Share

2. Halusinasikah?

Ivanna Sanchez

Aku berada di ruangan dokter bersama Jax dan Bri. Jax ngotot untuk ikut masuk dan merasa harus mengetahui kondisiku saat ini.

Ya, secara teori aku baik-baik saja. Penjahat itu tidak jadi memperkosaku, terima kasih untuk jax, dan tak ada kurang satu apa pun. Namun, tidak secara mental.

Aku masih sering didera ketakutan yang mendalam setelah kejadian penyerangan itu dan selalu bermimpi buruk di malam hari.

Sesungguhnya tak aneh jika Jax berjaga di luar kamarku. Namun, hampir setiap malam, aku seperti melihat kehadirannya di ruangan tempatku berada.

Meski dalam keadaan tidak sadar karena kantuk, aku tak mungkin tidak bisa melihatnya dengan pasti bahwa itu memang dia.

“Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya Jax pada dokter, seolah ia adalah anggota keluarga yang sangat mencemaskan kondisiku saat ini. Bahkan Bri belum sempat mengatakan apa pun, dan Jax sudah menyela.

“Dia baik-baik saja. Tak ada luka serius di kepala akibat benturan, atau tidak juga seperti yang kalian cemaskan. Ia belum tersentuh oleh penjahat itu.”

“Syukurlah. Apakah ada hal lain yang harus kami perhatikan tentang dia?” Lagi, pria itu mengambil panggung yang seharusnya untuk Bri.

Aku hanya tersenyum tipis memerhatikan bagaimana lagak Jax yang seolah dirinya adalah suamiku dan kami bukan sedang memeriksakan kesehatanku melainkan ...

“Hey, Vans! Kau melamun, ya?” Tepukan Bri di lenganku membuyarkan angan bakal yang baru saja terlintas. Syukurlah ia menyadarkanku dari lamunan, jika tidak, mungkin aku akan malu karena bisa jadi Jax yang akan melakukannya.

“Ya, aku tahu kalau bodyguardmu itu sangat memesona, tetapi jangan terlalu kelihatan begitu. Ingat, Damon adalah seorang pencemburu “ godanya, yang hanya kujawab dengan senyum dan wajah yang tersipu.

Tersipu? Tidak! Tidak mungkin aku tersipu hanya karena kelakar ringan yang dilontarkan oleh Bri. Aku biasanya sangat profesional dan ridak mungkin akan melakukan hal yang tidak-tidak, tetapi kali ini, sangat berbeda.

Jax tampaknya memang berbeda dari pria mana pun.

Pria itu bahkan menuntunku sejak turun dari mobil hingga tiba di ruanganku. Tatapan mata tajamnya tak henti mengawasi sekitar, memastikan aku benar-benar aman.

Aku bisa rasakan otot liat di balik jaket biker yang ia kenakan kala lengannya itu merengkuh tubuhku dan membawaku masuk serta membantuku berbaring di atas ranjang.

Oh ... apa yang terjadi padaku?

“Kau aman sekarang, Nona. Bolehkah aku permisi sebentar?” pamitnya. Aku mengangguk tanpa bertanya ke mana ia akan pergi. Aku percaya padanya meski aku baru bertemu dengannya beberapa hari.

Mungkin aku buta, tetapi aku tahu kalau pria ini memang tulus dan profesional menjalankan tugasnya untuk menjaga keselamatanku.

Aku menanti cukup lama. Bri tak muncul, begitu juga Jax. Namun, aku tidak mencemaskan Bri karena ia telah mengabariku kalau dirinya akan kembali ke studio untuk menyelesaikan rancangannya yang akan kukenakan dalam acara malam anugerah nanti.

Lantas di mana Jax? Apakah ia memutuskan u tuk pulang malam ini? Jika memang iya, dia pasti dan seharusnya mengabariku, bukan?

Aku bangkit dan berjalan perlahan, mencari pelayan yang biasanya akan berjaga di beberapa ruangan agar mereka bisa membantu kapan pun aku membutuhkan bantuan.

Mereka masih ada di sana, bertanya apa yang kubutuhkan.

“Satu margarita. Tolong letakkan di kamarku. Aku mau mencari udara segar sebentar saja.”

Seorang bartender mengangguk patuh, kemudian membuatkan apa yang kupesan, sementara aku masih dengan misi semula yaitu menemukan Jax, sekaligus berjalan-jalan sebentar menikmati udara malam dan bintang yang gemerlap di langit.

Malam tampak cerah. Beberapa hari ini memang udara terasa lebih hangat. Aku pun tak memakai mantel, hanya balutan dress satin berwarna hitam dengan sleeping robe dengan bahan dan warna senada.

“Jax?” kupanggil namanya, saat kudengar suara di semak-semak taman. Aku mendekat dan menemukan Jax tengah terduduk di sana dan menyuntikkan sesuatu ke pahanya.

Aku tidak mungkin salah lihat. Ia memang tengah menginjeksikan cairan berwarna merah—yang tidak kuketahui jenisnya—ke dalam tubuhnya. Beberapa kali. Pertama di pahanya, lalu lengan dan perutnya.

Apakah ia menderita semacam penyakit? Diabetes mungkin? Ataukah dia adalah seorang pecandu?

***

“Apa yang anda tuduhkan itu tidak benar, Nona. Aku bukan seorang pecandu! Kau pasti salah lihat,” elaknya, sembari memasukkan benda-benda keparat itu ke dalam tas pinggangnya. “Ini hanya serum. Aku sedikit mengalami kesulitan jika terkena udara dingin.”

Aku memicingkan mata, memastikan bahwa dia tidak berbohong. Namun, sudah jelas kalau itu hanyalah alasannya.

“Malam ini tidak dingin, Jax. Kecuali kau menderita masalah tiroid, kau tidak akan merasa kedinginan,” sanggahku, tak mau kalah. “Bagaimana kalau kita lakukan tes?”

Wajah Jax yang memang sedikit pucat, kini tampak lebih pias kala aku mengatakan tentang tes adiksi. Bisa saja dia seorang pecandu, kan?

Jika memang iya, aku pastikan akan berhenti memakai jasanya.

“Uhm, Vans. Kurasa kecurigaanmu itu ridak beralasan. Kau tidak seharusnya mempertanyakan mengenai penyakitnya, itu tisak sopan,” ujar Brianna yang tampak berusaha memahami konflik yang terjadi di hadapannya.

“Tapi aku melihatnya sendiri, Bri. Dia menyuntikkan sesuatu.”

Aku masih tetap ngotot dengan pendapat dan apa yang aku lihat meski Jax masih mencoba mencari alasan, sepertinya, agar dia bisa bebas dari tuduhanku. Namun, seperti biasa, Bri berusaha menenangkanku dan ia mendekati Jax. Entah apa yang mereka bicarakan. Kuharap itu tidak akan menambah masalah baru bagiku.

***

Aku merasa sekujur tubuhku sangat nyeri, seolah kejadian penyerangan itu baru saja terjadi dan luka yang kurasakan masih menganga hingga menimbulkan sakit tak terhingga saat ini.

Aku terbangun dan merasakan peluh sudah memenuhi kening dan tubuhku. Sepertinya aku baru saja mengalami mimpi buruk lagi. Dan melihat Jax berdiri tepat di hadapanku membuat napasku tercekat seketika.

Aku hendak berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar.

Apakah dia di sini untuk melampiaskan kemarahannya atas tuduhanku terhadapnya mengenai apa yang ia lakukan beberapa jam lalu? Aku tidak berbohong dan dia memang menyuntikkan sesuatu yang tidak kuketahui.

Aku sangat anti dengan seorang pecandu, maka wajar kalau aku benar-benar tegas untuk masalah itu. Aku bahkan sudah katakan agar dia tidak lagi bekerja di sini, tetapi Bri pasti mempertahankannya.

“Ssh ... jangan berteriak, Nona.” Pria itu membekap mulutku lantas meletakkan telunjuk di bibirnya sebagai tanda bahwa aki tidak boleh bersuara. Aku tidak tahu apa alasannya. Namun, saat aku berkedip, Jax sudah tak ada lagi di hadapanku.

Ia lenyap seperti tak berbekas.

Apakah aku sedang berhalusinasi? Ataukah ... mungkinkah aku terlalu terganggu dengan kehadiran dan gelagat aneh pria itu hingga mengkhayalkan sesuatu tentangnya?

Tentu saja. Memangnya alasan apa lagi yang mendasari semua yang aku alami selama Jax masuk dalam kehidupanku sebagai pengawal?

Aku bangkit dan turun dari ranjang, lantas berjalan perlahan keluar dari kamar. Seluruh ruangan hanya diterangi cahaya remang-temang, tak mungkin jika masih ada yang terjaga. Mungkin Jax adalah pengecualian, karena dia adalah pengawalku.

Namun, di mana dia?

Sungguh aku tak habis pikir dengan apa yang barusan kualami. Jelas-jelas Jax membekap bibirku dan memintaku untuk tidak bersuara.

Baiklah ... andaikan saat ini aku sedang menjadi lakon dalam film thriller, maka aku harus mengikuti apa yang Jax katakan.

Diam dan jangan bersuara.

Aku terus melangkah, tak sengaja mendengar suara yang berasal dari lantai satu. Aku berjalan menuruni tangga dan mengikuti arah sumber suara.

Dadaku bergemuruh saat melihat apa yang ada di hadapanku. Damon, bersama seorang wanita tengah melakukan hal yang tak pernah kuduga akan ia lakukan.

Kali ini tak mungkin aku salah menduga. Meski aku tidak begitu jelas melihat siapa wanita yang kini berada di bawah tubuh Damon dan tengah bertukar peluh dan saling mengisi dengan tunanganku, tetapi tidak mungkin mataku tidak mengenali pria yang akan menjadi suamiku.

Dadaku terasa sesak, penuh seakan mau meledak. Seluruh tulang-tulangku sekaan lenyap entah ke mana. Tubuhku melemah, seperti tak ada lagi tenaga yang mampu menopangnya agar tidak limbung dan jatuh ke lantai. Dan memang, aku nyaris tersuruk andaikan sepasang lengan kokoh tidak menangkap tubuhku dengan sigap. Dan setelahnya, aku hanya merasakan kegelapan menyelimuti duniaku.

***

Aku terbangun tiba-tiba, tetapi secercah cahaya matahari menyeruak masuk melalui celah tirai yang membuatku yakin kalau apa yang kualami malam tadi hanyalah mimpi. Terlebih, Damon sedang terlelap di sampingku dan hanya sehelai selimut yang membungkus tubuh polosku.

Aku bangkit dengan cepat, menggeleng tak percaya.

Apakah ini maksudnya aku melihat Damon tengah bercinta dengan diriku sendiri saat itu? Ada apa sebenarnya denganku?

“Hey ... apa yang terjadi?” tanya lelaki itu, bangkit dan membelai rambutku. Aku hanya menggeleng, tak mengerti.

“K-kau ke mana semalam? Aku tidak menemukanmu di ranjang,” tanyaku, tak bisa menahan diri. Bisa saja ini halusinasiku atau justru Damon memang tengah mengkhianati dan mempermainkanku.

Bagaimana tidak curiga? Damon adalah seorang pengusaha sukses yang tampan dan murah hati. Ia mudah merasa iba pada siapa pun sehingga akan membuatnya bersikap tidak masuk akal. Kalau pun tujuannya untuk menolong orang lain, sering kali dengan cara yang tidak bisa kumaklumi.

Misalkan saat seorang wanita mendapat perlakuan tidak selayaknya dari sang suami, Damon membawa wanita itu dan mengizinkannya tinggal di apartemen miliknya.

Ketika aku datang untuk memeriksa kondisinya, wanita itu justru bersikap tidak pantas dan saat Damon tahu, ia justru membela wanita itu.

“Oh, mungkin kau terbangun saat aku sedang ke kamar kecil. Aku hanya sebentar dan saat kembali, kau sedang tidur, sayang.”

Pria itu membelai rambutku lagi. Jawabannya masuk akal dan mungkin merupakan sebuah kebenaran. Namun, mengapa aku tidak percaya?

Aku merasa ada yang salah. Entah memang Damon, atau justru diriku sendiri.

Aku merespon perkataan Damon hanya dengan gelengan. Aku tidak percaya, tetapi tak ingin memulai pagi ini dengan pertengkaran. Terlebih saat ia mengecup bibirku dan mengecup ceruk leherku, sengatan hasrat itu tiba-tiba timbul. Dari dalam diriku.

“Damon, aku menginginkanmu,” mohonku, lantas menatap bola mata kelabunya dalam-dalam. Napasku masih terengah, berusaha menahan letupan gairah yang mulai menguasaiku. Namun, jawaban Damon meredupkan hasrat itu dan menenggelamkannya ke dasar lautan.

“Maafkan aku, sayang. Semalam kau sudah begitu liar sampai aku kewalahan. Pagi ini aku ada janji dengan Tatiana untuk pergi mengunjungi posko bencana. Kami akan melakukan donasi,” ucapnya.

Ya ... tentu saja. Lagi-lagi Tatiana. Bagaimana aku tidak cemburu kalau ia terus seperti ini?

“Kalau begitu aku ikut,” jawabku, dengan senyum termanis yang kupaksakan, berharap ia akan mengabulkan permintaanku kali ini.

Selama ini, Damon jarang mengizinkanku ikut dengannya setiap kali ia mengadakan kegiatan sosial. Selalu Tatiana yang akan ia bawa dan jadi partner terbaiknya. Padahal, aku juga ingin sesekali merasakan melakukan sesuatu yang bermanfaat bersama dengannya.

Aku ingin mengenalinya lebih lagi. Apa yang ia sukai, hobinya, passionnya. Aku ingin mengetahui dan menyelami itu semua. Namun, ia seolah memberi jarak bagiku agar tidak terlalu dalam masuk ke kehidupannya.

Dan benar saja, mendengar permintaanku, pria itu menatap wajahku dengan bibir yang ia katupkan.

“Jangan katakan. Aku tahu, kau pasti lagi-lagi akan mencegahku untuk pergi denganmu.” Aku menunduk kecewa.

“Baby, bukan seperti itu. Lihatlah kondisimu. Aku hanya mencemaskanmu. Di luar sana terlalu banyak orang jahat dan mereka menggilaimu.”

“Apa maksudnya?” tanyaku tak suka akan pernyataan yang baru saja meluncur dari mulutnya. “Apakah maksudmu mereka yang menyukaiku adalah orang jahat? Semuanya? Berani sekali kau—“

“Vans ... tolong jangan mulai.” Damon menggeleng. Ia lantas mengecup bibirku beberapa detik. Aku menghitung berapa lama waktunya, karena ini merupakan jurus yang selalu ia lakukan setiap kali aku mulai merajuk. “Aku harus pergi. Jax akan menjagamu dan kau boleh memintanya mengantarmu ke mana saja kau mau, tapi tolong, berhati-hatilah, oke?”

Apa bedanya? Dia pergi berdua dengan Tatiana dan tidak mengizinkanku ikut dengannya, tetapi justru mengizinkanku keluar bersama Jax.

Persetan denganmu, Damon!

***

Aku memandangi kepergian Damon dan Tatiana yang sempat melemparkan kecupan udara padaku. Aku hanya menyunggingkan senyum tipis. Aku muak dengan sandiwara sok ramah yang satu ini.

Baiklah, katakan saja aku kejam, jahat, negatif, atau apa pun karena berpikiran buruk pada sahabatku—padahal dialah yang mengenalkanku dengan Damon, sepupunya. Namun, please, lihatlah dari sudut pandangku. Apakah ada wanita yang bisa sabar jika kekasihnya, calon suaminya, terlalu sering berurusan dengan sepupunya dan tampak layaknya kekasih?

Padahal siapa kekasih Damon?

“Nona, apakah kau sudah siap? Apakah ada lagi yang ingin kau bawa?” tanya Jax, yang sudah siap dengan barang bawaanku.

Aku mempererat mantelku. Udara terasa begitu dingin padahal ini masih pagi. Dan Jax ... mengapa kulitnya tampak begitu pucat dan seolah bersinar di bawah sorotan cahaya matahari?

Lalu, bicara soal Jax ... kurasa aku harus bertanya padanya apa yang ia lakukan malam tadi di kamarku. Jangan katakan kali ini aku lagi-lagi berhalusinasi.

“Jax, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanyaku, ketika mobil mulai bergerak perlahan meninggalkan mansion. Aku sengaja membawa satu sopir dan membiarkan Jax fokus dengan tugasnya melindungiku saja, tidak merangkap sebagai sopir.

“Silakan, Nona.” Pria yang duduk di samping kursi kemudi, tampak menoleh sedikit ke arahku. Namun, aku tidak bisa melihat bagaimana reaksi pria itu karena kaca mata hitam yang ia kenakan.

“Kau di mana malam tadi?” pertanyaan yang sama seperti yang aku tanyakan pada Damon, dan berharap aku akan dapatkan jawaban yang lebih melegakan bahwa aku tidak bermimpi atau berhalusinasi malam tadi.

“Aku berjaga di luar kamar anda dan tuan Alejandro. Apalah ada masalah, Nona?”

Aku mendesah kasar. Jawaban yang tidak jauh berbeda dengan apa yang Damon katakan. Tidak benar-benar serupa tetapi sama saja. Tidak memberikan apa yang aku ingin dengar.

“Tidak. Aku hanya merasa aneh. Semalam aku jelas terbangun dan mencarimu. Tetapi tidak menemukan siapa pun. Dan ketika turun ke lantai satu, Damon ... sudahlah. Kurasa sebaiknya kita tidak membahas itu.”

Aneh sekali. Apakah Jax dan Damon bekerja sama untuk mempermainkanku? Mengingat aku mendapatkan Jax melalui aplikasi milik Tatiana. Dan malam penyerangan itu ... apakah juga merupakan siasat mereka?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status