Share

06. TAK DIRESTUI

"Dari mana saja kau!" Bu Prim mencercanya dengan tatapan tajam saat ia mendapati Zee yang mengendap-endap ke dalam rumah.

Zee menundukkan kepalanya, ia tidak ingin ibunya melihat keadaannya yang kacau. Terlebih matanya yang mungkin sudah membengkak. Zee pikir ia akan lolos mengingat ini sudah lewat tengah malam, tapi ternyata ibunya masih terjaga.

"Kenapa diam, aku bertanya dari mana saja kau!" Bu Prim tampak kesal karena Zee tidak berniat untuk menjawabnya.

"A-aku ..., aku-"

"Sudahlah, tidak peduli juga kau pergi ke mana. Tapi lain kali jangan begini, kau tidak lihat sekarang jam berapa! Apa kata tetangga jika mereka tahu anak gadis sepertimu pulang selarut ini!" kata Bu Prim panjang lebar.

Tangan Zee semakin bergetar, air matanya mulai kembali menggenang. Bahkan ibunya tidak mengkhawatirkan sama sekali, ia hanya memikirkan pandangan orang lain.

"Sana masuk kamar!" perintahnya.

Zee segera pergi ke kamarnya, jika ia terlalu lama di sana takutnya ia tidak bisa menahan diri lagi. Di dalam kamar, Zee naik ke atas ranjang dan masuk ke dalam selimutnya. Seberapa kali pun Zee memejamkan mata, ia tak kunjung tertidur.

"Arghhh ...." Zee berteriak jengkel pada akhirnya.

Setan mana yang bercokol mengusik tubuhnya, sampai ia tak bisa menenangkan diri semalaman. Dan kenapa ia terus mengingat setiap sentuhan Darren yang seharusnya ia hapus dari ingatannya. Alkohol sialan!

Zee bangkit dari ranjang, rumahnya yang sepi semakin membuatnya semakin gelisah. Tak ada teman yang bisa ia ajak bicara, apalagi jam segini teman-temannya pasti sudah tertidur. Jika pun ia bisa menghubungi salah satu temannya, memang apa yang akan ia katakan?

Bahwa dirinya sudah tidur dengan kekasih kakaknya, begitu? Itu mustahil!

Zee memikirkan cara untuk menghadapi hari esok, ia tahu jika dirinya tidak akan lolos begitu saja. Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk menghilang sementara yang artinya ia harus pergi dari rumah ini. Zee memang ingin pergi, tapi tidak sekarang. Ia belum memiliki cukup uang untuk pergi dari rumah itu. Lalu apa jalan keluarnya, haruskah ia menerima konsekuensinya?

Zee mengusak kepalanya dengan frustasi.

***

Seseorang menggeliat dalam tidurnya saat sebuah cahaya menyoroti wajah tampannya. Ia tampak terganggu hingga mau tidak mau terpaksa harus membuka mata. Pandangannya mengabur, kepalanya sedikit pusing akibat dari alkohol yang menguasainya semalam. Setelah sadar sepenuhnya, ia baru tersadar dengan apa yang ia lakukan semalam. Seketika bibirnya tersenyum lebar.

Namun saat dirinya menoleh, tempat sebelahnya sudah kosong yang artinya orang yang menghabiskan malam bersamanya sudah pergi. Darren seharusnya sudah tahu jika kekasihnya tidak akan menunggunya karena Thea adalah orang yang sibuk. Tapi tetap saja ia kecewa karena ditinggalkan begitu saja.

Darren hanya bisa menghela nafas, ia duduk dengan susah payah dan langsung mengambil ponselnya untuk memeriksa beberapa pesan yang muncul.

'Kau di mana? Pulang lebih dulu kah?' Jonathan.

Tidak hanya itu, ada beberapa pesan lagi yang muncul.

'Kau di mana? Bukankah seharusnya kau ada di rumah!' Mama.

3 panggilan tak terjawab dari Jonathan.

'Jangan lupa hari ini ada meeting penting, jangan sampai terlambat.' Jonathan.

Oh sial, Darren lupa jika hari ini ia ada meeting. Ia segera menelpon Jonathan kembali dan mengabaikan pesan ibunya.

["Ada apa, ini masih jam 7 pagi, aku belum-"]

"Jam berapa meeting nya dimulai?" potong Darren dengan cepat.

["Sekitar jam sepuluhan, kenapa?"]

Darren bernafas lega. "Syukurlah."

Setidaknya ia masih memiliki waktu untuk pulang ke rumahnya lebih dulu.

["Kau belum menjawab pesanku, semalam kau ke mana?"] tanya Jonathan dari sebrang sana.

Darren mengulum senyum saat ia mengingat samar-samar kegiatannya semalam. Wajahnya ikut memerah. "Ra.ha.sia," jawabnya penuh penekanan.

["Ck, sejak kapan kau main rahasia denganku!"] protes Jonathan.

"Kau tidak perlu tahu. Siapkan berkas-berkasnya, kita bertemu di kantor nanti."

["Oh oke. Ngomong-ngomong, apa tidak ada yang ingin kau katakan padaku?"] Dari nadanya, Jonathan seolah sengaja memancingnya.

"Apalagi Jon, aku sedang buru-buru ini," pekik Darren dengan kesal.

["Buru-buru ke mana, bukankah kau ada di rumah?"]

Darren mengutuk dirinya sendiri, nah kan jadinya ia keceplosan. "Aku tidak di rumah, kau puas!"

["Gotcha, akhirnya kau ketahuan juga. Jadi ke mana kau dari semalam, hah? Kau tahu, gara-gara kau menghilang Ibumu tidak berhenti menghubungiku!"]

"Aku menginap di hotel," akunya.

["Hah!"]

"Jangan pura-pura terkejut, kau tahu benar apa yang dilakukan sepasang kekasih saat berduaan di dalam hotel." Darren memutar bola matanya dengan malas.

["Jadi kalian berdua sudah melakukannya. Wah tidak kusangka, seorang Darren yang memegang teguh 'no sex before marriage', ternyata brengsek juga hahaha ...,"] ledek Jonathan di sebrang sana.

"Sebenarnya itu diluar kendaliku. Aku mabuk dan semua terjadi begitu saja," jelas Darren dengan jujur.

["Jadi kau sengaja mabuk untuk menidurinya, wah wah ..., pengecut sekali kau ini."] Jonathan meledek layaknya seorang teman.

"Tidak begitu juga. Aku memesan kamar karena ingin langsung istirahat, mana kutahu jika tiba-tiba dia ada depan kamarku. Lagi pula aku akan menikahinya, jadi itu bukan masalah besar," kata Darren dengan enteng.

["Tapi kau tidak memaksa kekasihmu 'kan?"]

"Entahlah aku tidak ingat, aku akan meminta maaf padanya nanti. Dia pasti malu sampai aku terbangun dia sudah tidak ada."

Terdengar tawa Jonathan yang tampak puas. ["Well, jadi kau dicampakkan setelah menghabiskan malam bersama."]

"Sialan kau! Meskipun sikapnya dingin, tapi dia sangat mencintaiku!"

["Ya, ya, ya. Dasar budak cinta. Ya sudah sana, kau mengganggu rutinitas pagiku saja!"]

Tut, sambungan pun terputus.

***

"Darren!"

Darren menghentikan langkahnya saat ia baru saja masuk ke dalam rumah. Ibunya Ny. Abelia sedang duduk sambil bersedekap di dada, kedua kakinya menyilang menunjukkan keangkuhan yang sangat jelas.

"Ma, aku-"

"Apa keluargamu lebih berharga dari pada wanita itu!" celetuknya. Darren menghela nafas, ia yakin Ny. Abelia pasti tahu tentang dirinya yang pergi menemui Thea. Karena itu Darren hanya diam tanpa membela diri.

"Sudah berapa kali Mama bilang hah! Jangan berhubungan lagi dengan wanita sombong itu, aku tidak menyukainya!" murkanya dengan wajah serius.

"Ma, dia tidak seburuk itu." Darren tidak bisa membiarkan Ibunya terus memandang Thea seperti itu.

"Kau begini karena kau buta. Masih ada banyak wanita yang lebih dari dia. Bahkan keluarganya tidak jelas begitu. Apa yang bisa kau harapkan dari dia!"

"Tapi aku mencintainya. Bukankah seharusnya Mama bangga, dia wanita yang mandiri, dia bisa mendapatkan semuanya dengan jari payahnya sendiri. Bukan meminta-minta dari orang tuanya." Darren jelas tahu kenapa Mamanya seperti ini. Hanya karena Thea bukan dari kalangan keluarga bangsawan, Mamanya bisa seenaknya seperti ini.

"Terserah. Sampai kapan pun Mama tidak akan setuju dengan wanita licik itu!" kukuhnya. Lalu Ny. Abelia pergi dari sana meninggalkan Darren yang menatapnya sendu.

Thea memang tidak memiliki kepribadian yang disukai orang-orang. Tapi bagi Darren, Thea itu memiliki tempat yang paling special di hatinya. Tidak peduli, seburuk apa orang-orang membicarakannya. Yang terpenting Thea adalah Thea. Orang yang berhasil mencuri hatinya sejak saat itu.

"Jangan terlalu dipikirkan, Mama memang seperti itu."

Darren menoleh ke asal suara, ia tampak terkejut melihat kedatangan adiknya di rumah ini. "Bryan, kapan kau pulang?"

Seseorang yang dipanggil Bryan itu mendekati sang kakak. "Dua hari yang lalu."

"Tidak biasanya kau tiba-tiba pulang seperti ini, terakhir kali saat adikmu ulang tahun kau bahkan tidak pulang," sindir Darren.

"Kebetulan waktuku sedang senggang. Dan soal itu yang terpenting aku sudah memberikannya hadiah yang setimpal," kata Bryan dengan bangga.

"Dasar penjilat."

Darren mengambil ponselnya, lalu mengirimkan pesan pada Thea.

'Sayang, kau baik-baik saja?' 

Darren ingin memastikannya karena sampai saat ini Thea tak kunjung menghubunginya. Ia khawatir Thea shock atau menyesali malam panas mereka.

'Baik. Aku sudah di kantor, nanti kuhubungi lagi.' Thea.

Darren tersenyum melihat balasan Thea yang tidak terlihat ketus padanya. Itu artinya, Thea tidak marah padanya kan?

"Pagi-pagi sudah senyum-senyum sendiri," celetuk Bryan sambil geleng-geleng kepala.

"Jangan usil. Sana pergi!" usir Darren.

***

'Aku baru saja selesai meeting. Bagaimana denganmu?' Darren.

Thea membaca pesan yang baru saja muncul di notif ponselnya. Namun ia tidak berniat untuk membukanya dan dibiarkan begitu saja.

"Ini sudah satu Minggu berlalu, apa Anda sudah memutuskan?" tanya seseorang di depannya. Thea menatap orang itu dan pesan Darren secara bergantian.

"Nn. Freya bagaimana?" tanya orang itu lagi.

"Bisa saya minta waktu satu hari lagi? Aku belum berbicara lagi tentang hal ini pada kekasihku," pinta Thea.

Orang itu menghela nafas. "Baiklah, kalau begitu aku akan menghubungi pihak mereka. Ingat, lusa kita sudah harus segera berangkat dan memulai kerja sama untuk pamerannya."

Thea mengangguk paham.

'Aku baru akan pulang. Darren, aku ingin bertanya tentang hal kemarin.' Thea menarik nafas dalam-dalam, ia tidak memiliki waktu untuk berbicara langsung dengan Darren, apalagi jika pada akhirnya mereka hanya akan berakhir bertengkar.

'Aku minta maaf, tapi aku tidak menyesalinya. Aku benar-benar mencintaimu.' Darren.

Thea menaikkan atau alisnya, apa Darren menyesal karena telah melarangnya pergi ke Paris? Tapi jika dia tidak menyesal, artinya Darren tetap tak mengijinkannya.

Sial! Belum apa-apa Darren sudah memberinya jawaban yang tegas seperti itu, Thea benar-benar frustasi sekarang.

Thea memutuskan untuk tidak membalasnya lagi. Toh jika ia balas pun hanya akan membuat hubungan mereka memburuk. Saat terdiam sejenak, terlintas sebuah ide di dalam pikirannya. Namun Thea tidak yakin ini akan berhasil atau tidak. Dengan cepat Thea kembali mengirim pesan lain pada seseorang.

'Zee, kau di mana?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status