Share

7. Ciuman Nekat

Ivanna’s PoV

Jax berusaha mencari siapa pun atau apa pun yang kuyakini ada dalam kamarku. Aku tidak melihatnya dengan jelas karena lampu yang redup, selain hanya suara yang jelas menyerupai geraman serigala.

Aku sedang berada si balkon saat mendengar suara aneh itu. Persis seperti suara Damon saat bercinta dengan wanita yang tak kukenal—untuk yang satu ini aku tidak terlalu yakin, jadi akan kupastikan kembali malam nanti apakah benar pria itu Damon atau bukan. Itu pun andai dia pulang ke rumah ini.

Damon belum juga kembali sejak semalam, jadi karena aku terlanjur ketakutan, aku berniat untuk mencari pertolongan tanpa harus masuk ke kamar dan bertemu makhluk itu. Sayangnya, aki terlalu banyak mengonsumsi alkohol hingga tubuhku sempoyongan dan nyaris kehilangan nyawa.

Terima kasih untuk Jax yang sigap menolongku, meski ada kejanggalan yang kurasakan ketika pria itu membantuku naik. Tak mungkin aku salah. Namun, sayangnya aku tidak memiliki bukti apa pun untuk menuding pria yang telah menyelamatkan nyawaku. Ia lantas membantuku mencari makhluk yang geramannya mirip seperti anjing hutan atau mungkin serigala, entahlah.

“Tidak ada apa pun di sini, Nona,” ucapnya setelah memastikan ruangan ini aman. Lantas suara siapa yang kudengar tadi? Apakah aku terbayang-bayang adegan panas antara Damon dan wanita di kamar mendiang ayah dan ibu?

Ataukah mungkin ini adalah efek sebotol vodka yang kutenggak habis?

“Sebaiknya kau beristirahat. Aku akan kabari Nona Moretti untuk membatalkan jadwalmu hari ini.”

“Tidak, jangan! Aku harus bersiap dan pergi sekarang atau aku akan—“

Oh, celaka! Tubuhku limbung dan yang kurasakan saat ini adalah kepalaku berputar serta berdenyut hebat. Apakah ini efek alkohol? Tidak biasanya aku mengalami hal semacam ini sebanyak apa pun minuman yang kuhabiskan.

Dan sekali lagi, Jax dengan sigap merengkuh tubuhku dengan lengan kokohnya.

Untuk sesaat, aku seolah terhipnotis. Bola matanya yang sebiru safir itu tampak berkilau dan menyiratkan sesuatu. Mungkin aku yang terlalu berlebihan, tetapi aku tahu apa yang kurasakan ini. Tidak biasanya aku begitu tertarik pada pribadi seseorang yang bahkan tidak kukenali sama sekali.

Aku telah menjalin hubungan dengan Damon untuk waktu yang cukup lama. Tiga tahun kalau tidak salah, dan selama itu, tak pernah sekali pun aku terpikat pada pria lain, setampan dan semapan apa pun dia, meski melebihi Damon sekalipun. Namun, Jax ... ah, sudahlah!

Tampaknya aku memang masih dalam pengaruh alkohol hingga otakku tak bisa diajak berkompromi dan berhalusinasi sejak tadi.

“Apakah kau baik-baik saja, Nona? Berbaringlah, aku akan mengambilkan air untukmu.”

Ia hendak beranjak, tetapi belum sempat pergi, suara Brianna terdengar menggelegar seiring langkah masuk ke dalam ruanganku.

“Vans! Oh, Tuhan! Maafkan aku karena terlambat, apakah kau tidak apa-apa?” tanya gadis itu sembari menilik kondisiku yang tampak mengerikan. Rambutku masih berantakan akibat insiden bunuh diri tadi, dan baru kusadari gaunku sedikit koyak karena tersangkut teralis balkon.

“Aku baik-baik saja. Memangnya kenapa?”

“Semua orang membicarakanmu. Fotomu telah tersebar ke seluruh Eastonville, kau tahu?! Mereka mengira kau hendak bunuh diri. Apakah benar?” racau Bri.

“Apakah menurutmu aku seputus asa itu? Mengapa kau mencemaskanku padahal kau sangat mengebal karakterku? Apakah ada yang kau sembunyikan dariku?” todongku. Mendengar pertanyaanku yang terkesan menyudutkannya, Bri terbelalak tak percaya.

“Apa? Tidak sama sekali! Aku hanya mencemaskanmu, apakah tidak boleh?” tanyanya.

Aku hanya mengedikkan bahu. Segalanya terasa begitu mencurigakan sejak aku melihat sosok Damon malam itu. Setiap malam berubah menjadi teror dan mimpi buruk, dan pagi hari terasa begitu hampa.

“Oh, iya. Aku sudah membatalkan jadwalmu langsung setelah kulihat foto yang beredar. Kau tidak lihat? Di luar sudah berkumpul para pemburu berita. Kau terpaksa tidak boleh keluar rumah sama sekali. Jangan berdiri di balkon, itu sangat berbahaya.”

Bri tak henti mengomel, tetapi aku lega dengan kedatangannya, meski sedikit terlambat. Bri kubiarkan tetap mengomel sementara aku menoleh pada Jax yang masih berada di ruangan yang sama dengan kami, memastikan raut wajah pria itu; datar dan tanpa ekspresi sama sekali.

Bagaimana bisa?

Tidakkah dia berpikir atau cemas atas apa yang baru saja menimpaku? Mengapa wajahnya tampak begitu pucat? Apakah ia sakit?

“Jax ... wajahmu pucat,” ucapku sembari bangkit dari ranjang dan mendekat padanya. Pria itu tidak memberi jawaban apa pun melainkan meraih tanganku yang hendak memeriksa suhu tubuhnya.

Jantungku serasa berhenti berdetak sepersekian detik sementara tatapannya tak juga ia alihkan dariku. Aku butuh stok oksigen sekarang juga!

“Aku baik-baik saja, Nona. Apakah aku bisa meninggalkanmu sekarang? Ada yang harus kulakukan,” ujarnya, yang hanya kujawab dengan anggukan. Ia lantas melepaskan genggamannya dari pergelangan tanganku perlahan, lalu memutar tubuh untuk meninggalkanku di kamar bersama dengan Bri.

Apa yang terjadi padanya?

***

Aku tidak bisa tinggal diam melihat kondisinya seperti itu. Dengan langkah cepat kuikuti pria itu hingga ia tiba di kamarnya dan dari luar bisa kudengar suara gaduh yang sedikit mengganggu.

Apakah ia kesal atas apa yang terjadi di kamarku tadi? Tidak, tidak! Aku pasti hanya overthinking karena tidak seharusnya aku memberi perhatian lebih pada pria yang hanya bawahanku dan jelas Jax tidak merasakan apa yang kurasakan. Ia pria yang profesional dan bisa kulihat tadi sikapnya tidak melanggar batasan tidak tertulis yang sudah seharusnya ia ketahui.

BRUAKK!

Suara gaduh itu makin mengusikku. Apa sebenarnya yang terjadi dengan pria itu? Wajah pucat dan kulitnya yang sedingin es masih menimbulkan tanya dalam benakku, serta sikapnya yang tergesa pergi setelah memastikan kalau aku baik-baik saja. Dan satu lagi, aku tidak mungkin lupa akan serum berwarna semerah darah ...

Tunggu! Darah ... vampir, orang aneh di kelab ... mengapa semua itu seolah saling berkaitan?

Knock knock knock!

“Jax! Apakah kau baik-baik saja?” Aku tidak mendengar jawaban atau suara lain selain barang yang berjatuhan. Ada sedikit suara erangan, tetapi aku tak yakin kalau itu berasal dari dalam kamarnya.

BRUAKK!

BRAKK!

Suara gaduh itu makin mengganggu. Aku tak tahan jika hanya diam dan berdiri di luar sementara aku tak tahu apa yang pria itu alami di dalam sana. Ia bahkan tidak juga keluar dari kamar saat mendengar panggilanku. Apa yang terjadi padanya?

“Jax, tolong buka pintunya! Kau membuatku takut. Jax!”

Tetap saja, apa yang kulakukan sia-sia. Aku tidak bisa tinggal diam dan memutuskan untuk membuka paksa pintu kamarnya.

“Jax, aku akan masuk.”

Aku membuka pintu kamar pria itu perlahan, tampak barang-barangnya yang berserakan, tetapi tidak kulihat keberadaan pria itu di mana pun. Kuberanikan diri melangkah masuk sembari mengedar pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang terasa dingin dan kosong. Persia seperti kediaman Jax yang seolah tak berpenghuni.

“Jax, aku masuk untuk memastikan kondisimu. Apakah kau di kamar mandi? Jax ... kumohon jawab aku. Jangan membuatku takut. Apa kau baik-baik sa—AH! Jax, apa yang terjadi?!”

BRUGH!

Pria itu menyergapku dan membuat tubuh kami—tubuhku terhempas ke lantai. Nyeri hebat terasa di bagian belakang kepalaku sementara pria ini mengunci kedua pergelangan tanganku dengan genggaman kokohnya. Ada yang berbeda dari wajahnya, aku tak tahu apa.

Mungkin wajah pucatnya yang tampak nyaris kelabu, atau ... bola mata berwarna merah mengilat itu yang membuatnya terlihat aneh.

Ingatanku secara otomatis kembali ke hari di mana orang aneh di kelab saling menghisap darah satu sama lain lantas mendatangiku. Mata mereka juga berwarna merah sama seperti Jax saat ini. Namun, tak mungkin Jax sama seperti mereka, kan? Tidak mungkin kalau Jax ....

Pria itu mendekatkan wajahnya dan mengendus ceruk leherku. Aku bisa merasakan nafasnya yang menyapu permukaan kulitku. Aku tak berani menghirup oksigen sedikit pun.

Dadaku bergemuruh antara cemas, takut, dan perasaan lain yang justru bentuk dari gelegak adrenalinku.

Mungkinkah Jax seorang vampir? Dan jika benar, apakah ia akan menghisap darahku seperti yang dilakukan dua pasangan aneh di kelab saat itu? Lantas ... bagaimana rasanya jika darahku dihisap? Apakah aku akan mati?

“J-Jax ... k-kau ....” Napasku terasa tersendat.

Sungguh, ini hal paling menakutkan yang pernah kualami sepanjang hidupku. Bohong jika kukatakan aku tidak takut pada pria tampan ini. Dan andai sekarang posisi romantis ini berlanjut menjadi cumbuan mesra penuh gairah, mungkin aku akan biarkan Jax melakukannya.

Tak masalah bagiku. Toh, Damon juga melakukan hal yang sama; mengkhianatiku. Meski aku belum benar-benar bisa membuktikannya, tetapi aku yakin apa yang kulihat tidak salah.

Jax mengerang, membuatku tersadar dari angan nakalku barusan. Tangannya masih mencengkeram tanganku. Lagi-lagi ia menghirup aroma tubuhku dengan membenamkan wajahnya di ceruk leherku.

Kali ini aku tak bisa menahan lagi. Aku menghadap pada Jax yang perlahan menjauh dan dengan kenekatan luar biasa, kudekatkan wajah pada pria itu dan mengecup bibirnya.

Well, Jax ... ini lebih baik ketimbang kau menghisap darahku, bukan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status