"Ingat! Rapat jam tiga sore." Setelah turun dari mobil, Elvian kembali mengingatkan Airish tentang jadwal rapat yang telah direncanakan dari jauh-jauh hari. Dengan begitu, setidaknya meskipun Airish lupa, gadis itu tidak memiliki alasan untuk menyalahkan siapa pun karena sebelumnya sudah diingatkan."Betapa cerewetnya seorang Elvian," gumam Airish seraya memutar bola mata.Hingga setelah laki-laki itu berlalu memasuki lobi perusahaan, Arish menoleh ke samping, mengajak Juna pindah ke depan. Sementara dirinya duduk di jok pengemudi, pemuda itu duduk di sebelahnya.Mesin sudah menyala sejak tadi. Namun, Airish sama sekali belum menyentuh pedal gas. Pusat perhatiannya menjadi milik Juna untuk saat ini. Dipandanginya Juna dengan tatap penuh damba, membuat Juna lagi dan lagi merasa risih—atau mungkin jadi salah tingkah?"Ada sesuatu yang mau aku sampaikan ke kamu," ucap Airish."Apa?"Airish tersenyum tipis. Kemudian, tanpa aba-aba, dia langsung memeluk erat lengan Juna, menyandarkan dagu d
Airish terpaku. Menyambut tatapan mata Juna yang menyimpan banyak sekali tanda tanya. Membuatnya hampir lupa bagaimana cara bernapas. Kemudian, dia melengos, memutus kontak mata dengan pemuda yang belum genap tujuh hari menjadi sugar baby-nya."Jun, tolong ... tatapannya biasa aja," pinta gadis itu yang memilih untuk memandang pot bunga demi menghindari tatapan intens Juna."Kenapa?" Juna meletakkan kedua siku tangan di atas meja, menopang dagu, lalu menambahkan, "Grogi?"Sontak Airish mengernyitkan dahi, terbelalak memandang Juna. "Grogi?" tukasnya. "Mana mungkin aku grogi di depan anak yang masih bau kencur kayak kamu?!" bantahnya."Enggak perlu capek-capek menyangkal. Aku bisa memaklumi kalaupun memang iya," kata pria itu dengan penuh percaya diri.Airish terkekeh sinis, mencoba bersikap tenang dan elegan seperti biasanya. "Ehm! Cepat habiskan makananmu. Sebentar lagi aku mau rapat," ujarnya mengalihkan topik.***High heels tinggi dan mewah tampak mengetuk lantai, menciptakan bunyi
"Jadi, usia kamu lima tahun lebih muda daripada Airish?" Elena manggut-manggut paham seraya memandang Juna yang duduk di samping Airish—tepatnya di atas sofa yang berseberangan dengan dirinya.Juna mengangguk. "Iya. Usia saya sekarang baru sembilan belas tahun," beritahunya."Masih sangat muda," ucap Elena sambil terkekeh geli. "Tapi saya senang, Airish bisa menyesuaikan diri dengan baik dan enggak pernah pilih-pilih dalam berteman.""Mama," ujar Airish, "Juna bukan temanku."Pernyataan Airish terdengar ambigu dan membuat Elena kikuk. Kalau memang bukan teman, kenapa mereka bisa datang bersama ke rumah ini? "Lalu?" tanyanya heran."Dia ..."–Airish melirik ke samping, mendapati pemuda itu menatapnya dengan sangat tajam dan mengerikan–"dia pacarku."Sontak Elena melotot. Begitu pun dengan Juna yang merasa kesal karena Airish terlalu mudah melabelinya sebagai pacar."Pacar?!" Kedua alis Elena berjengit naik. "Bercanda kamu, Rish!" Dia masih berusaha mengubur keterkejutannya dengan kekeha
Brugh!Airish menutup pintu mobil dengan kasar. Berbicara dengan ibunya setelah sekian lama tidak bertemu—dikarenakan Elena harus mengurus cabang perusahaan di Sidoarjo—ternyata malah membuat Airish kesal, alih-alih merasa bahagia karena bisa melepas rindu.Tanpa diperintah, gadis itu meneteskan air mata kekecewaan atas sikap Elena yang egois dan selalu ingin segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendaknya.Juna melihat itu dan sebetulnya ingin sekali menenangkan Airish. Namun, dia memilih diam karena menurutnya tidak ada hak apa pun bagi dirinya untuk ikut campur."Jun?" Airish menoleh ke samping, membuat pemuda itu ikut menoleh ke arahnya."Ya?""Kenapa kamu diam aja, sih?"Juna mengernyit, "Maksud kamu?""Aku lagi nangis, loh." Kalimat ambigu yang Airish lontarkan membuat Juna bingung."Terus?" Dan Juna sama sekali tidak terlihat peduli."Enggak ada niat untuk menghibur atau semacamnya, gitu?"Menghela napas sejenak, lalu Juna menjawab, "Maaf, tapi aku bukan badut ataupun pelawak
"Ehm, sebenarnya ... kebetulan yang punya perusahaan adalah ayahnya Airish," jawab Juna yang terpaksa harus berbohong. Pemuda itu tidak ingin Diana mengetahui bahwa sebenarnya dia dan Airish sudah bekerja sama.Sebenarnya Diana kurang yakin dengan jawaban Juna, tetapi mengingat penampilan Airish yang kelihatan sekali bukan berasal dari kalangan orang biasa, rasa curiganya sedikit memudar.Mereka melanjutkan makan malam dan melupakan apa yang menjadi pertanyaan Diana. Hal itu membuat Juna akhirnya bisa bernapas dengan lega.Tok, tok, tok!Di tengah obrolan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Juna mengambil kesempatan itu untuk menghindari suasana canggung. Pemuda itu segera pergi ke luar untuk melihat siapa yang datang.Setibanya di depan pintu, Juna terkejut mendapati sosok Nayla sedang berdiri sambil tersenyum menatap ke arahnya. Gadis itu tersenyum lugu, seakan melupakan bahwa dirinya pernah menyakiti Juna dengan luka yang sangat dalam."Mau apa lagi kamu, Nay?" tanya Juna dengan na
"Kenapa?" tanya Airish yang sama sekali tidak menoleh ke arah pria di belakangnya. "Maaf, aku enggak tahu kalau dia datang ke rumah kamu," ucapnya mencoba menutupi rasa kesal yang bergemuruh di dada."Aku bahkan nggak tahu kalau dia mau datang ke rumah," ucap Juna mencoba memberi penjelasan. "Dan soal pelukan itu ... tiba-tiba dia sendiri yang meluk aku."Airish berdecih. "Tapi kamu juga senang, 'kan, dipeluk sama mantan kesayanganmu itu?" tuduhnya.Juna menggeleng dengan cepat. "Aku sama sekali udah enggak menyimpan rasa untuk Nayla. Justru sikap Nayla barusan malah bikin aku ilfeel," bebernya tanpa ada yang ditutup-tutupi.Sontak jawaban Juna membuat Airish terkekeh sinis. "Akui saja kalau kamu memang masih menyimpan nama dia di hati kamu. Eggak apa-apa, 'kok. Aku bisa menerimanya. Toh, seperti yang kamu bilang, bahwa hubungan kita hanya sebatas pacar kontrak yang bisa berakhir kapan saja."Dengan cepat Juna menggeleng. Entah kenapa dia merasa perlu menjelaskan semuanya kepada Airis
"Apa?!" Juna tidak menyangka bahwa Airish akan mengajaknya menikah semudah itu.Airish kembali mengulangi ucapannya, "Ayo kita nikah!""Kamu ngajak nikah kayak orang lagi ngajak nonton bioskop aja," ucap Juna seraya terkekeh geli. Airish benar-benar sudah mengocok perutnya. "Bercanda aja kamu, Rish."Tidak suka dianggap main-main, Airish pun meraup kedua pipi Juna dengan telapak tangan, memaksa pemuda itu menatap lurus-lurus ke arahnya. "Coba kamu perhatikan baik-baik wajah aku, Jun! Memangnya aku terlihat sebercanda itu di mata kamu?" tanyanya serius.Juna yang awalnya masih bisa cengengesan, kini justru terbungkam dengan wajah menegang. Dia menelan ludah, lalu melengos ke sembarang arah. Pelan-pelan menurunkan kedua tangan Airish dari pipinya. "Hm, ... sekarang udah malam, Rish. Sebaiknya kamu pulang." Percayalah, Juna hanya sedang mengalihkan topik.Seketika Airish merosotkan bahu dengan kecewa. Lagi-lagi Juna menolaknya secara mentah-mentah. Menyebalkan sekali!Detik berikutnya, Ju
Setelah menerima telepon dari Elvian, Airish langsung meninggalkan kafe dan menuju ke perusahaan. begitu masuk ke ruang kerja pribadinya, dia terkejut mendapati adanya seorang perempuan sedang duduk di atas kursi kebanggaannya.Airish tahu siapa perempuan itu, bahkan sangat tahu. Perempuan itu adalah alasan kenapa Airish dan Rama putus dua tahun yang lalu. Namanya Celine.Melihat kedatangan Airish, Celine langsung bangkit dari kursi dan menghampiri sang empunya perusahaan."Apa kabar, Rish?" Celine tersenyum—walau itu terlihat seperti senyuman kaku yang dipaksakan untuk terbentuk. Dan Airish sama sekali tidak tertarik menjawab pertanyaan basa-basi Celine."Sebenarnya ada apa? Mau apa kamu ke sini?" tanya Airish yang ingin tahu inti dari kedatangan Celine. Dia sudah muak dengan orang yang datang hanya untuk basa-basi, sebelum akhirnya menjadi ular yang melititnya tiba-tiba.Celine menundukkan kepala. Senyum di bibirnya lindap seketika. Dia sadar, Airish pasti masih sangat membenci diri