Sepuluh tahun kemudian..
“Ah..” Suara desahan memecah lagu heavy metal yang mengisi seluruh kamar. Tampak seorang wanita berambut pirang menggerakan pinggulnya di atas tubuh Blue. Tubuh mereka setengah telanjang, dan wanita itu tampak masih mengenakan stiletto.Blue menarik wajah wanita pirang bertubuh semampai itu dan menciuminya, seolah desahannya dapat mengganggu ritme permainan mereka. Tangan Blue sibuk meraba punggung wanita itu sampai tak tahu kalau ada seseorang sedang mengawasinya dari pintu. Sosok wanita, yang berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya. Wajahnya sudah dipenuhi rasa kesal.“Sepertinya kau bersenang-senang lagi, ya.”Pinggul wanita pirang berhenti dan Blue berhenti menciumnya. Mereka terkejut melihat Nala.“Kyaaa!!” pekik wanita itu.“Oh, halo. Kau..” Nala menyipitkan matanya, mencoba mengenali wanita pirang itu. “Aku.. baru mengenalmu ya?”“Si.. siapa kau?” tanya wanita pirang. Nala berjalan ke dalam kamar dan mematikan pengeras suara. Lagu heavy metal pun berhenti. Blue mengangkat wanita pirang sampai ia terduduk di atas kasur, dan memandang Nala dengan jengkel.“Harus ya merusak kesenanganku?” Blue melemparkan bantal ke arah Nala. Nala menepisnya.“Kesenangan ketiga kali dalam minggu ini, kan?”“Dia siapa, sayang?” wanita pirang menuntut penjelasan. Blue tampak jengah.“Apa? Sayang? Kau bercanda, ya?” tukas Blue. Ia tak merasa nyaman harus terikat dengan seseorang. Baginya, rasa sayang itu merepotkan. Perasaan itu, menurut firasatnya, akan membawanya dalam kehancuran karena itu pasti akan jadi salah satu kelemahannya dalam menghadapi musuh.Lagipula, apa yang diharapkan dari kehidupan seorang mata-mata nomaden?Wanita pirang menampar Blue keras-keras. Blue tersenyum kecil. Segera setelah itu, wanita pirang membereskan pakaian dan mencari tasnya. Ia meninggalkan kamar itu dengan bantingan pintu keras-keras.“Sialan! Aku akan menuntutmu kalau pintunya rusak!” teriak Blue.Nala mendengus kecil. Matanya tertuju pada sesuatu yang berada di antara paha Blue. Benar-benar adik kakak. Bahkan ukuran bagian intimnya pun, Blue dan Bram punya kesamaan.“Apa? Kenapa? Kau rindu rasanya ya?” ledek Blue. “Kau mau mencicipiku?”Ganti Nala yang melempar bantal. “Serius, kau! Dasar otak mesum!”Blue tertawa meskipun kesal. Ia segera mengenakan celananya saat Nala buru-buru membalikkan badan.“Aku sudah berpakaian. Kau bisa melihatku lagi.”Muka Nala bersemu merah. Tapi ia tak ingin hal itu mengalihkan perhatiannya. “Aku.. aku hanya ingin memberitahumu kalau aku sudah dapat pekerjaan.”“Oh, begitu. Di mana?”“Rumah sakit.”Blue mengernyitkan dahinya. “Kalau aku ingat-ingat lagi, sepertinya kau ini lulusan akuntansi. Kenapa pula mencari lowongan pekerjaan di rumah sakit?”Nala menghela nafas. Ia berjalan mendekati tempat tidur Blue dan menepuk-nepuknya sebentar sebelum melemparkan dirinya. “Kukira, menjadi teller bank tak mungkin bisa membuatku bertemu dengan Bram.”“Ya, menurutku memang paling benar adalah menjadi pegawai pelayanan masyarakat.” sahut Blue, sambil membenarkan pakaian Nala yang tersingkap. Secara naluriah, Blue selalu melindungi Nala karena bagaimanapun ia adalah kakak iparnya.“Menurutmu, Bram masih hidup kan?”Nala kesulitan menelan ludahnya. Mulutnya tercekat. Dalam 10 tahun terakhir, ia, Blue, dan Bayu, sudah berkelana ke berbagai kota yang memungkinkan untuk mencari Bram. Mereka berpindah dari satu hotel ke hotel yang lain. Sampai sekarang pun, mereka tak menemui apapun. Mereka hanya menjejaki kota yang dulunya pernah ditempati Bram menyelidiki Elang Grup.“Setidaknya, kalaupun memang sudah tidak ada harapan, aku ingin tahu tubuhnya berada dimana.” lanjut Nala.Blue mendesah. Ia merasa bersalah. Seharusnya, sepuluh tahun yang lalu, ia bisa mencegah kakaknya untuk pergi. Namun ia tak pernah bisa melawan sifat keras kepala kakaknya. Karena kepengecutannya itu, kakaknya pergi tanpa kabar.“Tapi, instantimu itu.. kaya juga, ya.” ujar Nala.“Hm?”“Sampai saat ini, kita tak pernah kekurangan. Selalu ada pendapatan bunga dari obligasi misterius. Seingatku, aku tak pernah membeli saham, surat hutang, bahkan reksadana sekalipun.”Blue menarik bibirnya. Senyum simpul yang sama persis seperti milik Bram. Jantung Nala berdebar kencang. Ia sangat merindukan suaminya.“Negara ini susah bangkrut. Ada banyak oligarki yang membiayainya. Kalau negara ini kacau, tak mungkin bisnis mereka bisa berjalan. Kau tenang saja.” Blue mengacak-acak rambut Nala.Entah setan apa yang merasukinya, Nala menarik tangan Blue sampai wajah mereka berdekatan. Ia mengecup bibir Blue. Nala terlalu merindukan suaminya, sampai menjadi gila dan menganggap pria di depannya ini adalah Bram.Blue memberontak. Tak seharusnya Nala mencium adik iparnya. Kalau Bram masih hidup, bagaimana mereka bisa menjelaskan situasi ini?Namun, karena Nala menciumnya cukup erat, Blue pun membalas ciuman itu. Mereka berguling dan sempat menjatuhkan setumpuk majalah dan secangkir kopi di samping tempat tidur. Suara desahan mereka memecah kesunyian.Nala sudah mulai merasakan desir darahnya mengalir hangat karena nafsunya yang membara, sampai tiba-tiba Blue menyentuh bagian intimnya. Nala seolah terjaga.“Blue..” Nala melepaskan ciumannya. “Maafkan aku..”Blue menatap Nala lekat-lekat sebelum akhirnya tersenyum. Ia mencium kening Nala lembut. “Aku tahu. Toh, kau juga bukan tipeku.”Nala menendang selangkangan Blue pelan, yang membuat Blue mengerang. Mereka tertawa kecil setelahnya.“Anu, apa aku menganggu?” suara anak laki-laki tiba-tiba mengalihkan perhatian mereka.Nala dan Blue kompak menoleh. Tampak sosok anak berusia 10 tahun mengenakan piyama kartun sambil membawa sebuah bantal, berdiri bengong menghadapi ibu dan pamannya sedang berpelukan di atas tempat tidur.Dan anak kecil berusia 10 tahun itu adalah... Bayu, anak Bram dan Nala.Blue dan Nala kelabakan. Mereka tak pernah menyangka akan bercumbu di depan seorang anak berusia 10 tahun. Apalagi Nala. Fakta kalau ia adalah seorang ibu, sangat mengganggunya. Padahal, mereka berpindah-pindah karena Nala sedang mencari kemana suaminya pergi.“Anu, sebenarnya..”“Tidurku terganggu karena suara pintu yang dibanting.” Bayu memotong kata-kata Nala. Ia tak tega melihat ibunya berusaha mencari alasan. “Sudahlah, aku mengerti apa yang terjadi.”“Kau mengerti apa yang terjadi?” tanya Nala, heran. Bagaimana mungkin seorang anak imut-imut bisa terlihat tenang saat melihat dua orang yang seharusnya tidak bercumbu malah tertangkap basah.Blue mendengus. “Kau tidak tahu kalau Bayu ini unik?”Bayu mengangkat bahunya, seolah tak peduli. Ia berjalan mendekati tempat tidur, mencari celah di antara Nala dan Blue. Ia merapikan bantalnya, sebelum menidurinya. “Jadi, Bu. Kau bekerja dimana?”“Ehem,” Nala berdeham, berusaha mengharg
Bayu sudah terlelap saat senja datang. Nala menghisap rokoknya di balkon kamar sambil melihat lampu kota bertebaran. Bau lembab mulai memasuki paru-parunya, berlomba dengan asap rokok yang menusuk. Angin menerbangkan rambutnya. Nala berusaha tak memikirkan apapun. Ia berjuang keras untuk menyuruh otaknya beristirahat. Ada banyak hal yang sudah terjadi belakangan ini, membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam semalam, sepuluh tahun yang lalu.Nala berdiri anggun, memantapkan posisi dan bernafas tanpa suara, menikmati petang di ibukota. Meskipun dalam kondisi tenang, benaknya tetap berteriak mengagungkan sebuah nama.Bram.“Nala..”Nala menoleh. Blue membawa dua cangkir teh panas dan menaruhnya di meja terdekat. Ia menyalakan rokoknya, dan berjalan ke tempat Nala berdiri.“Hari ini makan malamnya apa?”“Sepertinya menu khususnya kepiting. Aku alergi makanan laut, jadi kita pesan layanan kamar saja.”Sebenarnya, Nala tahu kalau hotel pasti sudah menyiapkan menu
“Hoahmm..”Nala meregangkan tubuhnya. Tangannya mengenai kepala Bayu yang sudah lebih dulu terjaga dan memilih membaca novel detektif.“Pagi sayangnya akuuu..” Nala menarik pipi Bayu dan mengecupnya.Bayu menarik diri. “Ibu bau alkohol.”Mendengar hal itu, Nala menghembuskan nafas ke arah telapak tangannya. “Ha.. Ha.. Wah, iya. Ibu semalem mabuk, ya?”“Kayaknya, sih, begitu.”Nala menekan kepalanya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang terlupakan, entah apa. “Blue mana?”“Paman sudah pergi daritadi.”“Eh? Kemana?”Bayu mengangkat bahunya. “Mencari hotel baru, mungkin. Atau ke klub.”Nala tertawa. “Mana ada klub yang buka pagi-pagi?”Bayu melirik ibunya yang tampaknya masih setengah terjaga. Bayu juga membantu Nala membersihkan kotoran di kedua matanya. “Aku tidak bilang paman pergi pagi-pagi. Kurasa dia belum pulang sejak kemarin.”“Kenapa?”“Karena kamar mandinya kering saat aku pakai subuh tadi, dan paman sudah tidak ada. Kupikir, antara dia pergi buru-buru tanpa mandi, atau memang bel
Dalam waktu kurang dari seminggu, Nala, Bayu, dan Blue, sudah menemukan rumah layak huni yang dekat dengan rumah sakit tempat Nala bekerja. Mereka memilih perumahan yang tidak terlalu ramai, dan dekat dengan fasilitas umum agar tidak terlalu sering keluar lingkungan. Rumah mereka dua tingkat, dengan bagasi dan taman lebar yang menjadi satu dan memiliki banyak kaca di bagian belakang. Dindingnya cukup tinggi, membuat suasana di dalam rumah cukup sejuk, didukung dengan sirkulasi udara yang bagus. Lantai bawah rumah ini terdiri dari ruang tamu yang juga bisa menjadi ruang keluarga, kamar mandi kecil, dan dapur. Sedangkan di lantai atas terdapat satu kamar kecil, satu kamar mandi dan satu kamar besar dengan kamar mandi dalam. Luas tanahnya tak begitu besar, sekitar separuh luas tanah rumah Nala dan Bram sepuluh tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kota tempat tinggal Nala dulu memang kota kecil yang harga tanahnya cukup murah. Sedangkan kota ini adalah ibukota negara, ya
Nala, Bayu, dan Blue, duduk melingkar di atas tempat tidur. Bayu memeluk boneka serigala kecilnya. Kata Nala, itu satu-satunya benda yang dibelikan ayahnya, Bram, yang bisa dibawa. Mereka bertiga tampak serius menyusun rencana, membahas soal peran apa yang akan mereka lakukan: menjadi ‘keluarga’ sungguhan.“Kapan kau mulai masuk kerja?” tanya Blue.Nala menempelkan telunjuknya ke dagu, berpikir. “Kupikir mulai minggu depan. Pembukaan rumah sakit itu sendiri masih satu bulan lagi. Sepertinya seluruh karyawan masuk lebih awal untuk mempersiapkan segala hal sebelum rumah sakit benar-benar menerima pasien.”“Sejauh yang kau tahu, rumah sakit ini punya berapa poli?”Nala menghitung dengan jari-jarinya. “Seingatku, aku melihat ada tujuh papan nama poli. Kandungan, bedah, penyakit gigi dan mulut, orthopaedi, paru, penyakit dalam, dan satu papan terbalik jadi aku tidak tahu apa yang tertulis.”“Poli anak.” sahut Bayu. “Poli kandungan selalu dibar
Saat ini, Nala sedang mengendarai sebuah motor matic hitam yang sudah dimodifikasi sehingga suara knalpot dan mesinnya tak terdengar. Sebuah bagasi juga sudah dipasang di belakang jok untuk memudahkannya membawa beberapa barang penting, misalnya saja sebuah senapan. Kecepatannya, setara dengan mesin baru yang sanggup melaju kencang 3 detik setelah mesin dinyalakan. Sedangkan Blue mengendarai sebuah mobil SUV tua 4 pintu berwarna abu gelap, dengan ban yang tinggi. Meskipun keluaran lama, interior mobil tersebut sudah dimutakhirkan dengan teknologi terbaru.Klik!Blue sudah menghubungkan sambungan telepon satelit dengan Bayu dan Nala ke mobilnya. Ia juga sudah menyalakan layar, yang terhubung dengan tablet yang diutak-atik Bayu.“Roger!” seru Blue. “Sudah kau dapatkan plat nomernya?”“Roger!” Bayu, dikelilingi banyak orang, memantau CCTV. “JK 190 L. Pelaku sepertinya sudah keluar dari kompleks.”“Roger!” seru Blue dan Nala, bergantian.Bayu mengutak-atik tabletnya. Tampak ia sudah bisa
Bayu dan Aldo menyambut Nala dan Blue. Aldo sudah tampak riang. Ia nyaris melompat ke pelukan Blue, kalau tidak ditarik oleh Bayu. Tampaknya, suasana penggrebekan penculik menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya.“Ibu!” seru Bayu. Ia berlari menuju pelukan Nala. Nala bergeming, karena tidak biasanya Bayu bersikap manja. Tapi, ia segera sadar kalau gerak-geriknya sekarang sudah dipantau oleh beberapa pasang mata.“Nala..” kata Sarah. Ia tampak takjub, setengah tak percaya. “Kau tidak apa-apa, kan?”“Kurasa begitu..”Blue berdeham, seolah memberi isyarat kepada Nala agar bersikap sok lemah dan tak berdaya.Nala berhasil menangkap maksud terselubung Blue. “Eh, oh.. ya..” Ia menekan dahinya dan berjalan agak sempoyongan. Bayu memegangi Nala setengah hati, karena tahu ibunya payah saat diminta berakting. “A.. aku agak dehidrasi..”Beberapa orang mengerubungi Nala, namun dengan cekatan, Blue mengambil alih. Ia menyandarkan ke
Ini adalah hari pertama Bayu menginjakkan kaki di sekolah pertamanya. Ia, bersama Nala, tidak ada yang jago berakting seperti Blue. Setidaknya, Bayu masih jago menjaga mimik wajahnya agar tidak terdeteksi lawan bicaranya. Kalau sedang dalam keadaan bermain peran, Bayu tidak banyak bicara dan bersikap manja. Ia menggelayutkan badannya ke lengan Nala, seperti yang ia lakukan sekarang.Bayu sudah memakai seragam merah putih yang sudah dicarikan Blue beberapa hari yang lalu. Karena tubuh Bayu agak tinggi dari siswa kebanyakan, Blue memilih menjahitkannya ke seorang kenalan. Saat ini, Bayu tampak seperti bocah SMP yang tinggal kelas dan terpaksa mengulang kelas 4 SD lagi tahun ini.“Apa kurikulum anak SD sekarang?” bisik Nala.“Kalau aku tidak salah ingat, untuk matematika masih membahas KPK dan FPB. Operasi hitung campuran, mengukur sudut sederhana dan pecahan.”Nala terganggu dengan kata ‘sederhana’ yang diucapkan oleh Bayu. “Ibu tahu Bayu sudah meng