Share

Bab 4: Kami berciuman

Sepuluh tahun kemudian..

“Ah..” Suara desahan memecah lagu heavy metal yang mengisi seluruh kamar. Tampak seorang wanita berambut pirang menggerakan pinggulnya di atas tubuh Blue. Tubuh mereka setengah telanjang, dan wanita itu tampak masih mengenakan stiletto.

Blue menarik wajah wanita pirang bertubuh semampai itu dan menciuminya, seolah desahannya dapat mengganggu ritme permainan mereka. Tangan Blue sibuk meraba punggung wanita itu sampai tak tahu kalau ada seseorang sedang mengawasinya dari pintu. Sosok wanita, yang berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya. Wajahnya sudah dipenuhi rasa kesal.

“Sepertinya kau bersenang-senang lagi, ya.”

Pinggul wanita pirang berhenti dan Blue berhenti menciumnya. Mereka terkejut melihat Nala.

“Kyaaa!!” pekik wanita itu.

“Oh, halo. Kau..” Nala menyipitkan matanya, mencoba mengenali wanita pirang itu. “Aku.. baru mengenalmu ya?”

“Si.. siapa kau?” tanya wanita pirang. Nala berjalan ke dalam kamar dan mematikan pengeras suara. Lagu heavy metal pun berhenti. Blue mengangkat wanita pirang sampai ia terduduk di atas kasur, dan memandang Nala dengan jengkel.

“Harus ya merusak kesenanganku?” Blue melemparkan bantal ke arah Nala. Nala menepisnya.

“Kesenangan ketiga kali dalam minggu ini, kan?”

“Dia siapa, sayang?” wanita pirang menuntut penjelasan. Blue tampak jengah.

“Apa? Sayang? Kau bercanda, ya?” tukas Blue. Ia tak merasa nyaman harus terikat dengan seseorang. Baginya, rasa sayang itu merepotkan. Perasaan itu, menurut firasatnya, akan membawanya dalam kehancuran karena itu pasti akan jadi salah satu kelemahannya dalam menghadapi musuh.

Lagipula, apa yang diharapkan dari kehidupan seorang mata-mata nomaden?

Wanita pirang menampar Blue keras-keras. Blue tersenyum kecil. Segera setelah itu, wanita pirang membereskan pakaian dan mencari tasnya. Ia meninggalkan kamar itu dengan bantingan pintu keras-keras.

“Sialan! Aku akan menuntutmu kalau pintunya rusak!” teriak Blue.

Nala mendengus kecil. Matanya tertuju pada sesuatu yang berada di antara paha Blue. Benar-benar adik kakak. Bahkan ukuran bagian intimnya pun, Blue dan Bram punya kesamaan.

“Apa? Kenapa? Kau rindu rasanya ya?” ledek Blue. “Kau mau mencicipiku?”

Ganti Nala yang melempar bantal. “Serius, kau! Dasar otak mesum!”

Blue tertawa meskipun kesal. Ia segera mengenakan celananya saat Nala buru-buru membalikkan badan.

“Aku sudah berpakaian. Kau bisa melihatku lagi.”

Muka Nala bersemu merah. Tapi ia tak ingin hal itu mengalihkan perhatiannya. “Aku.. aku hanya ingin memberitahumu kalau aku sudah dapat pekerjaan.”

“Oh, begitu. Di mana?”

“Rumah sakit.”

Blue mengernyitkan dahinya. “Kalau aku ingat-ingat lagi, sepertinya kau ini lulusan akuntansi. Kenapa pula mencari lowongan pekerjaan di rumah sakit?”

Nala menghela nafas. Ia berjalan mendekati tempat tidur Blue dan menepuk-nepuknya sebentar sebelum melemparkan dirinya. “Kukira, menjadi teller bank tak mungkin bisa membuatku bertemu dengan Bram.”

“Ya, menurutku memang paling benar adalah menjadi pegawai pelayanan masyarakat.” sahut Blue, sambil membenarkan pakaian Nala yang tersingkap. Secara naluriah, Blue selalu melindungi Nala karena bagaimanapun ia adalah kakak iparnya.

“Menurutmu, Bram masih hidup kan?”

Nala kesulitan menelan ludahnya. Mulutnya tercekat. Dalam 10 tahun terakhir, ia, Blue, dan Bayu, sudah berkelana ke berbagai kota yang memungkinkan untuk mencari Bram. Mereka berpindah dari satu hotel ke hotel yang lain. Sampai sekarang pun, mereka tak menemui apapun. Mereka hanya menjejaki kota yang dulunya pernah ditempati Bram menyelidiki Elang Grup.

“Setidaknya, kalaupun memang sudah tidak ada harapan, aku ingin tahu tubuhnya berada dimana.” lanjut Nala.

Blue mendesah. Ia merasa bersalah. Seharusnya, sepuluh tahun yang lalu, ia bisa mencegah kakaknya untuk pergi. Namun ia tak pernah bisa melawan sifat keras kepala kakaknya. Karena kepengecutannya itu, kakaknya pergi tanpa kabar.

“Tapi, instantimu itu.. kaya juga, ya.” ujar Nala.

“Hm?”

“Sampai saat ini, kita tak pernah kekurangan. Selalu ada pendapatan bunga dari obligasi misterius. Seingatku, aku tak pernah membeli saham, surat hutang, bahkan reksadana sekalipun.”

Blue menarik bibirnya. Senyum simpul yang sama persis seperti milik Bram. Jantung Nala berdebar kencang. Ia sangat merindukan suaminya.

“Negara ini susah bangkrut. Ada banyak oligarki yang membiayainya. Kalau negara ini kacau, tak mungkin bisnis mereka bisa berjalan. Kau tenang saja.” Blue mengacak-acak rambut Nala.

Entah setan apa yang merasukinya, Nala menarik tangan Blue sampai wajah mereka berdekatan. Ia mengecup bibir Blue. Nala terlalu merindukan suaminya, sampai menjadi gila dan menganggap pria di depannya ini adalah Bram.

Blue memberontak. Tak seharusnya Nala mencium adik iparnya. Kalau Bram masih hidup, bagaimana mereka bisa menjelaskan situasi ini?

Namun, karena Nala menciumnya cukup erat, Blue pun membalas ciuman itu. Mereka berguling dan sempat menjatuhkan setumpuk majalah dan secangkir kopi di samping tempat tidur. Suara desahan mereka memecah kesunyian.

Nala sudah mulai merasakan desir darahnya mengalir hangat karena nafsunya yang membara, sampai tiba-tiba Blue menyentuh bagian intimnya. Nala seolah terjaga.

“Blue..” Nala melepaskan ciumannya. “Maafkan aku..”

Blue menatap Nala lekat-lekat sebelum akhirnya tersenyum. Ia mencium kening Nala lembut. “Aku tahu. Toh, kau juga bukan tipeku.”

Nala menendang selangkangan Blue pelan, yang membuat Blue mengerang. Mereka tertawa kecil setelahnya.

“Anu, apa aku menganggu?” suara anak laki-laki tiba-tiba mengalihkan perhatian mereka.

Nala dan Blue kompak menoleh. Tampak sosok anak berusia 10 tahun mengenakan piyama kartun sambil membawa sebuah bantal, berdiri bengong menghadapi ibu dan pamannya sedang berpelukan di atas tempat tidur.

Dan anak kecil berusia 10 tahun itu adalah... Bayu, anak Bram dan Nala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status