Share

Ayah, Pergi!

~ 16 Juli 2019

 Ana bergantian menatap jam dinding dan luar jendela menunggu Ibunya yang tidak kunjung pulang. Kecemasannya meninggkat saat nomor telepon yang ia hubungi tidak aktif. Doa dan harapan terus terucap. Sampai wanita di belakangnya ikut cemas dengan keadaan Ana sendiri yang belum makan sejak pagi.

“Nak, Ibumu pasti segera datang. Makan dulu ya? Mama juga sudah buatkan susu cokelat hangat untukmu.” Wanita yang menyebut dirinya Mama berusaha merangkul Ana.

Dengan kasar Ana menepis tangan Ibu tirinya, Nita. Tatapan tajam Ana lemparkan. Ana sadar, sikapnya sekarang sangat tidak sopan, terlebih lagi ia ingat pesan Ibunya untuk menjaga sikap kepada Ibu tirinya, walau Ana tidak menyukainya.

“Ma-maaf Ma ... Ana  terkejut.”

Nita tersenyum kecut. Ia mengetahui jika itu adalah pertahanan Ana yang belum bisa membuka diri padanya. “Tidak masalah, sekarang kamu makan dulu ya? Ibumu juga bersama Ayahmu,  jadi semuanya akan baik-baik saja ... percayalah,” ucap Nita lembut untuk menenangkan Ana.

Ana memang tidak suka dengan wanita di hadapannya sekarang, tapi tidak dengan Ayahnya. Ana menyayangi Ayahnya. Pernikahan memang didasari keinginan dua belah pihak, tapi entah mengapa Ana merasa Nita lah yang menggoda Ayahnya. Karena Ana yakin jika Ayahnya mencintai Ibunya.

15 Oktober 2020 (07.30 PM)

Kecanggungan menyelimuti anak dan Ayah ini. Ruang tamu yang luas hanya diisi kesunyian, tidak ada yang membuka pembicaraan selama 10 menit. Ana bertahan untuk itu, malah berharap Ayahnya untuk segera pergi.

Tapi tidak dengan Brian. Ia terus memikirkan kata-kata yang tepat untuk pembukaan topik yang sangat sensitif ingin dibicarakannya. Dipilihlah hal basa-basi yang umum digunakan, walau ia tahu Ana sama seperti dirinya yang lebih suka bicara dengan to the point.

“Bagaimana sekolahmu? Ayah dengar nilaimu sudah mulai membaik seperti semula. Lalu, bagaimana dengan teman-temanmu? Mereka sudah tidak membullymu, kan?”

Ana menatap mata Ayahnya tajam, “Sepertinya Ayah tahu lebih banyak dari aku sendiri. Tanyakan semua itu pada informan Ayah.” Dengan ketus Ana mengatakanya secara blak-blakan.

Ana mulai bosan dengan ayahnya yang memilih berbasa-basi. Hal yang Ana yakin, Ayahnya datang dengan maksud tertentu. Ana beranjak hendak ke kamarnya, namun ayahnya menegurnya.

“Ana! Siapa yang mengajarimu bicara sepeti itu pada Ayah? Kalau kamu tahu Ayah menyewa orang untuk mengikutimu, itu karena Ayah mengkhawatirkanmu. Tidakkah kamu berpikir untuk mengunjungi Ayah? Ayah sangat merindukanmu, Nak.” Brian sungguh merindukan Ana, andai jika Putrinya itu menyadarinya.

“Aku juga merindukan Ayah, tapi itu satu tahun yang lalu saat Ayah sibuk mengecar cinta Ayah yang lain. Dan tidak lagi untuk saat ini.” Ana kembali menghadap ayahnya. “Aku bahkan sudah menganggap diriku ini yatim piatu. Jadi pergilah setelah mengatakan apa yang ingin Ayah katakan.”

Bagai ditikam ribuan pisau. Apa yang Putrinya katakan? Menganggap dirinya telah tiada, sebesar itukah kesalahan dirinya hingga tanpa sadar menggores luka begitu dalam di hati Ana? Namun seorang anak tidak mungkin mengatakan hal sekejam itu jika tidak ada orang dewasa yang menghasutnya. “Apa mendiang Ibumu tidak mengajarkan cara bersikap pada Ayahmu sendiri? Apa yang Ibumu ajarkan selama hidupnya? Apa dia bilang aku yang berkhianat?!” Tanpa sadar Brian meninggikan suaranya dan membuat Ana takut. Bahkan Brian tidak sadar apa yang baru saja ia katakan.

“Ha ... hahaha,” tawa Ana sangat hambar dan datar. Beginikah sifat asli Ayahnya? Bahkan selama ini Ibu selalu mengatakan hal yang baik-baik, yang mana selama ini Ayahnya sibuk dengan pekerjaan dan juga istri keduanya. “Jaga ucapan Anda. Tidak pantas Anda mempertanyakan apa yang sudah Ibu saya ajarkan kepada saya. Bahkan tanpa diajarkan pun saya bisa melihat kalau Anda memang sudah berkhianat! Anda sudah membuat Ibu menagis di masa hidupnya dan setelah tiada Anda memfitnahnya. Apa Anda orang suci?” Dengan napasnya yang memburu, Ana sudah tidak bisa menahan emosinya. “Pergi entah kemana dan pulang membawa wanita jalang itu, bersama anak sialan-“

PLAK!

Wajah Ana berpaling merasakan nyeri yang menyebar pada setengah wajahnya. Ia merasa menelan darah saat meneguk salivanya. Panas, perih, air matanya berlinang dengan hati yang terluka. Kenyataan jika Ayahnya sudah berubah, tidak lagi selalu memanjakan Ana ... sekarang mulai bermain tangan menyakiti fisik dan hatinya juga.

Sambil menatap tangannya dan rasa bersalah menjalar keseluruh tubuhnya. Brian melebarkan langkahnya ingin membekap tubuh mungil Putrinya dan meminta maaf. Namun dengan kesiapan yang kurang, tubuhnya terhuyung ke belakang karena ditepis kuat oleh Ana.

“Ana, dengar ... Ayah tidak bermaksud melukaimu. Ayah salah, Ayah hanya tidak suka kamu menghina Mama Nita dan anaknya. Bagaimanapun dia juga Ibumu dan anaknya adalah anak kandung Ayah, saudaramu.” Brian menjelaskan dan berjalan mendekati Ana kembali secara perlahan.

Ana yang siaga menyadari jika ayahnya mulai mendekat, ia pun ikut mundur. “Jangan mendekat! Ibu? Ibuku sudah meninggal! Tidak ada Ibu yang bisa menggantikan Ibuku! See? Karena wanita yang Anda bilang Ibuku itu membuat Anda menampar Putri Anda sendiri!” Ana sudah muak. Rasa sakit di hatinya sudah tidak bisa ia tahan lagi, ia benci dengan perasaan lemah ini. Air mata yang sudah ia tahan sejak tadi akhirnya terjatuh juga, bahkan tidak bisa ia hentikan. “Saya tidak ingin bertemu Anda lagi setelah ini. Dan kita hanya akan bertemu di hari pembagaian warisan itu tiba. Itu yang akan menjadi yang terakhir.” Ana berlari menaiki tangga memasuki kamarnya.

Brian mengacak rambutnya frusatasi. Apa yang ingin ia katakan bahkan belum dikatakan. Dan sekarang dengan bodohnya ia menyakiti Putrinya sendiri. Sungguh bodoh dirinya itu. Brian tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri setelah apa yang ia lakukan pada Ana tadi. Bahkan hatinya begitu hancur melihat Ana yang selalu berusaha kuat.

16 Oktober 2020

Dengan tatapan kosong Ana menatap pepohonan yang begitu tenang. Tidak peduli sekarang jam berapa, sesekali membolos tidak masalah untuknya. Semua kilasan sanyum, canda, dan tawa, terus meledeknya untuk melihat kenyataan. Semua ingatan itu adalah masa lalu. Sudah kesekian kali Ana menghela napasnya seperti seseorang yang kehilangan arah.

Namun, tiba-tiba sentuhan dingin menyapu pipinya dan tidak lagi menyisakan jejak air mata di sana. Ia mendengak dan terkejut melihat siapa yang sudah di hadapannya.

“Kamu bolos kelas?” tanya Ana reflek.

Shoan bukannya menjawab, malah memposisikan dirinya duduk bersila di hadapan Ana. Meletakkan kotak berwarna putih dengan lambang plus merah di tengahnya.

“Lain kali, kalau lari-lari ikat sepatu yang benar, agar tidak jatuh dan sampai seperti ini.” Shoan memberi antibiotik pada luka kering di sudut bibir Ana, lalu mengompres pipi Ana yang bengkak dengan es batu yang sudah dilapisi handuk.

“A-aw... pelan-pelan.” Suara Ana begitu kecil karena Ana tidak bisa membuka mulutnya dengan benar.

Shoan yang mengerti, dengan hati-hati menyentuh pipi Ana dengan es yang ia pegang. Tanpa banyak bertanya, Shoan hanya sibuk dengan kegiatannya. Ana jadi bisa memperhatikan wajah serius Shoan dari jarak yang sangat dekat. Ternyata Shoan sangat cantik jika dilihat dari wajah sampingnya. Wajah yang kecil, dengan kerangka wajah yang sangat tegas, sangat cocok dengan ramput pirangnya yang berwarna putih keemasan, paduan yang sangat pas.

“Ehm! Jangan melihatku seperti itu, nanti kalau naksir bilang, aku akan terima dengan senang hati,” ucap Shoan menyadarkan Ana yang terhanyut sambil menatap wajahnya.

Ana yang terkejut menjauhkan dirinya. “Sudah, aku bisa sendiri.” Ana mengambil es di tangan Shoan dan mengompresnya sendiri. Ia sebenarnya bertanya-tanya dengan kesimpulan Shoan  jika dirinya terjatuh. “Kamu tidak bertanya lukaku ini dapat dari mana? Walau tanpa ditanya, ini keliatan jelas kalau sebuah tam-“

“Jangan beri tahu!” Dengan cepat Shoan memotong ucapan Ana.

“Kenapa?”

“Aku bisa saja membunuh orang yang melakukan ini padamu. Jika kamu tidak ingin itu terjadi, maka diam saja.”

Deg! Entah kenapa suasana menjadi mencekam. Perkataan Shoan terdenger begitu serius sampai Ana meneguk salivanya saja serat. “Kata-kata itu manis kalau di dengar dalam drama, tapi sangat menyeramkan jika mendengarnya langsung. Kamu psikopat ya?”

“Iya, kalau aku melihat gadis yang aku suka terluka," gumam Shoan merapikan kembali kotak P3K.

“Apa?” Ana seperti mendengar jika Shoan mengatakan sesuatu, tapi tidak terdengar jelas.

Shoan tersenyum manis pada Ana, ia ngusap pucuk kepala gadis itu dengan gemas. "Tidak. Aku akan mengembalikan ini terlebih dahulu, lalu kembali ke sini. Jangan kemana-mana!"

Seketika Ana memukul kepalanya sendiri, bagaiamana bisa ia menganggap ucapan Shoan dengan serius? Mau lelaki itu lembali atau tidak, bukan urusannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status