/ Romansa / Suamimu Masih Mencintaiku / Cinta yang salah Arah

공유

Suamimu Masih Mencintaiku
Suamimu Masih Mencintaiku
작가: Borneng

Cinta yang salah Arah

작가: Borneng
last update 최신 업데이트: 2025-04-14 15:48:10

“Mas, mau minum dingin?” tanyaku pelan, suaraku nyaris seperti bisikan, mencoba terdengar lembut di tengah keheningan kamar sempit yang hanya diterangi lampu meja berwarna kekuningan. Mataku menatap wajah Panji yang bersimbah peluh. Wajah itu selalu terlihat tegas, penuh wibawa, namun di baliknya… ada bara api yang kapan saja bisa menyala.

Tanganku meraih tisu dari meja kecil di sisi ranjang, menyodorkannya dengan gerakan pelan, nyaris ragu, seolah takut salah membaca suasana hatinya malam ini.

“Enggak. Aku mau langsung pulang. Besok anak bungsuku mau liburan,” jawabnya singkat, berdiri, lalu melangkah ke kamar mandi kecil di pojok ruangan. Suara gemericik air langsung terdengar, bercampur dengan bayangan pikiranku yang melayang ke mana-mana.

Beberapa detik kemudian, suaranya menyusul dari dalam kamar mandi, datar dan dingin, “Oh, iya. Jangan lupa minum pil-nya. Aku nggak mau kamu hamil.”

Aku terdiam. Jantungku bergetar, tapi wajahku tetap datar, seolah kalimat barusan adalah hal lumrah yang tak perlu membuatku terusik. Padahal, di dalam hati… ada perih yang mencabik pelan.

“Iya, Mas,” sahutku tanpa banyak kata, mencoba meredam rasa kecewa yang hampir tumpah dari nadaku.

Pintu kamar mandi terbuka. Panji keluar dengan tubuh yang sudah segar, rambutnya sedikit basah, mengenakan handuk di leher, dan aroma sabun maskulin masih menempel kuat di udara.

“Besok nggak mampir?” tanyaku pelan, mencoba menahan nada kecewa yang mengendap, seolah berharap ia berubah pikiran.

“Enggak. Aku udah janji sama istriku,” jawabnya sambil mengenakan pakaian. Aku buru-buru meraih pakaian bersih dari lemari plastik di sudut kamar, menyerahkannya padanya.

Pakaian kotornya kulempar ke tumpukan di pojok ruangan, seperti rutinitas yang sudah jadi bagian hidupku. Kamar ini kecil, lembab, dengan tembok cat yang mulai mengelupas. Tapi inilah ruanganku. Penjaraku.

“Eh, kemarin jadi beli seragam buat Falen?” tanyanya sambil menatap cermin kecil di atas meja, memeriksa rambutnya. Tubuh tegapnya terlihat sempurna dalam kaus putih polos yang kuberikan tadi.

Falen… putriku. Hasil dari pernikahan yang kini hanya menjadi kenangan pahit yang membekas dalam ingatan.

“Belum. Mungkin besok,” jawabku lirih, menahan getir yang nyaris pecah dari dalam dada.

Panji mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan dari dompet kulit hitamnya, meletakkannya di atas nakas kecil di samping ranjang reyotku.

“Ini, buat beli seragam Falen sama Zio,” ucapnya singkat, seolah semuanya mudah dibeli dengan uang.

“Makasih, Mas,” kataku pelan sambil menyisir rambutku yang kusut, mencoba tetap terlihat ‘layak’ di hadapannya.

“Besok jangan ke mana-mana,” ucapnya lagi, nada suaranya berubah lebih tegas. “Kalau kamu nekat ke rumah mantan suamimu lagi dan ketahuan, awas aja. Ingat, tubuh ini cuma milik gue. Gue nggak mau bagi-bagi sama siapa pun.”

Aku terdiam, jari-jariku yang masih memegang sisir nyaris gemetar. Panji, lelaki seragam cokelat itu, lembut di satu sisi… tapi bisa jadi bara api saat cemburu. Dia bisa memeluk dengan hangat, tapi dalam waktu yang sama, dia mengikatku tanpa tali, tanpa ampun.

“Tapi, Mas… besok aku mau jemput anak-anak dari rumah ayah mereka. Sudah waktunya mereka balik tinggal sama aku,” ucapku hati-hati, mencoba memberi pengertian.

“Belum sebulan kan mereka sama bapaknya? Biarin dulu. Sampai sebulan. Gue nggak mau ribet,” jawabnya santai, seolah itu hanya masalah teknis biasa.

“Baiklah… nanti aku kabarin Falen,” aku mengalah, lagi-lagi menyerah tanpa daya.

Dia selesai berpakaian, menyelipkan pistol ke pinggang, gerakan khasnya sebagai anggota polisi. Senjata itu, lambang kekuasaan yang sering kali membuatku takut.

“Aku pulang dulu. Besok kami mau liburan keluarga ke Bali. Mumpung gue cuti,” katanya sambil merapikan jaketnya.

“Oh… iya, Mas.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

“Tadi gue udah bayarin kontrakan ini tiga bulan ke depan. Gue juga beliin beras satu karung. Jadi inget… jangan ke mana-mana,” ucapnya sekali lagi sebelum melangkah keluar.

Aku mengantarnya sampai depan pintu. Motor Ninja hitamnya sudah terparkir rapi. Dia naik ke atasnya, suara mesin menderu, lalu menghilang dalam gelapnya malam yang pekat.

Malam itu, tidurku tak tenang. Kamar sempit ini rasanya lebih dingin dari biasanya. Suara motor Panji masih menggema di telinga, seperti gema luka yang tak pernah sembuh. Tubuhku terbaring di ranjang tipis, tapi jiwaku seperti berdiri di tepi jurang.

Aku menatap lembaran uang di atas nakas. Lima ratus ribu rupiah. Harga tubuhku malam ini. Harga diamku. Harga ketakutanku yang dipelihara bertahun-tahun.

Kubuka ponsel. Pesan dari Falen muncul.

Kapan jemput kami? Aku kangen…

Tenggorokanku tercekat. Ingin rasanya kujawab: Besok, Sayang. Ibu akan jemput kamu dan Abang. Kita akan hidup lebih baik. Tapi… nyaliku ciut. Bukan karena tak cinta. Tapi karena aku tak punya pilihan. Hidupku sudah seperti jalan buntu.

Pagi menjelang. Matahari mulai menyusup dari sela-sela tirai kusam. Tapi hatiku tetap gelap, tak ada cahaya yang bisa menembusnya.

Aku berdiri di depan cermin kecil, memandang bayanganku sendiri. Ada lingkar hitam di bawah mata. Lelah. Kusut. Namun… masih ada secuil harapan di sana. Harapan yang belum sepenuhnya mati.

Aku nekat. Hari ini, aku akan menjemput Falen dan Zio. Risiko? Tentu. Tapi diam lebih lama hanya akan menjadikanku boneka selamanya. Hidup itu seperti air, harus terus mengalir, meski kadang kita harus melawan arus.

Saat melihatku di depan gerbang, Falen berlari memelukku erat, seolah takut aku hilang lagi. Zio juga ikut berlari, wajah polosnya menatapku penuh rindu. Air mataku nyaris tumpah.

“Ayo pulang,” ucapku mantap, menggenggam tangan mereka erat. Hari ini, aku tak akan takut.

Tapi aku tak langsung ke kontrakan. Aku bawa mereka ke rumah ayahku. Sudah lama aku putus kontak dengan ayah karena malu. Tapi hari ini, aku butuh tempat berpijak. Butuh seseorang yang bisa menarikku dari lumpur ini.

Dengan jari gemetar, aku menekan nomor ayah di ponsel. Jantungku berdebar kencang, takut ditolak.

“Ayah… boleh aku datang ke rumah?” tanyaku pelan, suaraku nyaris patah.

Suaranya lembut, hangat, sangat berbeda dengan ibuku yang hanya peduli uang.

“Datanglah. Bawa anak-anak. Kita bicara nanti,” jawabnya.

Aku menangis sepanjang perjalanan. Bukan karena takut. Tapi karena aku melanggar sumpahku sendiri: tak akan pernah lagi mencari ayah. Tapi lihatlah… hidup telah menamparku terlalu keras. Kadang, luka adalah cara Tuhan mengingatkan kita untuk pulang.

Sore hari. Ponselku berdering.

Mas Panji.

Kutatap layar ponsel itu lama. Nafasku tercekat. Tapi untuk pertama kalinya, aku berani. Kutekan tombol matikan panggilan.

Beberapa detik kemudian, pesan masuk.

[Kamu di mana?]

Aku tak membukanya. Tapi notifikasi terus berdatangan.

[Apa kamu nemuin mantan suamimu?]

[Angkat telepon sebelum aku cari kamu.]

[Jangan bikin gue gila.]

[Gue bisa bunuh lo kalo lo nekat.]

Tubuhku menggigil. Tapi hati ini… tidak. Aku telah cukup lama menjadi tawanan ketakutan.

Ini hidupku. Ini tubuhku. Ini jalanku.

Aku akan hadapi apa pun yang datang.

Demi Falen. Demi Zio. Demi diriku sendiri. Demi hidup yang lebih layak. Karena terkadang… keberanian terbesar bukan melawan orang lain, tapi melawan rasa takut dalam diri sendiri.

Aku tahu… badai akan datang. Tapi kali ini, aku tidak akan lari. Biarlah malam ini menjadi awal dari pertempuran panjang… antara aku dan belenggu bernama Panji.

Karena satu hal yang selalu aku yakini…

Terkadang, yang harus kita lawan bukan hanya orang, tapi juga luka masa lalu yang selalu berusaha menarik kita jatuh.

Dan aku… tak mau jatuh lagi.

Bersambung

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Pelangi Setelah Luka

    Malam itu telah tiba. Udara terasa sedikit lebih hangat dari biasanya, mungkin karena lampu-lampu gantung yang mulai menyala lembut dari halaman rumah keluarga Aslan. Gaunku menjuntai indah, warna merah marun yang kupilih dengan keraguan kini menyatu manis dengan rona pipiku yang memerah karena gugup. Aku ingin memberi kabar itu pada Aslan, sebagai hadiah ulang tahun. Saat ia berdiri di depan kaca merapikan dasi. Aku datang dari belakang dengan langkah pelan tapi pasti. Jantungku berdetak kencang. Sementara tamu sudah berdatangan di bawah.“Sayang …” panggilku pelan.“Hmmm … jawabnya tanpa menoleh ke belakang, lalu dia menatapku dari pantulan kaca, Matanya melonggo dan berbalik.“Sayang … kamu sangat cantik pakai hijab,” ucapnya antusias.“Sayang, aku sudah siap memakainya mulai sekarang. Apa kamu mendukungku?”“Tentu saja,” jawab Aslan dengan cepat.“Aku juga mau kasih sesesuatu.”Aslan menatapku dengan senyuman manis. “Apa itu?”“Ini, Buka.”Tangannya dengan cepat membuka kotak kec

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Hadiah Ulang Tahun dari Langit

    Saat semua orang di rumah sibuk berangkat kerja dan kuliah, inilah waktuku. Me time yang selalu kutunggu-tunggu. Aku menghirup aroma kopi caramel favoritku yang mengepul hangat dari gelas keramik, duduk santai di pinggir kolam renang, sambil menikmati sunyi yang menyelimuti rumah besar ini.Hanya beberapa asisten rumah tangga yang berlalu-lalang, sibuk merapikan ruangan, sementara Pak Raga terlihat sibuk memangkas semak dan menyiram taman. Aku duduk dengan kaki terentang, memejamkan mata sejenak. Pundak dan tubuhku terasa lemah, nyeri yang tak bisa kujelaskan. Lelah. Mungkin karena beberapa minggu terakhir ini, aku terlalu banyak bergerak. Aku mulai mengurut pundakku pelan-pelan.“Sany!” suara itu memanggil dari dalam rumah.“Iya, Bi!” jawabku sambil menoleh.“Biar Abi yang jemput Haikal nanti, ya. Bilang saja ke sopir, tidak usah jemput,” ucap Abi—ayah mertuaku, yang kini sudah tampak sehat, berdiri tanpa tongkat, tanpa kursi roda. Ya, beliau akhirnya bisa berjalan lagi.Semuanya ber

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Ketika Jumat Sunah Gagal Total

    Senja mengambang tenang di langit barat, semburat oranye mencium lembut jendela kaca ruang tengah tempatku duduk bersandar. Angin sore Bali berhembus ringan dari celah jendela, membawa harum melati dari taman belakang. Hari itu nyaris sempurna—jika bukan karena satu telepon yang membuat hatiku bergemuruh.Melisa menghubungiku.Setelah sekian lama tak ada kabar, akhirnya suara lembut itu terdengar kembali di telingaku. Sejak menemani Panji menjalani masa-masa kritis dan pemulihan pasca operasi transplantasi jantung, Melisa seperti lenyap dari peredaran. Tapi hari itu, ia muncul kembali dengan kabar yang membuat dadaku terasa hangat seperti diselimuti matahari pagi."Sany, aku dan Mas Panji akan menikah. Aku cuma ingin pamit dan minta restu darimu," katanya pelan, seperti takut mengusik rasa.Aku membeku sejenak. Mataku langsung berkaca-kaca. "Melisa… Ya Allah. Aku bahagia sekali. Akhirnya kamu mendapatkan kebahagiaan yang kamu layak dapatkan."Dalam diam, aku teringat pada nazar yang pe

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Kepulangan yang Tak Diduga

    Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, sudah satu tahun aku tinggal bersama keluarga Aslan. Banyak hal yang telah kami lewati bersama—suka maupun duka.Dan malam ini, kejutan kembali datang. Tidak ada yang menyangka, Indah akan kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Ia adalah putri pertama Panji dan Monik—wanita cantik dengan luka masa lalu yang masih membekas. Dulu, dia pergi dari rumah karena tak sudi melihatku tinggal di sini. Tapi kini, ia pulang. Begitu saja.Flashback.Satu tahun yang lalu…Aku masih ingat samar-samar bagaimana Indah marah besar pada Kakek Haikal saat mendengar aku akan tinggal di rumah Aslan.“Indah, jangan diungkit lagi, Nak,” ujar Kakek dengan nada lelah.“Tidak, Kek! Ibuku mati karena wanita itu!” Ia menunjukku dengan amarah yang membara.“Hentikan, jangan sampai Pamanmu dengar,” bisik Kakek, namun sayang, Aslan sudah mendengarnya.“Aku tidak peduli! Aku yatim piatu karena dia!”Kakek menarik napas panjang, lalu berkata lirih, “Kamu salah. Justru mami-m

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Tangis di Meja Sarapan

    Pagi itu, langit Jakarta tampak berawan tipis. Sinar matahari menyelinap malu-malu dari balik tirai jendela kaca besar ruang makan kami. Jam masih menunjukkan pukul tujuh, dan seperti biasa, meja makan panjang diisi oleh aroma roti panggang, kopi hitam, dan tawa-tawa ringan keluarga yang baru bangun dari tidur malam.Rumah besar ini memang tak pernah sepi. Meski berlantai dua dan memiliki banyak kamar, suara dan langkah-langkah penghuninya menyatu menjadi harmoni pagi yang menenangkan. Hari ini, aku duduk di sisi kiri meja makan, berdampingan dengan Aslan yang masih dalam balutan kaos putih dan celana tidur abu. Wajahnya seperti biasa: tampan, kaku, tapi tenang. Tangannya menggenggam cangkir kopi sementara matanya memantau layar ponsel.Haikal duduk di ujung meja, bersandar malas sambil menyeruput susu hangatnya. Bibi dari dapur sesekali mondar-mandir membawa selai stroberi dan irisan buah. Lesa, kakak ipar, sudah lebih dulu berangkat ke rumah sakit. Kak Mona masih mandi. Hanya kami be

  • Suamimu Masih Mencintaiku   Seragam Cinta, Tangisan Seorang Cucu

    Pagi yang teduh di rumah besar ini selalu dimulai dengan aroma kopi dan suara langkah kaki para asisten rumah tangga yang saling bersahutan dari dapur ke ruang makan. Matahari menerobos dari jendela kaca besar, menyapu marmer putih yang mengkilap. Tapi pagi ini berbeda. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara sejak semalam.Keputusan itu datang mendadak. Malam sebelumnya, seluruh keluarga berkumpul di ruang makan besar yang selama ini lebih sering sunyi dari tawa. Di bawah cahaya hangat lampu gantung kristal, ayah mertua—dengan suara yang tenang tapi berwibawa—menyatakan sesuatu yang mengubah hidupku.“Sany, mulai sekarang, semua urusan rumah ini menjadi tanggung jawabmu,” ucap beliau dengan senyum teduh. “Kamu adalah nyonya besar di rumah ini.”Aku tertegun. “Sany gak bisa, Yah... Sany orangnya ceroboh,” ujarku pelan, menunduk, tak sanggup menatap wajah semua yang hadir.Ayah mertua hanya tersenyum. Tapi senyuman itu mengandung sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar persetu

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status