Semilir angin membangunkan tidur Bayu. Bau daging panggang menyambutnya. Ia bertanya-tanya sedang berada di mana, dan merunut kejadian yang terjadi belakangan di otaknya. Setelah beberapa saat, Bayu sadar kalau ia sedang berada di sofa ruang tamu, masih lengkap dengan seragam yang belum diganti.
“Paman..” erangnya. Bocah itu berjalan limbung ke dapur, dan duduk di kursi makan.Blue yang sedang memasak, teralihkan. Senyumnya mengembang.“Halo, jagoan. Nyenyak tidurnya?”“Sudah berapa lama aku tidur?”Blue terdiam, mencoba mengakurasi waktu yang ia butuhkan untuk membawa Bayu pulang ke rumah.“Empat jam lebih sedikit. Atau lebih banyak, aku tak tahu. Tidak apa-apa, sekarang sudah aman.”“Uhh..”“Lihat! Pamanmu yang keren dan rupawan ini sedang memanggang daging sapi. Kau pasti suka. Tapi aku kurang baik dalam membuat pelengkap. Kita pakai saos kemasan saja, oke? Ada keripik kentang yang masih utuh. Nanti kuambilkaJantung Nala berdegup kencang. Perasaannya campur aduk dalam ketidakpastian. Ia menapaki setiap jengkal apartemen Sky dengan hati-hati dan gemetar. Tangannya menyentuh dinding, jaga-jaga kalau tubuhnya tak mampu membendung hasrat yang menggebu-gebu.Matanya melihat-lihat sekumpulan pot kecil berisi kaktus mini. Sebuah penyiram air berbentuk gajah yang mungil, berada di dekatnya.“Kau.. kau berkebun?” tanya Nala, sementara Sky sedang menyeduh seteko kopi.“Kau tidak bisa menyebut seseorang yang memelihara kaktus sebagai tukang kebun, sayang.”Bibir Nala berkedut. Ia masih tak terbiasa mendengarkan suaminya berbicara centil kepadanya. Bahkan, apa yang mereka alami hari ini rasanya bagaikan mimpi yang bisa sewaktu-waktu dibuyarkan oleh satu sentakan brengsek seseorang yang dengan kasar membangunkannya dari tidur siang.Namun, tentu saja Nala berdoa dengan sungguh-sungguh agar semua yang ia alami memang benar-benar nyata. Semoga yang sedang t
Nala adalah orang pertama yang menggeliat begitu menangkap bayangan seseorang mematung memperhatikan dirinya telanjang bulat di bawah selimut bersama Sky. Matanya menyipit, mencoba mengolah informasi di tengah kegelapan. Samar-samar cahaya lampu ruang tengah, menyeruak memasuki kamar.Bayangan itu berjalan menjauh. Bayangan seorang wanita berambut panjang dan memakai stileto.Nala memekik, membangunkan Sky yang masih terlelap.“Ada apa?” tanya pria itu, menenangkan Nala. “Kau ketakutan.”“Orang..” Nala terbata-bata. “Aku lihat ada perempuan..”Sky mengerjapkan matanya sekali, dan tersenyum tipis. “Tak usah kau hiraukan.” Ia ambruk lagi, masuk ke dalam selimut yang hangat. “Bukan siapa-siapa.”Sky menjerit kecil tatkala pahanya dicubit. Nala membelalakkan matanya jengkel sebelum menarik selimut, membuat tubuh Sky terpampang jelas. Wajah wanita itu memerah.Dililitkannya selimut itu mengitari tubuh, dan berjalan hati-hati ke luar kamar. Suara televisi menyambutnya yang masih berusaha ker
Anya menggerakkan kakinya sambil menunggu menu utama dihidangkan. Semangkuk makanan pembuka, ia pandangi lekat-lekat. Hari ini ia lapar, namun tidak berselera sama sekali. Selalu seperti itu saat sedang baru menemukan kesenangan baru.“Ada apa, sayang?” tanya seorang wanita paruh baya bertubuh tinggi dan langsing yang duduk di seberang Anya. Rambutnya diatur rapi dan ditata. Wajahnya tegas dengan sorot mata yang tajam memikat. Senyumnya samar, menyiratkan kekuasaan dan kepuasan terpendam.“Ma, aku menyukai seseorang.” Anya menjawab malu-malu. Hartono yang mendengar pernyataan anak gadis semata wayangnya itu tak terlalu menggubris. Sudah beberapa kali ia mendengar anaknya menyukai pria berbeda dalam beberapa minggu terakhir. Pria itu sendiri terkejut saat George bisa dengan mudah berhubungan lebih dari dua bulan lamanya dengan Anya.“Oh? Apakah dia pria kaya?” sebaliknya, ibu dari gadis itu menampakkan rasa tertariknya yang mendalam. Saat itu, men
Nala memutuskan menginap di apartemen Sky. Semalaman mereka berdua menelepon Bayu dan dengan heboh berteriak-teriak kesenangan. Mereka bertiga, berempat dengan Blue yang sesekali menyahut, saling berebutan menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Blue sempat memaki Sky yang dengan tega membuat Bayu bertemu wanita aneh berpawakan layaknya medusa tanpa perlindungan apapun. Nala juga ikut sepakat.“Ah, tapi kapan lagi aku bisa melakukan hal menegangkan seperti itu?” potong Bayu, tak ingin masalah berlarut-larut.“Ya, memangnya apa kemungkinan terburuk yang bisa dilakukan oleh kepala sekolah di tempat ia sedang bekerja? Reputasi SD Matahari yang dibangun dan citranya yang sudah sedemikian rupa, tak akan serta merta dicoreng begitu saja, kan?”Nala mengerucutkan bibir saat mendengar penjelasan Sky yang memang masuk akal. Sky mengecup bibir itu.“Hei, ada anak kecil di sini. Kami bisa mendengar suara tak senonoh, ngomong-ngomong,” tegur Blue.
“Ini pasien mana?” tanya Nala, sambil mengacungkan selembar formulir pemeriksaan ke arah May.“Rawat inap,” jawab May. Suaranya teredam di balik masker yang ia kenakan. “Oh, tunggu. Tadi aku lupa jadinya masuk maternal atau umum.”“Pasiennya ibu hamil?”May tak sempat menjawab. Ia sudah buru-buru pergi mendengar suara statis yang dikeluarkan alat di ruang pemeriksaan.“Ya, akan kucek sendiri kalau begitu.” kata Nala, pada diri sendiri. Wanita itu menarik gagang telepon dan menekan tombol.“Ya, IGD.” suara yang semalam membuat Nala terlelap, menjawab panggilan. Walaupun secara resmi pria itu adalah suaminya, Nala masih belum merasa peristiwa yang terjadi nyata betulan.“Anu, dokter.” Nala gelagapan. “Pasien atas nama Nyonya Lizzie, rekam medis 000127, masuk rawat inap mana?”“Diagnosa yang ditegakkan hemoroid dan dispepsia sindrom. Masuk umum, ya.”“Baik, dok. Terimakasih.”“Oh, selain itu..” Ferdian men
Hari ini, seperti yang sudah diputuskan, Blue berkunjung ke sekolah Bayu, SD Matahari. Tempat paling mencurigakan yang sedang diselidiki oleh Rose, dan yang kemungkinan besar memang menyimpan sejuta misteri terkait organisasi terselubung milik Elang Group. Meskipun Blue melakukannya setengah hati, namun ia tetap totalitas menyamar menjadi kakaknya. Rambutnya mengeriting sempurna dari hari-hari sebelumnya karena Sky sudah membelikannya alat baru yang lebih modis dan canggih. Bayu bahkan memuji ketampanannya yang jarang bocah itu ucapkan. Blue berjalan sambil membusungkan dada. Tentu saja, kepercayaannya selalu penuh di setiap harinya. Hari ini, karena rambut yang oke, perasaan itu seolah bertambah berkali-kali lipat.“Pa-Ayah, kau tidak apa-apa?” Bayu melihat pamannya yang berbunga-bunga tampak aneh. Blue yang hobi tersenyum dan bersikap serampangan sudah menjadi hal yang biasa. Namun, aura yang pamannya keluarkan hari ini amat sangat berbeda. Ramah yang
Bayu memutar-mutar pensilnya yang ringan. Bola matanya memperhatikan tugas yang ditinggalkan seorang guru yang merasa sudah cukup memberikan materi. Seluruh kelas ramai dengan bisik-bisik, berniat menyelesaikan tugas yang diberikan sebelum batas waktu yang ditentukan.Bayu tak merasa kesulitan sama sekali. Ia malah bisa menyelesaikan soal-soal itu hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Hanya saja, otaknya tak membiarkan tubuhnya bekerja. Jiwanya seolah melayang menuju tempat yang jauh, berusaha mengintip ke ruangan tempat Blue sedang menghadapi Bu Anggi. Bocah itu agak ngeri mengetahui kalau-kalau pamannya malah merayu kepala sekolahnya dan mereka bercinta di sana.Membayangkan gambaran itu, perut Bayu menegang. Seluruh sarapannya pagi ini, seolah berebut melompat keluar.“Kau tidak apa-apa?” Joana memperhatikan Bayu sedari tadi dari depan. “Wajahmu pucat dan terlihat.. kau mau muntah ya?”“Kau mual? Belum makan kah?” Aldo yang mendengar den
“Aku pulang..”Nala membenamkan tubuhnya ke atas sofa. Baju ganti yang dibawakan Rose tadi pagi masih baru. Terasa gatal bagi kulit Nala yang sensitif. Namun, wanita itu tetap berbaring sambil meluruskan kaki.Blue mendekatinya. Pria itu mengenakan celemek dan berbau enak. Dari penampakannya bisa diketahui kalau ia sedang memasak.“Halo, sayang..” sapa Blue. Ia meraih tas Nala yang tergeletak di atas lantai dan meletakkannya di meja. “Tak kusangka kau masih sudi pulang ke rumah kita.” sindirnya.“Mau bagaimana lagi? Yang orang lain tahu kau lah suamiku. Akan jadi masalah kalau ada yang mendapati aku serumah dengan Sky,” jawab Nala. Ia masih tidak berniat merubah posisinya yang terlentang.Blue menelan ludah. Posisi Nala membuat jantungnya berdebar. “Sky? Sudah berdamai kalau Bram hanyalah persona buatan?”“Ya, mau bagaimana lagi..”Sebelum pergi, Blue memuaskan dahaga keingintahuannya. Ia menatap kakak iparnya itu lekat-