Share

BAGIAN 1 ~ INGIN BICARA

Jenisa,

22 Mei [16.11 PM]

“Nis, aku ingin bicara sama kamu!”

Aku berhenti memotong sayur botol yang ada di atas meja dapur. Lalu menatap Aldo—suamiku—yang entah gerangan apa tiba-tiba mau ikut nongol di dapur bersamaku. Aldo bahkan sudah tak lagi pernah membantuku memasak sejak 3 tahun lalu. Padahal, sebelumnya, Aldo itu sangat rajin membantuku untuk memasak. Bahkan tanpa diperintahpun, Aldo sudah memasak di pagi hari. Dan memintaku untuk tidak memasak malamnya, karena suamiku ini, setiap malamnya akan membawaku makan di restoran yang mewah di tengah kota. Semuanya berubah sejak tiga tahun lalu, lebih tepatnya setelah kami periksa ke dokter. Aku menyadari perubahan besar Aldo, dan aku paham sehingga aku tidak pernah mau menuntut apapun padanya lagi setelah hari itu.

Dan ketika Aldo memintaku untuk berbicara dengan serius. Jantungku seakan tidak siap untuk menerima apa yang ingin Aldo bicarakan padaku. Ada rasa mengganjal setiap hari di dalam hatiku, lebih tepatnya setiap kali aku melihat Aldo ingin menyampaikan sesuatu padaku dan tidak jadi ketika lelaki itu sudah ada dihadapanku. Aku membersihkan tanganku di air kran yang mengalir dari wastafel, lalu duduk di sofa. Bersama dengan Aldo yang duduk di depanku. Kami duduk terpisah, semakin membuat kakiku lemas. Aku menatap wajah Aldo yang terlihat cemas dan kuatir. Membuat benakku bertanya-tanya dan takut akan suatu hal.

“Ada apa Al?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sejak atau pun sebelum kami menikah sekitar 3 tahun lalu, kami memang sudah sepakat untuk memanggil nama saja. Tanpa ada embel-embel apa-apa. Meskipun Aldo sesekali merengek padaku, meminta untuk dipanggil dengan sebutan mas. Geli sih menurutku, selain karena tidak terbiasa. Aku juga tinggal di luar negeri selama menyelesaikan pendidikan S1 dan juga S2ku. Dimana budaya dan kebiasaan yang ada disana sangat bertolak belakang dengan kebudayaan Timur. Dan ketika Aldo tiba-tiba meminta padaku untuk memanggilnya dengan sebutan mas, aku benar-benar sangat risih. Tapi biarlah, apapun pun itu, jika Aldo yang meminta pasti aku akan menyanggupinya.

Aldo tiba-tiba beranjak dari kursinya dan duduk di sebelahku. Wajahnya sudah memerah, dan aku tau, bahwa sepertinya hari itu, hari yang aku paling takutkan juga akan tiba. Aku menguatkan hatiku, untuk tidak terbawa suasana.

“Ini!”

Aku mengerutkan kening saat menatap Aldo menyerahkan sebuah kartu padaku. Ini adalah black card milik Aldo. Aku semakin gugup, aku jelas tau apa yang akan Aldo sampaikan padaku. Aku mengangkat wajahku saat Aldo menggenggam tanganku lembut. Ahh, moment ini. Aku juga ingat pertama kali Aldo yang aslinya adalah pria pemalu. Dengan berani datang ke rumah ibu dan ayahku untuk meminangku. Wajahnya sangat memerah dan membuat ayahku—Ferdinant—tertawa setengah mati.

“Apa maksudnya Al? Jangan bilang kau—“

Aku terdiam saat Aldo menyatukan kedua bibir kami, melumat bibir bawahku. Lalu segera melepasnya. Akupun diam sembari menikmati ciuman singkat itu. Aku lalu menatap Aldo yang menatapku dengan air matanya yang menetes.

“Kita cerai saja Nis, aku sudah tekad dengan kemauanku ini”

Deg—rasa nikmat dari ciuman Aldo tadi langsung menghilang. Aku menguatkan hati, dan juga batinku. Akhirnya, apa yang selama ini aku takutkan terjadi juga. Aku melepaskan tanganku dari Aldo, lalu pergi dari ruang tamu. Memasuki kamar sembari menguncinya dari dalam. Aku lemas, aku tidak bisa menahan berat badanku lagi hingga aku terjatuh di atas ranjang. Air mataku langsung lolos begitu saja, membanjiri bantal yang menjadi tempatku berlindung saat ini. Aku sudah menduganya, gerak gerik Aldo juga selama ini sudah membuatku selalu berjaga-jaga. Dan ternyata benar, ini adalah apa yang membuat suamiku itu gelisah. Aku terisak semakin kuat, sampai rasanya dadaku sangat sakit. Cerai, tidak mungkinkan? Aku tau Aldo itu tidak bisa memberikanku keturunan, aku tau Aldo—suamiku—itu adalah orang yang paling tertekan di sini. Tapi kenapa kami harus bertemu jika pada akhirnya harus berpisah? Isakanku semakin keras, hingga saat aku mendengar ketukan dari luar pintu. Aku sadar, Aldo pasti mendengarku menangis lagi.

Tok..tok…tok

Aku masih diam, tidak beranjak dari kasurku. Berusaha untuk menetralkan suara tangisanku yang hampir meledak.

“Nis, aku ingin bicara sama kamu sayang. Tolong buka pintunya!” Suara Aldo terdengar serak dan pelan, apa jangan-jangan lelaki bodoh itu juga menangis?

Aku masih diam, tidak tau apakah masih sanggup jika harus menatap Aldo atau tidak. Tiga tahun ini, kami sudah melewati berbagai macam pengobatan untuk Aldo. Tapi, aku tidak pernah peduli, dan selalu bersemangat untuk mencobanya dengan Aldo. Aku tidak ingin berpisah dari lelaki itu, meskipun aku tau bahwa aku tidak berdaya di dalam hal ini.

Klik, aku membuka pintu dan menatap Aldo yang ternyata juga sedang menangis. Kan, bagaimana mungkin lelaki ini bisa mengatakan kata cerai, sementara dia juga tidak bisa dengan perpisahan ini? Aku membuka pintu lebar, dan bersamaan dengan Aldo yang langsung memelukku erat. Aldo menangis sembari memelukku erat, dan berakhir dengan aku yang juga ikut menangis.

***

“Sudah bangun?”

Aku tersenyum menatap Aldo yang masih mengerjapkan matanya. Setelah insiden semalam dan keputusan yang sudah kami buat bersama. Pagi ini, Aldo kembali tidur bersamaku. Setelah hampir 5 bulan, Aldo tidak mau tidur bersama denganku. Aku tersenyum dan naik ke atas ranjang, memberikan Aldo kecupan.

“Selamat pagi!”

Aku tersenyum menatap Aldo. Benar, apapun yang akan kami lalui. Maka kami harus melakukannya. Kami sudah sepakat, lebih tepatnya. Aldo sudah sepakat dengan persyaratan yang aku ajukan jika lelaki ini ingin meminta cerai. Pertama, aku dan Aldo akan bersama dalam 30 hari. Seperti saat pertama kali kami jumpa dan pacaran. Aldo harus merawatku, tidak bisa mengabaikanku, dan selalu membuatku prioritasnya selama 30 hari. Persyaratan kedua, Aldo juga harus rajin makan dan ibadah. Aku tau Aldo sudah meninggalkan ibadahnya selama 5 bulan ini. Hanya dua, dan jika sudah lewat dari 30 hari. Maka kami akan bercerai di pengadilan.

“Kenapa kau sudah bangun hmm?”

Aldo mencuri cium di keningku, aku hanya tertawa. Rasanya sudah cukup lama kami tidak berinteraksi seperti ini, layaknya suami dan istri. Aku menyuapi Aldo dengan buah yang baru saja aku potong dan masih di atas ranjang kami berdua.

“Bukankah hari ini, tidak, selama 30 hari ini kita harus bersenang-senang hmm? Kau sudah berjanji suamiku. Jangan berpikir untuk mengingkarinya lagi, kau bisa?” Aku menyandarkan kepalaku di bahu Aldo. Lelaki itu hanya tertawa dan mengacak rambutku.

Satu lagi kebiasaan yang menghilang dari kami selama ini.

“Aku berjanji, apa yang tidak akan aku berikan untuk istriku hmm?”

“Apa kau ke-kantor untuk hari ini?” Aku ingat, hari ini adalah senin. Dan waktunya untuk Aldo pergi kekantor, termasuk aku juga. Kami memang memiliki pekerjaan masing-masing. Dan rencana awalnya, setelah kami memiliki anak, aku akan resign dari pekerjaanku.

“Aku bisa telat datang kekantor sayang tapi tidak denganmu” Aldo kembali menyombongkan dirinya. Mentang-mentang Aldo adalah CEO dari perusahaan itu dan aku hanyalah kacung rendahan. “Mandilah, aku tau kau tidak bisa telat untuk hari ini, aku akan mengantar istriku yang sangat cantik dan akan memasak untukknya!”

Aku tertawa keras lalu mencium kening Aldo. Lalu tidak lama aku mengangguk, dan langsung memasuki kamar mandi karena Aldo benar. Aku tidak bisa telat di awal minggu ini. Dan terus berharap waktu 30 hari ini bisa dengan sangat lambat berlalu. Sehingga, aku tidak akan pernah lagi merasakan takut setiap harinya. Meskipun hanya dalam 30 hari saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status