Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di
Suara ketukan pintu kamar membuat tidur seorang gadis bernama Karelyn tiba-tiba terganggu. Matanya melek seketika saat pandangan matanya ikut fokus pada sebuah jam di nakas. Tak sampai di situ, dengan cepat dia bangun dari berjalan menuju pintu.Pintu terbuka, menampakkan sesosok pria paruh baya yang sedang memberikan tatapan dingin padanya."Masih mau tidur?""Maaf, Pa," ucapnya dengan nada ngeri."Sudah beberapa hari kamu telat bangun ... apa untuk hari ini juga dengan alasan yang sama?"Karel mengangguk pelan. Ini antara mau berbohong dan jujur. Mau berbohong, papanya pasti akan tahu. Mau berkata jujur, tentu saja itu meminta dirinya untuk dibacok. Tapi jujur saja, ada rasa bahagia ketika papanya mengeluarkan banyak kata padanya.Ya, intinya memang inilah yang ia harapkan, kan.Sebuah deringan ponsel tiba-tiba membuat pria paruh baya itu beranjak dari hadapan Karel. Yap, di saat itulah Karel merasa keberuntungan masih berpihak padanya. Den
Pulang sekolah langsung pulang, tak boleh keluyuran. Belajar, mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Oke, semua itu sudah ia dapatkan dan lakukan. Sekarang saatnya menyeimbangkan semua aturan itu dengan pelanggaran.Mengenakan dress selutut dan hels yang menutupi kakinya. Terlihat sangat anggun warna pastel itu berpadu padan dengan wajah oriental dan kulit putih yang dia miliki.Keluar dari kamar dengan langkah perlahan. Dari atas ia berteriak pada Bibik yang berada di bawah."Bik, jangan memanggilku, ya. Aku mau tidur sambil dengerin musik!""Iya, Non!" Bibik yang berada di lantai bawah, menyahuti perkataan gadis muda itu.Tersenyum puas saat apa yang ia lakukan, memiliki peluang yang bagus. Apalagi kalau bukan kabur.Kembali masuk kamar dan mengunci pintu dari dalam. Lanjut menuju balkon dengan sebuah tali yang ia bawa. Jangan berpikir lagi, inilah saatnya kabur.Mengikatkan ujung tali pada tiang dan melempar ujung satu lagi
"Ponsel gue ambilin dong, Ja," pinta Karel pada Puja.Segera menelepon seseorang."Lo mau nelpon siapa?" tanya Rena. Tapi pertanyaannya malah tak dijawab oleh sobatnya itu."Hallo." "Kakak dimana?" tanyanya langsung saat panggilan teleponnya dijawab oleh yang bersangkutan."Karelyn, ini udah tengah malam, loh. Masih belum tidur," balasnya dengan nada lembut."Jemput aku," pintanya langsung."Kamu di luar?""Jemput aku ... kepalaku pusing, Kak," ujarnya."Kirim alamat, ya.""Hmm."Menutup percakapan dan langsung mengirimkan alamatnya lewat chat."Kamu minta siapa yang
Diperjalanan, keduanya tak banyak bicara. Ziel yang fokus pada jalanan, sedangkan Karel malah tidur di sampingnya. Sesekali ia mengarahkan pandangan pada dia, mengecek apa dia baik baik saja.Ponsel miliknya berdering, membuat Ziel menghentikan laju kendaraannya. Mengambil benda pipih itu ... terlihat kalau yang sedang menelepon adalah Leo, papanya Karel."Hallo, Om," jawab Ziel.Mendengar percakapan itu, membuat Karel terbangun dari tidurnya. Mendapati Ziel sedang bicara dengan seseorang di telepon."Zi, Om bingung mau cari Karel. Dia kabur lagi dari rumah tanpa ijin. Dan berkali kali Om telepon, dia nggak menjawab." Laki laki paruh baya itu bicara dengan suara yang menunjukkan kalau dia khawatir akan keadaan putrinya."Om nggak usah khawatir, dia bersamaku." Mengarahkan
Suara ketukan pintu membuat si pemilik kamar terbangun dari tidur nyenyaknya. Dikira pusingnya bakalan ilang, ternyata masih berasa sampai pagi. Rasanya seakan malas untuk beranjak dari tempat tidur.Mencoba mengabaikan ketukan pintu, tapi justru malah makin terdengar jelas di pendengarannya. Hingga akhirnya bangun dan berjalan gontai menuju pintu.Pintu terbuka, mendapati seorang wanita paruh baya tengah berdiri dihadapannya."Non, Nyonya bilang Non Karel harus segar bangun. Karena harus sekolah," jelasnya.Karel mengangguk tak bersemangat saat mendengar penjelasan itu. Ya, sekolah. Rasanya begitu malas untuk sekolah. Bisa tidak, menghentikan waktu agak beberapa jam ... agar ia bisa kembali tidur."Iya Bik, aku ambil ponsel dulu," ujarnya.Kembali ke dalam kamar. Merapikan rambutnya dan menyambar benda pipih yang ada di kasur. Kemudian segera kelua
Seharian hanya menangis sepuasnya. Kebiasaannya memang begini bahkan dari saat ia tahu rasanya sedih. Setidaknya saat semua tangis ia keluarkan, setelah itu hatinya lumayan akan jauh lebih baik. Turun ke lantai bawah setelah mandi dan berbenah diri. Duduk di sofa sambil menonton televisi. Tak lama terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarangan rumah. Yap, papanya pulang. Terdengar derap langkah memasuki rumah dan berjalan mengarah padanya yang masih duduk. Pandangannya beralih pada sosok yang memberikan tatapan dingin padanya. Karel beranjak dari posisi duduknya. Menyambar kemudian mencium punggung tangan laki laki paruh baya itu. "Papa ..." "Ini yang kamu mau?!" "Aku ..." "Sekarang kamu yang harus mendengarkan papa, Karel!" Bentakan papanya membuat Karel seketika terdiam. Bahkan matanya sampai terpejam saat suara bass itu tertuju padanya. "Sudah berapa kali Papa bilang untuk bersikap layaknya an
Selesai berdebat bahkan sebuah tamparan ia terima dari papanya. Jangan berpikir jika sikap itu bisa ia lupakan begitu saja. Bahkan ia tak berniat melupakan itu semua, karena yang melakukan adalah papanya sendiri.Kurang apa ia selama ini sebagai seorang anak? Pintar, penurut, berprestasi, yang kemana mana harus dapat ijin ... semua sudah dilakukannya demi mewujudkan keinginan papanya. Hanya demi mendapatkan perhatian dari laki laki paruh baya itu. Tapi semua percuma.Masih menangis, meskipun ia tak ingin menangis. Toh, menangis sejadi jadinya pun tak akan mengubah hati papanya. Tetap ia yang salah dan jadi anak yang tak diinginkan.Mengambil sebuah bingkai foto yang ada di nakas. Mengusap lembut gambaran seorang wanita yang sedang tersenyum."Apa aku memang tak diinginkan untuk lahir ke dunia ini? Aku bingung dengan sikap Papa. Setidaknya jika ada sebuah penjelasan, mungkin aku bisa berbenah diri demi mewujudkan apa yang Papa mau. Tapi alasan itu tak ku d