Share

4. Bisnis Erotis yang Menakutkan

Ivanna's POV

Haruskah aku mempercayai Jax? Ia mengatakan kalau akulah yang bercinta dengan Damon, yang mana saat itu justru aku berada di sana dan menyaksikan apa yang telah mereka lakukan. Aku bahkan tidak merasakan sama sekali dan Jax juga mengakui bahwa aku pingsan saat itu dan ia yang menyelamatkanku.

Lalu, apa maksudnya mengatakan segala kebohongan itu? Apakah benar kalau Jax dan Damon bersekongkol untuk melakukan kejahatan terhadapku? Jika benar, apa motif mereka melakukan itu?

Aku masih tepekur seorang diri di kamar. Damon, sekali lagi pergi entah ke mana dan aku seperti wanita simpanan yang hanya akan bertemu dengannya di malam hari, berbaring di sampingnya hanya untuk beberapa jam dan ketika terbangun di pagi hari, ia sudah tak ada lagi.

Jangan pernah tanyakan bagaimana aktivitas seksual antara aku dan dirinya. Sangat buruk. Itu sebabnya aku tak bisa percaya saat Jax mengatakan bahwa akulah yang tengah digauli oleh Damon dengan begitu bernafsu.

Damon tak pernah seperti itu terhadapku. Menurutku. Atau entah kalau ternyata ini hanya anggapanku, karena setiap kali kami bercinta, kami menyelesaikannya dengan cepat.

Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya orgasme hingga berkali-kali, seperti saat kami baru pertama kali melakukannya.

Tentu saja aku ingat bagaimana kala itu Damon tampak begitu menginginkanku. Sekarang tidak lagi.

“Nona, bolehkah aku masuk?” Suara itu, sudah pasti Jax. Siapa lagi? Tapi, apa tujuannya datang? Apakah untuk mengatakan kalau aku telah melakukan kesalahan karena mengira Damon berselingkuh dengan wanita lain?

Aku sendiri bahkan tak tahu siapa.

Dadaku sesak setiap kali ingat malam itu. Mari kita anggap itu sebagai mimpi, dan itu kali pertama aku mengalaminya. Jadi wajar kalau aku begitu ingin tahu apakah itu nyata ataukah hanya delusiku semata.

“Masuklah.”

Pintu terbuka dan disusul suara langkah kaki yang mendekat ke arah ranjang di kana aku berbaring memunggunginya. Jax mungkin akan mengira aku marah padanya.

Ya memang, aku marah. Namun, bukan kepadanya. Aku hanya kesal karena jawaban Jax membuatku bingung.

“Apakah anda masih membutuhkanku untuk hari ini, Nona? Jika tidak, aku akan pulang,” ujarnya, kali ini dengan suara tang agak dipelankan. Aku bahkan belum memutar tubuh menghadap padanya. Aku masih kesal dan malas melihat wajah pria itu.

“Kau boleh beristirahat di salah satu kamar kalau kau lelah,” jawabku singkat.

“Maaf, Nona. Ada urusan yang harus kuselesaikan. Itu sebabnya aku—“

Aku tak biarkan Jax menyelesaikan perkataannya, dan langsung berbalik, lantas turun dari ranjang dan berdiri di hadapan pria itu. Kutatap lekat-lekat bola mata kelabu miliknya. Aku tidak bisa membaca apa pun di sana, karena memang aku bukan seorang cenayang.

Namun, entah mengapa aku tidak bisa mempercayai pria ini.

“Apakah kau bekerja untuk orang lain? Katakan padaku siapa orang lain yang menyewamu? Bukankah sudah tertera dalam perjanjian kontrak bahwa kau hanya akan bekerja padaku?” serangku tanpa menunggu penjelasan atau sanggahan darinya.

Aku tidak membutuhkan jawaban apa pun. Saat ini, aku didera krisis kepercayaan terhadap siapa pun, dan Jax dengan terpaksa menjadi salah satu di antaranya.

“Bukan begitu, Nona. Aku tidak bisa katakan urusanku, tetapi kupastikan aku hanya bekerja padamu. Tidak dengan orang lain. Aku bisa jamin kesetiaanku.”

Benarkah? Tapi mengapa aku tidak percaya sama sekali? Lantas untuk apa ia meminta izin pergi? Ke mana ia akan pergi dan untuk urusan apa?

“Kalau begitu aku ikut denganmu,” jawabku. Ia hendak menolak, tetapi dengan cepat aku memutar tumit dan berjalan lebih dulu menuju ke halaman di kana motornya diparkir.

***

“Nona, apakah kau ingin keluar dai rumah karena jenuh? Aku bisa mengantarkanmu ke suatu tempat kau bisa menyewa penginapan di sana untuk sekadar bermalam dan tepat saat matahari terbit, kita akan menyaksikannya dari atas balkon,” ujar Jax setelah ia menghentikan motornya di depan sebuah bar yang tidak kukenali dan membawaku masuk.

Ia menyewakan satu tempat VIP untukku dengan seorang wanita yang sudah siap di ruangan itu karena Jax yang memintanya untuk menemaniku.

“Apakah aku sudah menjadi seorang bayi sekarang, hingga harus ditemani oleh seorang baby sitter?” sindirku, memerhatikan perempuan dengan pakaian mini yang bergelayut pada lengan Jax dan dia tidak tampak risih dengan apa yang dilakukan perempuan itu.

“Ini demi keselamatanmu, Nona. Marina akan menjagamu selama aku pergi. Aku tidak akan lama, jika kau membutuhkan sesuatu, apa pun itu, Marina akan membantumu.”

“Kau akan pergi sekarang?” tanyaku, tanpa peduli perkataannya sebelumnya. Pria itu mengangguk.

“Sebentar saja. Kau sebaiknya tetap berada di sini demi keamananmu. Tak ada yang tidak mengenalimu, Nona Sanchez. Jadi kalau kau—“

“Oke, aku mengerti. Kau boleh pergi sekarang juga dan segeralah kembali!” potongku, yang kemudian ia respon dengan anggukan lantas pergi meninggalkanku bersama dengan wanita yang menuangkan minuman ke dalam gelasku.

Aku mengedar pandangan ke seluruh penjuru ruangan tempat kami berada. Cukup besar untuk kelas menengah ke bawah. Dan pria itu juga menyewakan pelayan pribadi untukku, seolah dengan niat untuk mengawasiku.

“Kurasa aku ke toilet sebentar.” Aku bangkit dan hendak keluar dari ruangan tersebut, tetapi wanita yang menemaniku ikut bangkit dan tampaknya hendak mengikuti langkahku.

“Kau tunggu di sini saja. Aku hanya ke toilet,” ujarku, sedikit kesal.

Apakah dia takut aku tidak tahu cara menggunakan flusher? Atau khawatir aku akan menghabiskan kertas toilet mereka? Sangat mencurigakan dan hal itu justru membuatku makin penasaran untuk mencari tahu urusan apa yang tampak begitu penting untuk Jax lakukan.

Wanita itu sedikit gentar, kemudian mempersilakanku pergi tanpa berkata-kata.

Dan di sinilah aku sekarang. Benar-benar berada di sebuah bilik karena aku menahan ini sejak tadi. Dan setelah menuntaskan hajatku, aku keluar dari ruangan dengan cahaya redup itu dan tanpa sengaja melihat sosok Jax yang tengah berjalan dengan seorang wanita dan menuju ke sudut sebuah ruangan.

Aku mengikutinya dengan hati-hati. Jika sudah begini, sungguh, tak ada yang bisa menghalangi langkah

Aku terus mengikuti langkah cepat pria itu, sampai dirinya tiba di sudut ruangan yang tampaknya menjadi tujuan mereka. Namun, terlalu jauh untuk bisa melihat apa yang mereka lakukan. Dari tempatku, mereka hanya berciuman. Bukan sesuatu yang istimewa. Meski aku sejujurnya tidak suka mengetahui bodyguard-ku bercumbu dengan seorang wanita.

Ya, aku tahu, aku tak boleh seperti ini. Namun, itu yang kurasakan dan itulah diriku. Maka, dengan berbekal nekat, aku mendekat. Bukan bermaksud untuk mengganggu aktivitas erotis yang mereka lakukan, aku hanya ingin mengajak Jax pulang jika urusannya memang sudah selesai.

Jangan katakan kalau ia datang kemari hanya demi bercinta dengan beberapa perempuan. Akan tidak lucu jika bodyguardku menuntaskan hasratnya sementara diriku berada di ruang VIP bersama seorang baby sitter.

“Jax, ayo kita pulang” panggilku, berjalan perlahan menuju ke tempat di mana pria itu tengah begitu fokus dengan santapan di hadapannya.

Santapan. Dan memang itu kenyataannya. Karena ketika makin dekat, aku tahu apa yang tengah mereka berdua lakukan.

Mereka bukan sedang bercinta, melainkan lebih menjijikkan dari yang kubayangkan. Pria itu kini tengah membenamkan wajah pada ceruk leher si wanita dan ketika ia mengangkat wajahnya dan menghadap padaku, yang tampak di depan mataku adalah mulut yang berlepotan dengan geligi tajam yang tampak menyembul dari balik mulutnya.

What the hell!

Aku melangkah mundur, berharap pria itu tidak akan menjadikanku santapan kedua setelah perempuan itu mati dihisap hingga kering. Namun, tidak. Wanita itu masih hidup dan keduanya berjalan ke arahku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status