Aku dan Siska segera memesan makanan serta minuman saat pramusaji menghampiri dan menyodorkan buku menu."Oh iya, Mia. Bagaimana dengan shooting kemarin? Maaf ya aku tak bisa ikut karena ada kerjaan," celetuk Siska setelah memilih menu makanan dan minuman kesukaan."Lancar-lancar saja sih. Hanya sedikit menyebalkan tatkala aku sempat bertemu pria sombong saat hendak pulang," balasku sambil menaikan sebelah bibir atas."Pria sombong! Siapa?" Siska nampak penasaran. Ah dia memang selalu ingin tahu saja. Tapi walau pun begitu sahabatku ini memang baik sih."Entahlah tak usah dibahas, khawatir merusak selera makan." Aku segera mengakhirinya. Kesal memang saat ditegur oleh pria sombong kemarin.Hanya menunggu tujuh menit saja Bu Anjani sudah tiba dan menyapaku, "Selamat malam, Mba Mia. Mohon maaf terlambat." Dia kemudian berjabat tangan denganku dan Siska.Aku segera menyambut kedatangan Bu Anjani dengan ramah, "Selamat malam, Bu. Tidak apa-apa kok. Mari silahkan duduk, Bu," balasku tentu
Aku masih mematung tak tahu harus menjawab apa."Baik, Mba Mia. Kabarin saya kalau sudah siap ya." Bu Anjani tampak menyodorkan kertas tebal berukuran kecil. Itu adalah kartu nama."Itu kartu nama saya. Nanti Mba Mia hubungi saya ya," lanjutnya. "Iya, Bu," balasku singkat."Saya permisi dulu karena harus pulang. Saya tunggu kabar baiknya ya, Mba Mia," pamit Bu Anjani yang segera dibalas anggukan kepala dan senyuman ramah olehku.Bu Anjani tampak beranjak dari tempat duduk kemudian pergi. Sementara aku dan Siska langsung saling melempar tatapan membingungkan."Ini kesempatan emas, Mia," celetuk Siska tampak menyemangati."Entahlah, aku bingung. Ini semua rasanya aneh. Lagi pula aku juga sedang menulis di salah satu platform," balasku yang belum bisa memutuskan."Kalau menurut aku sih lebih menjanjikan tawaran dari Bu Anjani lah," saran Siska.Tak lama pramusaji terlihat menyajikan pesanan kami di atas meja. Aku tak lagi membahas masalah itu dengan Siska. Isi perut yang terasa keroncon
Rani menghempaskan genggaman tanganku. Meski ini bukan yang pertama kalinya Rani membentakku, tapi tetap saja rasanya sakit. Bola mata anak itu selalu saja membulat sempurna saat marah padaku. Bahkan rahangnya terlihat mengeras. Kali ini rasanya lebih sakit dari sebelumnya karena anakku telah lancang membentak di depan umum."Pergi dari sini dan jangan ikut campur urusanku!" usir Rani kepadaku sambil meluruskan sebelah tangan kanannya ke arah pintu keluar.Plak!Dengan repleks sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Rani sehingga membuat wajahnya terpanting ke arah kanan. Aku telah menampar pipi Rani dengan emosi yang tak bisa lagi dicegah. Kali ini aku benar-benar marah pada anakku yang semakin hari semakin kurang ajar saja."Berani Mamah menamparku!" pekik Rani sambil memegang pipi kirinya."Ya! Karena saya adalah Ibu kamu!" tegasku pada anak yang mulai terasa semakin durhaka.Sepasang manik Rani tampak berkaca-kaca. Aku harap dia sadar. Biarkan tamparan yang keras tadi membuka
"Dijebak macam apa, Rani?" Dengan suara gemetar aku bertanya lagi. Suasana hati kian memanas saja.Rani tampak diam dalam beberapa detik. Ia kemudian mengangkat wajahnya dan kembali bercerita."Setahun lalu, keperawananku direnggut oleh seorang laki-laki tatkala tengah liburan bersama di pantai. Dia siswa terfavorit. Bukan hanya aku yang menginginkannya, semua siswa perempuan pun sama halnya. Dia kakak kelasku. Dia berjanji akan setia, namun setelah berhasil merenggut kesucianku, laki-laki itu pergi ke luar kota setelah kelulusan sekolah. Aku terpukul dan hancur. Sementara dalam rahimku tengah hidup seorang janin. Aku bingung harus berbuat apa. Sementara bercerita pada Mamah hanyalah akan menambah masalah baru. Sampai akhirnya Ayah Fery mengetahui semuanya. Ayah Fery membantuku menggugurkan kandungan. Ayah Fery membantuku menyelesaikan masalahku. Tapi, Ayah Fery malah sering masuk kamarku dan bermain cinta denganku. Seiring berjalannya waktu, aku menikmatinya. Aku tidak tahu, hasrat s
Setelah kepiluan malam yang kian larut ini aku dan Siska memutuskan untuk segera tidur saat jam di dinding kamar menunjukan pukul dua dini hari. Kelopak mata ini sudah terasa sangat berat. Siska tidur di kamar tamu, sementara aku tidur di kamar sendiri.Lelahnya perasaan ini membuatku tak terasa hanyut dalam mimpi.Tok tok tok!Suara ketukan pintu dari luar kamar disertai panggilan. Padahal aku pikir baru saja hendak tertidur tapi mengapa sudah dibangunkan saja."Mia, sudah bangunkah?"Sayup-sayup suara Siska terdengar bertanya dari luar. Padahal pintu kamar tak dikunci, jadi dia bisa masuk sesukanya. Tapi itulah, Siska. Meski pun kami sudah bersahabat dekat sejak lama, dia tetap menjaga sopan santun dan menghormati privacy aku."Masuk saja, Sis!" Sahutku dari dalam. Kelopak mata ini masih terasa lengket. Rasa kantuk masih sangat terasa.Pintu dibuka dan Siska hanya membiarkan kepalanya saja yang terlihat olehku."Sudah jam tujuh, Mia. Kamu harus segera bangun dan sarapan. Ada jadwal
Saat ini Aku dan Siska telah sampai di gerbang tempat pemakaman umum teratai. Aku keluar dari mobil Siska dan berjalan menuju sebuah makam kecil yang terlihat sudah terlihat lapuk dimakan waktu. Langkah ini diikuti Siska dari belakang. Aku menekuk lutut di atas pusara yang beratas namakan Dinda Binti Dodi. Aku mengusap nisan yang terbuat dari batu. Makam kecil itu tidak memakai semen. Hanya dipenuhi dengan rumput-rumput liar yang terurus."Ini makam siapa, Mia?" Siska bertanya. Sepertinya dia sudah sangat penasaran."Mbo Sari berkata, kalau ini adalah makam anakku yang sebenarnya," dengan sendu aku menjawab. Ada kesedihan yang dengan susah payah kubendung di tenggorokan. Aku tak bisa menumpahkan air mata ini di atas makam yang suci, makam anakku."Ya Tuhan, jadi anak kamu sudah meninggal?" Siska terdengar kaget karena aku tak melihat ekspresi wajahnya. Aku hanya mendengar suaranya saja. Aku hanya memandang makam kecil yang sudah terlihat lama."Aku melakukan tes DNA itu karena ucapan
Mbo Sari menelan saliva. Ia terdiam dalam beberapa saat kemudian melihatku dengan tatapan sendu."Ceritakanlah, Mbo. Saya sudah tahu dan punya bukti kalau Rani ternyata memang bukan anak saya. Saya sudah melakukan tes DNA, hasilnya tidak cocok. Hasil medis saja menyatakan kalau Rani memang bukan anak saya. Walau berat, saya sudah menerima kenyataan pahit ini, Mbo," tuturku dengan susah payah. Lagi-lagi ada kesedihan yang terbendung di tenggorokan saat kenyataan pahit itu lagi-lagi harus dikupas."Jadi, semuanya sudah terbukti, Mba?" Mbo Sari nampak tercengang.Aku mengangguk. Tatapanku tak berpaling ke arah mana pun. Hanya Mbo Sari yang aku tatap dengan penuh tanda tanya."Mbo, bicara saja. Mia dan saya tak akan memperpanjang masalah. Mia hanya ingin cerita yang jelas saja dari, Mbo Sari. Jangan takut, Mbo." Siska menimpali mungkin agar Mbo Sari tak ragu lagi untuk bercerita.Mbo Sari menghela napas terlebih dahulu. Wajahnya masih saja terlihat tegang. Aku segera meletakan sebelah tan
"Iya, Mba. Saya permisi mau ikut evakuasi," pamit laki-laki yang setengah tua tadi. Dia terlihat berjalan dengan cepatnya menuju mobil yang sudah ringsek tertimpa pohon besar di atasnya."Siska, kamu dengar tadi? Korbannya bernama, Rani!" Aku terkejut. Pikirannya langsung khawatir pada Rani anakku, meski pun kini aku tahu kalau dia bukan anak kandungku."Sudahlah, Mia. Memangnya nama Rani hanya satu. Rani ada banyak dan ada dimana-mana. Bisa jadi itu Rani yang lain kan," balas Siska terlihat santai."Iya sih. Tapi, aku penasaran, Sis. Tidak ada salahnya kan kalau menepi sebentar. Kita lihat korbannya dan memastikannya," pintaku yang tetap bersi kukuh. Perasanku berkata lain. "Tapi, hujan. Mana macet pula kan." Siska nampak enggan."Sebentar saja, Siska. Aku mohon," rengekku. Rasanya aku tak akan bisa tenang sebelum memastikan korban yang disebutkan bapak-bapak tadi.Siska mengangguk seraya menaikan kedua alisnya. Akhirnya dia mau menepikan kendaraan roda empatnya walau pun cuaca terl