, dan dekat dengan fasilitas umum agar tidak terlalu sering keluar lingkungan. Rumah mereka dua tingkat, dengan bagasi dan taman lebar yang menjadi satu dan memiliki banyak kaca di bagian belakang. Dindingnya cukup tinggi, membuat suasana di dalam rumah cukup sejuk, didukung dengan sirkulasi udara yang bagus. Lantai bawah rumah ini terdiri dari ruang tamu yang juga bisa menjadi ruang keluarga, kamar mandi kecil, dan dapur. Sedangkan di lantai atas terdapat satu kamar kecil, satu kamar mandi dan satu kamar besar dengan kamar mandi dalam. Luas tanahnya tak begitu besar, sekitar separuh luas tanah rumah Nala dan Bram sepuluh tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kota tempat tinggal Nala dulu memang kota kecil yang harga tanahnya cukup murah. Sedangkan kota ini adalah ibukota negara, ya
Nala, Bayu, dan Blue, duduk melingkar di atas tempat tidur. Bayu memeluk boneka serigala kecilnya. Kata Nala, itu satu-satunya benda yang dibelikan ayahnya, Bram, yang bisa dibawa. Mereka bertiga tampak serius menyusun rencana, membahas soal peran apa yang akan mereka lakukan: menjadi ‘keluarga’ sungguhan.“Kapan kau mulai masuk kerja?” tanya Blue.Nala menempelkan telunjuknya ke dagu, berpikir. “Kupikir mulai minggu depan. Pembukaan rumah sakit itu sendiri masih satu bulan lagi. Sepertinya seluruh karyawan masuk lebih awal untuk mempersiapkan segala hal sebelum rumah sakit benar-benar menerima pasien.”“Sejauh yang kau tahu, rumah sakit ini punya berapa poli?”Nala menghitung dengan jari-jarinya. “Seingatku, aku melihat ada tujuh papan nama poli. Kandungan, bedah, penyakit gigi dan mulut, orthopaedi, paru, penyakit dalam, dan satu papan terbalik jadi aku tidak tahu apa yang tertulis.”“Poli anak.” sahut Bayu. “Poli kandungan selalu dibar
Saat ini, Nala sedang mengendarai sebuah motor matic hitam yang sudah dimodifikasi sehingga suara knalpot dan mesinnya tak terdengar. Sebuah bagasi juga sudah dipasang di belakang jok untuk memudahkannya membawa beberapa barang penting, misalnya saja sebuah senapan. Kecepatannya, setara dengan mesin baru yang sanggup melaju kencang 3 detik setelah mesin dinyalakan. Sedangkan Blue mengendarai sebuah mobil SUV tua 4 pintu berwarna abu gelap, dengan ban yang tinggi. Meskipun keluaran lama, interior mobil tersebut sudah dimutakhirkan dengan teknologi terbaru.Klik!Blue sudah menghubungkan sambungan telepon satelit dengan Bayu dan Nala ke mobilnya. Ia juga sudah menyalakan layar, yang terhubung dengan tablet yang diutak-atik Bayu.“Roger!” seru Blue. “Sudah kau dapatkan plat nomernya?”“Roger!” Bayu, dikelilingi banyak orang, memantau CCTV. “JK 190 L. Pelaku sepertinya sudah keluar dari kompleks.”“Roger!” seru Blue dan Nala, bergantian.Bayu mengutak-atik tabletnya. Tampak ia sudah bisa
Bayu dan Aldo menyambut Nala dan Blue. Aldo sudah tampak riang. Ia nyaris melompat ke pelukan Blue, kalau tidak ditarik oleh Bayu. Tampaknya, suasana penggrebekan penculik menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya.“Ibu!” seru Bayu. Ia berlari menuju pelukan Nala. Nala bergeming, karena tidak biasanya Bayu bersikap manja. Tapi, ia segera sadar kalau gerak-geriknya sekarang sudah dipantau oleh beberapa pasang mata.“Nala..” kata Sarah. Ia tampak takjub, setengah tak percaya. “Kau tidak apa-apa, kan?”“Kurasa begitu..”Blue berdeham, seolah memberi isyarat kepada Nala agar bersikap sok lemah dan tak berdaya.Nala berhasil menangkap maksud terselubung Blue. “Eh, oh.. ya..” Ia menekan dahinya dan berjalan agak sempoyongan. Bayu memegangi Nala setengah hati, karena tahu ibunya payah saat diminta berakting. “A.. aku agak dehidrasi..”Beberapa orang mengerubungi Nala, namun dengan cekatan, Blue mengambil alih. Ia menyandarkan ke