Kenapa kami harus kehilangan kasih sayang yang baru saja kami dapatkan kembali? *****Yoga membawa bola basket dengan wajah cemberut. Sesekali ia melirik ke arah Kiran yang sedang duduk di kebun mawar bersama Bu Nunik. Dalam hati, Yoga selalu bertanya kapankah Kiran akan bersikap seperti dulu kepadanya.Bu Nunik tersenyum dan melambaikan tangan kepada Yoga yang melihat ke arah mereka, sedangkan Kiran hanya memberikan tatapan datar.Setidaknya itu adalah sebuah kemajuan bagi Kiran. Setelah beberapa kali bertemu dengan Farah, ia tidak lagi panik bersembunyi saat melihat dan mendengar suara laki-laki. Namun, untuk berbicara atau berinteraksi lainnya, ia belum berani mencoba.Kiran menatap Yoga yang masih saja cemberut saat mengoper bola basket kepada Andika. Kiran berharap dapat menghilangkan rasa takut saat berada bersama anak itu. Bagi Kiran, Yoga sangat menggemaskan. Segala tingkah laku anak itu, cukup membuatnya nyaman. Kini ia pun merindukan saat-saat kebersamaan mereka."Mau mend
Tujuh hari berlalu dari kematian Ronald di tangan Agung. Livy telah menyiapkan segalanya. Ia harus segera pergi dari daerah ini. Ada satu tempat yang akan ia jadikan tempat persembunyian sebelum ke luar negeri. Yaitu rumah tempat ia dulu tinggal bersama tantenya, mendiang Ilona.Livy kesal saat mengetahui dari Nathalie bahwa polisi masih terus mengawasi keluarganya. Ditambah lagi peristiwa penyergapan kemarin, tentu saja polisi semakin siaga mencari keberadaannya.Livy berdiri di tepi ranjang kamar. Ia menatap ke tas yang sudah ia siapkan. Livy memandang seisi kamar, kemudian menarik napas. Sama seperti biasanya, tempat ini selalu sepi.Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, waktu yang telah ia putuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tempati saat ini. Ia tidak mungkin keluar saat matahari bersinar. Ia juga tidak mau mengundang kecurigaan warga jika keluar tengah malam."Non. Non Olie ...."Suara Bu Ida terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu.Livy menoleh kemudian melangk
Kiran berjalan bolak-balik di teras rumah sakit. Sudah pukul satu siang dan ia belum juga mendapat balasan pesan dari Agung, suaminya. Kesal, padahal sudah dari kemarin ia mengirim pesan kepada Agung agar segera mengantarkan uang kepadanya.Menunggu anak yang sedang dirawat bukanlah hal yang mudah bagi Kiran. Ditambah lagi, ia harus tinggal terpisah dengan suaminya.Kiran harus menginap di rumah singgah yang lokasinya dekat dengan rumah sakit tempat Malika dirawat. Malika memang tidak selalu menginap di rumah sakit, tetapi kondisinya sering tidak menentu. Seperti saat ini, Malika harus kembali dirawat.Kiran memutuskan segera menelfon Agung saat melihat keadaan dompetnya yang mengenaskan. Ia terus mengulang panggilan beberapa kali, tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Kiran masih menunggu di jalur telefon sambil melihat kembali isi dompetnya."Uangnya enggak cukup buat makan," ucap Kiran saat melihat dompetnya yang hanya tersisa lima belas r
Kiran hendak menelfon Agung kembali, ia penasaran ingin memastikan apa yang sedang suaminya lakukan sampai mendesah seperti itu?Tidak mungkin Agung sedang makan seblak level sepuluh. Kiran tahu, Agung jelas-jelas tidak bisa makan masakan pedas.Ia harus pulang sekarang juga. Namun, ia urungkan mengingat kondisi dompetnya. Lima belas ribu hanya cukup setengah perjalanan saja. Lagipula sepertinya percuma.Jika apa yang ada di otaknya itu adalah sebuah kebenaran, maka hal itu telah terjadi. Kiran percaya akan perasaannya, ditambah lagi dengan analisa yang Nunik katakan.Kiran menghapus air mata kemudian mengucap terima kasih terhadap Nunik atas nasi bungkusnya. Ia bilang, ia hanya kelelahan menghadapi hal ini sendirian. Nunik mengangguk mengerti.Nunik pun minta maaf karena merasa telah melontarkan kata-kata yang membuat Kiran cemas dan meninggalkan Kiran karena ia ingin meli
Jadi apakah benar Agung ada main dengan Caca? pikiran itu kembali membuat Kiran melamun di dalam mobilnya Lukman."Mbak. Mbak Kiran. Enggak jadi turun, Mbak?"Lukman menegur Kiran hingga beberapa kali sampai Kiran sadar."Eh, iya, Pak Lukman. Sudah sampai kan, Bapak bisa turun sekarang.""Lho?""Eh, kenapa jadi saya yang nyuruh Bapak turun dari mobil ya? Duh, maaf ya, Pak. Pikiran saya lagi ruwet."Lukman tertawa kecil melihat tingkah Kiran."Saya permisi ya, Pak. Sekali lagi maaf. Terima kasih juga."Lukman mengangguk dan tersenyum saat Kiran turun dari mobilnya. Namun, belum sempat ia menyalakan mesin mobilnya kembali, Kiran sudah berada di samping mobil sambil mengetuk kaca jendela mobilnya."Ada apa lagi, Mbak Kiran?" tanya Lukman sambil menurunkan jendela mobilnya."Pak L
Lukman menatap kepergian Kiran dengan bingung. Apa maksud Kiran? Apa Kiran mengetahui sesuatu tentang Caca?Lukman memarkir mobilnya kemudian turun. Tidak ada salahnya jika ia sekalian mampir ke tempat Caca karena sudah berada di sini.Lukman memasuki gang, dari kejauhan ia melihat Caca berjalan tergesa sambil membawa kantong belanjaan hingga tidak sempat melihat dirinya. Di belakang Caca, Lukman melihat Kiran berdiri sambil bertolak pinggang."Apa mereka habis berantem, ya?" tanya Lukman pada diri sendiri.Lukman kembali berjalan menuju ke rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan pagar, melihat Kiran yang sedang diteriaki oleh pemilik warung."Berarti benar, mereka berantem."Lukman segera masuk ke rumah dan langsung mencari Caca tanpa bersuara. Kepalanya masih dipenuhi berbagai macam tanda tanya.Lukman mendapati Caca sedang berdiri di dep
Berdegup kencang, irama jantung Agung saat ini tidak seperti biasa. Ia kesal, tetapi juga tidak dapat melampiaskan amarahnya atas sikap Kiran yang sedari tadi teriak-teriak, ikut campur urusan rumah tangga orang.Awalnya ia mengira sikap Kiran hanya penyaluran dari kejenuhan karena terlalu lama berada di rumah sakit dan rumah singgah. Namun kini ia sadar, Kiran sedang memojokkan dirinya."Fitnah? Kalau kamu merasa ini fitnah sebaiknya kita dengerin kisahnya Caca. Buktikan! NAMA KAMU DISEBUT APA NGGAK DI SANA???"Bentakkan Kiran tepat di telinga membuat Agung menarik napas dalam. Ia menahan diri agar tidak membalas sikap Kiran. Ia tidak mau memberikan siaran gratis lain kepada tetangganya."Ish ... Apa sih, Mbak Kiran? Nggak mau kalah ya sama Mbak Caca? Ikut teriak-teriak begitu," celetuk Bu Wati.Kiran masih menatap sinis ke arah Agung, mereka saling memberi tatapan saling menyalahkan."Mbak Kiran, m
Caca terdiam di sudut keramaian rumahnya. Ia menunduk. Pasrah dengan nasib yang akan ia jelang. Dalam hati ia terus meratapi kebodohan yang telah ia lakukan.Suara-suara yang terdengar di telinganya saat ini terdengar seperti suara tawon yang sedang berkerumun. Bising. Membuat kepalanya pusing. Selain percakapan Lukman dengan pengurus RT, suara Kiran termasuk dalam suara yang jelas tertangkap di telinga Caca.Caca melirik ke arah Kiran. Suara dan tingkah perempuan itu sangat menyebalkan. Andai saja tadi ia tidak menerima telefon dari Kiran, maka kejadian seperti ini tidak akan pernah ada."Saya minta maaf atas keributan ini, Pak RT. Ini salah saya, karena nggak bisa mendidik istri saya dengan baik," ujar Lukman.Caca melirik ke arah Lukman. Laki-laki itu sadar juga rupanya. Jika saja, Lukman bisa terus berada di sampingnya mungkin ia tidak akan pernah terjerat pesona lelaki lain. Tapi, benarkah? batin Caca terus