Arland dan Davian berada di sebuah ruang perawatan. Ya, Karel sudah dipindahkan setelah dokter menyatakan jika kondisi gadis itu merespon dengan baik.Luka fisik sepertinya akan pulih dengan cepat, tinggal menunggu Karel sadar karena efek obat bius juga. Hanya saja dokter seolah memperingatkan kalau Karel sepertinya mengalami hal yang mengganggu pemikiran dia. Hingga efeknya membuat tekanan darah yang terkadang naik tiba-tiba, bahkan detak jantung dia seolah tak beraturan.“Apa ada hal lain yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Arland ketika berbicara dengan dokter yang menangani Karel, saat mengecek kondisi dia.“Aku nggak bisa memastikan, tapi sepertinya dia mengalami tekanan hingga membuatnya mentalnya seperti terus dia ajak untuk baik-baik saja, tapi pada kenyataannya justru sebaliknya.”“Maksudnya?”“Karel memaksa dirinya untuk terlihat baik di depan kita semua, di depan semua orang, tapi pada kenyatannya pikiran dia sedang berkecamuk. Paham, kan?”Arland diam. Ia memaham
Langsung masuk ke dalam ruangan yang sudah diberitahukan oleh Davian. Tampak pandangan tertuju padanya karena datang tiba-tiba.“Zi, kamu kok malah ke sini,” komentar Arland malah dibuat kaget karena kondisi Ziel yang masih belum membaik, untuk kedua kalinya melarikan diri dari ruangan dia.“Kabur lagi, ya,” ujar dokter Reza menebak. Karena kalau meminta izin, untuk kondisi Ziel sepertinya tak akan diberikan.Ziel tak fokus pada papanya dan dokter Reza, karena yang jadi pemikirannya sedari tadi adalah Karelyn. Gadis itu tampak terlelap dengan luka di tangan dia yang tampak tertutup perban.“Dia kukuh ingin bertemu denganmu. Padahal kondisinya benar-benar belum membaik. Hanya penenang, sebentar lagi dia akan kembali sadar,” jelas Arland pada Ziel.Reza menyambar lengan Ziel yang duduk di kursi, kemudian mengecek kondisi dia. Lega, karena ternyata hasilnya sudah lumayan baik.“Jaga emosi. Kalau tidak, kondisimu nggak akan membaik.”Reza segera berlalu dari sana setelah pamit pada Arland
Arland dan Kiran kembali ke ruangan Karel. Mengingat kondisi Ziel juga masih belum stabil, keduanya berpikir untuk meminta dia kembali ke ruangannya. Hanya saja sampai di sana, justru malah mendapati adegan manis antara Karel dan Ziel.Kiran yang membuka pintu, kembali menutup dan memilih untuk keluar.“Kenapa?” tanya Arland ketika Kiran malah menutup kembali pintu.“Bisa aku minta tolong?”“Ya?”“Tas ku ketinggalan di ruangan Ziel. Davi juga lagi keluar kamu minta beliin makanan, kan,” terangnya.Arland mengangguk. “Aku ambil bentar, ya.”Jadilah, Arland kembali ke ruangan rawat Ziel, sedangkan Kiran memilih untuk duduk di kursi tunggu. Setidaknya ketika suaminya kembali, di dalam sudah mode aman.Selang beberapa menit, Arland kembali dengan tas milik Kiran di tangannya. Pun bertepatan dengan Davian yang membawa makanan yang barusan dia beli.Ketiganya masuk, disambut senyuman manis dari Karel. Ingin tak percaya, tapi harus diakui jika Ziel itu memang membawa pengaruh besar pada dia.
Seperti yang sudah direncanakan, Kiran pulang bareng Davian dan Arland ada tugas malam ini dan kemungkinan hingga dini hari. Sementara Ziel menemani Karelyn.“Mau makan?” tanya Ziel pada Karel.“Sudah tadi sama Tante,” jawab Karel.Ia duduk dengan kedua kaki yang berjuntai. Hanya tangannya yang sakit, bukan berarti satu tubuhnya ikutan sakit. Sedikit pusing saja, mungkin ini efek tranfusi darah, hingga tubuhnya butuh sedikit penyesuaian.Ziel duduk di kursi, menatap fokus pada layar ponselnya. Tiba-tiba benda itu diambil alih dengan cepat oleh Karel.“Karel …”“Katanya kakak mau menemaniku di sini, tapi kok sibuk sama hp terus.”“Menemani, bukan mengobrol, kan?”Langsung mengembalikan benda pipih itu pada Ziel. Nyebelin, bisa-bisanya dia membantah. Harusnya kan ngasih kalimat yang manis atau apa gitu untuk mengalah. Tetap, ya … meskipun Ziel sudah bilang sayang dan cinta sekalipun, sifat asli dia masih terus aktif.Karel merebahkan badannya, memejamkan kedua matanya perlahan. Berharap
Setelah dirasa lebih tenang, ia memilih untuk kembali masuk ke dalam. Dan apa yang ia saksikan? Gadis itu justru masih berada di posisi duduk, menatap ke arah pintu masuk sambil menangis.Padahal ia tak marah, tapi ternyata sikapnya barusan membuat dia merasa jika dirinya marah. Segera menghampiri dan langsung memeluk Karel.“Aku nggak marah, kenapa menangis?”Memeluk Ziel dengan tangisannya yang bahkan ia rasa seperti mau kehilangan sosok dia dari sekitaran kehidupannya. Marah dan kesalnya dia mungkin tak terlihat, tapi kata-kata yang diucapkan Ziel padanya seperti sebuah sentilan untuknya.“Aku sudah jujur, tapi kakak seolah nggak percaya,” ucapnya masih terisak.“Aku percaya,” balas Ziel. “Aku percaya dengan semua yang kamu katakan.”Melepaskan diri dari pelukan Ziel, kemudian menghapus kasar kedua pipinya.“Jangan marah dengan apa yang akan ku jelaskan.”Ziel diam.“Kalau gitu aku nggak jadi menjelaskannya. Aku nggak bisa kalau kamu kesal padaku. Gini aja sikapmu sudah nggak enak,
Membuka kedua matanya dan mengerjap-ngerjap ketika terdengar obrolan di sekitarnya. Mengusap matanya dan menatap ke sekitar, tampak Kiran dan Arland tengah bicara berdua.“Tante sama Om udah di sini.”Karel langsung bangun dari posisi tidurnya. Tampak selang infus juga sudah dilepas dari pergelangan tangannya. Benar-benar, ya … mode tidur yang seperti orang pingsan. Bahkan ia sedikitpun tak terbangun ketika jarum itu dilepas dari kulitnya.“Udah bangun, Sayang. Gimana tidurmu?” tanya Kiran menghampiri.“Nyenyak, Tante. Sampai aku nggak sadar infusku sudah dilepas,” ungkapnya menunjukkan tangannya yang hanya terlihat sebuah plester ditempel pada bekas jarum infus.Kiran terkekeh mendengar perkataan Karel.“Tidurnya ditemani Ziel, iyalah nyenyak. Om datang aja sampai nggak ada yang kebangun, loh,” sambung Arland.Haruskah ia merasa malu, tapi tidak juga. Ia juga pernah tidur di dekat Ziel juga kok sebelumnya. Namun tiba-tiba otaknya ia mengingat sesuatu.“Tapi Kak Ziel mana?” tanyanya.
Seperti yang ia inginkan, dokter akhirnya memberikan izin untuknya pulang ke rumah. Tinggal menjaga bagian luka hingga benar-benar sembuh total.Di saat yang bersamaan, ponsel milik Kiran yang tergeletak di nakas samping tempat tidurnya berdering. Sedangkan si pemiliknya sedang keluar karena mengurus obat-obatan.Karel menyambar benda pipih itu untuk mengecek siapa yang menelepon. Yap, tertampang nama seseorang yang sedang membuatnya kesal saat ini. Kemudian meletakkan kembali benda itu dan membiarkan berdering sesukanya.Kiran kembali dan ternyata bersama dengan Arland. Ponselnya kembali berdering, hingga membuat Kiran segera menghampiri dan menyambar benda itu.“Hallo,” sahut Kiran.“Mama Dari mana. Aku telepon dari tadi loh, nggak dijawab-jawab,” ujar Ziel.“Mama lagi ke apotik, menebus obatnya Karel.”“Karel udah boleh pulang?” tanya Ziel.“Hmm, ini udah siap mau pulang.”“Dia mana, aku mau bicara.”Kiran menghampiri Karel yang posisi dia duduk di sofa.“Sayang, ini Ziel mau bicar
Leo menutup buku yang ia baca dan beranjak dari posisi duduknya. Berbalik badan, mendapati gadis belasan tahu yang nyatanya adalah putrinya, tapi sudah seperti anak dari sahabatnya sendiri.Sebuah keputusan besar sudah diambil, itu artinya tak bisa balik dan menyesali semuanya. Ini demi kebaikan dari semua belah pihak.“Kenapa balik ke sini?” tanya Leo.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Leo yang ia pastikan tertuju pada Karel, tentu saja emosi Arland seakan langsung tersulut. Ingin membalas, tapi Kiran menahan niatnya hingga akhirnya memilih untuk tak merespon.Karel malah mengumbar senyumannya ketika mendengar pertanyaan itu dari Leo.“Kenapa Papa memberikan pertanyaan seperti itu? Aku anak papa, sudah sewajarnya kan jika aku ada di rumah ini? Malah justru mengherankan sekali kalau aku berada di rumah Om sama Tante.”“Setelah hal yang terjadi …”“Aku juga nggak menginginkan kejadian itu terjadi, tapi Papa kan yang menginginkan?” Karel langsung menyanggah perkataan Leo. “Setelah k