Home / Romansa / Suamimu Masih Mencintaiku / Malam yang Menghapus Nama

Share

Malam yang Menghapus Nama

Author: Borneng
last update Last Updated: 2025-04-14 15:50:11

Setelah lima tahun hidup dalam bayang-bayang Mas Panji, aku merasa... hampa.

Lelah menjadi rahasia yang harus disimpan rapat-rapat. Lelah jadi pelarian dari rumah megah yang bukan milikku. Lelah menjadi simpanan yang tak pernah diperkenalkan, hanya disembunyikan.

Hari itu, aku berdiri di depan cermin kecil di kontrakan sempit, tempat baruku menampung luka. Kontrakan yang terletak jauh dari pusat kota, jauh dari apartemen mewah yang dulu diberikan Mas Panji—dan direbut kembali oleh istrinya seperti merebut kembali mainan lamanya.

Semuanya lenyap begitu saja. Hartaku. Martabatku. Bahkan harga diriku ikut tercabut dari akarnya.

Aku menghela napas. “Aku sudah lelah,” bisikku pada bayangan kusam di cermin.

“Ayah, aku titip anak-anak, ya,” ucapku lirih, mencium tangan lelaki  yang  menjadi sandaran terakhirku. Ia hanya menatapku dengan mata sendu, tanpa sepatah kata. Diamnya mengerti lebih dari seribu kalimat. Ia tahu. Dan ia memilih diam, karena diam kadang lebih kuat dari nasihat.

Malam itu, aku kembali ke tempat lama—klub malam yang dulu jadi panggung pelarianku. Tempat di mana musik menggelegar lebih keras daripada suara hatiku sendiri. Di sana, aku bisa berpura-pura kuat dengan sebotol minuman dan lantai dansa sebagai sahabat.

Ponselku terus bergetar. Nama Mas Panji berkedip-kedip seperti luka yang menolak sembuh. Aku menolak mengangkatnya. Tak peduli apakah ia marah atau cemas. Aku sudah terlalu lelah untuk memikirkan perasaannya, karena selama ini, dia tak pernah benar-benar peduli pada perasaanku.

Dua gelas sudah kutenggak, dan efeknya mulai menjalar seperti gelombang pasang. Kakiku mulai ringan, tubuhku mulai lentur, dan pikiranku—mulai beku. Iren, sahabat setiaku sejak zaman ‘gelap’, menarik tanganku ke tengah kerumunan. “Ayo, San! Malam ini kita bebas!” teriaknya di telingaku, dan aku hanya bisa tertawa keras, tawaku sekeras luka yang kututup rapat.

Tubuhku ikut larut dalam irama, dalam dentuman yang seolah meninabobokan nurani. Di tengah gemerlap, para pria mulai mengerumuni kami. Iren, dengan blazer terbuka dan tubuh yang lincah, naik ke atas meja. Lembaran lima puluh ribuan beterbangan ke arah bra-nya. Ia menari semakin liar, semakin lepas—seolah dunia hanya milik malam itu.

“Ayo Cantik, temani Om minum,” ajak seorang lelaki tua bertubuh tambun.

Aku tersenyum manis, menolak halus, “Enggak, Om. Aku mau dabing sampai pagi.” Lalu aku melenggang kembali ke lantai dansa, seperti penari bayangan yang ingin melupakan seluruh hidupnya.

Malam itu, aku bukan lagi perempuan dengan cita-cita. Aku hanya ingin membuang luka, menenggelamkan rasa marahku pada istri Mas Panji yang dengan bangga memamerkan liburan di media sosial. Senyumnya—palsu tapi menyakitkan—seolah menertawakanku dari balik layar.

Aku menari hingga lututku lemas. Aku menari hingga napasku habis. Aku menari hingga semuanya menjadi kabur.

Di tengah kepulan asap dan cahaya warna-warni, Iren menyodorkan segelas minuman. “Yang ini ringan, tenang aja.”

Aku tak bertanya. Aku hanya meneguknya seperti meneguk kesedihan yang sudah basi. Setelah itu, semuanya menjadi kabur. Musik seperti menjauh. Lampu berubah menjadi bintik-bintik yang menari-nari tak jelas.

Aku hanya ingat duduk di sofa, di dekat seorang wanita tambun yang biasa kami panggil Mami—bos besar tempat ini. Wanita yang menggenggam hidup banyak gadis di genggaman kukunya yang bercat merah.

“Kok semua lo tolak, Neng? Udah kaya ya?” tanya Mami dengan senyum menyeringai.

Aku tertawa pahit. “Lagi pusing, Mi.”

Dan setelah itu... semuanya gelap.

**

Sinar matahari menampar wajahku lebih keras daripada kenyataan. Aku terbangun dengan kepala berat, tubuh nyeri, dan tenggorokan kering. Saat aku menoleh ke samping—jantungku seperti dihantam palu godam.

Seorang lelaki asing terbaring di sebelahku. Tanpa busana. Punggungnya berotot. Rambutnya acak-acakan. Tidur telungkup seperti tak peduli dunia. Tubuhku juga tertutup selimut yang tak kukenali.

Tanganku gemetar.

Dengan pelan kutarik selimut dan memeriksa tubuhku—tak ada memori, tapi rasa nyeri di tubuh dan segala yang berserakan di lantai... menjawab semuanya.

“Oh dasar jalang sialan kamu, Sany...” bisikku pada diri sendiri, mata panas menahan tangis. Air mata akhirnya jatuh juga, meski kutahan sekuat mungkin.

Ini bukan aku. Ini bukan jalan yang aku mau.

Satu per satu kupungut pakaianku dan mengenakannya buru-buru. Aku harus pergi. Sebelum lelaki itu bangun. Sebelum ia tahu siapa aku—dan aku tahu siapa dia.

Biar ini jadi dosa yang tak bersaksi.

Orang-orang di lobi hotel menatapku seperti aku hantu dari neraka. Tapi aku tidak peduli. Yang kupikirkan cuma satu hal: Bagaimana kalau Mas Panji tahu?

Di toilet hotel, aku menatap cermin. Wajahku seperti topeng tragedi. Rambut kusut, make up luntur, coretan lipstik merah masih membekas di pipi.

“Apa yang pria keparat itu lakukan ke aku, sih?” gerutuku sambil membasuh wajah. Tapi bukan wajahku yang ingin kubersihkan—melainkan rasa jijik di dalam dada.

Ponselku berdenting saat kubuka tas kecil. Layarnya penuh notifikasi.

Puluhan panggilan tak terjawab. Puluhan pesan dari satu nama yang sama:

Mas Panji.

"Di mana kamu, Sany?"

"Angkat teleponmu!"

"Jangan main-main, aku bisa buat kamu menyesal."

"Kamu di klub itu, ya?!"

Tanganku hampir menjatuhkan ponsel. Dingin merambat dari ujung jari ke ujung kaki. Nafasku tercekat.

Mas Panji mencium jejakku.

Dan kalau dia tahu aku tidur dengan lelaki lain—meski aku tidak sadar, meski aku tidak ingat—aku tahu betul apa yang bisa dilakukan lelaki sepenyayang itu saat hatinya terluka.

Dia bisa... membunuhku.

Aku menatap wajah di cermin sekali lagi. Wajah perempuan yang tersesat dalam takdir yang tak ia pilih. Dan hanya satu kata yang muncul di benakku, berdentum kuat seperti genderang perang:

Lari.

 “Aku harus pergi... sebelum semuanya terlambat.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Tatapan yang Tak Pernah Pergi

    Aslan masih berdiri di depanku, menatap tajam seolah matanya ingin menyayat kulitku dan menguliti isi kepalaku.“Tolong ceritakan padaku. Kenapa kamu selalu seperti ini?” tanyanya, datar namun penuh tuntutan.“Tidak ada, Pak Aslan. Tolonglah, aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku karena ulahmu. Aku tulang punggung keluargaku... tidak bisakah kamu membiarkanku hidup tenang?” ucapku, memohon, suaraku lirih nyaris patah. Aku berharap lelaki itu punya hati, walau setitik saja.“Tidak.” Jawabnya pendek. Santai. Dingin seperti biasa.Iya, kamu memang lelaki tak berhati, Aslan. Umpatku dalam hati, getir.“Apa yang harus aku ceritakan padamu?” tanyaku, mencoba mempertahankan harga diri yang tersisa.“Semuanya,” desaknya tanpa ampun.Aku menarik napas panjang, lelah.“Kamu itu bukan siapa-siapaku. Kekasih bukan, suami juga bukan... bahkan bukan tetanggaku. Lalu untuk apa aku harus menceritakan hidupku padamu?”“Asumsikan saja aku penggemarmu,” sahutnya santai, dengan senyum tipis yang menyeba

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Merasa Lelah

    Aku berjalan pelan menuju kamar yang kutempati. Segelas air kutuang ke gelas, lalu kuteguk sampai habis. Dadaku sesak, pikiranku tak tenang. Aku hanya berharap ia… tidak kenapa-kenapa. Tanganku refleks mengelus perut yang masih terasa sakit. Ada gerakan halus yang samar, tapi nyata, di sana.“Tenang sayang , tidak akan terjadi apa-apa, kita berdua kuat,” ucapku mengusapku perut di balik seragamku yang sengaja aku pili ukuran jumbo.Janin yang dulu begitu ingin aku lenyapkan… kini masih bersemayam dengan tegar dalam rahim ini. Ia, si kecil yang paling ajaib. Karena sebesar apa pun keinginanku dulu untuk menggugurkannya, ia tetap bertahan. Tetap hidup.Bahkan malam saat aku melarikan diri dari Aslan empat bulan lalu, ia tetap bertahan. Malam itu, aku kabur dari apartemen Aslan—panik, ketakutan. Aku berlari sampai ke jalan raya, mengejar mobil bak sayur yang lewat, lalu melompat masuk dan terhempas keras hingga pingsan. Aku tak peduli saat itu. Tak peduli pada diriku, bahkan pada janin i

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Hantu dari Masa Lalu

    "Apa kamu ingin melarikan diri lagi?"“Tidak, aku hanya ingin ke kamar mandi.”Suara jantungku bergemuruh, bergema seperti gendang yang dipukul keras. Suara bariton itu menyusup ke relung tubuhku, membuat jemariku gemetar saat meremas ujung jari—berusaha keras menahan gugup. Aku membalikkan tubuh perlahan, dan... menatap wajahnya.Wajah itu.Tatapan mata itu kembali menusukku. Seolah-olah hendak menguliti diriku hanya dengan pandangan. Mata coklat pekat yang menelusuri tubuhku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Membuatku merasa telanjang meski aku tengah mengenakan seragam kerja.“Apa kabar?”"Baik, Pak." Aku mencoba berbicara sekuat tenaga, menahan agar suaraku tak bergetar."Kamu... sangat cantik," ujarnya, menatapku dari bawah ke atas lagi.Tubuhku nyaris tumbang. Tanganku kembali meremas kuat jemariku, menahan diri dari lari terbirit-birit.Aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis yang dipaksakan."Aku tidak pernah membayangkan kita akan bertemu di tempat ini. Kamu kerja di s

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Festival yang Tak Kusangka

    Besok, pantai akan ramai. Penginapan kami sudah hampir penuh oleh tamu-tamu dari berbagai daerah, datang untuk mengikuti festival surfing—olahraga yang paling diminati anak-anak muda.Pagi ini, seluruh karyawan perempuan tampak antusias, senyum mereka mengembang, tawa bersahutan. Aku tahu pasti alasannya: mereka akan bertemu dengan pria-pria tampan dari seluruh penjuru negeri.“Bukan main, Kak! Ganteng-ganteng semua!” seru Tere, karyawan muda yang mendekat dengan wajah bersinar seperti habis menang undian.“Kenapa?” tanyaku, pura-pura tak tertarik meski aku tahu apa yang membuat mereka begitu hidup pagi ini.“Di blok barat, tamu-tamunya anak-anak muda dari Jakarta. Semua berkarisma! Kak, boleh aku yang jaga sana, ya? Biarin Mira aja di blok timur, isinya orang tua semua. Malas aku.”Aku tersenyum tipis melihat matanya yang berkedip-kedip, memohon layaknya anak kecil yang ingin dibelikan permen.“Baiklah, jaga baik-baik, ya.”“Siap, Kak! Makasiiih!” jawab Tere dengan wajah berseri, ram

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Napas Baru di Ujung Pulau

    Melarikan diri dari Aslan adalah keputusan paling waras yang bisa kupilih. Aku tak sanggup lagi menjadi pion dalam permainan balas dendamnya terhadap Mas Panji—lelaki yang selama ini mencintaiku, meski dengan cara yang salah.Ya, aku sadar, aku hanya simpanan. Tapi lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk sekadar disebut pelarian nafsu. Mas Panji memberiku cinta yang tak pernah kutemukan di mata ayahku, apalagi di mata Aslan yang penuh kebencian.Dia memanjakanku, memberiku perhatian, membelikan apa pun yang aku mau. Kalau dia menyakitiku, itu hanya karena dia cemburu—dan karena dia terlalu mencintaiku dengan cara yang keliru.Tapi aku pun harus waras. Aku harus berhenti mencintai seseorang yang sudah memiliki istri. Cinta ini salah arah sejak awal. Ini cinta curian. Dan semua masalah ini memang berawal dari cinta yang kucuri.Kini aku telah pergi. Pergi sejauh mungkin. Kupinta Ibu Dokter—wanita yang menyelamatkanku malam itu—untuk membawaku menjauh. Jauh dari Ibu Kota, jauh dari As

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Antara Luka dan Yang Tak Pernah Selesai

    Beberapa minggu kemudian."Katakan kamu di mana? Aku akan menjemputmu. Bukankah kita sudah sepakat untuk tetap bersama?"Suara Aslan terdengar bergetar di ujung telepon. Kali ini, ia memakai panggilan video. Tentu saja—ia ingin melihat langsung keadaanku. Menelanjangiku dengan pandangannya yang selalu penuh penilaian."Jangan mempermainkan hidupku, Sany."Nada dinginnya biasanya bisa membuatku ciut, tapi tidak kali ini."Aku sudah keguguran, Pak Aslan."Aku menunduk, membiarkan suara lirihku terdengar rapuh. "Jadi, tidak ada lagi alasan untuk kita menikah. Aku harap kamu bisa memiliki anak dari wanita yang kamu cintai nantinya... bukan dari wanita yang kamu benci. Dan juga... yang dibenci keluargamu."Aku menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang nyaris menetes—air mata yang sengaja kutahan agar tidak terlihat dramatis."Mungkin... mungkin karena rasa bencimu yang tak pernah reda, makanya aku kehilangan dia. Tadinya kupikir, dengan kehadirannya, hati ini akan baik-baik saja..."

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Pelarian yang Membuka Luka

    Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar, ketika suara Aslan dari arah balkon menusuk telingaku seperti sembilu.“Kamu harus pastikan Panji hancur, Kak. Dia sudah terlalu lama main di belakang keluarga kita,”ucapnya dengan nada dingin. Bukan dingin biasa, tapi dingin yang mengandung ancaman dan tekanan.Lalu, terdengar suara seorang perempuan. Kakaknya.“Dan perempuan itu?”“Biarkan saja di sini. Aku akan urus. Panji tidak akan macam-macam kalau dia bersamaku. Aku ingin anakku lahir setelah itu...”Kalimat itu terputus. Tapi bagi telingaku, sudah cukup menyayat. Seolah dunia runtuh di atas kepalaku.Jadi… semuanya masih sama? Bahkan setelah aku mengandung anaknya? Aku masih tetap sekadar alat, pion dalam permainan dendam keluarga mereka?‘Ah, bodohnya aku. Aku yang terlalu berharap’Tawa lirih keluar dari mulutku, bergetar seperti hujan pertama di musim kemarau. Tanganku gemetar saat kutarik tas kecil dari kolong tempat tidur. Aku tidak boleh tinggal di sini. Tidak sedetik pun la

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Pelukan yang Tak Kuinginkan, Tapi Kuperlukan

    Beberapa hari kemudian.Aku menatap ruangan luas apartemen itu. Dinding kacanya menjulang dari lantai ke langit-langit, memperlihatkan pemandangan kota yang seharusnya menakjubkan. Tapi bagiku, ini bukan surga. Ini penjara.“Aslan,” panggilku pelan, mencoba tetap tenang walau dadaku sesak. “Kamu bilang ini cuma sementara.”“Dan aku menepati janjiku.” Suaranya terdengar ringan, sambil mengeluarkan isi kantong belanja: vitamin kehamilan, buah potong, dan satu kotak susu ibu hamil.Aku tertawa kecil—tawa getir yang tak bisa kutahan. “Kamu serius memaksaku tinggal di sini cuma karena aku hamil?”Dia mendekat. Wajahnya tak berubah. Mata cokelat itu menatap tajam seperti biasa. “Ini bukan paksaan. Ini tanggung jawab.”“Kalau itu tanggung jawab,” nadaku meninggi, “kenapa harus menculikku dari hidupku sendiri? Kamu kembali mengurungku Aslan. Seharusnya aku bisa bebas keluar masuk dari ruangan ini.”“Karena kamu keras kepala, Sany. Dan karena aku...” Ia terdiam sejenak, napasnya mengambang. “

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Lorong Sepi dan Perangkap Bernama Aslan

    Sebelum ayam sempat berkokok menyambut pagi dan mentari mengangkat tubuhnya dari balik cakrawala, aku sudah pergi. Meninggalkan rumah itu. Rumah yang selama ini membuatku merasa lebih seperti tawanan daripada tamu.Aslan tidak tahu. Atau setidaknya belum tahu.Seluruh keluarga mereka masih terlelap dalam mimpi. Aku hanya menitip pesan singkat pada Bi Nur—tanpa air mata, tanpa salam manis atau peluk haru. Aku tidak butuh drama. Hanya satu pesan pendek: “Aku pergi. Titip salam untuk semua.”Tidak perlu pamit. Tidak perlu babibu. Tidak ada tempat lagi untuk basa-basi dalam hidupku sekarang. Aku butuh ruang. Butuh napas. Butuh kebebasan yang selama ini mereka rampas dariku.*Kini, aku di sebuah kamar kos kecil—sederhana, murah, dan seadanya. Dindingnya tipis, kipas di langit-langitnya berderit pelan, kasurnya lipat dan empuknya pas-pasan. Tapi di sinilah aku bisa bernapas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa lepas.“Ah, akhirnya aku bebas dari mereka semua,” gumamku pel

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status