Share

BAGIAN 2 ~ MEMULAI DARI AWAL

Aldo Giovardo

Sabtu, 22 Mei [20.17 AM]

Aku menatap wajah istriku yang terlihat lebih segar setelah mandi. Aku sudah selesai memasak, makanan yang biasa dimasak untukku dan juga kesukaan Nisa, istri tersayangku. Aku langsung mengambil alih handuk yang masih berada di kepala Nisa dan mengeringkan rambut wanitaku itu. Jujur, saat memasak tadi. Aku lagi-lagi harus meneteskan air mata. Jika aku tidak mandul, mungkin, sudah ada anak kecil yang memanggilku dari balik pintu dengan sebutan papa. Sudah ada yang memanggil Jenisa dengan mama. Aku merasa terpukul saat melihat istriku juga terpukul dengan fakta bahwa aku tidak subur. Kami, sudah melakukan berbagai macam pengobatan. Dan sudah berjalan selama tiga tahun, namun tidak ada hasil sama-sekali. Aku sudah tidak tahan untuk melihat wajah istriku yang terkadang sedih. Sehingga, dengan berat hati. Aku memutuskan untuk cerai dari Nisa tadi malam. Saat mendengarNya menangis di kamar, aku merasa menjadi lelaki paling bodoh di muka bumi ini. Aku yang sudah mati-matian mengejarnya, berjanji akan membahagiakannya. Namun aku juga yang ingin menceraikannya. Bukan, bukan karena cintaku sudah berkurang pada Nisa. Tapi, karena aku ingin Nisa bahagia. Aku ingin ada sosok anak kecil yang memanggilnya mama suatu saat jika bertemu dengan pria yang tidak catat—sepertiku.

Tangan Nisa menyentuhku, membuatku sadar bahwa aku melamun lagi. Aku menurunkan kepalaku, lalu mengecup kening Nisa. “Kau sudah harum”

“Apaan sih Al, geli deh ahahahah!”

Nisa sangat cantik ketika tersenyum, aku tidak berbohong. Wajahnya memancarkan rona tersendiri ketika tersenyum dan bahagia. Dan aku, aku ingin kecantikan Nisa tidak pernah pudar dari pandangan orang-orang. Aku ingin Nisa—istriku—akan tetap sama menjadi seperti dulu. Cantik dan memikat.

“Aku memasak ayam bakar kesukaanmu sayang, makanlah. Aku memasaknya dengan penuh kasih sayang!” Aku menggoda Nisa. Istriku ini sangat imut jika sedang tersipu. Namun, bukannya tersipu seperti biasanya. Mata Nisa malah berkaca-kaca dan lekas memelukku erat.

“29 hari lagi Al, aku ingin kau tetap seperti ini!” Guman Nisa

Nisa melepaskan pelukannya dariku dan memakan hidangan di atas meja. Aku terdiam di tempat, 29 hari lagi, tidak, aku pasti akan berusaha yang terbaik. Aku ingin setelahnya—setelah Nisa tidak menyandang gelar Giovardo--ia bisa bahagia setiap hari meski dengan nama belakang yang berbeda dan baru nantinya. Tidak hanya 30 hari, tetapi sampai akhir hayat Nisa. Itulah alasan, aku mau menceraikan Nisa. Meskipun, aku tidak tau, apa yang akan terjadi padaku setelah benar-benar cerai dengan Nisa. Mungkin, aku akan mengurung diri setiap hari dikamar dan berkutat dengan kerjaanku. Seperti yang aku lakukan 3 tahun terakhir ini.

Nisa dan aku sudah selesai makan, kami langsung keluar dari apartemen yang kami tempati. Lalu memasuki mobilku, aku sudah bertekat bahwa dalam 30 hari ini. Aku yang akan terus mengantar dan menjemput Nisa pulang pergi kerja. Kami diam di dalam mobil, sesekali aku melirik Nisa yang terlihat melamun. Aku tidak mengganggunya, aku tidak ingin melukai hati Nisa lebih dalam lagi. Bahkan, aku mungkin sudah menjadi lelaki berengsek di dalam hidup Nisa.

Kami sudah sampai di kantor.Sejujurnya,Nisa juga bekerja di perusahaan yang aku pimpin. Semua juga tau bahwa Jenisa adalah istri sahku satu-satunya. Nisa bekerja di bagian General Manager. Jabatan penting yang ada di perusahaan ini. Nisa tidak mendapatkan jabatan itu dengan embel-embel sebagai istri dari CEO di perusahaan ini. Tapi karena Nisa, gadis itu adalah gadis yang sangat sempurna dan sangat pintar. Beberapa kali juga Nisa menyelamatkan perusahaan dari masa kritis. Semua juga tau bahwa Nisa adalah otak dari perusahaan.

Aku jadi teringat dengan awal mula aku dan Nisa bertemu dulu. Saat aku mengambil master (s2) di UK -united Kingdom-. Saat itu, pertemuan kami berdua adalah ketika moment wisuda. Aku tidak sengaja menabrak Nisa, gadis itu jatuh dan baju wisudanya kotor. Aku jadi merasa sangat bersalah, meskipun Nisa bilang dia tidak apa-apa dan hanya tersenyum padaku saat itu. Senyum yang sangat memikat dan membuatku jatuh hati pada pandangan pertama denganNya. Setelah itu, kami hilang kontak dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku juga sudah kembali dari UK dan menjadi penerus Erick—ayahku—yang memang sudah tua. Saat itu, jabatan general manager memang sedang kosong karena pendahulunya lagi-lagi melakukan penggelapan dana. Aku langsung memecatnya dan meminta pengganti. Dan tidak sengaja, dari beberapa lamaran CV yang datang untuk jabatan itu. Wajah Jenisa ada di antaranya, aku juga tidak langsung menerimanya karena hal itu. Tapi karena memang Jenisalah yang terbaik dari para pendaftar dengan jabatan itu. Bahkan, gadis itu juga sedikit melupakanku. Namun karena aku menjaga hubungan dengannya, aku jadi semakin sering bertemu dengannya setelah dia diterima. Mengerjakan proyek bersama hingga dia baru sadar bahwa akulah lelaki yang mengotori bajunya ketika wisuda. Aku meminta maaf padanya saat itu, tapi seperti dugaanku. Gadis itu memang adalah gadis yang cukup lembut dan sangat perhatian. Hubunganku dan Nisa semakin dekat, hingga dengan keberanian apa. Aku memintanya untuk menjadi pacarku. Sekaligus menjadi cinta pertamaku. Benar, yang menjadi istriku saat ini adalah juga cinta pertamaku. Sejak awal, aku sudah yakin bahwa Jenisalah takdirku. Gadis ini adalah wanita paling hebat yang pernah aku temui, selalu mendukung satu sama lain dan tetap sopan meski terkadang Nisa akan bermanja-manja padaku. Dan tepat beberapa tahun lalu, aku memberanikan diri untuk menemui orang tua Nisa tanpa sepengetahuan gadis itu. Meluruskan niatku, bahwa aku yakin ingin menikahi Nisa. Dan membuatnya menjadi ibu dari anak-anakku. Meski saat melamar Nisa, wajahku benar-benar sangat merah karena gugup. Aku bukanlah tipe orang yang percaya diri, selalu banyak keraguan di dalam hidupku. Dan ketika Nisa tersenyum padaku saat itu, aku percaya diri untuk menghadap Ferdinant—ayah Nisa sekaligus mertuaku—dan percayalah. Hanya karena Nisa saat itu tersenyum padaku, niatku tidak terlalu dipersulit. Ayah Nisa langsung setuju,bahkan sebelum tau apa pekerjaanku.

Dan saat aku tidak bisa memberikan anak pada Nisa, aku merasa bahwa aku adalah lelaki yang tidak pantas untuknya.

“Al? Kenapa melamun hmm?”

“Ahh, tidak!” Aku buru-buru memalingkan wajah saat sadar bahwa ada air mata yang keluar dari sudut mataku.

Namun, aku tidak bisa menyembunyikannya dari Nisa. Gadis itu membingkai wajahku dan menghapus air mataku yang lagi-lagi keluar. Aku mencium kening Nisa, lalu tersenyum padanya. “Maaf, aku hanya teringat padamu ketika melihat gedung kantor ini. Kita bahkan tidak pernah lagi berangkat kerja bersama sejak 3 tahun terakhi ini! Maafkan aku sayang, aku tidak memikirkan perasaanmu saat itu!” Aku membawa Nisa kedalam pelukanku. Gadis itu hanya tertawa sembari melepaskan pelukanku.

“Kita masih punya 29 hari lagi Al, kau akan menjadi supir pribadiku untuk satu bulan ini. Ayo turun!”

Aku dan Nisa turun dari mobil, lalu memasuki lobby perusahaan. Semua orang terlihat sedang mencuri tatapan ke arahku dan juga Nisa. Aku tau mereka bertanya-tanya apa yang terjadi pada kami berdua saat ini. Dan aku juga yakin kami akan menjadi bahan gibahan bagi mereka lagi. Aku tidak peduli dan tetap menggandeng tangan Nisa menuju lift.

Aku langsung memencet lantai 45, gedung paling tinggi sekaligus menjadi tempat kerjaku dan Jenisa. Lokasi gedung itu hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Aku dan Nisa bekerja di lantai gedung yang sama, meski berbeda ruangan. Namun semua aktivitas mereka selalu bisa dipantau olehku. Aku juga cemburu jika Nisa dekat dengan laki-laki lain. Dan kali ini, mungkin aku harus membiasakan hal itu.

“Sudah sampai, tidak ingin keluar? Kau melamun lagi Al!”

Ah, aku lagi-lagi melamun. Aku tersenyum menatap Nisa yang selalu memperhatikanku. Aku mengecup keningnya lalu memasuki ruangan kerja kami. Aku mengantar Key lebih dulu di tempat duduknya, membuat beberapa orang yang juga bekerja di lantai ini menatap kearah kami. Aku tidak peduli, sekalipun Nisa juga terlihat tidak nyaman. Aku masih berdiri di depan meja Nisa, “Jika kau lelah. Kau bisa istirahat di ruanganku sayang. Aku kerja dulu ya, semangat!”

“Iya Al!”

“Tidak usah malu, mereka itu hanya iri saja karena jomblo!” Aku tidak berbalik badan saat mengatakan itu. Tapi aku yakin ekspresi mereka—teman sekerja Nisa—pasti sedang menatapku bingung. Aku menaikkan bahu lalu pergi dengan mencuri kecup di kening Nisa lagi.

****

Wulan pov

Aku tidak salah lihat ternyata, aku hanya tersenyum dalam hati saat menatap kedekatan dari Aldo—sahabat masa kecilku—dengan wanita penggoda seperti Jenisa. Jujur, aku tidak menyukai gadis itu. Bahkan bisa dikatakan aku sangat membencinya. Kenapa? Karena gadis itu, Aldo tidak menerimaku dan menolakku. Aku bersumpah akan membuat gadis itu menderita. Aku memang baru sampai di lantai 45, dan ketika baru sampai di lobby tadi. Aku sudah mendegar semua karyawan bawah menggosip tentang Aldo dan Jenisa. Aku bahkan mendengar mereka mengatakan bahwa Aldo terlihat sangat mesra dengan jalang itu. Dan saat ini, aku benar-benar tidak tau apa yang terjadi.

Aku berjalan, sembari membawa map menuju meja kerja Jenisa. Bruk—aku melemparkan sebuah map di atas mejanya. Gadis itu, tidak hanya Jenisa, tapi juga dengan Josua yang duduk bersebelahan dengan Jenisa juga menatapku.

“Apa?” Aku melotot menatap Josua, lelaki itu langsung mengalihkan perhatiannya dariku. Aku lalu menatap Jenisa.

“Ini ada kerjaan yang harus selesai di jam 1 siang nanti. Ingat jangan sampai telat, setelah itu kau juga harus rapat nanti sore dengan perusahaan J-Group” Aku menatap Jenisa tidak berekspresi. Melihat wajah wanita penggoda ini masih membuatku ingin menceburkannya ke dalam sungai.

“Baik”

Aku langsung pergi melengos memasuki ruangan Aldo. Aku adalah sekretaris lelaki itu, tapi sebelum aku masuk. Aku berputar dan menuju dapur yang ada di lantai 45 ini. Aku mengambil segelas kopi, karena biasanya Aldo selalu minum kopi di pagi hari. Aku mengetok pintu ruangan kerja Aldo, lalu menatap lelaki itu yang sudah bekerja pagi-pagi begini. Aku meletakkan kopi itu di atas meja, dia senyum padaku. Apa yang terjadi? Apa rumor itu benar?

“Aku rasa kedepannya kau tidak perlu membuat kopi lagi Wulan. Aku sudah bisa tidur nyeyak tadi malam bersama dengan istriku!”

Deg, aku langsung menatap Aldo dengan kening berkerut. Sejak kapan? Kenapa tiba-tiba sekali Aldo ini seperti ini? Aku duduk di depan meja Aldo. Sebagai temannya sejak kecil, Aldo juga sudah paham bahwa wajahku saat ini sedang meminta penjelasan. “Ada apa dengan kalian? Jangan bilang kau—“

“Stt, aku mengikuti saranmu! Aku rasa dan setelah aku pikir-pikir, saranmu ada benarnya juga!”

Aku langsung membulatkan mataku, jadi ini asalan kenapa Aldo dan Nisa terlihat sangat harmonis pagi ini. Tapi kenapa jadi seperti ini, aku merasa ada yang salah. Seharusnya gadis itu terlihat sedih, atau Aldo terpukul. Aku tau Aldo hanya mencintai Jenisa seorang, bisa dibilang bahwa gadis itu adalah cinta pertama Aldo. Gadis itu adalah prioritas bagi Aldo, dan kenyataan itu membuatku terpukul dan tidak terima.

“Tapi, kenapa kau dan dia baik-baik saja?”

Ups, aku keceplosan di depan Aldo. Aku membuang muka lebih dulu saat Aldo menatapku dengan tatapan bertanya. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” Pertanyaan Aldo benar-benar membuatku tidak bisa berkata apa-apa.

“Bukan begitu Aldo, aku jelas tidak senang jika kau mengukuti saranku untuk cerai dari istrimu itu. Tapi, kau jelas tau bahwa semua pasangan juga akan merasa sedih jika akan bercerai Al. Kenapa kau dan Nisa malah terlihat baik-baik saja? Apa kau melukai dia dan mengancamnya?” Aku membela diri, dan bahkan membela Nisa. Untuk berkamuflase lebih tepatnya. Dan terlihat berhasil, Aldo sudah merubah ekspresi wajahnya menjadi sedih. “Kau kenapa lagi? Tidak cukupkah kau selalu memasang wajah seperti ini Al? Kau ini sangat tidak tertebak sekali!”

Aldo menghela nafasnya, lalu menatapku. “Aku dan Nisa sudah membuat perjanjian Wulan. Kau tidak perlu tau itu. Tapi aku harus siap bahwa kami akan bercerai pada akhirnya. Kau benar, Nisa tidak bahagia bersamaku. Aku tidak bisa melihatnya seperti ini terus, aku ingin wajah Nisa selalu tersenyum setiap saat. Karena Nisa itu sangat cantik ketika tersenyum!”

Aku hanya tersenyum, “Sudahlah Al, kau tau keluarga Nisa dan keluargamu pun ingin melihat kalian berdua bahagia. Ini adalah jalan terbaik untuk kalian, sudahlah. Minum dulu kopinya agar kau tidak tertekan!”

Aku tersenyum saat Aldo patuh saja, tangan lelaki itu sudah terangkat untuk meminum kopi buatanku. Klik, pintu ruangan Aldo terbuka. Aku menatap Nisa dan juga Josua yang masuk ke ruangan Aldo. Aku langsung menuju mejaku sembari memberikan mereka berdua ruang.

“Jangan minum kopi lagi mas, gak sehat. Pagi-pagi lagi!”

Aku tersendak air minumku sendiri saat tiba-tiba Nisa mencegah Aldo untuk meminum kopi itu. Tidak hanya itu, aku tidak salah dengar bukan? Sejak kapan? Sejak kapan gadis itu memanggil Aldo dengan sebutan Mas? Yang benar saja, itu sangat menggelikan di telinganku saat ini. Namun sayangnya, Aldo malah terlihat salah tingkah dengan sebutan mas dari Nisa. Wanita itu, aku langsung mengalihkan perhatianku dan menatap data-data yang ada di  komputer.

“Kau memanggilku apa hmm?”

“Mas?” Jenisa mengulangi pernyataanya tadi

“Astagah, kau ini kenapa?”

“Sudah ah Al, jangan minum kopi. Gak bagus!”

“Iya-iya, Wulan, tolong buang kopinya!”

Aku berdiri lalu mengambil gelas kopi itu dan menatap Jenisa dengan sedikit kesal. Aku lalu keluar dari ruangan itu dan membuang kopi itu. Karena Nisa, aku harus membelinya lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status