“Mas, mau minum dingin?” tanyaku lembut, menatap wajah Panji yang bersimbah peluh. Tanganku meraih tisu dan menyodorkannya dengan gerakan pelan.
“Tidak. Aku mau langsung pulang. Besok, anak bungsukuingin liburan,” jawabnya sambil berdiri dan melangkah ke kamar mandi.
Suaranya masih terdengar dari dalam, “Oh, iya. Jangan lupa minum pil-nya. Aku tidak mau kamu hamil.”
“Iya, Mas. Besok gak mampir?” tanyaku hati-hati, menahan nada kecewa yang hampir keluar.
“Enggak. Aku udah ada janji sama istriku.”
“Baik, Mas,” jawabku singkat.
Aku menarik pakaian bersih dari lemari dan memberikannya padanya. Pakaian kotornya kulempar ke tumpukan di pojok kamar, seperti biasa.
“Eh, kemarin jadi beli seragam buat Falen?” tanyanya sambil menatap kaca, tubuh tegapnya terlihat sempurna mengenakan kaus putih polos yang kuberikan.
Falen, putriku. Hasil dari pernikahan yang kini hanya tinggal kenangan pahit.
“Belum. Mungkin besok,” jawabku, menahan getir.
Ia mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan dari dompet, lalu meletakkannya di atas nakas. “Ini, beli seragam buat Falen dan Zio.”
“Makasih, Mas,” ucapku pelan sambil merapikan rambut yang sempat kusut.
“Besok jangan ke mana-mana. Kalau kamu nekat ke rumah mantan suamimu lagi dan ketahuan, awas aja. Dengar ya, tubuh ini cuma milikku. Aku gak mau berbagi dengan siapa pun,” ucapnya penuh kepemilikan.
Panji. Polisi. Lembut, tapi bisa menjadi bara saat cemburu. Ia bisa memelukmu dengan penuh kasih, namun sekaligus mengikatmu tanpa tali.
“Tapi Mas, besok aku mau jemput anak-anak dari rumah ayah mereka. Sudah waktunya mereka kembali tinggal denganku.”
“Belum sebulan, kan, mereka sama bapaknya? Biarkan dulu sampai sebulan.”
“Baiklah, nanti akan aku kabari Falen,” ucapku, menyerah tanpa bantahan.
“Aku pulang dulu. Besok kami mau liburan keluarga ke Bali, mumpung aku masih cuti,” katanya sambil bersiap.
“Oh, iya, Mas.”
“Tadi uang kontrakan rumah ini sudah aku bayarkan tiga bulan ke depan. Aku juga beli beras satu karung. Jadi, ingat, jangan ke mana-mana,” ucapnya lagi, sambil menyelipkan pistol ke pinggang.
Aku hanya mengantarnya sampai depan pintu. Setelah pamit, ia mengendarai motor ninja hitamnya, menghilang dalam gelapnya malam.
Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup tanpa arah. Korban keluarga broken home. Ibuku—entah sudah berapa kali menikah dengan pria berbeda. Sekarang pun ia tinggal bersama seorang brondong yang jelas hanya memanfaatkan tubuhnya.
Gila? Ya, aku mungkin menurun dari ibuku. Aku juga gila. Bukan karena aku ingin, tapi karena ibuku menjadikanku mesin pencetak uang. Ia bahkan mendukungku menjadi simpanan pria beristri. Ayahku? Jangan harap. Ia kini hidup nyaman di Bogor bersama keluarga barunya.
Sedih?
Tentu. Tapi air mataku sudah kering. Dulu, wajah cantik ini adalah kebanggaan. Kini, kutukan. Aku terjerat dalam pelukan dan obsesi seorang polisi yang tak ingin melepaskanku.
Panji tidak bisa menikahiku, karena peraturan sebagai Abdi Negara. Tapi ia juga tidak mau menikah siri. Baginya, aku cukup menjadi simpanan. Penghangat tubuh. Pemenuh hasrat. Bukan istri. Bukan ibu yang layak untuk anak-anaknya.
Kecantikan ini... adalah penjara.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Suara motornya masih menggema di telingaku, seperti gema luka yang tak kunjung sembuh. Tubuhku terbaring di ranjang, tapi jiwaku seperti sedang berdiri di tepi jurang.
Aku memandangi lembaran uang di atas nakas. Lima ratus ribu. Harga tubuhku malam ini. Harga ketakutanku. Harga diamku.
Kubuka ponsel. Ada pesan dari Falen., kapan jemput kami? Aku kangen...
Tenggorokanku tercekat. Ingin rasanya kujawab: Besok, Sayang. Ibu akan jemput kamu dan Abang. Kita akan hidup lebih baik.
Tapi nyaliku ciut. Bukan karena tak cinta. Tapi karena aku tak punya pilihan.
Pagi menjelang. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai. Tapi hatiku tetap gelap.
Kulihat wajahku di cermin. Ada lingkar hitam di bawah mata. Lelah. Tapi masih ada sisa harapan di sana. Harapan yang belum mati.
Hari itu, aku nekat. Aku menjemput Falen dan Zio tanpa bilang pada Panji. Risiko? Tentu. Tapi diam lebih lama hanya akan menjadikanku boneka selamanya.
Saat melihatku, Falen berlari dan memelukku erat. Begitu pula Zio. Air mataku nyaris tumpah.
“Ayo pulang,” ucapku mantap.
Tapi aku tak langsung ke kontrakan. Aku bawa mereka ke rumah ayahku.
Sudah lama aku putus kontak dengan ayah karena malu. Tapi hari itu, aku butuh tempat berpijak. Butuh seseorang yang bisa menarikku dari lumpur ini.
Telepon kutekan. Jantungku berdebar.
“Ayah… boleh aku datang ke rumah?”
Suaranya lembut, hangat, sangat berbeda dengan ibuku yang hanya peduli uang.
“Datanglah. Bawa anak-anak. Kita bicara nanti.”
Aku menangis sepanjang perjalanan. Bukan karena takut. Tapi karena aku melanggar sumpahku sendiri: untuk tidak lagi mencari ayah. Tapi lihatlah, hidup telah menamparku terlalu keras.
Sore hari. Ponselku berdering.
Mas Panji.
Kutatap layar itu lama. Lalu kutekan tombol “matikan panggilan.”
Untuk pertama kalinya, aku berani. Walau hanya sesaat.
Beberapa detik kemudian, pesan masuk.
[Kamu di mana?]
Aku tidak membukanya. Tapi notifikasi terus berdatangan.
[Apa kamu menemui mantan suamimu?]
[Angkat telepon sebelum aku membunuhmu nanti.]
Tubuhku menggigil. Tapi hatiku tidak.
Ini hidupku. Ini tubuhku. Aku akan hadapi apa pun yang datang.
Demi anak-anakku.
Demi diriku sendiri.
Demi hidup yang lebih layak.
Aku tahu badai akan datang. Tapi kali ini, aku tidak akan lari. Biarlah malam ini jadi awal dari pertempuran panjang... antara aku dan belenggu bernama Panji.
Bersambung
Aslan masih berdiri di depanku, menatap tajam seolah matanya ingin menyayat kulitku dan menguliti isi kepalaku.“Tolong ceritakan padaku. Kenapa kamu selalu seperti ini?” tanyanya, datar namun penuh tuntutan.“Tidak ada, Pak Aslan. Tolonglah, aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku karena ulahmu. Aku tulang punggung keluargaku... tidak bisakah kamu membiarkanku hidup tenang?” ucapku, memohon, suaraku lirih nyaris patah. Aku berharap lelaki itu punya hati, walau setitik saja.“Tidak.” Jawabnya pendek. Santai. Dingin seperti biasa.Iya, kamu memang lelaki tak berhati, Aslan. Umpatku dalam hati, getir.“Apa yang harus aku ceritakan padamu?” tanyaku, mencoba mempertahankan harga diri yang tersisa.“Semuanya,” desaknya tanpa ampun.Aku menarik napas panjang, lelah.“Kamu itu bukan siapa-siapaku. Kekasih bukan, suami juga bukan... bahkan bukan tetanggaku. Lalu untuk apa aku harus menceritakan hidupku padamu?”“Asumsikan saja aku penggemarmu,” sahutnya santai, dengan senyum tipis yang menyeba
Aku berjalan pelan menuju kamar yang kutempati. Segelas air kutuang ke gelas, lalu kuteguk sampai habis. Dadaku sesak, pikiranku tak tenang. Aku hanya berharap ia… tidak kenapa-kenapa. Tanganku refleks mengelus perut yang masih terasa sakit. Ada gerakan halus yang samar, tapi nyata, di sana.“Tenang sayang , tidak akan terjadi apa-apa, kita berdua kuat,” ucapku mengusapku perut di balik seragamku yang sengaja aku pili ukuran jumbo.Janin yang dulu begitu ingin aku lenyapkan… kini masih bersemayam dengan tegar dalam rahim ini. Ia, si kecil yang paling ajaib. Karena sebesar apa pun keinginanku dulu untuk menggugurkannya, ia tetap bertahan. Tetap hidup.Bahkan malam saat aku melarikan diri dari Aslan empat bulan lalu, ia tetap bertahan. Malam itu, aku kabur dari apartemen Aslan—panik, ketakutan. Aku berlari sampai ke jalan raya, mengejar mobil bak sayur yang lewat, lalu melompat masuk dan terhempas keras hingga pingsan. Aku tak peduli saat itu. Tak peduli pada diriku, bahkan pada janin i
"Apa kamu ingin melarikan diri lagi?"“Tidak, aku hanya ingin ke kamar mandi.”Suara jantungku bergemuruh, bergema seperti gendang yang dipukul keras. Suara bariton itu menyusup ke relung tubuhku, membuat jemariku gemetar saat meremas ujung jari—berusaha keras menahan gugup. Aku membalikkan tubuh perlahan, dan... menatap wajahnya.Wajah itu.Tatapan mata itu kembali menusukku. Seolah-olah hendak menguliti diriku hanya dengan pandangan. Mata coklat pekat yang menelusuri tubuhku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Membuatku merasa telanjang meski aku tengah mengenakan seragam kerja.“Apa kabar?”"Baik, Pak." Aku mencoba berbicara sekuat tenaga, menahan agar suaraku tak bergetar."Kamu... sangat cantik," ujarnya, menatapku dari bawah ke atas lagi.Tubuhku nyaris tumbang. Tanganku kembali meremas kuat jemariku, menahan diri dari lari terbirit-birit.Aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis yang dipaksakan."Aku tidak pernah membayangkan kita akan bertemu di tempat ini. Kamu kerja di s
Besok, pantai akan ramai. Penginapan kami sudah hampir penuh oleh tamu-tamu dari berbagai daerah, datang untuk mengikuti festival surfing—olahraga yang paling diminati anak-anak muda.Pagi ini, seluruh karyawan perempuan tampak antusias, senyum mereka mengembang, tawa bersahutan. Aku tahu pasti alasannya: mereka akan bertemu dengan pria-pria tampan dari seluruh penjuru negeri.“Bukan main, Kak! Ganteng-ganteng semua!” seru Tere, karyawan muda yang mendekat dengan wajah bersinar seperti habis menang undian.“Kenapa?” tanyaku, pura-pura tak tertarik meski aku tahu apa yang membuat mereka begitu hidup pagi ini.“Di blok barat, tamu-tamunya anak-anak muda dari Jakarta. Semua berkarisma! Kak, boleh aku yang jaga sana, ya? Biarin Mira aja di blok timur, isinya orang tua semua. Malas aku.”Aku tersenyum tipis melihat matanya yang berkedip-kedip, memohon layaknya anak kecil yang ingin dibelikan permen.“Baiklah, jaga baik-baik, ya.”“Siap, Kak! Makasiiih!” jawab Tere dengan wajah berseri, ram
Melarikan diri dari Aslan adalah keputusan paling waras yang bisa kupilih. Aku tak sanggup lagi menjadi pion dalam permainan balas dendamnya terhadap Mas Panji—lelaki yang selama ini mencintaiku, meski dengan cara yang salah.Ya, aku sadar, aku hanya simpanan. Tapi lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk sekadar disebut pelarian nafsu. Mas Panji memberiku cinta yang tak pernah kutemukan di mata ayahku, apalagi di mata Aslan yang penuh kebencian.Dia memanjakanku, memberiku perhatian, membelikan apa pun yang aku mau. Kalau dia menyakitiku, itu hanya karena dia cemburu—dan karena dia terlalu mencintaiku dengan cara yang keliru.Tapi aku pun harus waras. Aku harus berhenti mencintai seseorang yang sudah memiliki istri. Cinta ini salah arah sejak awal. Ini cinta curian. Dan semua masalah ini memang berawal dari cinta yang kucuri.Kini aku telah pergi. Pergi sejauh mungkin. Kupinta Ibu Dokter—wanita yang menyelamatkanku malam itu—untuk membawaku menjauh. Jauh dari Ibu Kota, jauh dari As
Beberapa minggu kemudian."Katakan kamu di mana? Aku akan menjemputmu. Bukankah kita sudah sepakat untuk tetap bersama?"Suara Aslan terdengar bergetar di ujung telepon. Kali ini, ia memakai panggilan video. Tentu saja—ia ingin melihat langsung keadaanku. Menelanjangiku dengan pandangannya yang selalu penuh penilaian."Jangan mempermainkan hidupku, Sany."Nada dinginnya biasanya bisa membuatku ciut, tapi tidak kali ini."Aku sudah keguguran, Pak Aslan."Aku menunduk, membiarkan suara lirihku terdengar rapuh. "Jadi, tidak ada lagi alasan untuk kita menikah. Aku harap kamu bisa memiliki anak dari wanita yang kamu cintai nantinya... bukan dari wanita yang kamu benci. Dan juga... yang dibenci keluargamu."Aku menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang nyaris menetes—air mata yang sengaja kutahan agar tidak terlihat dramatis."Mungkin... mungkin karena rasa bencimu yang tak pernah reda, makanya aku kehilangan dia. Tadinya kupikir, dengan kehadirannya, hati ini akan baik-baik saja..."
Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar, ketika suara Aslan dari arah balkon menusuk telingaku seperti sembilu.“Kamu harus pastikan Panji hancur, Kak. Dia sudah terlalu lama main di belakang keluarga kita,”ucapnya dengan nada dingin. Bukan dingin biasa, tapi dingin yang mengandung ancaman dan tekanan.Lalu, terdengar suara seorang perempuan. Kakaknya.“Dan perempuan itu?”“Biarkan saja di sini. Aku akan urus. Panji tidak akan macam-macam kalau dia bersamaku. Aku ingin anakku lahir setelah itu...”Kalimat itu terputus. Tapi bagi telingaku, sudah cukup menyayat. Seolah dunia runtuh di atas kepalaku.Jadi… semuanya masih sama? Bahkan setelah aku mengandung anaknya? Aku masih tetap sekadar alat, pion dalam permainan dendam keluarga mereka?‘Ah, bodohnya aku. Aku yang terlalu berharap’Tawa lirih keluar dari mulutku, bergetar seperti hujan pertama di musim kemarau. Tanganku gemetar saat kutarik tas kecil dari kolong tempat tidur. Aku tidak boleh tinggal di sini. Tidak sedetik pun la
Beberapa hari kemudian.Aku menatap ruangan luas apartemen itu. Dinding kacanya menjulang dari lantai ke langit-langit, memperlihatkan pemandangan kota yang seharusnya menakjubkan. Tapi bagiku, ini bukan surga. Ini penjara.“Aslan,” panggilku pelan, mencoba tetap tenang walau dadaku sesak. “Kamu bilang ini cuma sementara.”“Dan aku menepati janjiku.” Suaranya terdengar ringan, sambil mengeluarkan isi kantong belanja: vitamin kehamilan, buah potong, dan satu kotak susu ibu hamil.Aku tertawa kecil—tawa getir yang tak bisa kutahan. “Kamu serius memaksaku tinggal di sini cuma karena aku hamil?”Dia mendekat. Wajahnya tak berubah. Mata cokelat itu menatap tajam seperti biasa. “Ini bukan paksaan. Ini tanggung jawab.”“Kalau itu tanggung jawab,” nadaku meninggi, “kenapa harus menculikku dari hidupku sendiri? Kamu kembali mengurungku Aslan. Seharusnya aku bisa bebas keluar masuk dari ruangan ini.”“Karena kamu keras kepala, Sany. Dan karena aku...” Ia terdiam sejenak, napasnya mengambang. “
Sebelum ayam sempat berkokok menyambut pagi dan mentari mengangkat tubuhnya dari balik cakrawala, aku sudah pergi. Meninggalkan rumah itu. Rumah yang selama ini membuatku merasa lebih seperti tawanan daripada tamu.Aslan tidak tahu. Atau setidaknya belum tahu.Seluruh keluarga mereka masih terlelap dalam mimpi. Aku hanya menitip pesan singkat pada Bi Nur—tanpa air mata, tanpa salam manis atau peluk haru. Aku tidak butuh drama. Hanya satu pesan pendek: “Aku pergi. Titip salam untuk semua.”Tidak perlu pamit. Tidak perlu babibu. Tidak ada tempat lagi untuk basa-basi dalam hidupku sekarang. Aku butuh ruang. Butuh napas. Butuh kebebasan yang selama ini mereka rampas dariku.*Kini, aku di sebuah kamar kos kecil—sederhana, murah, dan seadanya. Dindingnya tipis, kipas di langit-langitnya berderit pelan, kasurnya lipat dan empuknya pas-pasan. Tapi di sinilah aku bisa bernapas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa lepas.“Ah, akhirnya aku bebas dari mereka semua,” gumamku pel