Ide mendadak dari Rima dan Ambar membuat Keira akhirnya berdiskusi dengan kedua orang tuanya. Ibu dan Ayahnya setuju, toh, Keira memang jagk masak.
"Yaudah coba aja kamu buka PO apa gitu, Kei. Ibu bantuin," kata ibu sambil menjahit baju pesanan tetangga.
"Apa Kei coba bikin terus jualin di kantor?"
"Itu juga bisa. Tawarin dulu aja yang penting. Besok pulang kerja belanja bahannya, tawarinnya mulai dari sekarang, PO buat besok." Ibu bicara tapi pandangannya fokus ke mesin jahit di hadapannya.
Keira pamit ke kamar, mencoba berpikir jualan apa kira-kira.
"Apa, ya. Anak-anak di kantor senengnya jajananan, sih," gumamnya. Tangannya menscrol layar ponsel, mencari inspirasi. Setelah beberapa menit ia tersenyum, "ini aja, deh." Lalu jemarinya mulai mengetik pesan singkat di grup kantor untuk buka PO makanan.
***
"Kapan ketuk palu, Kei?" Ambar bertanya saat mereka di toilet karyawan.
"Sebulan lagi kali. Bodo ah, gue males mikirnya. Terima kenyataan aja gue jadi janda muda."
"Muda? Udah dua delapan combro," sindir Rima.
"Seenggaknya gue belum punya anak, jadi anggaplah janda muda," sanggah Keira yang fokus merapikan lipstik dibibirnya dengan jemari tangan.
"Jadi udah terima fakta lo janda?" Bahunya disenggol Ambar yang senyam senyum.
"Hm." jawab Keira seraya memasukan lipstik ke dompet kosmetiknya.
"Jangan lupa, spagety brulle gue besok tiga. Anak-anak gue doyan banget buatan lo, Kei." Ambar menyisir rambutnya. Perempuan dua puluh sembilan tahun itu memilik dua anak kembar perempuan berusia tujuh tahun dan satu laki-laki yang masih lima tahun.
"Gue dua, Kei. Kapan lo buka asinan buah. Enak buatan lo. Gue mau yang isinya salak sama kelengkeng, ya. Eh iya, sop buntut lo, Kei. Pak bos suka banget, kan."
Keira mengangguk juga tersenyum. "Nanti PO selanjutnya, ya. Pesenan besok aja udang tiga puluh spagety brulle. Gue mesti minta bantuan Kemal anterin ke sini."
"Iya lah, masakan lo enak. Pokoknya lo semangat, Kei. Buktiin sama cecunguk itu, tanpa dia lo bisa sukses!" Rima mengepalkan tangan ke udara. Keira mengangguk yakin lalu tertawa.
"Terima kasih, ya. Ayo, balik kerja. Udah high season, banyak yang pada liburan ke LN. Aplikasi visa ke Canada yang gue pegang juga bludak." Keira mendorong pintu toilet. Mereka bertiga berjalan ke meja posisi mereka kerja, merapikan seragam juga memasukkan dompet kosmetik ke tas kerja di dalam lemari datar di belakang mereka.
Satu persatu berkas pengajuan pembuatna visa maupun menanyakan paket liburan berdatangan. Keira mulai kewalahan karena banyaknya orang silih berganti. Belum lagi dari para tim marketing kantornya.
"Selamat sore, sapa Keira ramah. Ia melihat jam tangan yang dipakai sudah pukul tiga sore."
"Sore, Mbak, saya mau tanya-tanya paket liburan ke Korea, itu benar sesuai banner promosinya?"
"Benar, Pak. Kita juga ada paket minimal berapa orang yang berangkat. Satu kelompok sepuluh orang, Pak."
"Untuk pembuatan passport apa bisa dibantu, karena ada tiga anak saya yang belum bikin. Rencananya kami sekeluarga mau ke sana."
"Bisa, Pak. Bapak bisa ke meja di sana yang ada tulisan Passport, nanti setelah itu Bapak ke saya lagi untuk pilih tanggal keberangkatan, karena kami mengikuti kemauan customer jika memang kuota orang sudah terpenuhi."
Pria necis itu mengangguk, ia lalu beranjak, pindah duduk ke meja bagian pembuatan passport. Keira kembali menerima custumer lain kali ini yang mengajukan pembuatan Visa ke negara Inggris.
Ia memeriksa satu persatu keterangan data yang diisi, mengecek jika ada informasi yang salah atau harus diisi.
"Keperluannya untuk sekolah, ya?"
"Iya, Mbak."
"Kuliah di mana?"
"Oxford."
Keira mendongak, menatap gadis di hadapannya yang terlihat memang pintar. "Selamat ya, yang rajin nanti kuliah di sana. Jurusan apa?"
"Bisnis, Mbak."
Ya ampun, jurusan yang gue pingin. Tembus beasiswa ke sana susah banget. batinnya.
"Beasiswa atau--"
"Beasiswa, Mbak."
Keira mengangguk lagi. Semua kelengkapan data sudah tak ada yang kurang. Ia lalu menandatangani berkas tak lupa membubuhi stempel basah logo approved.
"Ditunggu info selanjutnya yang kami kirim lewat email, ya. Prosesnya maksimal dua minggu dari hari ini."
"Iya, Mbak. Terima kasih, ya. Oh iya, Mbak ... Keira, ya." Tunjuk gadis itu ke name tag yang dikenakan Keira.
"Iya," jawab Keira diakhiri senyuman.
"Dapat salam dari Kakak saya, Mbak. Tadi orangnya minta tolong sampaikan ke saya. Mbak udah punya pacar belum?" bisik gadis di hadapannya yang membuat Keira menganga.
Pertanyaan itu ternyata terdengar Rima dan Ambar. Keduanya duduk merapat ke arah Keira. "Kakaknya mana? Ganteng, nggak? Kuliah apa kerja? Keira ini ... janda." Rima tersenyum. Keira hanya bisa mengusap pelipisnya, kelakuan teman-temannya, ya, membuat ia hanya bisa menahan kesal.
"Oh ... janda," gumam gadis itu.
***
Kemal tergelak saat mengemudikan motornya ke arah toko bahan kue. Ia menjemput Keira di halte busway.
"Lo malah ketawa. Malu gue, Mal!" Keira memukul bahu adiknya.
"Dih, ngapain malu. Eh, Mbak, kali aja tuh cowok worth it, apalagi adeknya kuliah di Oxford. Kampus idaman lu. Karena nggak tembus dapet beasiswa dan orang tua kita nggak mampu, pupus mimpi lu, kan."
"Elo lagi, Mal. Udah gue buang jauhhhh kelapisan langit paling atas cita-cita gue!"
Motor terus melaju, Kemal hanya bisa tertawa. Ia tau betul perjuangan kakaknya supaya bisa dapat beasiswa ke Oxford, belajar mati-matian, tidak kelayaban, hingga saat beasiswanya di tolak, seminggu Keira murung dan berakhir sakit tipes. Untungnya nggak dirawat, bisa semaput semuanya, nggak ada biaya. Walaupun pakai kartu sehat dari pemerintah, untuk mondar mandir ke RSnya juga butuh uang.
"Mbak, sabar, ya. Sekarang nikmatin sendiri dulu, jangan buru-buru jatuh cinta atau suka sama seseorang, sembuhin luka hati lo." Kemal mengarahkan sepeda motornya ke toko kue. Keira harus belanja pesanan untuk esok. Malam ini ia akan lembur memasak, tak masalah lelah, resiko cari uang.
***
"Pagi!" Keira menyapa dengan riang. Di tangan kanan dan kirinya ia tenteng pesanan spagety brulle. Pantry riuh ramai menyambut kedatangan keira.
"Nha! Sarapan gue dateng, mana, Kei!" celetuk rekan kerja lainnya.
"Bentar, sabar, gue pisahin dulu biar nggak nyasar ya." Keira cekikikan. Ia membagi pesanan satu persatu, lalu memisahkan pesanan lainnya. Semua membayar tunai, Keira merapikan uang yang sudah terkumpul saat pantry sudah kosong.
"Kei, pesanan saya ada?" tanya Bu Tia, kepada divisi marketing.
"Ada, dong, Bu, lima, kan." Keira memberikan paper bag coklat yang isinya lima pack spagety brulle.
"Berapa semua?"
"Seratus, Bu. Perpacknya dua puluh ribu aja."
Bu Tia menyerahkan uang seratus lima puluh ribu. "Buat ongkos kamu lebihnya, makasihnya, besok masak apa lagi. Sop buntut, dong. Saya mau kalau ada, Pak bos juga mau pasti."
"Beneran, Bu? Saya buka PO, lagi."
"Bener, lah. Nggak apa-apa buka PO aja, dari pada jajan di luar, mending kamu yang masakin, kan, kita ada microwave buat hangatin makanan."
"Baik, Bu. Bu Tia, makasih lebihannya, ini banyak banget," lirih Keira.
"Nggak apa-apa. Semangat, ya, Kei. Masakan kamu enak-enak, worth it, lah dikasih lebih. Kamu naik motor tadi sama Kemal?"
"Iya, Bu. Mumpung Kemal kuliah jam sembilan, saya suruh ojekin saya dulu."
"Kompak, ya, kalian. Bagus kalau gitu. Saya ke ruangan, ya, Kei."
"Iya, Bu, terima kasih, sekali lagi." Keira tersenyum. Bu Tia membalas dengan senyuman juga. Keira memekik senang, lelahnya menjadi hasil yang sepadan. Jemarinya mengetik pesan singkat ke grup kantor, ia kembali menawarkan dagangannya paket komplit sop buntut sapi.
Sambil menghitung total uang dan menunggu jam kerja dimulai sepuluh menit lagi. Balasan chat ramai, rata-rata mau memesan sop buntut. Total ada tiga puluh lima paket. Keira degdegan, malam nanti harus belanja bahan dan langsung masak. Ibu juga pasti ia minta bantuan untuk packing makanan dan Kemal lagi-lagi harus stand by antar dirinya dari pada pesan taksi atau ojek online, lumayan keuntungannya bisa ia bagi untuk uang jajan Kemal.
bersambung,
Met baca 🌿__________Kemal dan Ines berada di kampung halaman hampir satu minggu. Semua berubah semenjak bapak pergi untuk selamanya. Apalagi setelah tau bapak ternyata merestui juga membagi-bagi warisan.Diam-diam juga bapak merupakan pewaris tunggal keluarganya yang merupakan juragan tanah di sana. Semua diceritakan ibu di depan keluarga.Kemal sendiri tak bangga mendapat warisan, toh ia sudah kaya raya. Warisan dari bapak justru ia serahkan ke Ines, terserah mau diapakan. Untuknya Ines lah warisan berharga dari bapak untuknya. Itu sudah lebih dari cukup."Nes, jadi pulang siang ini?" Suara ibu terdengar sedih. Ines menoleh, ia sedang berdiri menatap foto keluarganya saat ia masih remaja dulu terpasang di dinding ruang keluarga."Iya, Bu. Kemal udah lama nggak kerja. Ibu mau ikut ke Jakarta?" ajaknya. Ibu berjalan mendekat, menggeleng pelan."Ibu ke Jakarta kalau kamu melahirkan, ya." Tangan ibu mengusap perut putrinya. "Ibu senang kamu bisa hamil diusiamu yang nggak muda tapi Ibu
Met baca 🌿__________Kemal segera membantu Ines berkemas, ia sendiri sudah sejak tadi merapikan pakaiannya ke dalam tas koper."Ayo, sayang," ajak Kemal bicara dengan begitu lembut. Ines duduk mendongak, menatap suaminya nanar. "Ayo, kita pulang." Kemal tersenyum. Ines berdiri pelan, menggandeng tangan Kemal.Kemal meminta pak Darmo segera berangkat bersama putranya untuk menemani selama perjalanan darat karena Kemal dan Ines naik pesawat. Mereka akan lama di sana sehingga pak Darmo diajak setelah izin dengan Reynan meminjam sopir anak-anaknya."Mas Kemal nanti di sana siapa yang jemput?" Pak Darmo harus memastikan."Ada keluarga Ines, kalian hati-hati ya. Saya sudah transfer untuk bensin, tol dan jajan Bapak sama Ado." Kemal membuka pintu taksi. Ado membantu membawakan tas kecil milih Ines yang isinya beberapa barang penting."Hati-hati, Mbak, Mas," tukas Ado."Makasih, Do," jawab Ines pelan.Perjalanan mereka tembuh sambil terus diam namun kedua tangan mereka tak lepas saling meng
Met baca 🌿______Kemal tak henti tersenyum semenjak tiba di rumahnya. Ines langsung lanjut nonton drakor di kamar setelah mandi dan memakai daster."Kamu mau ke mana?" tegur Ines walau matanya menatap ke layar tablet di atas pangkuannya. Ines merebahkan diri di atas ranjang, terlihat sangat malas beranjak."Mau beli buah. Kamu harus banyak makan buah, Nes," jawab Kemal masih mematut diri di depan cermin. Ia meraih sisir di atas meja rias, merapikan rambutnya yang basah setelah mandi."Ngapain sisiran, rambut kamu rapi sendiri. Lurus banget gitu." Kalimat yang diucapkan Ines terdengar seperti dumelan, lagi-lagi bicara tanpa menatap suaminya."Biar rapi aja," sahut Kemal lagi."Biar dilihatin cewek lain barang kali."Kemal diam. Ia meletakkan sisir kembali ke tempatnya lalu melihat istrinya dari pantulan cermin. "Cemburu?" gumam Kemal tapi menahan senyuman saat bicara."Sorry, ya, nggak tuh!" Ines menyelimuti diri setengah badan kembali fokus nonton."Masa, sih, hormon ibu hamil bikin
Met baca 🌿_________Kemal begitu bahagia saat ulang tahunnya dirayakan bersama keluarga di rumahnya. Tak lepas ia tersenyum sambil sesekali menunjukkan kemesraannya dengan Ines yang justru terlihat sedikit sendu.Seharian ia kepikiran bapak dan ibu, ia coba kirim pesan singkat ke bapak tapi tidak dibaca. Saat ke ibu, ibu hanya bilang kalau bapak tidak mau tau urusan juga apa yang terjadi dengan Ines.Ia anak perempuan, hubungan dekat dengan bapaknya sudah erat dari kecil. Perlahan pudar semenjak Ines ngotot merantau ke Jakarta dan kota besar lainnya hingga tersangkut kasus besar.Katon menghampiri Ines di dapur saat adiknya sedang merapikan piring dan gelas yang sudah kering, ia masukkan ke lemari dapur dengan rapi."Besok kalau Mas sempat, Mas ke rumah Bapak. Coba bicara lagi, ya."Ines diam, dengan wajah sendu menunjukkan balasan pesan singkat yang dikirim ibu. Setelah Katon baca ia hanya bisa menghela napas panjang."Maafin Bapak ya, Nes," tukas Katon."Ada juga aku, Mas, yang ha
"Kapan kita mau ke rumah Bapak Ibu, Mal?" Ines baru selesai menyiram tanaman di depan rumah saat Kemal memakai sepatu bersiap kerja."Mau kamu kapan?" Kemal masih menunduk."Terserah kamu. Aku hopeless.""Nggak boleh gitu. Aku cek jadwalku ke Raja, kalau kerjaan aman jumat ini kita ke sana, mau naik apa? Kereta atau pesawat?""Terserah."Kemal mendongak, menatap istrinya yang berdiri menggulung selang."Jangan terserah, Nes." Ia lantas berjalan mendekat. Merapikan rambut Ines yang sedikit acak-acakkan karena angin. "Kita harus kompak."Ines memeluk manja Kemal, ia memang tak yakin jika bapak mau melihat usaha mereka meminta restu. Kemal mengusap pelan punggung Ines, ia tau galaunya Ines karena sudah sebulan menikah tapi bapak sama sekali tidak berkabar. Anak perempuan mana yang tidak sedih."Aku kerja, ya, kamu mau di rumah aja apa jadi ke tempat Mbak Keira? Ervan bilang mereka butuh orang buat auditing keuangan, kamu bisa, kan?"Ines melepaskan pelukan, berjalan ke arah teras meraih
Met baca 🌿_____________Tamu kerabat dekat dan teman kerja sudah pulang sejak beberapa waktu lalu. Tak sampai lima puluh orang yang hadir. Kemal duduk sambil menikmati kopi sore yang dibuat Keira, diam menatap lurus ke tatanan taman bunga yang cantik atas tangan diri Keira."Gue tau perjuangan lo baru dimulai, tapi jangan lihatin ke Ines, kasihan dia." Keira duduk tepat di sebelah Kemal."Salah nggak sih, Mbak? Kalau jadinya begini?""Nggak ada yang salah atau benar, Mal. Udah jalannya dan yang penting lo bisa ubah pelan-pelan. Kapan berangkat bulan madunya?""Tiga hari lagi. Nyamain jadwal terbang Mas Katon, Ines mintanya gitu."Keira merangkul bahu sang adik, lalu ia bersandar pada pundak tegap Kemal. "Ibu bahagia banget. Dari tadi senyum, ketawa dan kelihatan bangga lo nikah juga, Mal. Nggak jadi perjaka tua," kekeh Keira. Kemal pun sama, kedua bahunya bergetar pelan lalu meraih jemari tangan kanan Keira."Mbak, makasih selalu marahin gue kalau gue salah langkah. Maaf lo jadi die