Di Ambang Pelarian, Di Antara Cinta yang Menyesakkan
Aku berlari kecil keluar dari hotel itu, menembus udara pagi yang dinginnya serupa cambukan perih di kulit. Langit Jakarta masih kelabu, basah oleh sisa hujan dini hari. Trotoar tampak lengang, hanya suara gemericik air hujan yang mengalir di selokan dan aroma tanah basah memenuhi udara. Kota belum sepenuhnya terjaga, hanya beberapa kendaraan lalu-lalang, dan para pedagang kaki lima sibuk menggelar dagangan mereka di sudut-sudut jalan. Tapi detak jantungku memekakkan telinga, seperti alarm bahaya yang terus berdering tanpa henti. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Terlambat untuk sebuah kata penyesalan, sebab waktu tidak bisa diputar. Satu hal yang bisa kita lakukan menghadapi atau kita akan mundur dan bersembunyi dari kenyataan.
Tak ada tujuan. Tak ada tempat aman. Yang kutahu, aku harus menjauh sejauh mungkin—dari lelaki asing itu, dari Mas Panji, dari diriku sendiri yang mulai kehilangan arah. Kadang, pelarian bukan karena ingin menang, tapi karena sudah terlalu lelah untuk kalah. Karena hidup, terkadang, bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling mampu bertahan.
“Aku harus kuat demi anak-anakku. Aku tidak bisa mati dengan cara seperti ini,” gumamku pelan.
Setibanya di kontrakan, aku mengunci pintu rapat-rapat, mematikan semua lampu, lalu menjatuhkan tubuh ke lantai yang dingin dan keras. Dingin ubin menyentuh kulitku, tapi bukan itu yang membuatku menggigil. Ini rasa takut. Ketakutan yang menyesakkan dada hingga tak bisa bernapas lega. Di luar, hujan sisa semalam masih menetes dari atap seng, iramanya seperti jarum jam yang menghitung detik-detik menuju bencana.
Ponselku bergetar. Nama itu muncul di layar.
Mas Panji.
“Aku tidak bisa mengangkatnya,” ucapku setengah berbisik.
Kupandangi layar itu seolah benda asing. Jari-jariku tak sanggup menyentuhnya. Detik demi detik berjalan, tapi dunia terasa berhenti. Getaran itu seperti suara detik jam menuju ledakan besar. Aku tahu, cepat atau lambat, ia akan datang. Dan kali ini, mungkin tak hanya membawa kemarahan—mungkin juga kehancuran.
Siangnya, Iren menelepon. Suaranya panik, terdengar seperti orang yang tengah dikejar bayang-bayang.
“San! Lu di mana, sih?!”
“Di kontrakan… kenapa?” suaraku nyaris tak terdengar, tenggelam dalam hampa.
“Lu parah banget! Panji nyari lu pagi tadi di bar! Dia ngamuk, San! Meja dibanting, Mami hampir ditonjok. Dia bilang, kalau sampe lu dugem lagi, dia bakal habisin lu! Sumpah, San, gua takut dia beneran gila!”
“A-apa yang dia lakukan pada Mami?”
Terdengar tarikan nafas panjang di ujung telepon, “dia hampir menghancurkan tempat itu Sany setelah tau kalau kamu kembali lagi ke sana.”
“Aku minta maaf, malam itu mabuk.”
“Apa yang terjadi?”
Aku memegang dada “Nantilah aku ceritakan Ren, aku belum bisa ceritakan saat ini, sudah dulu ya.”
Tubuhku langsung lemas. Ponsel nyaris terlepas dari tanganku.
Panji tahu.
Kepalaku berdenyut hebat. Aku menekuk lutut di sudut ruangan, memeluk tubuhku sendiri sambil menggenggam rambut. Suara-suara mulai memenuhi kepalaku—atau itu kenyataan? Aku tak bisa membedakan lagi. Dinding kontrakan ini seperti mengecil, seolah hendak menelanku hidup-hidup.
Aku sedang duduk di ruang tunggu neraka… menanti giliran eksekusi.
Menjelang malam, udara semakin pengap. Jalanan di depan kontrakan mulai sepi, hanya terdengar suara sesekali motor melintas. Lampu jalan redup berpendar di antara kabut tipis. Tapi lalu, suara motor besar menghentak keras di depan.
Deg. Deg. Deg.
Langkah berat mendekat... gema sepatu membelah lorong... lalu DUARR!
Pintu didobrak. Panji berdiri di ambang pintu. Tinggi, tegap, dan wajahnya gelap seperti mendung badai yang siap menghancurkan bumi. Urat di lehernya menegang seperti kawat baja. Matanya menyala, membakar segalanya. Di tangannya—senjatanya.
“Mas, jangan!” jeritku, mundur tergesa, menabrak meja hingga kursi berjatuhan.
Ia mendekat, langkahnya berat seperti singa lapar yang siap menerkam.
“Lo tahu siapa yang gue temui di bar semalam?” suaranya dalam dan bergetar oleh amarah yang mendidih.
“Mas... aku cuma... aku cuma butuh tenang sebentar…”
Plak!
Tamparannya membuatku terlempar ke lantai. Pipiku berdenyut perih. Suara anak-anakku seolah berbisik dari balik waktu—mereka tidak boleh melihatku seperti ini. Mereka tidak boleh tahu ibunya diinjak-injak.
“Apa gue kurang? Duit, apartemen, makan enak, hidup enak! Tapi lo masih cari jantan lain?!” bentaknya dengan suara yang memecah hatiku lebih dari tubuhku.
“Mas... Aku cuma minum... aku tidak melakukan apa-apa,” ucapku berbohong, mencoba menyelamatkan diri dari badai yang sudah terlanjur menerjang.
Ia mencengkram lenganku, menarikku berdiri dengan kasar.
“Jika lo ketahuan sama pria lain, lo bisa gue bikin hilang. Gue polisi, San! Sekali perintah, lo bisa lenyap tanpa jejak!”
Air mataku menetes. Tapi bukan karena takut. Tapi karena aku sadar… ini bukan cinta. Ini perang berkedok kasih sayang.
Kadang, seseorang mencintaimu bukan untuk membahagiakanmu, tapi untuk memilikinya seperti barang. Dan barang, kalau rusak, bisa dibuang atau dihancurkan.
“Bunuh aku, Mas jika kamu tidak percaya,” bisikku lirih, suara hatiku sudah remuk. “Kalau itu bisa bikin Mas puas, bunuh aku sekarang.”
Ia membeku. Dada bidangnya naik turun cepat. Jemarinya yang menggenggam senjata mulai bergetar. Perlahan, ia turunkan tangannya. Matanya... remuk, seperti menanggung luka yang tak pernah selesai.
“Aku... sayang kamu, Sany,” katanya akhirnya, suaranya lelah, seperti tentara yang kalah perang. “Tapi kamu gak boleh begini. Jangan bikin aku jadi setan.”
Sayangnya, Mas... Kau sudah jadi setan sejak lama, batinku getir. Tapi lidahku kelu, tak sanggup mengucapnya.
“Aku kasih kamu kesempatan. Jangan lakukan itu lagi. Kamu milikku... satu-satunya.”
“Ba—baik, Mas,” ucapku terbata, bukan karena setuju, tapi karena aku terlalu takut untuk menolak.
Tiga hari kemudian
Langit Jakarta siang itu terik, mentari menggantung tinggi tanpa belas kasihan. Jalanan padat, klakson bersahutan, dan hiruk-pikuk kota ini seolah tak pernah lelah. Tapi hatiku beku. Di tengah kesibukan kota yang tak pernah tidur, ponselku bergetar.
Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal. Satu foto buram tapi cukup jelas—aku dan pria asing malam itu, di hotel.
Ini jebakan.
Pesan menyertainya: "Kau pikir bisa sembunyi? Panji tahu semuanya. Nikmati sisa waktumu."
Tanganku gemetar memegang ponsel. Dunia seolah runtuh. Nafasku tercekat. Ini bukan ancaman kosong. Ini panggilan kematian yang sudah mengetuk pintu.
Aku harus pergi. Sekarang. Bawa anak-anakku keluar dari kota ini. Tapi... ke mana?
Hidup mengajariku satu hal: Kadang, bertahan adalah bentuk perlawanan paling kuat. Tapi saat nyawamu sudah di ujung tanduk, lari adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.
Dan kali ini, aku akan lari. Bukan karena takut. Tapi karena aku ingin hidup. Karena terkadang, melarikan diri bukan berarti lemah, tapi tanda bahwa kau masih punya harapan.
Untuk anak-anakku. Untuk diriku sendiri. Untuk kesempatan memulai ulang.
Bersambung
Kakak yang baik jangan lupa berikan dukungan ya untuk karya ini, kalian bisa like, komen dan menyimpan dalam rak kalian, terimakasih , sehat selalu untuk kalian terimakasih.
Malam itu telah tiba. Udara terasa sedikit lebih hangat dari biasanya, mungkin karena lampu-lampu gantung yang mulai menyala lembut dari halaman rumah keluarga Aslan. Gaunku menjuntai indah, warna merah marun yang kupilih dengan keraguan kini menyatu manis dengan rona pipiku yang memerah karena gugup. Aku ingin memberi kabar itu pada Aslan, sebagai hadiah ulang tahun. Saat ia berdiri di depan kaca merapikan dasi. Aku datang dari belakang dengan langkah pelan tapi pasti. Jantungku berdetak kencang. Sementara tamu sudah berdatangan di bawah.“Sayang …” panggilku pelan.“Hmmm … jawabnya tanpa menoleh ke belakang, lalu dia menatapku dari pantulan kaca, Matanya melonggo dan berbalik.“Sayang … kamu sangat cantik pakai hijab,” ucapnya antusias.“Sayang, aku sudah siap memakainya mulai sekarang. Apa kamu mendukungku?”“Tentu saja,” jawab Aslan dengan cepat.“Aku juga mau kasih sesesuatu.”Aslan menatapku dengan senyuman manis. “Apa itu?”“Ini, Buka.”Tangannya dengan cepat membuka kotak kec
Saat semua orang di rumah sibuk berangkat kerja dan kuliah, inilah waktuku. Me time yang selalu kutunggu-tunggu. Aku menghirup aroma kopi caramel favoritku yang mengepul hangat dari gelas keramik, duduk santai di pinggir kolam renang, sambil menikmati sunyi yang menyelimuti rumah besar ini.Hanya beberapa asisten rumah tangga yang berlalu-lalang, sibuk merapikan ruangan, sementara Pak Raga terlihat sibuk memangkas semak dan menyiram taman. Aku duduk dengan kaki terentang, memejamkan mata sejenak. Pundak dan tubuhku terasa lemah, nyeri yang tak bisa kujelaskan. Lelah. Mungkin karena beberapa minggu terakhir ini, aku terlalu banyak bergerak. Aku mulai mengurut pundakku pelan-pelan.“Sany!” suara itu memanggil dari dalam rumah.“Iya, Bi!” jawabku sambil menoleh.“Biar Abi yang jemput Haikal nanti, ya. Bilang saja ke sopir, tidak usah jemput,” ucap Abi—ayah mertuaku, yang kini sudah tampak sehat, berdiri tanpa tongkat, tanpa kursi roda. Ya, beliau akhirnya bisa berjalan lagi.Semuanya ber
Senja mengambang tenang di langit barat, semburat oranye mencium lembut jendela kaca ruang tengah tempatku duduk bersandar. Angin sore Bali berhembus ringan dari celah jendela, membawa harum melati dari taman belakang. Hari itu nyaris sempurna—jika bukan karena satu telepon yang membuat hatiku bergemuruh.Melisa menghubungiku.Setelah sekian lama tak ada kabar, akhirnya suara lembut itu terdengar kembali di telingaku. Sejak menemani Panji menjalani masa-masa kritis dan pemulihan pasca operasi transplantasi jantung, Melisa seperti lenyap dari peredaran. Tapi hari itu, ia muncul kembali dengan kabar yang membuat dadaku terasa hangat seperti diselimuti matahari pagi."Sany, aku dan Mas Panji akan menikah. Aku cuma ingin pamit dan minta restu darimu," katanya pelan, seperti takut mengusik rasa.Aku membeku sejenak. Mataku langsung berkaca-kaca. "Melisa… Ya Allah. Aku bahagia sekali. Akhirnya kamu mendapatkan kebahagiaan yang kamu layak dapatkan."Dalam diam, aku teringat pada nazar yang pe
Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, sudah satu tahun aku tinggal bersama keluarga Aslan. Banyak hal yang telah kami lewati bersama—suka maupun duka.Dan malam ini, kejutan kembali datang. Tidak ada yang menyangka, Indah akan kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Ia adalah putri pertama Panji dan Monik—wanita cantik dengan luka masa lalu yang masih membekas. Dulu, dia pergi dari rumah karena tak sudi melihatku tinggal di sini. Tapi kini, ia pulang. Begitu saja.Flashback.Satu tahun yang lalu…Aku masih ingat samar-samar bagaimana Indah marah besar pada Kakek Haikal saat mendengar aku akan tinggal di rumah Aslan.“Indah, jangan diungkit lagi, Nak,” ujar Kakek dengan nada lelah.“Tidak, Kek! Ibuku mati karena wanita itu!” Ia menunjukku dengan amarah yang membara.“Hentikan, jangan sampai Pamanmu dengar,” bisik Kakek, namun sayang, Aslan sudah mendengarnya.“Aku tidak peduli! Aku yatim piatu karena dia!”Kakek menarik napas panjang, lalu berkata lirih, “Kamu salah. Justru mami-m
Pagi itu, langit Jakarta tampak berawan tipis. Sinar matahari menyelinap malu-malu dari balik tirai jendela kaca besar ruang makan kami. Jam masih menunjukkan pukul tujuh, dan seperti biasa, meja makan panjang diisi oleh aroma roti panggang, kopi hitam, dan tawa-tawa ringan keluarga yang baru bangun dari tidur malam.Rumah besar ini memang tak pernah sepi. Meski berlantai dua dan memiliki banyak kamar, suara dan langkah-langkah penghuninya menyatu menjadi harmoni pagi yang menenangkan. Hari ini, aku duduk di sisi kiri meja makan, berdampingan dengan Aslan yang masih dalam balutan kaos putih dan celana tidur abu. Wajahnya seperti biasa: tampan, kaku, tapi tenang. Tangannya menggenggam cangkir kopi sementara matanya memantau layar ponsel.Haikal duduk di ujung meja, bersandar malas sambil menyeruput susu hangatnya. Bibi dari dapur sesekali mondar-mandir membawa selai stroberi dan irisan buah. Lesa, kakak ipar, sudah lebih dulu berangkat ke rumah sakit. Kak Mona masih mandi. Hanya kami be
Pagi yang teduh di rumah besar ini selalu dimulai dengan aroma kopi dan suara langkah kaki para asisten rumah tangga yang saling bersahutan dari dapur ke ruang makan. Matahari menerobos dari jendela kaca besar, menyapu marmer putih yang mengkilap. Tapi pagi ini berbeda. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara sejak semalam.Keputusan itu datang mendadak. Malam sebelumnya, seluruh keluarga berkumpul di ruang makan besar yang selama ini lebih sering sunyi dari tawa. Di bawah cahaya hangat lampu gantung kristal, ayah mertua—dengan suara yang tenang tapi berwibawa—menyatakan sesuatu yang mengubah hidupku.“Sany, mulai sekarang, semua urusan rumah ini menjadi tanggung jawabmu,” ucap beliau dengan senyum teduh. “Kamu adalah nyonya besar di rumah ini.”Aku tertegun. “Sany gak bisa, Yah... Sany orangnya ceroboh,” ujarku pelan, menunduk, tak sanggup menatap wajah semua yang hadir.Ayah mertua hanya tersenyum. Tapi senyuman itu mengandung sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar persetu