SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTU
PART 2Gegas aku meraih gagang pintu lalu menekannya ke bawah berkali-kali, namun pintu tak kunjung terbuka."Pintu terkunci!" geramku. Kuremas jemariku, berharap mampu sedikit saja memberikan ketenangan lalu aku bisa berpikir dengan jernih.Kutempelkan lagi gendang telinga pada daun pintu, tapi sudah tak terdengar lagi suara dari dalama sana. Padahal aku tadi sempat menangkap suara des ahan yang saling bersahut-sahutan.Karena tak kunjung mendapatkan ide, akhirnya aku memilih ....Brak!Kutendang kuat-kuat pintu kamar, namun masih tertutup dengan sempurna.Brak!Brak!"Mona! Buka pintunya!"Brak!Brak!Brak!Aku terus menggebrak daun pintu dengan begitu kerasnya, tak kupedulikan rasa panas yang menjalar di area telapak tanganku."Mona! Buka pintunya!"Suara seseorang berusaha memutar anak kunci terdengar, hingga sepersekian detik kemudian sosok wanita yang tengah mengenakan pakaian tidur dengan rambut digelung ke atas berdiri di hadapanku."Ada apa, Bu? Maaf, saya tadi tertidur. Ibu butuh sesuatu?"Cih! Manis sekali mulut wanita ini.Aku menelisik wajah cantik wanita itu.Ya, memang kuakui, Mona adalah wanita yang cantik. Namun kurasa ia masih tak bisa mengungguli kecantikanku."Dimana Bapak?""Loh, kenapa Ibu nyari Bapak di sini? Ibu baik-baik saja kan?" Wanita muda itu memasang wajah bingung.Tanpa menjawab ucapannya, gegas aku merangsek masuk. Kutabrak tubuh wanita itu hingga membuatnya terhuyung.Aku langsung mencari keberadaan suamiku di balik pintu, namun kosong."Bu Mika kok aneh sekali nyari Bapak kesini?"Tak kupedulikan ucapan wanita itu. Aku langsung mengacak-acak seisi kamar yang sebenarnya tak begitu luas ini. Di dalam lemari dan kolong ranjang pun tak luput dari pencarianku."Bapak dimana? Katakan!" Kali ini nada suaraku mulai meninggi, geram sekali rasanya. Padahal jelas-jelas kudengar suara Mas Johan di dalam kamar ini. Lalu kenapa begitu aku masuk tak ada siapapun di dalam sini? Hanya Mona seorang!"Bu, saya kan sudah bilang kalau Bapak tidak ada di sini. Lagian Bu Mika ini lucu sekali sih masa nyari Bapak ke sini." Wanita itu terkekeh.Aku kembali memindai ke segala penjuru. Tak ada apapun yang digunakan untuk tempat sembunyi di dalam kamar ini.Hingga sepasang manik hitamku tertuju ke arah dua buah ventilasi yang melengkapi ruangan kamar."Tidak mungkin jika Mas Johan keluar lewat sana," batinku sembari menatap ventilasi kamar yang panjangnya tak lebih dari 30 cm dengan lebar yang hanya 15 cm.Aku menoleh ke arah Mona, sempat kulihat senyum sinisnya terbit di bibir bergincu merah merona. Namun begitu menyadari tatapanku berpindah ke wajahnya, senyum itu musnah dengan seketika."Nggak ada kan, Bu? Barangkali ibu mimpi buruk sampai terbawa-bawa kayak gini. Tapi gapapa kok, Bu. Saya memaklumi." Wanita berusia 25 tahun itu menampilkan senyum polos.Aku menghembuskan napas kasar.Saat aku ingin melangkah keluar kamar, tiba-tiba saja kedua netraku melihat sebuah Cd laki-laki yang menyembul dari bawah bantal.Saat aku ingin mengambilnya, suara ketukan pintu terdengar dari arah depan. Mona melongokkan kepalanya keluar kamar, dan dengan cepat kuambil cd itu lalu kumasukkan ke dalam baju tidurku.jijik sebenarnya, tapi aku ingin memastikan siapa pemilik kain berbentuk segitiga itu."Itu kayaknya Bapak baru pulang, Bu. Saya buka pintunya dulu.""Nggak perlu!" Cepat aku menjawab, membuat Mona yang hendak melangkah menjadi urung."Baik, Bu." Wanita itu masih berusaha bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.Sekilas aku melirik jam yang menggantung di dinding. Dimana jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Setelahnya, gegas aku melangkah keluar dan menuju ke arah depan.Di sepanjang perjalanan berkali-kali kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan, berharap mampu sedikit saja merendamkan gejolak emosi di dalam dada.Begitu aku sampai di balik pintu, dua buah kunci rumah masih menggantung di tempatnya."Assalamualaikum, Sayang." Suara Mas Johan terdengar saat pintu kubuka.Aku sedikit merasa bingung, bagaimana bisa Mas Johan keluar dari kamar Mona lalu saat ini sudah berada di luar rumah. Pakaian kerjanya masih membalut rapi tubuh lelaki itu."Waalaikumsalam," ucapku dengan pikiran yang terus menebak dan menerka-nerka.Mas Johan mengulurkan tangan kanannya agar kucium–seperti kebiasaan setiap harinya. Namun aku pura-pura tak tahu lalu melangkah terlebih dahulu sembari berucap, "Jam segini baru pulang, Mas?""Iya, Sayang. Tadi kan Mas sudah kabarin kamu kalau ada pertemuan mendadak," ucap Mas Johan, terdengar suara pintu ditutup lalu anak kunci kembali berputar.Seketika saja aku mengingat benda berbentuk persegi di dalam bajuku. Sengaja aku berhenti, menunggu langkah Mas Johan. Hingga pada akhirnya langkah kami sejajar. Kulingkarkan tangan kananku ke pinggang lelaki itu dan Mas Johan pun merangkul pundakku.Kami berjalan secara beriringan. Perlahan tanganku bergerak ke bawah, mer aba bokong Mas Johan. Dan benar saja, saat kur aba, tak kurasakan bokong Mas Johan berbalut kain segitiga.Fix!Ini adalah milik Mas Johan!"Mas, kamu pergi kerja kok nggak pakai celana dalam?"Langkah Mas Johan seketika terhenti. Ia menatapku dengan gugup, terlihat dengan jelas saat ia menelan saliva dengan susah payah."Kenapa gugup? Apa pertanyaanku salah? Aku raba kok kayak nggak pakai dalaman? Masa sih kamu berangkat kerja nggak pakai itu?" ucapku. Dalam hati aku bersorak-sorai kala melihat wajah gugupnya.Mas Johan seperti ingin berbicara, namun tak tau apa yang akan dikatakan olehnya."Pakai kok, Sayang. Masa iya kerja nggak pakai itu? Aneh dong." Mas Johan tertawa, tawa yang terkesan dipaksakan."Oh ya? Coba deh lihat, kok tadi tanganku nyentuh bokong kamu kayak polosan ya?""Ih, apa-apaan sih. Masa iya kamu suruh aku copot celana di sini. Nanti ada yang lihat.""Lah memang kalau ada yang lihat kenapa? Kita kan suami istri. Ada yang salah? Kan aku cuma memastikannya saja."Wajah Mas Johan semakin terlihat gugup. Kedua manik hitamnya bergerak kesana-kemari, seperti tengah berusaha mencari alasan yang tepat untuk diungkapkannya."Yaudah kalau nggak mau di sini, kita ke kamar saja. Biar aku nggak penasaran."Lagi, terlihat Mas Johan menelan salivanya.Akhirnya kami pun melangkah menuju kamar. Namun, begitu pintu kubuka, tiba-tiba Mas Johan berucap, "Bentar ya, perutku mules."Brak!Mas Johan menutup pintu dengan begitu kerasnya, setelahnya dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju kamar mandi.Aku mengikutinya, namun begitu Mas Johan masuk, secepat kilat ia kembali membanting pintu kamar mandi dengan begitu kerasnya, membuat Nando yang tertidur pulas kini menangis meraung-raung."Pintar sekali kamu, Mas."Akhirnya aku pun melangkah menuju ranjang, meraih tubuh mungil itu lalu menimang-nimangnya.****"Capek sekali rasanya." Mas Johan menghembuskan napas berat. Setelahnya ia membaringkan tubuh di atas ranjang."Memang habis ngapain, Mas?"Pandangan lelaki itu yang semula tertuju pada langit-langit kamar seketika berpindah ke arahku begitu mendengar pertanyaanku."Ya habis kerja lah, Sayang. Memang habis ngapain lagi?""Oh, kirain.""Kenapa memang? Apa ada sesuatu?""Enggak," jawabku dengan singkat.Aku merubah posisiku menjadi telentang. Kupejamkan kedua netraku, padahal isi kepalaku terus berkeliaran.****"Mas berangkat dulu, ya.""Iya, Mas."Kali ini aku kembali mencium punggung tangan suamiku.Mas Johan yang semula sudah berdiri kini berjongkok. Ia menciumi wajah mungil Nando–anak kami– yang ada di pangkuanku."Jagoan, Papa berangkat dulu, ya." Setelahnya, lelaki itu kembali mendaratkan kecupannya di kening Nando."Mon, nitip Ibu sama Nando ya. Jangan keluar kemana-mana, takutnya Ibu nanti sewaktu-waktu membutuhkan bantuanmu.""Iya, Pak." Wanita itu sedikit membungkukkan tubuhnya, khas selayaknya seorang pembantu dengan majikan.Aku mengantar kepergian Mas Johan sampai teras rumah.Kutatap kepergian mobil yang dikendarai oleh Mas Johan dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan.Kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan. Sudah kuputuskan, jika aku akan menyelidiki semua ini diam-diam. Jika perselingkuhan mereka lakukan, maka bersiap-siaplah untuk menerima konsekwensinya.SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTUPART 65Tegukan demi tegukan minuman memabukkan itu terus masuk ke dalam perut Johan. Hingga akhirnya lelaki itu merasa benar-benar pusing. Dan di saat jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Johan kembali pulang. Brak!Brak!Johan menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Mona yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Mona beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Mona mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Mona terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenernya sudah ia
SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTU PART 65Tak bisa dipungkiri, ada yang terasa berdenyut di dalam batin Mika saat Johan tak hanya mengabaikan dirinya, melainkan juga tak menganggap lagi keberadaan Nando. "Bisa-bisanya Mas Johan melupakan Nando begitu saja. Padahal Nando adalah darah dagingnya," batin Mika. Pandangan wanita itu terus lurus ke arah depan. Sesekali ia melirik ke arah Nando yang tengah tertidur di pangkuan Bude Sumi. Hingga puluhan menit kemudian, mobil yang dilajukan oleh Mika memasuki halaman rumahnya. DretDretTiba-tiba ponsel Mika yang tersimpan di dashboard mobil bergetar bersamaan dengan kendaraan yang telah berhenti. "Bude turun dulu ya, Mbak." "Iya, Bude." Setelah menjawab ucapan Bude Sumi, Mika segera mengambil ponsel. Dan terlihat sebuah nomor asing terpampang sebagai pemanggilnya. Tak berpikir lama, Mika segera mengangkat panggilan itu. "Halo, selamat sore," sapa Mika begitu panggilan diangkat olehnya. "Selamat sore juga, benar dengan nomor Mbak Mika?"
SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTUPART 52"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Mika begitu melihat Mona dan Johan melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Mona menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Mona mendekat ke arah Mika yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Mona dengan begitu lancarnya. Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia setelah perpisahan. Makanya, jangan sombong sekali jadi perempuan. Sok-sokan pengen cere, tapi kehidupannya jadi blangsak!" Ucapan Johan menambah luka di hati Mika. Wanita itu tak kunjung merespon, ia hanya berdiri terpaku menatap waja
SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTUPART 50Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Mika telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Mika mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Mika berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan persidangan. "Semoga saja sidang berikutnya Johan nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Mik?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Mika berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap
SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTUPART 62DretDretPonsel yang sejak pagi Johan pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Johan yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Johan sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Johan terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Bagas menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Johan. "Mas Johan, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat
SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTUPART 61"Saya ikut investasi, Mbak. Modal setidaknya harus 50 juta biar dapat hasilnya kerasa. Kalau di bawah itu, dapatnya kecil. Nggak perlu kerja keras, duit dah datang sendiri. Kebetulan saya ikut investasi teman saya, Mbak. Kalau Mbak Marni sekiranya ada uang 50 juta, ayolah gabung gapapa." Mendengar ucapan itu, sontak saja membuat Marni bergidik. Dan kini giliran kedua alis Johan yang saling bertaut begitu melihat respon tetangga samping rumahnya. "Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Johan merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Johan terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut
SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTUPART 60Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Mona yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Mona pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Mona pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Mona pun segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Johan beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka matanya. "Ada apa, Sayang?" tanya Johan dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Mona sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" uca
SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTU PART 47"Jadi usaha yang lu lakuin bukan yang mengharuskan langsung ikut terjun, begitu?" tanya Johan setelah Bagas menceritakan perihal usaha yang selama ini geluti untuk mencapai kesuksesannya. "Enggak, Bro. Ibaratnya kita tinggal Investasi saja. Misal nih, lu investasi 50 juta, setiap bulan lu bisa dapat 10% dari modal yang lu kasih."Johan terdiam, menghitung dalam angannya berapa nominal yang akan ia terima jika ia menginvestasikan 50 juta uangnya pada Bagas. "5 juta per bulan?" "Iya. Lumayan kan. Tinggal duduk ngopi di rumah. Biarkan uang yang bekerja untuk kita, bukan malah kita yang bekerja untuk uang." Lagi, Johan kembali terdiam. Mencerna kalimat yang diucapkan oleh Bagas padanya."Lu kerja pagi sampai sore, gaji 10 juta. Dikibulin sama perusahaan itu!" Bagas tertawa mencemooh. "Gini saja deh, Bro. Coba saja Investakan 50 juta dulu, kalau lu merasa cocok, nanti tambah lagi nilainya. Katakanlah investasi 100 juta, bayangkan saja setiap bul
SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTUPART 46Satu minggu berlalu, dan satu minggu sudah Mona dan Johan menempati tempat tinggal barunya. Dan kini, sepasang suami istri itu tengah bersiap-siap untuk datang ke tempat Johan bekerja dulu, untuk mengambil uang gaji terakhir dan pesangon berikut juga dengan bonusnya. "Ayo berangkat, Mas." "Iya, Sayang."Sepasang suami istri itu pun melangkah menuju ke arah depan. Dimana sebuah taksi online telah menunggu keduanya. "Sesuai aplikasi, Pak?" tanya Sang sopir begitu dua penumpangnya telah duduk di bagian belakang. "Iya," jawab Johan dengan singkat. Kemudian, mobil pun mulai bergerak lalu melesat membelah jalan raya."Nanti aku mau beli satu set perhiasan ya, Mas." Dengan wajah berbinar, Mona menoleh ke arah sang suami. "Iya, beli saja apa yang kamu mau." Semakin nampaklah kebahagiaan yang terpancar pada wajah Mona. Hingga puluhan menit kemudian, kendaraan roda empat itu mulai memelan lalu berhenti tepat di depan gerbang dimana dulu Johan beker