Pagi yang cerah di hari senin. Sebuah pagi, di mana matahari bersinar dengan semangat namun, teriknya tak terasa menyengat. Sebuah pagi yang memberikan kesan tersendiri bagi penikmatnya.
Seorang wanita cantik tampak berdiri dengan segerombolan mahasiswa yang ikut bersamanya. Rambutnya yang hitam tebal ia sanggul dengan rapi. Sehelai kemeja bewarna biru lengkap dengan rok span hitam sepanjang lutut, membalut sempurna tubuh semampai wanita itu. Dan jangan lupakan, sepasang sepatu berhak rendah bewarna hitam yang membungkus kakinya.
Ia adalah Cansu Esana Evren. Seorang dosen muda jurusan sejarah di sebuah universitas ternama. Hari ini ia dan beberapa muridnya, sedang mengadakan kunjungan ke sebuah bangunan prasejarah.
Cansu tampak sibuk menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi di bangunan prasejarah tersebut. Sementara murid-muridnya mendengarkan wanita itu dengan khidmat.
"Istana Galall. Istana ini adalah salah satu peninggalan dari kerajaan Farabi. Kerajaan bersejarah yang berkuasa pada zamannya. Kerajaan ini dipimpin oleh dinasti Kazeem. Sultan pertama yang memimpin kerajaan ini adalah sultan Fahreezan I. Kerajaan ini mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan sultan Dastan. Di mana pada masa itu, sultan Dastan berhasil menaklukkan hampir seluruh wilayah Timur tengah."jelas Cansu.
"Wah, itu luar biasa. Aku jadi penasaran bagaimana rupa Sultan Dastan yang terkenal itu."celetuk salah satu mahasiswi. Ucapannya turut di setujui oleh teman-temannya yang lain.
Cansu tampak berpikir sebentar. Ia kemudian mengajak murid-muridnya untuk duduk di area rerumputan yang luas di bagian taman kerajaan. Di sana, ia mulai menjelaskan kembali kepada muridnya.
"Sampai sekarang, tidak ada yang tahu tentang bagaimana rupa Sultan Dastan secara detail. Hingga saat ini, tidak ada penemuan lukisan ataupun patung yang dapat menjelaskan rupa sultan tersebut. Namun, ada sebuah tulisan milik seorang penyair yang menjelaskan tentang bagaimana rupa sultan Dastan."jelas Hana.
"Apa isi tulisan tersebut, bu?"tanya murid Cansu yang laki-laki. Sementara muridnya yang lain menatapnya penasaran.
Cansu tampak berpikir sebentar, sebelum akhirnya wanita itu menjawab, "Aku tidak terlalu mengingatnya. Tapi, akan aku beritahu beberapa bagian yang kuingat pada kalian."
"Bukan kuda putih melainkan kuda hitam yang berlari bersamamu ...
Dengan surai segelap malam, kau berlari melintasi hutan yang gelap tak berujung ...Matamu setajam pisau yang tak sadar telah menghunus kedalam jantungku. Namun, anehnya tak kurasakan sakit barang sedikitpun ...Suaramu yang sedalam lautan luas di luar sana mendesir di telingaku ...Menciptakan candu yang membuatku ingin menyimpannya walau dalam tidurku ...Kau begitu tenang ...Begitu tidak tertebak ...Bahkan angin malam tak dapat menyadari tipu dayamu ...Senyummu yang memabukkan ...Bayangan dirimu bagaikan parfum yang membungkus seluruh tubuhku ...Membuatku candu untuk menghirupnya ...Namun berat untuk melepasnya ...""Ah, aku hanya mengingat bagian itu saja. Sudah lama sejak aku mendengar syair itu dilantunkan. Ketika aku sudah mengingatnya, aku akan memberitahu kalian nanti."ucap Cansu setelah selesai membacakan syair tersebut kepada muridnya.
"Aku tidak terlalu paham, bu Cansu. Tapi, aku yakin bahwa sultan Dastan adalah seorang pria yang luar biasa."ujar salah satu siswi Cansu.
"Apa mungkin penyair itu adalah seorang wanita? Kelihatannya, dari isi syair yang baru ibu bacakan, sepertinya ia tergila-gila oleh sang sultan."celetuk murid Cansu yang lain. Murid laki-laki Cansu itu kemudian tertawa bersama kedua teman yang berada di sampingnya seolah apa yang barusan ia katakan itu lucu.
"Hmm, kau benar. Penyair itu adalah seorang wanita. Ia jatuh hati kepada sang sultan sejak pertama kali ia melihatnya. Ia tidak sadar, bahwa apa yang ia lakukan itu salah. Karena, ia adalah seorang wanita bersuami ..."
"...suatu hari, ia mencoba untuk merayu sang sultan. Namun, sultan sama sekali tidak tergoda dengannya. Penyair itu kemudian dijatuhi hukuman penjara. Saat di penjara, ia membuat syair tersebut kemudian memutuskan untuk bunuh diri. Entah karena cintanya yang tidak terbalas atau karena rasa malu yang ia dapatkan."jelas Cansu.
Seluruh muridnya tertegun mendengar penjelasan Cansu. Sekarang, mereka semua yakin bahwa Sultan Dastan seistimewa yang dilukiskan pada syair yang telah dibacakan oleh Cansu sebelumnya.
"Sultan Dastan pasti pria yang sangat tampan. Andai saja aku sudah hidup pada waktu itu dan bertemu dengannya."celetuk seorang murid perempuan Cansu. Ia tersenyum penuh arti sembari membayangkan apa yang ia katakan.
"Kau mungkin akan bernasib sama dengan sang penyair. Karena Sultan pasti tidak tertarik dengan wajahmu itu."sahut murid laki-laki yang duduk di sebelahnya. Ucapan murid laki-laki tersebut mengundang gelak tawa di sekitarnya. Bahkan Cansu ikut tertawa mendengarnya.
"Sudah jangan bertengkar. Mari, kita lanjutkan untuk berkeliling istana ini."lerai Cansu saat melihat kedua muridnya saling menatap penuh amarah.
"Bagaimana menurut ibu? Ibu tidak tertarik dengan sultan Dastan?"tanya murid perempuan Cansu yang bertengkar tadi.
Cansu tersenyum. "Sultan Dastan adalah pria yang luar biasa. Ia dikagumi banyak orang baik dari kaum pria maupun wanita. Mungkin, aku juga akan jatuh hati pada sang sultan ketika aku bertemu dengannya. Namun, itu adalah hal yang mustahil. Sang sultan, hidup dalam legenda sedangkan aku, hidup dalam duniaku. Ada sebuah garis waktu yang terbentang sangat luas di antara kami. Jadi, walaupun kedengarannya indah bertemu dengannya, tetap saja itu adalah sebuah hal yang mustahil untuk terjadi."jelasnya.
***
Cansu menghela napasnya pelan. Ia memandangi langit yang kini tampak kelabu tidak seperti langit pagi yang tampak biru. Masa depan memang tidak bisa ditebak. Orang-orang pasti tidak akan menyangka jika keadaan langit saat ini sangat berbeda dengan langit pagi tadi.
Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Kunjungan bersama murid-muridnya telah selesai Cansu lakukan. Seluruh muridnya juga sudah pulang terlebih dahulu. Sementara dia masih memilih untuk tinggal sedikit lebih lama di istana kuno itu.
Cansu menyandarkan bahunya pada sebuah pilar istana. Matanya menatap gerimis yang satu persatu mulai turun membasahi taman kerajaan. Wanita itu bingung dengan apa yang ia lakukan selanjutnya. Antara memilih untuk tinggal sedikit lebih lama atau menerobos gerimis yang sudah mulai deras.
"Ah, sial sekali. Kenapa selalu seperti ini? Di saat aku tidak membawa payung, hujan akan turun. Sementara saat aku membawa benda itu, langit cerah seakan-akan tidak akan pernah turun hujan. Jika tahu situasinya akan begini, lebih baik aku pulang lebih awal tadi."keluh Cansu panjang diakhiri dengan helaan napas yang tak kalah panjang.
Entah mengapa, Cansu merasakan ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini. Tempat ini terkesan sangat sepi padahal jika dilihat jam masih menunjukkan pukul 11 pagi. Namun, ia sudah tidak menemukan pengunjung lain di dekatnya padahal jika diingat-ingat ia bertemu dengan banyak pengunjung tadi pagi.
'tap tap tap'
Cansu yang tadinya tampak termenung dengan tidak semangatnya sontak terperanjat ketika mendengar suara langkah kaki yang terdengar tidak jauh dari posisinya. Wanita itu segera memandang ke sekelilingnya. Namun, dia tidak melihat satu orangpun.
"Mungkin itu salah satu pengunjung di sini. Ayolah, Cansu. Kau tidak perlu takut. Hari masih pagi. Tidak perlu berpikiran yang tidak-tidak."ucap wanita itu meyakinkan dirinya sendiri.
'tap tap tap'
Suara langkah kaki itu terdengar lagi. Kali ini bahkan lebih jelas seakan-akan langkah kaki itu sedang berjalan mendekatinya. Cansu memegangi tengkuknya yang entah mengapa tiba-tiba merinding.
Suara langkah kaki itu kian dekat. Cansu merasakan ada yang aneh dengan langkah kaki itu. Ia terdengar sedikit lebih berat? Seperti langkah kaki dengan sebuah sepatu yang memiliki hak kayu. Suaranya begitu khas dan nadanya terdengar beraturan.
'tap tap tap'
Ah tidak! Suara itu masih belum berhenti. Cansu semakin merasa takut. Wanita itu sudah menyiapkan ancang-ancang untuk melarikan diri jika terjadi sesuatu yang tidak di inginkannya nanti. Ia mulai menegakkan punggungnya. Menajamkan penglihatan serta pendengarannya ke segala arah.
Tiba-tiba suara langkah kaki itu terhenti. Cansu tidak tahu apa itu berarti buruk atau sebaliknya. Namun yang pasti, wanita itu sedikit merasa lega karena tidak lagi mendengar suara langkah kaki itu. Tidak ingin berlama-lama lagi, Cansu segera memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.
Napas Cansu tercekat saat ia membalikkan badannya. Mata wanita itu membulat sempurna. Tepatnya di ujung koridor, dosen cantik itu melihat seorang pria berdiri di sana sedang menatap tajam ke arahnya.
Tubuh Cansu seketika membeku. Tatapan pria itu terasa langsung menghunus ke dalam jantungnya. Sangat dalam dan mengintimidasi. Membuat seluruh bagian tubuh Cansu tiba-tiba berhenti berfungsi.
Pria itu mengenakan pakaian aneh yang seingat Cansu ia pernah lihat pada film-film kerajaan kuno. Sebuah sorban bewarna putih melingkar di kepalanya. Ia mengenakan sepatu bot dengan hak rendah yang sepertinya menjadi penyebab suara langkah kaki tadi.
Pria itu mulai bergerak. Ia melangkahkan kakinya ke arah Cansu dengan tenang. Sementara wanita itu tetap tidak bergerak meski pria misterius itu sudah semakin dekat dengannya hingga tepat di hadapan Cansu.
Cansu meneguk salivanya. Walaupun terkesan menyeramkan, pria itu memiliki wajah yang tampan. Kulitnya putih bersih dengan titik hitam kecil di ujung matanya. Bisa dibilang, dia adalah pria tertampan yang pernah Cansu temui semasa hidupnya.
"S--s-siapa kau?"tanya Cansu yang akhirnya dapat bersuara setelah cukup lama terdiam.
Pria itu hanya diam menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.
Tatapannya seolah-olah menilai Cansu yang membuat wanita itu kian gugup.
"Tuan?"tegur Cansu yang tidak tahan di tatap seperti itu.
Pria itu masih tidak menjawab. Namun, ia terlihat merogoh saku bajunya mengeluarkan beberapa benda dari dalam sana. Awalnya, Cansu sedikit merasa takut jika pria itu mengeluarkan senjata tajam atau semacamnya. Namun, di luar dugaanya, pria itu malah mengeluarkan 3 buah kalung lalu berjongkok untuk meletakkannya di lantai.
Cansu refleks mengikuti pria itu berjongkok. Lalu memandang penuh tanya pada pria yang masih tidak ia ketahui identitasnya itu.
"Pilihlah salah satu!"ucap pria itu dengan suaranya yang berat.
"A--a-apa?"
Pria itu menatap Cansu. "Pilihlah salah satu di antara ketiga kalung ini yang kau sukai, Nona."ulangnya.
Cansu terdiam. Ia memandangi ketiga kalung yang di bawa pria itu. Matanya langsung tertuju pada sebuah kalung yang terletak paling ujung sebelah kanan. Sebuah kalung simple dengan liontin berbentuk kunci yang mungil. Di kepala kunci tersebut ada sesuatu seperti mutiara dengan bentuk sangat kecil.
Cansu mengangkat kalung tersebut lalu menunjukkannya pada pria itu. "Aku rasa yang ini terlihat manis."
Ekspresi pria itu sedikit terkejut namun, sedetik kemudian ia tersenyum senang. "Kau memilih benda yang tepat. Dan aku memilih orang yang tepat. Sekarang kau bisa pergi."
Cansu mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu?"
Pria itu menggelengkan kepalanya sambul tersenyum penuh arti. "Pulanglah, Nona. Hujan akan semakin deras. Kau bisa membawa kalung itu bersamamu."
Cansu masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh pria itu. Namun, entah mengapa ia tidak bisa menolak perintahnya. Dengan penuh kebingungan, wanita itu melangkahkan kakinya berniat untuk pergi dari sana.
Namun, Cansu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap pria itu yang ternyata juga sedang menatapnya. Dengan memberanikan diri, Cansu bertanya kepada pria itu.
"Siapa kau?"tanya Cansu.
Pria itu tersenyum lebar. Ia kemudian melangkah mendekati Cansu lalu berbisik tepat di telinganya. "Kau bisa memanggilku Gandhi. Sekarang pulanglah"
Bak terhipnotis, Cansu langsung melangkahkan kakinya tanpa mengatakan apapun lagi. Sama seperti sebelumnya, wanita itu masih tidak bisa menolak apa yang dikatakan oleh pria itu.
Sementara pria itu terus menatap punggung Cansu yang semakin menjauh dari pandangannya. Ia kemudian memasang senyum penuh arti.
"Aku menemukannya, Sultan."
Cansu melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar dari tempat prasejarah tersebut. Tak perduli dengan hujan yang mulai deras, wanita itu terus saja berjalan tak tentu arah. Tiba-tiba langkah kaki dosen muda itu terhenti. Ia menatap kalung di tangannya penuh kebingungan. Semuanya terasa begitu aneh. Bagaimana bisa ia dengan mudah melakukan perintah orang asing yang baru ia temui tanpa menolaknya sedikitpun? Bagaimana bisa? Dan siapa itu Gandhi? Pria aneh dengan pakaiannya yang sama anehnya. Cara berbicaranya juga sangat aneh. Terdengar begitu formal dan juga sangat misterius. Cansu memegangi tengkuknya. Entah mengapa, mengingat pria itu membuatnya merinding. Aura pria itu benar-benar berbeda. Cansu sudah sering bertemu dengan orang asing. Tapi Gandhi sangatlah berbeda. Wanita itu membalikkan tubuhnya. Ia memandangi bangunan istana yang beberapa langkah di belakangnya. Bangunan itu berdiri gagah dengan segal
'tuk tuk tuk' Tidur Cansu terusik oleh suara seperti tapak sepatu kuda yang tengah berjalan. Wanita itu mengerjapkan mata sembari mengumpulkan kesadarannya. Seketika matanya terbuka lebar saat ia teringat bahwa sebelumnya, wanita itu mendengar suara tapak sepatu kuda. Cansu buru-buru bangkit dari duduknya lalu melihat ke sekelilingnya. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, Cansu dapat melihat seekor kuda besar bewarna hitam tengah menikmati air sungai. Wanita itu memberanikan dirinya untuk mendekati hewan berkaki empat tersebut. Langkah Cansu tiba-tiba terhenti. Karena, kuda hitam itu bergeser dari tempatnya berdiri. Sebenarnya, bukan hal itu yang membuat Cansu menghentikan langkahnya. Melainkan, sesosok pria yang tengah membasuh wajahnya di tepi sungai. Ternyata tubuh pria itu tertutupi oleh tubuh kuda hitam tadi sehingga Cansu tidak melihatnya. Ia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana rupa p
"Sebenarnya kalian ingin membawaku kemana?" Sudah lebih dari lima kali Cansu menanyakan hal yang sama kepada kedua prajurit yang membawanya. Akan tetapi, wanita itu tetap tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya itu. Mereka berdua terus saja memaksa Cansu berjalan melewati lorong panjang yang gelap. Hanya ada beberapa obor yang terpasang di sisi tembok yang membuat mereka dapat berjalan tanpa menabrak kesana kemari. Pergelangan tangan Cansu masih belum dilepas oleh kedua pria itu. Mereka terus saja memegangnya dengan erat tanpa memperdulikan Cansu yang berulang kali meringis karena ulah mereka. Yang terpenting bagi kedua prajurit itu adalah membawa wanita itu kehadapan sultan mereka. Cansu mengerjapkan matanya saat mereka keluar dari lorong gelap itu. Matanya kini menangkap sinar matahari saat mereka bertiga menginjakkan kaki di luar penjara yang berada di bawah tanah kastil. Kedua prajur
Dastan memandang ke luar jendela. Pikiran pria itu melayang. Ia kembali terpikir tentang wanita misterius yang ia temui di tepi sungai pagi ini. Wanita itu terlihat sangat aneh. Ia mengenakan pakaian yang tidak pernah Dastan lihat di tempat manapun. Penampilannya juga sangat berbeda dengan wanita-wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Seperti wanita itu datang dari dunia yang berbeda dengannya. Namun, anehnya ia dapat mengerti apapun yang diucapkan wanita itu. Tidak ada yang salah baik dari bahasa maupun logatnya. Cansu? Bukankah itu adalah namanya? Ia mengucapkan sesuatu yang membuat Dastan terkejut. Ia mengucapkan sesuatu yang berkaitan dengan Gandhi. Seorang pria yang sudah menghilang sejak 2 bulan lamanya dan Cansu mengatakan baru bertemu dengan Gandhi kemarin? Itu adalah yang mustahil. Bahkan Dastan telah mengerahkan seluruh mata-mata terbaiknya untuk mencari keberadaan pria itu. Dastan menghela napasnya
"Kenapa mustahil? Kenapa mustahil jika aku adalah Sultan Dastan Kazeem?" Cansu tersentak kaget. Wanita itu sontak membeku di tempatnya berdiri. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Dastan. Hal ini, semakin membuat pria itu penasaran. Ia kemudian berjalan mendekati Cansu. "Katakan, nona. Mengapa hal itu terdengar mustahil bagimu? Jelaskan padaku."ucap Dastan seraya menatap Cansu tajam. Cansu menatap Dastan dengan matanya yang membulat sempurna. Ia benar-benar terkejut sehingga lupa bagaimana caranya untuk berbicara. Ekspresi wanita itu saat ini, terlihat seperti seseorang yang tengah melihat hantu. "Kau bungkam? Apa artinya itu? Kenapa kau diam setelah aku menanyakan hal ini padamu?"tanya Dastan sekali lagi. "Seharusnya kau sudah mati. Seharusnya kau sudah mati, atau aku yang seharusnya tidak berada di sini?"ucap Cansu yang membuat Dastan kebingungan. Pria itu tidak
Cansu menatap hampa pantulan dirinya pada cermin yang berada di hadapannya. Penampilan wanita itu saat ini telah benar-benar berubah. Ia tidak lagi mengenakan kemeja bewarna biru dan rok spannya yang kotor. Semuanya telah terganti dengan sebuah gaun mewah berbahan sutra yang membuat wanita itu kesulitan untuk bergerak. Cansu memperhatikan setiap detail gaun yang ia kenakan. Gaun bewarna maroon itu benar-benar terlihat seperti pakaian seorang bangsawan. Membuat wanita itu kembali mempertanyakan keberadaannya saat ini. Ia kembali mengingat tentang pertengkarannya dengan Dastan beberapa jam yang lalu. Di mana mereka sama-sama dibuat kebingungan dengan kebenaran yang ada. "Apa maksudmu? Kau mencoba untuk membodohiku? Nona Cansu, sekarang ini masih tahun 1389. Bagaimana bisa kau mengatakan hal tersebut?" Cansu kembali teringat pada apa yang dikatakan oleh Dastan tadi. Pria itu dengan ngototnya me
"Bagaimana keadaan istana?"tanya Dastan pada pria yang berjalan bersamanya. Ia adalah Gurmet. Tangan kanan Dastan. Mereka berdua tengah berjalan di sepanjang koridor Kastil persinggahan sembari membicarakan beberapa hal terkait dengan kerajaan Farabi. Kerajaan yang dipimpin oleh Dastan. Kastil persinggahan sendiri adalah tempat peristirahatan Dastan. Tempat di mana ia menghabiskan waku luangnya atau ketika ia hendak pergi berburu, ia akan menginap di kastil persinggahan. Tempat tersebut merupakan hadiah dari Sultan Fahreezan III untuk Dastan saat pertama kali dirinya menjabat sebagai sultan Kerajaan Farabi. Kastil persinggahan kerap menjadi tempat berkumpulnya seluruh rahasia Dastan. Kastil tersebut bahkan memiliki banyak hal tersembunyi dibandingkan Istana Galall. Karena itulah, Dastan selalu memperketat penjagaan di sekitar kastil. Tempat itu juga sengaja dibuat di pinggir huta
Malam hari yang gelap. Ketika suasana sekitar telah tampak begitu sunyi. Ketika semua orang telah sibuk terlarut dalam mimpi, tampak seekor kuda melaju dengan kencang melintasi permukiman. Di atas kuda coklat tersebut terdapat seorang prajurit yang merupakan mata-mata kepercayaan Sultan Dastan. Ia tampak tenang melintasi kesunyian malam. Perlahan, langkah kaki kuda milai melambat hingga akhirnya benar-benar berhenti di sebuah toko yang tampak tutup. Pria itu turun dari kuda yang ia tunggangu, lalu melangkah pelan memasuki toko tersebut. Pria itu tampak tenang membobol pintu toko yang telah terkunci rapat lalu memasukinya. Berbekal pencahaayan dari sinar bulan, pria itu nekat menyisir seluruh isi dalam toko. Mencoba mencari petunjuk apapun itu. Keadaan toko masih tampak begitu rapi. Seperti biasanya terlihat. Hanya beberapa debu menutupi bagian-bagian toko. Terlihat sekali, toko ini sudah cukup lama ditinggal pe