Share

4 Ada Yang Janggal

"Mengapa kamu bertanya soal, Rani? Anak itu sudah dua hari tak pulang. Dia berkata akan menginap di rumah kamu," jelasku pada mantan suamiku yang juga Papah kandung Rani. Aku bicara dengan nada suara datar. Aku tak bisa ramah pada mantanku itu. Apalagi mempersilahkan masuk ke dalam rumah, tentu tak akan mungkin kulakukan.

Isi dadaku merasa cemas. Kalau mantanku itu mencari ke sini, lantas Rani ke mana? Bola mataku memutar ke arah kiri dan kanan saat benak ini berpikir.

"Saya sudah beberapa bulan tak bertemu, Rani. Maka dari itu ingin bertemu dan mencarinya ke sini." Mantan suamiku tampak ketus.

"Kamu jangan pura-pura, Mia. Jangan halang-halangi saya untuk bertemu, Rani. Dia anak saya dan jangan pernah kamu memberi jarak antara Ayah kandung dan anak!" imbuhnya dengan tegas bernada keras sedikit mengancam.

Aku tak lagi terkejut. Mantan suamiku memang arogan. Aku bahkan bisa lebih tegas lagi darinya.

"Rani tidak ada di rumah. Saya tidak bohong kok. Satu hal yang harus kamu tahu ya, saya tidak pernah melarang Rani bertemu kamu!" tegasku seraya berkacak pinggang.

Aku segera menutup pintu dan menguncinya usai memberikan ketegasan pada mantanku itu. Aku masih berdiri di balik pintu. Aku harap papahnya Rani tak berusaha menggedor pintu. Aku tidak mau memancing keributan. Aku tidak enak pada tetangga. Terlebih suamiku tak ada di rumah.

Rasa di dalam dadaku kian tak karuan. Lalu aku mengintai dari balik jendela melihat ke arah depan saat di luar tak lagi ada suara.

Aku menghela napas lega, saat mantan suamiku akhirnya pergi.

"Huhh! Akhirnya dia pulang juga," desisku. Aku duduk di sofa ruang tamu sendirian. Mengambil ponsel di dalam saku dasterku.

Segera kuusap layar ponsel dan kuhubungi Rani detik ini juga. Aku penasaran, kemana dia pergi selama dua hari dua malam ini. Alasannya ke rumah Papah kandung tentu saja bohong saat kedatangan mantan suamiku baru saja.

Aku menempelkan benda pipih itu pada telingaku. Namun sayang, nomor yang aku tuju rupanya tidak aktiv.

"Aarrgghh! Kemana kamu, Rani!"

Rasa gejolak di dalam dada kembali memanas. Aku selalu dibuat kesal oleh anak itu. Sering keluyuran, pulang malam, terakhir menemukan kondom di kamarnya. Bahkan yang lebih parahnya, sudah dua hari dua malam dia tak ada di rumah.

Sudah beberapa kali aku menelphone Rani akan tetapi usahaku tetap saja nihil. Aku berubah haluan dengan menghubungi Mas Fery saja. Aku harap suamiku belum tidur karena ini baru saja pukul delapan malam.

"Hallo, Mas!" Aku segera menyapa saat akhirnya Mas Fery menjawab sambungan telephone dariku.

"Iya, Mia. Ada apa?" Suara Mas Fery bertanya dengan nada datar.

"Mas, kamu kapan pulang?" Aku segera bertanya lagi.

"Besok juga pulang. Ada apa sih?" Mas Fery terdengar kesal.

"Rani sudah dua hari tidak pulang, Mas. Aku khawatir sama dia," ungkapku menceritakan kecemasan pada Mas Fery.

"Bukannya dia menginap di rumah papahnya kan? Sudahlah tak usah khawatir!" tegas suamiku ketus. Mungkin karena aku telah membuat dia kesal karena mengganggu malam-malam.

Eh tunggu, Mas Fery tahu dari mana kalau Rani izin menginap di rumah papahnya? Padahal aku belum cerita. Ah ya sudahlah, mungkin Rani yang cerita.

"Tidak, Mas. Rani tidak ada di rumah papahnya!" tukasku.

"Ya sudah, tunggu saja dia pulang. Aku sibuk!" Sepertinya Mas Fery tak mau berlama-lama bicara denganku.

"Ya sudah. Maaf ya, Mas. Kalau aku ganggu."

Mas Fery kemudian mengakhiri percakapan kami tanpa berucapkan pamit. Biasanya suamiku tak seperti ini. Perhatiannya semakin hari terasa semakin berkurang. Apalagi sudah hampir dua bulan dia tak pernah menjamah tubuhku. Dia sering terlihat lelah, mungkin karena pekerjaan yang menumpuk dan aku bisa memaklumi. Tapi, apa bisa seorang pria beristri mampu menahan syahwat selama dua bulan?

Ah apa-apaan aku ini. Pikiranku benar-benar tidak karuan. Aku mengusap kasar wajahku kemudian memilih kembali ke kamar dan tidur saja. Semoga saja besok Rani sudah bisa dihubungi nomor telephone-nya.

***

"Kamu dari mana? Mamah berusaha menelephone tapi ponsel kamu terus saja tidak aktiv."

Aku segera mencerca pertanyaan pada anak gadisku. Dia baru saja pulang, tak lama setelah kepulangan Mas Fery.

Rani mematung di depanku dengan wajah kesal. Aku yakin dia sedang mencerna alasan untuk menjawab pertanyaanku.

"Kenapa harus bertanya lagi. Aku dari rumah Papah, Mah!" jawab Rani dengan tegas. Bisa-bisanya dia mempertegas kebohongannya.

"Kamu bohong! Mamah sudah tahu kalau kamu tak pernah menginap di rumah Papah kamu!" Aku benar-benar kesal dengan anakku. Entah akhir-akhir ini dia terus saja membuat aku merasa kesal.

"Kamu terus saja berbohong pada, Mamah. Apa sih yang ada dalam pikiran kamu? Mau jadi apa kamu. Keluyuran sampai tak pulang-pulang!" imbuhku dengan nada suara yang naik satu oktav.

Namun belum sempat Rani menjawab pertanyaanku, di waktu yang bersamaan pula Mas Fery memotong pembicaraan kami. Dia baru saja keluar dari kamar saat aktivitas mandinya telah selesai.

"Sudahlah, Mia! Rani baru saja tiba, kamu terus saja bertanya dengan keras. Dia mungkin cape. Beri dia waktu untuk menjelaskan alasannya!" Mas Fery membela Rani. Dia bahkan membiarkan Rani untuk masuk ke dalam kamarnya dan menghindari pertanyaanku.

"Mas, Rani itu anak gadis. Wajar kalau aku bertanya saat kepergiannya sangat tidak jelas!"

"Aku khawatir anakku bergaul dengan orang yang salah! Aku tidak mau gagal mendidik anakku!" tegasku pada Mas Fery. Kali ini aku tak suka saat dia terlihat melindungi kesalahan Rani.

"Tapi kamu juga harus tahu waktu. Kamu bisa kan bicara baik-baik? Tak usah bernada suara tinggi, karena aku tak suka mendengarnya!"

Mengapa Mas Fery yang malah memarahiku? Aku benar-benar dibuat aneh siang ini.

Tak lama, Rani keluar dari dalam kamar dengan membawa gembolan tas yang entah apa isinya.

"Mau kemana lagi kamu?" Aku segera bertanya pada Rani.

"Aku akan pergi dari rumah ini!" jawab Rani tampak murka.

Mengapa malah dia yang marah? Harusnya aku yang marah. Rani benar-benar telah berubah. Sikapnya bahkan menjadi pembangkang.

"Apa-apaan kamu! Mau pergi kemana? Kamu bahkan baru saja tiba setelah dua hari dua malam entah tidur dimana!" Dengan kesalnya aku membentak Rani.

Namun bukannya takut, Rani malah membalas tatapanku lebih tajam dan berbicara lebih keras dari nada suaraku.

"Aku sudah tidak betah tinggal bersama, Mamah! Banyak aturan dan seperti hidup di dalam penjara. Apalagi sekarang, Mamah telah berani memasang CCTV di kamarku. Mamah pikir aku anak bayi yang harus dipantau setiap detiknya?!" Rani berbicara dengan hardiknya.

Apa! Dari mana Rani bisa tahu menganai CCTV itu? Bukankah tak ada yang tahu mengenai kamera pemantau itu selain aku, Mba Parni dan Mas Fery. Kamera pemantau itu bahkan terpasang di sudut yang tak bisa Rani ketahui.

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Alex Robert
authornya berhasil membuat emosi pembaca ... tapi jangan lama lama ya bikin Mia bodoh ... ntar bosen yg baca trus kabur gak di lanjut karna kesel nunggu Mia ilang tololnya
goodnovel comment avatar
Elly Roosdalena Salim
Rani selingkuh dengan papa tirinya... Mia aja bego bisa gak curiga...
goodnovel comment avatar
Mael Julius
tak gagal mendidik,,kamu sudah gagal..pondasi ap yg kau didikkan sampai anakmu jd murahan seliar itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status