Ivanna Sanchez
Tidak banyak yang kulakukan seharian ini, hanya pergi berbelanja, mengunjungi beberapa tempat baru, dan hanya bersama Jax yang mana merupakan orang lain. Bukan sahabat, bukan kekasih. Dan itu sangat aneh bagiku.Selama ini aku tak pernah ke mana pun secara sembarangan. Tak ada yang tidak mengenalku. Seperti halnya siang tadi, beberapa orang akhirnya berkerumun untuk meminta sesi foto bersamaku. Beruntungnya ada Jax yang sigap melindungi dan membawaku menjauh dari kerumunan, tidak hanya satu atau beberapa orang, melainkan puluhan orang.“Jax, apa yang kau lakukan? Mereka ingin berfoto denganku!” ketusku, saat Jax menjauhkanku dari mereka, merangkulkan lengan kokohnya setelah menutupi kepalaku dengan jaketnya.Aku merasa mirip seperti penjahat yang harus lari dan menyelinap dari banyak orang. Padahal apa salahnya berfoto sebentar saja?“Apakah kau tidak lihat tadi? Mereka tak hanya satu atau dua orang, Nona. Sepuluh atau mungkin lebih. Apakah kau yakin bisa memenuhi harapan mereka berfoto dan lalu sudah? Satu selesai maka akan datang lainnya. Kau bukan artis yang baru keluar kemarin sore. Tidak ada satu pun dari mereka yang tidak mengenalmu,” jawabnya, panjang lebar.Baiklah, aku bisa mengerti kekhawatirannya, kalau memang itu yang ia rasakan. Atau bisa saja itu hanya formalitas dan profesionalitas karena memang itu tugasnya. Namun, setidaknya memberi kesempatan satu atau dua orang saja bisa, kan?“Lagi pula, ini bukan acara meet and greet. Ini adalah hari liburmu. Dan apakah kau tidak lihat beberapa wartawan—““Cukup, Jax! Kau bukan asisten atau pun manajerku jadi tolong ketahui batasanmu!”“Maafkan aku, Nona.”Dan dia bungkam.Oke aku tahu kalau dia memang sedang menjalankan tugas. Namun, tak bisakah untuk tidak menerobos batasan antara pekerjaannya dengan pekerjaanku? Kalau dia harus melindungi maka lakukan sementara aku melakukan pekerjaanku.Dan ketika sudah tiba di rumah, aku sama sekali tidak bicara dengan Jax—karena memang kami tidak memiliki kepentingan untuk itu. Dan aku hanya ingin mencari sahabatku untuk kujadikan tempat pelampiasan kekesalanku.Saat masuk ke ruangan kerja kami, sahabatku itu sedang berada di sana, tampak membuka lembar demi lembar yang ada di hadapannya kemudian fokus pada iPad secara bergantian.“Hey, bagaimana jalan-jalannya? Kau belanja apa saja?” tanyanya tanpa mengalihkan fokus dari benda di tangannya.Aku mengempaskan tubuh di atas sofa dan menumpangkan kakiku ke atas meja. Memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Bri.“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Damon tidak pernah mengizinkanku untuk ikut dengannya dan sepupu kesayangannya, lalu Jax yang aneh, lalu ... ada satu lagi, Bri!”Aku bangkit dan bergegas menarik kursi agar bisa duduk di dekat sahabatku itu.“Sepertinya ini cerita yang menarik. Spill it!” ujarnya, lalu menyingkirkan benda yang ada di hadapannya untuk menyimakku.Ini yang aku sukai darinya. Dia selalu ada kapan pun aku membutuhkan. Aku tidak akan protes jika dia tidak bersedia hadir saat dirinya sedang tenggelam dalam kesibukan di studio, hal itu adalah yang paling ia sukai. Setidaknya ketika aku inginkan kehadirannya, dia masih terus mengusahakan untuk selalu ada.Melihatnya begitu antusias, aku berusaha mengingat kejadian kemarin malam yang membuatku seperti orang tak waras pagi harinya.“Sebelumnya aku ingin bertanya, apakah kau merasa ada yang aneh dari Damon? Maksudku mungkin gelagat atau tingkah lakunya. Aku tahu, kau tidak selalu berada di sini, tetapi kau pasti pernah mengobrol berdua saja dengannya. Tidakkah menurutmu dia tampak berbeda?” tanyaku. Jujur saja, aku juga bingung harus memulai dari mana.Aku tidak mau dianggap menuduh sembarangan, atau terlihat seperti pacar yang posesif. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.Dan Brianna hanya menggeleng.“Aku tidak melihat ada yang aneh kecuali kesibukannya akhir-akhir ini. Memangnya kenapa? Apakah kau merasakan sesuatu terjadi dengannya?”“Aku tidak tahu, Bri. Aku hanya ... mungkin ini hanya mimpi buruk, tetapi entah mengapa terasa begitu nyata. Aku menyaksikan sendiri Damon sedang bercinta dengan seseorang.”Bri tampak ternganga saat mendengar penjelasanku. Ia lalu menggeser kursinya agar lebih dekat lagi dan mulai menyimak. Aku bisa melihat betapa serius raut wajahnya. Tentu saja ia seharusnya terkejut, selama ini yang ia tahu aku dan Damon tak pernah ada masalah apa pun, bahkan mengenai kecemburuanku terhadap perempuan lain, hal yang baru-baru ini kurasakan.Atau mungkin ia sudah tahu, hanya saja memilih untuk diam dan berpura-pura tidak tahu. Entahlah.“Apakah kau yakin? Maksudku, Vans ... kau sudah mengalami hal buruk beberapa waktu terakhir, akan mungkin jika kau jadi lebih sensitif karena bisa jadi kau mengalami ... kau tahu maksudku.”“Tidak. Aku tidak tahu maksudmu,” jawabku, sedikit ketus.Mungkin Bri benar. Namun, tetap saja, aku tidak suka kalau semua orang yang kuceritakan mengenai apa yang kualami lantas menganggap ini ada hubungannya dengan kejadian buruk yang baru saja kualami. Aku tidak gila!Dan satu lagi, pernyataan Bri barusan menyiratkan seolah masalah itu datangnya dariku, bukan benar-benar dari Damon dan sahabat kami. Bagaimana jika memang benar? Apakah aku harus mendatangi psikiatri untuk masalahku?“Vans, kuharap kau tidak marah dulu. Banyak sekali mereka yang bekerja di dunia hiburan lantas mengalami tekanan, stres, bahkan depresi. Juga masalah mental lain. Aku hanya ingin menunjukkan kalau tak mengapa andai kau memang mengalaminya. Aku ada di sini dan aku peduli padamu, Vans. Aku menyayangimu, karena itu jika memang kau mengalaminya, mari kita selesaikan.”Aku mengedikkan bahu mendengar perkataan Bri yang panjang lebar. Aku sedang tidak ingin diceramahi. Segera aku bangkit dan berniat meninggalkannya agar kembali bekerja.“Dan mari kita selesaikan pembicaraan ini. Kembali bekerja, karena aku pasti akan membutuhkan detail schedule-ku segera dan rancangan terbarumu,” ucapku lalu bergegas pergi sebelum dia mulai bicara lagi.Persetan dengan pendapatnya!***Aku tak sadar mengomel sepanjang perjalanan menuju ke kamar. Tidak juga menyadari siapa yang mengekor langkah hingga tiba di ruangan pribadiku. Dan ketika pintu kuhempaskan barulah aku tahu, Jax ada di sana.Oh, Tuhan! Itu pasti sangat menyakitkan.“Astaga, Jax! Oh, maafkan aku. Apakah kau terluka?” tanyaku dengan segera memeriksa hidungnya yang tampak sedikit membiru di antara kulitnya yang putih pucat. Mengapa aku tidak berhati-hati saat hendak membanting pintu dan apa yang ia lakukan di sini?“Tidak apa-apa, Nona. Aku baik-baik saja,” jawabnya, tenang.Aku tahu, itu pasti sakit. Namun, aneh rasanya karena bukannya berwarna kemerahan, tulang hidungnya itu justru sedikit kelabu dan nyaris kebiruan.“Apakah kau sedang sakit? Aku baru sadar kalau kau sangat pucat.” Tanganku tanpa sengaja terulur dan membelai wajahnya dengan tatapan bingung dan tak percaya akan apa yang kulihat.Apa yang kurasakan saat ini membuatku tak bisa berpikiran logis. Tubuh Jax terasa begitu dingin, bahkan seolah membeku. Aku menarik tanganku dan memandanginya yang bergeming dan hanya membalas tatapanku dengan ekspresi yang tak bisa kubaca.“Maaf, aku hanya ingin memastikan apakah kau demam. Jika kau sakit, kau boleh beristirahat. Ada kamar kosong di lantai satu, kau bisa memakainya kapan pun. Maaf, aku baru sadar kalau aku tidak memerhatikanmu beberapa hari ini.”“Tak masalah, Nona. Aku pulang ke rumah saat tugasku selesai.”Aku mengangguk paham, meski tak percaya kalau dia benar-benar pulang dan beristirahat. Dan tubuhnya yang sedingin es, mungkin akibat dirinya yang tak pernah menyempatkan waktu untuk rehat barang sejenak. Kurasa itu sebabnya ia harus selalu menyuntikkan cairan seperti yang kulihat malam itu.“Ehm, Jax. Mulai sekarang kau boleh memakai kamar itu. Lagi pula, sepertinya kau harus lebih sering berjaga, karena aku merasa tidak nyaman jika kau tidak di sini. Jangan menolaknya, kau berhak mendapatkan itu.”Pria itu mengangguk, kemudian kembali menatapku.“Kenapa? Apa ada yang mau kau katakan?”“Hanya ingin bertanya, apakah ada yang mengganggumu? Kau kelihatan begitu kesal sejak kemarin.”Aku menggigit bibir, mempertimbangkan apakah tak mengapa kalau kutanyakan saja padanya mengenai Damon. Saat itu aku pingsan dan tidak mengingat apa pun. Siapa tahu Jax mengetahui tentang Damon dan siapa wanita yang bercinta dengannya.“Jax, malam itu aku terbangun dan tidak menemukanmu di mana pun. Aku tidak yakin, tetapi kurasa saat aku pingsan, kau adalah orang yang pertama kali menolongku. Apakah benar?”Pria itu mengangguk. Melihat responnya, aku yakin bisa menanyainya tentang Damon. Dia pasti juga menyaksikan apa yang ada di depan mataku—di depan mata kami.“Apakah kau juga menyaksikannya? Maksudku, aku melihat Damon di sana dan dia sedang bercinta dengan seorang wanita. Apakah kau melihat hal yang sama?”Pria itu terdengar mendesah, tetapi tidak merespon pertanyaanku dengan cara yang kuharapkan.“Jax ... kumohon katakan sesuatu. Kau tahu, aku dan Damon tidak hanya sepasang kekasih. Kami sudah bertunangan. Jika memang dia mengkhianatiku, maka aku harus mengambil keputusan yang benar. Itu sebabnya aku harus punya bukti dan saksi. Apakah kau juga melihat apa yang kulihat malam itu?”Jax mengangguk. Wajahnya tampak seolah pasrah dengan apa pun pertanyaanku.“Siapa wanita itu, Jax?” tanyaku. Dadaku sudah bergemuruh, perutku terasa bergejolak karena mencemaskan jawaban yang nanti akan kudengar dari pria ini. Namun, bagaimana pun aku harus mempersiapkan diri mendengar jawaban Jax.“Wanita itu adalah anda, Nona Sanchez. Andalah yang sedang bercinta dengan Tuan Alejandro malam itu. Dan aku yakin itu.”Ivanna's POVHaruskah aku mempercayai Jax? Ia mengatakan kalau akulah yang bercinta dengan Damon, yang mana saat itu justru aku berada di sana dan menyaksikan apa yang telah mereka lakukan. Aku bahkan tidak merasakan sama sekali dan Jax juga mengakui bahwa aku pingsan saat itu dan ia yang menyelamatkanku. Lalu, apa maksudnya mengatakan segala kebohongan itu? Apakah benar kalau Jax dan Damon bersekongkol untuk melakukan kejahatan terhadapku? Jika benar, apa motif mereka melakukan itu? Aku masih tepekur seorang diri di kamar. Damon, sekali lagi pergi entah ke mana dan aku seperti wanita simpanan yang hanya akan bertemu dengannya di malam hari, berbaring di sampingnya hanya untuk beberapa jam dan ketika terbangun di pagi hari, ia sudah tak ada lagi. Jangan pernah tanyakan bagaimana aktivitas seksual antara aku dan dirinya. Sangat buruk. Itu sebabnya aku tak bisa percaya saat Jax mengatakan bahwa akulah yang tengah digauli oleh Damon dengan begitu bernafsu. Damon tak pernah seperti it
Ivanna's POVAku masih termangu seperti orang tak waras. Kejadian yang ada di hadapanku itu jelas bukanlah mimpi. Apakah Jax akan mengatakan kalau aku salah lihat? Jelas beberapa orang di hadapanku itu bukanlah manusia biasa. Dan Jax yang tiba-tiba muncul—mengapa ia bisa berkomunikasi dengan para vampir itu untuk melepaskanku? Apakah Jax juga adalah seorang ... “Ini untukmu. Minumlah dulu, Nona,” ucap pria yang baru satu minggu menjadi pengawalku tetapi sudah banyak hal misterius yang ia lakukan dan terjadi dalam hidupku. Aku menerima secangkir minuman yang ia sodorkan, tanpa melepaskan tatapan darinya. Lalu dengan segera kuperiksa minuman di tanganku. Hanya secangkir teh camomile kesukaanku. Tidak! Aku tidak ingin berpikiran buruk mengenai ini, tidak ingin bertanya-tanya mengapa ia bisa tahu kesukaanku. Siapa pun bisa mempunya persediaan teh camomile di rumahnya, seperti juga aku. Lagi pula, mari pertimbangkan jasanya karena telah menyelamatkanku dari kemungkinan menjadi santapan
Jax's PoV Ivanna Sanchez bukan gadis remaja yang terjerat cinta pada seorang pria dan berubah menjadi bodoh. Ia tahu dan sudah mengendus apa yang dilakukan Damon di balik punggungnya. Dan kini, memergoki pria itu dan dengan gegabah berniat merangsek masuk demi memberinya pelajaran, bukan ide yang bagus. Dia pasti bertanya-tanya, mengapa Damon begitu tega menyakiti wanita sempurna sepertinya. Aku pun ingin menanyakan hal yang sama jika boleh. Sayangnya, pria bernama Damon itu bukanlah pria yang memiliki kecerdasan seperti Ivanna. Bohong jika kukatakan bahwa aku tidak terpengaruh dengan permainan petak umpet yang dilakukan oleh pria itu. Aku bahkan sudah mengawasinya sejak pertama kali menginjakkan kaki di mansion ini. Namun, aku harus berhati-hati karena Ivanna tampaknya mulai curiga terhadapku. "Maafkan aku, Nona. Terkadang kau harus diam meski mengetahui sesuatu. Ini demi keselamatanmu," ucapku, berusaha menenangkan gemuruh dalam batinnya yang nyaris berkobar dan membakar segalan
Ivanna’s PoV Jax berusaha mencari siapa pun atau apa pun yang kuyakini ada dalam kamarku. Aku tidak melihatnya dengan jelas karena lampu yang redup, selain hanya suara yang jelas menyerupai geraman serigala. Aku sedang berada si balkon saat mendengar suara aneh itu. Persis seperti suara Damon saat bercinta dengan wanita yang tak kukenal—untuk yang satu ini aku tidak terlalu yakin, jadi akan kupastikan kembali malam nanti apakah benar pria itu Damon atau bukan. Itu pun andai dia pulang ke rumah ini. Damon belum juga kembali sejak semalam, jadi karena aku terlanjur ketakutan, aku berniat untuk mencari pertolongan tanpa harus masuk ke kamar dan bertemu makhluk itu. Sayangnya, aki terlalu banyak mengonsumsi alkohol hingga tubuhku sempoyongan dan nyaris kehilangan nyawa. Terima kasih untuk Jax yang sigap menolongku, meski ada kejanggalan yang kurasakan ketika pria itu membantuku naik. Tak mungkin aku salah. Namun, sayangnya aku tidak memiliki bukti apa pun untuk menuding pria yang telah
Jax’s PoV Aku tak percaya dengan apa yang dilakukan gadis ini. Apakah dia sadar apa yang dilakukannya ini sangat berbahaya? Selain karena melanggar kode etik profesionalitas, ini juga rasanya tak pantas ia lakukan karena Ivanna telah bertunangan, akan terjadi keributan jika Damon sampai mengetahui kejadian ini. Aku harus menjaga keberadaanku di tempat ini, karena ada satu urusan yang belum selesai kulakukan. Dua urusan, salah satunya adalah melindungi Ivanna. Dan itu sangat penting, mengingat satu dan lainnya saling berkaitan. Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail karena aku sendiri pun tengah mencari tahu dan berusaha membuktikan kecurigaanku. Hasrat dalam diriku yang sejak tadi bergejolak, serta sakit yang kurasakan, secara ajaib memudar seiring dengan kecupan hangat yang Ivanna berikan. Ini bukan kali pertama, tetapi aku tahu, aku akan mengingat ini lebih baik dibanding pengalaman lain yang pernah kualami. Selama beberapa waktu terakhir, aku berusaha menahan diri agar bisa te
Ivanna’s PoV Aku memang melakukan kebodohan dengan mengecup bibir Jax saat itu. Aku hanya mengikuti dorongan dalam diriku yang entah mengapa justru mengarahkanku untuk melakukan perbuatan itu. Dan kini, aku didera rasa malu yang berkepanjangan. Beberapa lama aku hanya mondar-mandir di kamar dan tak bisa terpejam. Entah mengapa, satu hari rasanya cepat sekali berlalu dan untuk menghadapi ini semua, aku seperti tak punya harapan lagi. Pernikahanku dan Damon yang kubayangkan akan menjadi momen yang sakral dan membahagiakan, rasanya tak mungkin kulanjutkan. Tidak mungkin aku menjerumuskan diriku sendiri ke dalam kubangan di mana aku nantinya akan tenggelam, dan jika itu terjadi, Damon belum tentu akan menyelamatkanku. Lagi-lagi ini akan menjadi tugas Jax. Lalu, ketika aku sudah sedikit lebih tenang dan hendak membaringkan tubuh, pintu kamar terbuka. Aku enggan menoleh, karena dari suara langkah kaki saja aku sudah tahu siapa yang datang. Tidak mungkin Jax berani masuk ke kamarku begit
Ivanna’s PoV Kami, lebih tepatnya aku, Damon dan Tatiana sudah tiba di hotel H yang merupakan salah satu dari sepuluh hotel termewah di sana. Dan segalanya sungguh di luar ekspektasiku. Jika kukatakan seperti ini, artinya cukup buruk untuk dikatakan berjalan lancar. Mungkin lancar bagi Damon dan Tatiana yang memang memiliki keperluan bisnis. Hari pertama, kami tiba di hotel saat matahari telah tinggi dan Damon menyewa suite dengan perlengkapan di dalamnya yang mempunyai dua kamar tidur. Aku kurang suka ide satu ini, karena artinya, kami tidak punya privasi dan lagi-lagi Tatiana tetap harus ada di tempat yang sama dengan kami. Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku hingga begitu penuh kecurigaan dan pikiran negatif terhadap mereka berdua. Terlebih ketika Damon dan Tatiana telah siap dengan pakaian rapi sementara aku baru mengenakan piama, karena memutuskan untuk beristirahat sebentar. “Kau mau ke mana? Kita baru saja tiba,” ucapku, tak habis pikir dengan sikap pria ini. Jika Damo
Ivanna’s PoV Aku tahu apa yang kulakukan. Aku keluar dari ruangan dan tak pedulikan Jax yang berusaha mencegah keputusan yang akan kuambil kali ini. Aku tidak ingin menjadi bulan-bulanan pria ini lagi, aku akan mengakhirinya saat ini juga. Damon dan Tatiana masih menikmati permainan panas mereka, saling mengisi. Tampak Damon begitu dimabuk kepayang, seolah apa yang Tatiana berikan begitu luar biasa dibanding yang pernah kuberikan padanya. Dadaku terasa panas dan tak henti berdenyut nyeri. Darahku berdesir seolah kemarahan yang ada tak bisa lagi kubendung. Jax pun tak akan mampu mencegahnya. Aku menepuk punggung Damon yang sontak tersadar kalau dirinya tak hanya berdua di tempat ini. Mungkin ia memang berencana untuk tidak mengajakku sebelumnya, tetapi demi menutupi dustanya yang sudah terlalu dalam, ia terpaksa membawaku bersamanya. “Vans ... apa yang kau lakukan di sini?” tanya Damon, yang raut wajahnya tampak pias. Aku bisa melihatnya dengan jelas meski di keremangan cahaya. Bag