Sansan menatap punggung Zidan yang membelakanginya. Wanita itu masih penasaran, apakah benar suaminya itu tadi meminum kopi asin yang ia buatkan? Lalu, apa alasan Zidan tidak jadi pergi? Ia tak yakin jika pria itu hanya mengajaknya jalan di rumah seperti yang ia katakan tadi.
"Pak," panggil Sansan.
"Hm," gumam Zidan yang masih memunggungi Sansan.
Mereka sedang berbaring di kasur dengan posisi Zidan yang tidur membelakangi istrinya.
"Pak Zidan beneran minum kopinya?" tanya Sansan. Zidan yang tadinya memejamkan mata, langsung membuka kelopak matanya.
"Menurut kamu?"
"Masa, sih, Pak? Apa Pak Zidan nggak mual?"
"Masih saja bertanya."
Sansan pun akhirnya bungkam. Apakah benar?
Dalam hati Zidan terkekeh geli, ia tak meminumnya, Zidan hanya punya firasat buruk, karena aroma kopi itu sudah beda. Tadi, saat Zidan menyuruh Sansan ke dapur, ia menyicipi sedikit dengan ujung lidahnya. Ternyata benar,
Hai, semua. Terima kasih yang udah baca. Semoga suka, ya. Hehe. Maafkan jika nggak sesuai ekspetasinya hehe. Jangan lupa Vote dan komen, ya. Aku menantikan komennya, biar makin semangat hihi. Salam hangat, ~Amalia Ulan
Untung saja Sansan sudah siap dengan penyamarannya sebelum Zidan datang. Ia tinggal merapikan rambutnya sedikit lagi. Setelah dirasa siap, Sansan melangkah keluar. HP-nya sudah berdering, menandakan jika Zidan sudah sampai. "Hai," sapa Sansan tersenyum manis. Zidan hanya menghela napas pelan. "Ada apa?" tanya Zidan. "Aduh, itu nanti aja. Sekarang kita bersenang-senang dulu," ucap Sansan. "Aku tidak punya banyak waktu." "Ah, masa? Bukannya kamu menikmati waktu bersamaku?" Sansan mendekatkan badannya, lalu bersandar. Tangan Sansan membelai pipi mulus Zidan. Tatapan Sansan yang tak beralih sedikit pun dari Zidan membuat pria itu ikut terpana. Wanita itu jika dilihat dari dekat memang sangat cantik. Zidan meneguk salivanya susah. Kenapa ia mudah sekali terpikat? "Zidan, aku mau kamu menikahiku," ucap Sansan lembut, semakin membuat Zidan menegang. "Aku tidak bisa menikahi orang yang tidak aku cintai," ucap Zidan cepat.
Sansan masih berdiri mematung, menatap perusahaan besar yang terpampang di hadapannya sekarang. Jadi inikah perusahaan yang dipimpin Zidan? Leonli Grup. Perusahaan turun-temurun dari keluarga Leonli, yang cabangnya ada di mana-mana. Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. "Kenapa masih berdiri di situ? Ayo masuk!" suruh Zidan. Sansan mengangguk, ia pun berjalan mengikuti suaminya masuk ke dalam. Bukannya bergandengan, Zidan malah berjalan di depan dan Sansan mengikuti di belakang. Sansan mendengkus pelan, ia seperti tidak dianggap sebagai istri. Semua mata karyawan yang melihat Zidan datang bersama seorang wanita itu membuat heboh, bahkan mereka langsung berbisik-bisik membicarakan wanita yang mereka yakini istri Zidan. "Oh, itu istri Pak Zidan. Pendek, ya." "Iya. Gayanya juga nggak banget, deh." "Selera Pak Zidan kok jadi rendah gitu, sih." "Kayak anak-anak gitu nggak, sih?" Raqib yang mendengar pembicar
"Apa?" tanya Zidan heran. "Hijab saya, Pak. Ketinggalan di ruangan Pak Zidan," ucap Sansan menggigit bibir bawahnya. Zidan menghela napas pelan, lalu mengeluarkan HP-nya. Zidan lalu menghubungi satpam dan menyuruhnya mengantarkan hijab Sansan yang berada di ruangannya. Tak lama kemudian, seseorang mengetuk kaca mobil Zidan. Ternyata bukan satpam yang mengantarkan hijab Sansan, melainkan Raqib. Sansan menurunkan kaca di sebelahnya, menampakkan muka Raqib. "Ini hijab lo," ucap Raqib. "Makasih, Ra." "Lain kali jangan ribut lagi sama itik semok kayak gitu." "Iya-iya." "Ya udah, gue masuk lagi. Ehm, Pak, saya izin ke dalam," ucap Raqib menyapa Zidan yang dibalas anggukan oleh pria itu. Setelah itu, mobil Zidan pun melaju meninggalkan parkiran. Seperti permintaan Sansan, ke kafe terlebih dahulu untuk mengisi perut. Sansan memakai hijabnya, terpaksa Sansan hanya mengikat hijabnya ke bela
Sansan tentu saja terkejut melihat Zidan yang tampak sedang memeluk seorang wanita. Walaupun posisi wanita itu tengah membelakanginya, tetap saja Sansan tidak suka, karena ia memeluk suaminya. "Apa jangan-jangan itu si Reni-reni mantan Pak Zidan lagi!" dengkus Sansan. Setelah usai berpelukan, mereka tampak pergi bersama keluar dari kafe. Mau ke mana mereka? "Loh, gue ditinggalin gitu aja?" Ini tidak boleh terjadi. Sansan harus mengikuti ke mana Zidan dengan selingkuhannya itu. Tiba-tiba ponsel Sansan berdering, wanita itu pun segera melihat notifikasi yang masuk. Ternyata ada pesan dari Zidan. ~Pak Zidan~ [Kamu pulang sendiri saja, ya. Saya ada meeting di kantor.] "Cihh, meeting apaan! Pasti mau jalan-jalan sama mantannya, nih," ucap Sansan. Lebih baik ia mengikuti Zidan sebelum kehilangan jejak. Untung saja mobil Zidan masih ada di parkiran. Untung saja Sansan sudah memesan ojek online.
"Aku ... aku merasa bersalah. Kamu benar," ucap Zidan. Sansan mengerutkan keningnya, masih tak heran jika Zidan ternyata mengakui kesalahannya. "Ak--aku harus pulang. Aku mau mengajak istriku nanti jalan-jalan." "Eh, trus aku gimana?" "Kamu pulang sendiri aja, ya." Zidan mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepada Sansan. "Ini ongkos pulang, maaf nggak bisa nganterin," ucap Zidan. "Ok--oke." Sansan pun akhirnya keluar dari mobil Zidan. Setelah itu, mobil Zidan melaju kencang meninggalkan Sansan di perempatan itu. "Dia kenapa, ya? Kok jadi aneh gitu." Sansan tentunya heran melihat sifat lain Zidan yang menurutnya aneh. "Tadi ninggalin istri untuk selingkuh, terus sekarang ninggalin selingkuhannya demi istri." Sansan menggaruk kepalanya. "Apa mungkin Pak Zidan udah jatuh cinta sama gue kali, ya? Maksudnya gue yang jadi Zidny. Omg!" Sansan menepuk dahinya
Saat sampainya di Pasar Malam. Sansan segera menarik tangan Zidan untuk memasuki area pasar. Sansan sangat menyukai suasana Pasar Malam yang ramai, terang, dan tampak pancaran aura-aura kebahagiaan. Suasana pun mendukung, langit malam tampak terang. Hamparan langit dipenuhi bintang-bintang yang bertaburan. Sansan menatap ke sekelilingnya. Matanya tertuju pada ayunan naga yang berayun kencang. Tampak seru, karena orang-orang berteriak menikmati ayunan. Sansan pikir mereka berteriak girang, padahal berteriak ketakutan. "Pak!" "Hm?" "Mau main itu," rengek Sansan. "Jangan!" larang Zidan. "Yah, kok, jangan, sih! Aku mau main itu!" "Main yang lain aja," tawar Zidan. "Nggak mau! Maunya itu ...." "Yang lain." "Oh, ya udah kalau Pak Zidan nggak mau. Biar aku aja yang naik sendiri," ucap Sansan merajuk. Ia pun berjalan sendiri meninggalkan Zidan di sana. Sansan sengaja memelankan jalannya, berharap Z
Mereka pun masuk ke dalam mobil bersiap pulang. Saatnya Sansan memulai rencana Raqib."Pak.""Hm?""Aku boleh minta satu permintaan, nggak?""Apa?""Aku mau pergi ke acara ulang tahun temanku. Pak Zidan mau nganterin, nggak?"Zidan mengerutkan keningnya. Ia lantas menghela napas saja."Oke.""Tapi ... sebelum itu, Pak Zidan harus pakai topeng ini," ucap Sansan mengeluarkan dua topeng dari tasnya."Harus pakai topeng?" tanya Zidan."Iya, Pak. Konsep ulang tahunnya itu pake topeng."Sansan pun memberikan topeng itu pada Zidan dan langsung dipakainya. Topeng itu menutupi sebagian wajahnya, lebih tepatnya di area sekitar mata saja.Sansan pun memakai topeng yang sama, bewarna gold."Nah, udah. Ayo, kita berangkat, Pak."Zidan membuka dulu topengnya dan mulai menjalankan mobil. Nanti akan ia pakai kembali setelah sampai di acara.Sansan pun memandu arah jalan ke rumah Alvian. Ja
Setelah masuk ke dalam mobil Zidan. Sansan pun membuka topengnya. Namun, tiba-tiba Zidan menarik tangan Sansan. Ia membawa tangan istrinya itu ke bibir, lalu mengecupnya singkat.Adegan romantis beberapa detik yang lalu membuat pipi Sansan merona. Tumben sekali Zidan seperti itu padanya."Jangan kepedean, saya cium tangan kamu, karena tadi ada bekas tangan mantan kamu. Saya tidak sudi ada bekasnya."Walaupun ucapan Zidan terdengar menyakitkan, tetapi tidak bagi Sansan, ia malah tersenyum, karena terbukti jika Zidan cemburu. Bukankah cemburu itu tanda ... sayang?Setelah itu, Zidan menancap gas, menjalankan mobilnya untuk pulang.Sansan tiba-tiba kepikiran tentang Alvian. Apakah dirinya terlalu jahat menyakiti hati pria itu? Namun, ini bukanlah sepenuhnya salah Sansan. Bukankah memang Alvian yang telah mengakhiri hubungan mereka?Walaupun alasan Alvian memutuskannya, agar Sansan tak pergi ke club lagi, tapi apa boleh buat? Di sana