Suara Di Bilik Iparku (43)
**
Seharian ini usai perdebatanku dengan Oki, aku belum sama sekali bertemu dengannya meskipun jam pulang kantor sudah tiba. Dia yang biasanya menungguku sampai dapat taksi, hari ini tidak ada di sampingku. Entahlah, kenapa dia bisa berubah seperti itu. Padahal bagiku dia lah satu-satunya orang yang paling dekat denganku.
Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah ketika taksi yang mengantarku telah berhasil membawaku sampai di rumah dengan selamat. Untung saja seharian ini perutku bisa diajak kerja sama, jadi tubuhku tidak terlalu letih.
Rencananya, besok aku akan mengunjungi dokter kandungan untuk memeriksakan kondisi kehamilanku. Semoga saja anak yang ada di dalam kandunganku baik-baik saja meski segala cobaan tengah mendera hidupku.
"Sudah pulang, Nis." Ibu menyapaku saat kaki kananku baru saja melangkah ke dalam kamar.
Segera kuhentikan langkahku, lalu tersenyum ke arah wanita yanh sudah melahirkanku itu. "Sudah
Suara Di Bilik Iparku (44)**Dadaku kembang kempis, kutatap geram punggung lelaki yang baru saja menjalani sidang bersamaku. Dia benar-benar tidak pantas di sebut sebagai manusia, dia sudah seperti hewan buas. Dengan sesuka hatinya memperlakukanku seperti ini. Bahkan kini, dia pun juga mencari masalah dengan Oki.Air mataku menetes, terlebih ketika kulihat sudut bibir Oki memar dan mengeluarkan darah segar. Tidak sepantasnya Oki mendapat perlakuan seperti ini, karena semua ini murni adalah masalah pribadiku dengan Mas Akbar."Maaf," ucapku dengan mengusap pelan darah yang menempel di sudut bibirnya.Ia sedikit meringis, mungkin lukanya benar-benar menimbulkan rasa sakit. "Maaf untuk apa?""Untuk ini," jawabku dengan mengusap lagi sudut bibirnya agar sisa darah itu dapat bersih."Aku yang seharusnya minta maaf. Aku meninggalkanmu sendiri di parkiran sampai pria laknat itu datang menyerang mentalmu lagi," tuturnya, tapi kali ini dia me
Suara Di Bilik Iparku (45)**"Bara. Ada apa? Kenapa nggak masuk?" tanyaku saat baru saja turun dari mobil dan di ikuti oleh Oki di belakangku.Bara lantas berbalik dan menatapku, wajahnya sedikit sayu, dia juga terlihat sedikit kurus. Kasian, sepertinya perpisahannya dengan Hanum berdampak besar pada hidupnya. Untung saja, aku tidak sejauh itu memikirkan pria seperti Mas Akbar."Enggak, takut ngrepotin. Di sini aja, lagian aku cuma bentar kok, Mbak," jawab Bara dengan beberapa kali melirik Oki yang ada di sampingku."Em ... Aku mau bicara, Mbak."Aku mengernyitkan dahi, "bicara? Yaudah bicara aja," kataku tak paham, karena biasanya dia juga langsung bicara meski masalah sepenting apapun."Tapi ... Berdua saja," lanjutnya membuatku semakin terheran dengan perkataannya.Ada apa ini? Bahkan dia pun sebenarnya juga sudah kenal dengan Oki. Lalu kenapa sepertinya secara tidak langsung ia menyuruh agar Oki pergi. Sepenting apa hal ya
Suara Di Bilik Iparku (46)**"Om, bapak mau ketemu. Nanti sore jam setengah lima di cafe Tulip, ya," ucapku pada Om David ketika kami bertemu di lift.Om David seketika sumringah, kedua matanya berkaca-kaca. Sepertinya dia sangat menantikan saat ini tiba. Yang kutahu, untuk melalui proses ini tidak lah mudah untuk keduanya.Ternyata, selama ini Om David sudah berulang kali mencari keberadaan bapak sampai ke kota lama kita tinggal. Tapi tak dia temui, karena memang delapan tahun yang lalu kami pindah tempat karena alasan yang tak kuketahui.Sedangkan bapak, aku yakin selama sepuluh tahun ini berusaha memendam dan mendamaikan hatinya dengan kecurangan yang telah sahabatnya lakukan. Aku tahu, ini bukan perkara mudah untuk memaafkan Om David dan bersikap seperti dulu lagi."Terimakasih, Nis. Om janji, setelah ini akan berubah dan akan menyerahkan hak kalian. Kamu tahu? Sepuluh tahun hidup dalam rasa bersalah itu sungguh tidak menggairahkan. Dan
Suara Di Bilik Iparku (47)**Bara melirik ke arahku dengan senyuman aneh. Padahal jelas dia tahu bahwa saat ini aku dan Mas Akbar belum resmi bercerai, tapi kenapa bisa dia membawa semua anggota keluarganya ke rumahku? Dan juga, kenapa mereka semua seakan tunduk dengan Bara. Seharusnya mereka mencegah perbuatan buruk Bara, kan?"Bagaimana, Pak? Apa lamaranku di terima?" ucap Bara memecah keheningan.Aku dan ibu saling berpandangan, seakan sama-sama berharap bahwa bapak akan mengatakan tidak untuk lamaran kali ini. Aku tahu, ibu pun pasti juga enggan jika sampai aku terjerumus pada lembah yang sama.Terlebih aku tahu, bahwa sikap Bara tak jauh berbeda dari Mas Akbar. Bahkan cenderung lebih buruk dari kakaknya. Beberapa pekan kami rutin berhubungan, semakin aku tahu bahwa Bara adalah orang yang sangat tempramental. Dia tidak segan berbuat buruk pada orang yang telah menyakitinya."Em ... Maaf, bukan saya tidak ingin meneruskan tali silaturahm
Suara Di Bilik Iparku (48)**Siang ini aku pergi kesebuah rumah sakit untuk memeriksakan kandunganku, tentunya Oki lah yang menemaniku karena kedua orang tuaku tengah sibuk dengan bisnisnya yang baru saja mereka kelola bersama Om David. Perutku semakin membuncit, gerakan-gerakan kecil juga sudah mulai terasa.Hatiku sangat bahagia, karena itu artinya bayiku berkembang dengan sangat baik di dalam sana. Setidaknya, meski telah bercerai aku harus tetap bahagia demi anak yang tengah kukandung, seperti yang Oki katakan."Em ... Kayaknya nanti aku nggak bisa anter pulang, deh."Oki membuyarkan lamunanku ketika kira-kira lima menit lagi kami akan sampai di rumah sakit. "Iya nggak apa-apa, memangnya ada apa?""Aku ... Aku mau jemput kedua orang tuaku," jawabnya singkat.Dahiku mengernyit, tak biasanya orang tuanya yang datang ke kota. Biasanya sebulan sekali Oki lah yang berkunjung ke rumah orang tuanya di desa. Wajar saja, Oki adalah seoran
Suara Di Bilik Iparku (49)**Tubuhku masih membeku meski sopir taksi telah melajukan mobilnya. Oki baru saja berkata, bahwa dia mencintaiku, dan kedua orang tuanya akan datang ke kota demi ingin bertemu denganku.Lucu bukan? Seakan hidup ini mempermainkanku dengan sangat manisnya.Aku tidak berharap lebih mengenai apa yang dikatakan oleh Oki, hanya saja semua itu terdengar sangat serius. Tidak seperti Bara yang juga sempat mengutarakan perasaannya padaku, meski pada akhirnya aku tahu bahwa semua itu hanya sebuah kebohongan semata.Bara tak lebih ingin menjadikanku sebagai alat untuk balas dendam pada Mas Akbar dan Hanum. Bahkan saat dia sudah berhasil membuat mereka kecelakaan dan pada akhirnya Hanum lumpuh saja belum cukup baginya.Aku tak tahu, kenapa bisa orang di luar sana bisa memendam dendam sedalam ini pada orang yang telah menyakitinya. Bahkan aku sendiri pun tak akan tega jika berbalik menyakiti sedalam itu.Bagiku, ka
Suara Di Bilik Iparku (50)**Pagi ini, aku sudah bersiap dengan segala peralatan dan beberapa tas besar di samping mobil yang telah Oki siapkan. Begitu juga dengan kedua orang tuaku, mereka ikut serta denganku yang hendak pergi dan pindah dari rumah yang telah kuhuni sedari kecil.Ya, Oki memintaku untuk pindah dari rumah ini supaya Mas Akbar atau siapapun tak dapat lagi menggangguku. Terlebih setelah kemarin pagi Mas Akbar datang ke rumah dan mengganggu mentalku untuk kesekian kalinya.Kedua orang tuaku pun setuju, mereka sangat tidak nyaman dengan sikap Mas Akbar hingga akhirnya setuju untuk meninggalkan rumah ini dengan segala kenangan yang tersimpan di dalamnya. Bukan tanpa alasan lain pula aku menyetujui perintah Oki, aku merasa jika terus menerus tinggal di tempat ini maka tak akan baik untukku dan janin yang tengah kukandung.Berbagai pengaruh negatif selalu muncul hingga membuat janinku tak berkembang sesuai usianya. Hal itu pula, membuatk
Aku dan Kekasih Suamiku**"Hai. Kenalkan aku Lusi, kekasih Mas Chandra."Kedua mataku membola, tapi segera kukuasai kesadaranku, "oh, kekasihnya? Kenalkan aku Hanan. Istri sah, sekaligus pemegang semua aset-aset Mas Chandra!"**Rintik hujan masih terdengar di luar sana, aku tengah termenung dengan secangkir teh hangat di tanganku. Hatiku gelisah, sudah waktunya Mas Chandra pulang, tapi sampai hampir Maghrib dia tak kunjung sampai rumah.Berulang kali pula kuhubungi nomor teleponnya, tapi lagi-lagi hanya suara perempuan yang menjawab panggilanku bahwa nomor suamiku tengah berada dalam luar jangakuan. Kemana pria itu? Bahkan aku telah menyiapkan berbagai makanan kesukaannya untuk acara makan malam acara ulang tahun pernikahan kami yang ke tiga.Apa mungkin, dia lembur dan tidak sempat mengabariku? Namun aneh rasanya. Pagi tadi aku sudah berulang kali mengingatkan bahwa jangan sampai pulang terlambat sore ini.Duaaarr!Su