Share

Bab 3. Ancaman secara halus

SUARA SUAMIKU DI KAMAR PEMBANTU

Part 3

"Masih banyak kerjaan, Mon?"

Mendengar pertanyaan Mika, lantas membuat gerakan tangan Mona yang tengah membersihkan guci terhenti. Wanita itu menoleh ke arah Mika.

"Enggak, Bu. Sudah hampir selesai. Tinggal bersih-bersih ini saja."

Mika mengangguk.

Wanita berusia 30 tahun itu menatap fokus ke arah ponsel yang ada di tangannya.

"Lihat apa sih, Bu, sepertinya kok serius banget," tanya Mona.

"Ini loh, Mon, yang lagi viral. Sini deh," titah Mika.

Mona mengangguk, setelahnya wanita muda itu melangkah mendekat ke arah sang majikan. Lalu, ia mendudukkan bokongnya di samping Mika yang masih terfokus pada layar ponsel.

"Apa sih, Bu? Mona kok jadi kepo. Memang apa yang viral? Wah sepertinya Mona ketinggalan berita."

Ya, meskipun Mika adalah seorang majikan, lantas tidak membuat Mika bersikap semena-mena. Ia tak merasa jijik jika duduk bersebelahan dengan sang art, dan ia pun selalu mengajak makan dalam satu meja.

"Lihat ini deh, masa iya sih sudah tau suaminya selingkuh malah diam saja. Apalagi selingkuhannya adalah ibu mertuanya sendiri loh. Benar-benar nggak ada akhlak," ucap Mika sembari menunjukkan layar ponsel ke arah Mona.

"Memang, ya, sekarang pelakor itu sedang naik daun. Nggak muda, nggak tua sama saja. Padahal di luar sana masih banyak sekali lelaki belum beristri yang bisa mereka pacari, kok sukanya cari penyakit," celetuk Mika, membuat Mona menelan saliva dengan susah payah.

"Kalau aku jadi wanita yang diselingkuhi, nggak bakalan diam aja lah, Mon. Macam sinetron ikan terbang itu loh, yang bisanya cuma nangis, nangis dan nangis."

"Me–memang apa yang akan ibu lakukan?" Tergagap Mona berbicara.

"Kalau Mas Johan berselingkuh, minimal diaraklah keliling komplek, biar pada tau semuanya wajah-wajah peselingkuh. Tapi nggak adil dong kalau lakiknya aja yang diarak, selingkuhannya pun juga harus. Diarak dengan tubuh telan jang." Mika menjeda ucapannya. Bibir wanita itu tersenyum samar saat melihat wajah Mona semakin pucat pasi.

"Tau nggak, di kompleks sini tuh para ibu-ibu benci banget yang namanya pelakor dan peselingkuh. Bahkan, mereka membuat geng anti pelakor. Jika salah satu anggotanya ternyata diselingkuhi oleh suami, maka semua anggota geng itulah yang akan membalaskan rasa sakit hati," imbuh Mika.

"Coba deh bayangin, pasti seru mengarak Mas Johan dengan selingkuhannya keliling kompleks. Terus ibu-ibu di sini pada bawa tepung, telur buat ditimpuk ke wajah mereka. Terus ada yang bawa cabe dimasukkan ke dalam alat vi talnya, terus diusap-usapkan ke kedua gunung kembarnya. Pasti seru itu, apalagi kalau sampai ada yang merekam lalu tersebar ke sosial media. Widih, pasti rame jagat dunia."

Mendengar ucapan Mika membuat Mona bergidik ngeri. Wajah itu semakin terlihat pucat pasi.

"Nggak mungkin lah, Bu, kalau Bapak selingkuh. Bapak kan lelaki yang setia, apalagi setau Mona, Bapak selalu bersikap lembut pada Ibu." Mona berusaha bersikap biasa saja, namun tak membuat gurat ketakutan, ketegangan sirna dari wajah cantiknya.

"Ya semoga saja apa yang kamu katakan benar, Mon. Ingat ya, kamu jangan sampai menjadi pelakor," ucap Mika menatap sepasang iris hitam Mona yang terus bergerak-gerak.

"Enggak, Bu." Senyuman penuh keterpaksaan terlihat di bibir Mona.

"Ya sudahlah, Mon. Lanjutkan saja pekerjaanmu sebagai seorang Art. Saya mau ke kamar dulu."

Mika sengaja memperjelas statusnya, setidaknya agar wanita muda itu sadar diri akan kedudukannya.

****

[Mas, sepertinya istrimu mulai menaruh curiga soal hubungan kita setelah kejadian kemarin malam itu.]

Send.

Satu pesan dari Mona langsung masuk ke ponsel milik Johan. Dan tak butuh waktu lama untuk pesan itu berubah menjadi centang dua berwarna biru.

[Kalau dia curiga, ya itu wajar saja. Biarlah, setelah ini kita cukup jaga jarak dulu untuk beberapa waktu. Bersikaplah selayaknya majikan dan pembantu saat ada atau tidaknya Mika di sekitar kita.]

Satu pesan balasan dari Johan masuk ke ponsel Mona, membuat bibir Mona berdecak kesal.

[Asal kamu tidak lupa dengan janji kamu, ya.]

[Soal apa?]

[Belikan aku rumah sendiri. Masa kamu tega melihatku terus-terus dijadikan babu sama istrimu itu.] Pesan itu diakhiri dengan rentetan emotikon marah.

[Iya, sabar dulu, ya. Bukankah ini dulu memang kamu sendiri yang minta? Gapapa jadi pembantu asal bisa bertemu terus denganku?]

[Aku pikir ya nggak selama ini lah.] Cepat, Mona memberikan pesan balasan.

[Iya, sabar dulu, ya. Maaf.]

Mona mendengkus, setelahnya ia meletakkan ponsel di atas meja yang ada di samping ranjang tanpa membalas terlebih dahulu pesan dari Johan.

Dret

Dret

Ponsel yang baru saja beberapa detik yang lalu diletakkan, kini bergetar. Ada panggilan masuk dan nama sang bapak terpampang sebagai pemanggilnya.

Gegas Mona mengambil kembali benda pipih itu. Mona berdecak kesal saat mengetahui jika sang bapaklah yang menghubunginya.

Sejenak ia terdiam, namun pada akhirnya wanita itu mengusap layar datar ke atas.

"Mon, kapan kamu kirim uang? Uang Bapak udah habis. Tinggal limpul."

Prediksi Mona tak meleset. Selalu begitu. Uang, uang dan uang.

"Mona nggak ada uang, Pak." Nada suara Mona terdengar kesal.

"Halah, Mon, mintalah sama Johan. Bilang saja Bapak lagi butuh duit. Kalau nggak mau kasih, ancam saja bakalan bongkar hubungan kalian ke istrinya. Gitu aja kok ribet!"

Ya, Sang Bapak memang mengetahui hubungan mereka. Sebab, beberapa kali Johan mengantarkan Mona pulang kampung. Dan tanpa rasa malunya, Johan mengatakan pada kedua orangtua Mona jika dirinya begitu mencintai wanita itu.

Jika sang ibu dari wanita bernama Mona menolak, namun tidak dengan sang bapak.

"Mona capek loh, Pak, Bapak jadikan Mona seperti sapi peras saja. Telepon Mona kalau butuh duit saja. Tolong dong, Pak, hentikan judinya."

"Halah, tau apa kamu, Mon. Judi itu hiburan buat Bapak! Jangan banyak ngomong, Mon, kirim saja uang yang Bapak minta! Kalau Bapak menang, kamu juga bakalan kecipratan."

"Memang Bapak pernah menang? Enggak kan? Judi itu yang ada malah bikin miskin, Pak, bukan jadi kaya." Mona bersungut-sungut.

Tanpa memberikan respon lagi, panggilan diputus begitu saja oleh Sang Bapak. Mona menghembuskan napas berat. Setelahnya ia kembali menghubungi nomor Johan melalui sambungan telepon.

"Ya, Mon, ada apa?"

"Kamu ada uang nggak, Mas? Bapak katanya butuh uang. Uang dari kamu kemarin sudah Mona belikan emas."

"Berapa memang?"

"500 saja, Mas."

"Ada kalau segitu, Mon. Kamu kan tau sendiri semua gaji dipegang sama Mika."

"Yaudah, transfer langsung ke rekening Bapak saja, Mas."

"Iya, Mon."

Panggilan itu pun berakhir.

Ada yang sebenarnya mengganjal di hati Mona soal keuangan sang kekasih. Johan selalu berucap jika seluruh gaji dipegang oleh sang istri. Bahkan, Johan pun mengatakan jika dirinya hanya mendapatkan jatah 2 juta setiap bulan. Namun, yang dirasanya aneh adalah, jika sewaktu-waktu Mona meminta dibelikan emas, baju ataupun yang lain, sang kekasih langsung menuruti tanpa banyak drama.

Di satu sisi ia merasa penasaran dari mana sang kekasih mendapatkan uang untuk menyenangkannya. Namun di sisi lain Mona memiliki pemikiran untuk masa bodo. Baginya, yang terpenting apa yang ia minta, selalu dituruti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status