Cansu melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar dari tempat prasejarah tersebut. Tak perduli dengan hujan yang mulai deras, wanita itu terus saja berjalan tak tentu arah.
Tiba-tiba langkah kaki dosen muda itu terhenti. Ia menatap kalung di tangannya penuh kebingungan. Semuanya terasa begitu aneh. Bagaimana bisa ia dengan mudah melakukan perintah orang asing yang baru ia temui tanpa menolaknya sedikitpun? Bagaimana bisa? Dan siapa itu Gandhi? Pria aneh dengan pakaiannya yang sama anehnya. Cara berbicaranya juga sangat aneh. Terdengar begitu formal dan juga sangat misterius.
Cansu memegangi tengkuknya. Entah mengapa, mengingat pria itu membuatnya merinding. Aura pria itu benar-benar berbeda. Cansu sudah sering bertemu dengan orang asing. Tapi Gandhi sangatlah berbeda.
Wanita itu membalikkan tubuhnya. Ia memandangi bangunan istana yang beberapa langkah di belakangnya. Bangunan itu berdiri gagah dengan segala daya tariknya. Hujan yang turun menerpa istana tersebut, seolah memberikan kesan magis yang semakin membuat tempat itu kian terlihat misterius.
Cansu tidak ingin berlama-lama berada di sana. Dengan langkah cepat, wanita itu berjalan dengan pikirannya yang entah kemana-mana. Bayangan Gandhi selalu saja mengisi kepala Cansu. Membuatnya kehilangan fokus berkali-kali.
'tiiiiinnn'
Cansu terkejut setengah mati saat telinganya mendengar suara klakson mobil yang begitu nyaring. Wanita itu segera tersadar dari lamunanya. Ia segera melihat ke sekelilingnya dan merasa terkejut saat menyadari bahwa ia berada di tengah jalan saat ini.
Namun, sepertinya kesadaran wanita itu datang terlambat. Dari arah kanan, sebuah mobil bewarna hitam melaju cepat ke arahnya. Sepertinya sama seperti Cansu, pengemudi mobil itu juga sangat terkejut dengan kehadiran wanita itu di tengah jalan.
Mata Cansu terbelalak. Lidahnya seketika kelu. Bahkan untuk mengucapkan sepatah kata saja dia tidak bisa. Tubuh wanita itu mematung. Ia ingin berlari menghindar. Namun, kakinya terasa seperti ada yang merantai. Para pejalan kaki yang melihatnya terdiam meneriakinya. Berusaha untuk membuat wanita malang itu segera berpindah dari tempatnya. Mobil itu semakin mendekat hingga ...
'brakkkk'
Benturan yang tak diinginkan pun terjadi. Tubuh Cansu terpental beberapa meter di atas aspal. Kepala belakang wanita itu mengeluarkan darah segar. Begitupun dengan hidungnya. Tubuhnya seakan remuk begitu saja. Ia merasakan tulangnya patah di sana dan di sini. Namun, Cansu tampak masih setengah sadar. Di ambang kesadarannya, ia bisa melihat orang-orang yang datang mengerubunginya.
Cansu ingin meminta tolong. Namun, sama seperti tadi, ia tidak dapat berbicara. Yang ia lakukan hanyalah menatap penuh harap pada orang-orang yang mengerubunginya.
Napas wanita itu tercekat. Perlahan pandangannya mulai kabur. Cansu menolehkan kepalanya. Lalu, di ujung jalan samar-samar ia dapat melihat sesosok pria yang tengah menatapnya. Walaupun tidak terlalu jelas, wanita tahu bahwa pria itu adalah Gandhi. Cansu terus menatapnya hingga kesadaran wanita itu hilang dan semuanya menjadi gelap.
***
"Ngghhh"lenguh Cansu yang baru saja tersadar. Wanita itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menggaruk lengan dan betisnya yang terasa gatal.
Tangan Cansu meraba-raba tempat ia sebelumnya berbaring. Rasanya aneh sekali. Terasa lembab dan kasar. Ia lalu membuka matanya sempurna. Dan alangkah terkejutnya ia saat melihat ke sekelilingnya.
Ia tengah berada di antara pepohonan besar yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Rumput-rumput hijau yang tumbuh nyaris mencapai mata kakinya bahkan lebih menambah kesuraman tempat itu. Dan sejak tadi, permukaan lembab dan kasar yang Cansu tiduri tidak lain adalah permukaan tanah yang tertutupi oleh daun-daun yang mulai membusuk.
Cansu memegangi kepalanya. Ia masih merasa sedikit pusing. Namun, wanita mencoba untuk bangkit dari posisinya. Ia tidak mau bajunya kotor karena duduk di atas tanah.
"Di mana ini?"tanya Cansu kebingungan. Wanita itu mencoba mengingat kejadian yang terjadi padanya beberapa waktu lalu. Sedetik kemudian, mata Cansu terbelalak. Refleks, wanita itu langsung memegangi kepalanya.
Cansu terheran-heran karena tidak merasakan sakit sedikitpun. Bahkan tubuhnya tidak mempunyai luka barang setitikpun. Padahal seingatnya, sebelum ia pingsan ada mobil hitam yang menabraknya hingga ia terpental cukup jauh. Wanita itu masih mengingat bagaimana ia merasakan sakit yang teramat sangat di sekujur tubuhnya. Lalu, bagaimana semua itu bisa hilang dalam sekejap?
"Tunggu dulu, bukankah aku seharusnya berada di rumah sakit sekarang? Aku baru saja kecelakaan! Lalu, apa ini? Di mana ini? Tempat macam apa ini?"tanya Cansu entah kepada siapa. Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tertuju kepada dirinya. Dan sekarang, ia terlihat seperti wanita gila yang berbicara kepada dirinya sendiri.
Cansu berjongkok seraya mengacak rambutnya frustasi. Wanita itu masih belum bisa mencerna situasi yang sedang terjadi padanya saat ini. Semuanya terasa begitu memusingkan.
Wanita itu menatap ke arah tanah tempat ia berbaring sebelumnya. Ia kemudian terdiam saat melihat sebuah kalung tergeletak begitu saja di atas sana. Dia ingat kalung itu, tentu saja. Kalung itu adalah pemberian dari Ghandi si pria misterius.
Ghandi? Seketika Cansu tersadar. Semua kejadian aneh ini terjadi setelah wanita itu bertemu dengannya. Setelah ia memberikan kalung aneh ini. Di mulai dari Cansu yang tidak bisa menolak apapun yang dikatakan oleh Gandhi. Lalu, kecelakaan yang menimpa wanita itu. Dan sekarang, dirinya yang tersesat di hutan belantara yang bahkan tak pernah ia jumpai dalam mimpinya sekalipun.
"Gandhi! Pria itu! Pria itu pasti penyebab semua ini. Ya, dia pasti yang telah membuatku berada di sini."ucap Cansu kesal. Ia menggenggam erat kalung pemberian pria itu hingga membuat telapan tangannya memerah.
Cansu segera bangkit lalu menghela napasnya kasar. "Aku harus bertemu dengannya. Hanya dia yang tahu kenapa aku bisa berada di sini. Tapi, bagaimana aku bisa menemukan pria aneh itu sementara aku sendiri tidak tahu sedang berada di mana aku saat ini."
Wanita itu kebingungan. Namun, ia tidak ingin menyerah. Cansu kemudian memberanikan dirinya untuk berjalan menyusuri hutan belantara tersebut. Berharap akan bertemu dengan seseorang yang bisa membawanya bertemu Gandhi.
Akan tetapi, semuanya tidak semudah yang ia pikirkan. Sudah hampir 3 jam ia berjalan Namun, tidak ada tanda-tanda seseorang yang tinggal di hutan ini.
Cansu menghentikan langkahnya saat ia tiba di tepi sebuah sungai. Ia benar-benar sudah lelah. Otot-otot kakinya terasa ingin lepas dari tempatnya. Wanita itu mencuci wajahnya menggunakan air sungai yang jernih kemudian meneguknya untuk menghilangkan rasa haus yang menggerogoti tenggorokannya.
Wanita itu merebahkan tubuhnya di tepi sungai. Ia tidak lagi peduli dengan pasie yang akan mengotori bajunya. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana cara agar bisa segera keluar dari tempat asing itu.
Cansu menatap langit jingga yang terbentang luas di atasnya. Hari sudah mulai senja. Dan ia sama sekali belum menemukan jalan keluar dari permasalahannya. Entah apa yang akan terjadi pada wanita malang itu nantinya.
"Sebenarnya apa kesalahan yang telah aku lakukan? Kenapa aku bisa berada di sini? Tempat macam apa ini? Ah, apa mungkin aku akan berakhir di sini?"tanya wanita itu frustasi.
Cansu tidak tahan lagi. Wanita itu kemudian menangis sekuat-kuatnya berharap bisa menghilangkan rasa sesak di dalam dadanya. Ia benar-benar sudah tidak sanggup lagi.
Hari semakin gelap. Udara sekitar juga semakin dingin. Cansu meringkuk berusaha menghangatkan tubuhnya. Suara hewan malam membuat wanita itu kian merasa takut.
Perlahan rasa kantuk mulai mendatanginha. Cansu yang sudah kepalang lelah, tidak dapat melawan rasa kantuk perlahan mulai tertidur. Sebelum matanya terpejam, wanita berharap bahwa semua kejadian ini hanyalah mimpi buruk yanga Kan hilang saat ia membuka matanya nanti.
'tuk tuk tuk' Tidur Cansu terusik oleh suara seperti tapak sepatu kuda yang tengah berjalan. Wanita itu mengerjapkan mata sembari mengumpulkan kesadarannya. Seketika matanya terbuka lebar saat ia teringat bahwa sebelumnya, wanita itu mendengar suara tapak sepatu kuda. Cansu buru-buru bangkit dari duduknya lalu melihat ke sekelilingnya. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, Cansu dapat melihat seekor kuda besar bewarna hitam tengah menikmati air sungai. Wanita itu memberanikan dirinya untuk mendekati hewan berkaki empat tersebut. Langkah Cansu tiba-tiba terhenti. Karena, kuda hitam itu bergeser dari tempatnya berdiri. Sebenarnya, bukan hal itu yang membuat Cansu menghentikan langkahnya. Melainkan, sesosok pria yang tengah membasuh wajahnya di tepi sungai. Ternyata tubuh pria itu tertutupi oleh tubuh kuda hitam tadi sehingga Cansu tidak melihatnya. Ia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana rupa p
"Sebenarnya kalian ingin membawaku kemana?" Sudah lebih dari lima kali Cansu menanyakan hal yang sama kepada kedua prajurit yang membawanya. Akan tetapi, wanita itu tetap tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya itu. Mereka berdua terus saja memaksa Cansu berjalan melewati lorong panjang yang gelap. Hanya ada beberapa obor yang terpasang di sisi tembok yang membuat mereka dapat berjalan tanpa menabrak kesana kemari. Pergelangan tangan Cansu masih belum dilepas oleh kedua pria itu. Mereka terus saja memegangnya dengan erat tanpa memperdulikan Cansu yang berulang kali meringis karena ulah mereka. Yang terpenting bagi kedua prajurit itu adalah membawa wanita itu kehadapan sultan mereka. Cansu mengerjapkan matanya saat mereka keluar dari lorong gelap itu. Matanya kini menangkap sinar matahari saat mereka bertiga menginjakkan kaki di luar penjara yang berada di bawah tanah kastil. Kedua prajur
Dastan memandang ke luar jendela. Pikiran pria itu melayang. Ia kembali terpikir tentang wanita misterius yang ia temui di tepi sungai pagi ini. Wanita itu terlihat sangat aneh. Ia mengenakan pakaian yang tidak pernah Dastan lihat di tempat manapun. Penampilannya juga sangat berbeda dengan wanita-wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Seperti wanita itu datang dari dunia yang berbeda dengannya. Namun, anehnya ia dapat mengerti apapun yang diucapkan wanita itu. Tidak ada yang salah baik dari bahasa maupun logatnya. Cansu? Bukankah itu adalah namanya? Ia mengucapkan sesuatu yang membuat Dastan terkejut. Ia mengucapkan sesuatu yang berkaitan dengan Gandhi. Seorang pria yang sudah menghilang sejak 2 bulan lamanya dan Cansu mengatakan baru bertemu dengan Gandhi kemarin? Itu adalah yang mustahil. Bahkan Dastan telah mengerahkan seluruh mata-mata terbaiknya untuk mencari keberadaan pria itu. Dastan menghela napasnya
"Kenapa mustahil? Kenapa mustahil jika aku adalah Sultan Dastan Kazeem?" Cansu tersentak kaget. Wanita itu sontak membeku di tempatnya berdiri. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Dastan. Hal ini, semakin membuat pria itu penasaran. Ia kemudian berjalan mendekati Cansu. "Katakan, nona. Mengapa hal itu terdengar mustahil bagimu? Jelaskan padaku."ucap Dastan seraya menatap Cansu tajam. Cansu menatap Dastan dengan matanya yang membulat sempurna. Ia benar-benar terkejut sehingga lupa bagaimana caranya untuk berbicara. Ekspresi wanita itu saat ini, terlihat seperti seseorang yang tengah melihat hantu. "Kau bungkam? Apa artinya itu? Kenapa kau diam setelah aku menanyakan hal ini padamu?"tanya Dastan sekali lagi. "Seharusnya kau sudah mati. Seharusnya kau sudah mati, atau aku yang seharusnya tidak berada di sini?"ucap Cansu yang membuat Dastan kebingungan. Pria itu tidak
Cansu menatap hampa pantulan dirinya pada cermin yang berada di hadapannya. Penampilan wanita itu saat ini telah benar-benar berubah. Ia tidak lagi mengenakan kemeja bewarna biru dan rok spannya yang kotor. Semuanya telah terganti dengan sebuah gaun mewah berbahan sutra yang membuat wanita itu kesulitan untuk bergerak. Cansu memperhatikan setiap detail gaun yang ia kenakan. Gaun bewarna maroon itu benar-benar terlihat seperti pakaian seorang bangsawan. Membuat wanita itu kembali mempertanyakan keberadaannya saat ini. Ia kembali mengingat tentang pertengkarannya dengan Dastan beberapa jam yang lalu. Di mana mereka sama-sama dibuat kebingungan dengan kebenaran yang ada. "Apa maksudmu? Kau mencoba untuk membodohiku? Nona Cansu, sekarang ini masih tahun 1389. Bagaimana bisa kau mengatakan hal tersebut?" Cansu kembali teringat pada apa yang dikatakan oleh Dastan tadi. Pria itu dengan ngototnya me
"Bagaimana keadaan istana?"tanya Dastan pada pria yang berjalan bersamanya. Ia adalah Gurmet. Tangan kanan Dastan. Mereka berdua tengah berjalan di sepanjang koridor Kastil persinggahan sembari membicarakan beberapa hal terkait dengan kerajaan Farabi. Kerajaan yang dipimpin oleh Dastan. Kastil persinggahan sendiri adalah tempat peristirahatan Dastan. Tempat di mana ia menghabiskan waku luangnya atau ketika ia hendak pergi berburu, ia akan menginap di kastil persinggahan. Tempat tersebut merupakan hadiah dari Sultan Fahreezan III untuk Dastan saat pertama kali dirinya menjabat sebagai sultan Kerajaan Farabi. Kastil persinggahan kerap menjadi tempat berkumpulnya seluruh rahasia Dastan. Kastil tersebut bahkan memiliki banyak hal tersembunyi dibandingkan Istana Galall. Karena itulah, Dastan selalu memperketat penjagaan di sekitar kastil. Tempat itu juga sengaja dibuat di pinggir huta
Malam hari yang gelap. Ketika suasana sekitar telah tampak begitu sunyi. Ketika semua orang telah sibuk terlarut dalam mimpi, tampak seekor kuda melaju dengan kencang melintasi permukiman. Di atas kuda coklat tersebut terdapat seorang prajurit yang merupakan mata-mata kepercayaan Sultan Dastan. Ia tampak tenang melintasi kesunyian malam. Perlahan, langkah kaki kuda milai melambat hingga akhirnya benar-benar berhenti di sebuah toko yang tampak tutup. Pria itu turun dari kuda yang ia tunggangu, lalu melangkah pelan memasuki toko tersebut. Pria itu tampak tenang membobol pintu toko yang telah terkunci rapat lalu memasukinya. Berbekal pencahaayan dari sinar bulan, pria itu nekat menyisir seluruh isi dalam toko. Mencoba mencari petunjuk apapun itu. Keadaan toko masih tampak begitu rapi. Seperti biasanya terlihat. Hanya beberapa debu menutupi bagian-bagian toko. Terlihat sekali, toko ini sudah cukup lama ditinggal pe
Di malam yang sunyi, tampak seorang pria tengah bergelut dengan pedangnya. Ia tampak bergerak dengan indah seolah menari menggunakan pedang tajamnya di bawah cahaya bulan. Tidak ada yang menemaninya kecuali keheningan malam. Dia adalah Dastan Kazeem. Seorang sultan muda yang namanya tersohor di penjuru negeri. Entah apa yang merasuki pikiran pria tampan itu, sehingga di tengah malam seperti ini, alih-alih beristirahat ia malah berlatih dengan pedang kesayangannya. Gerakannya tampak begitu tenang, namun berbahaya. Begitu indah hingga membuat siapapun yang menatapnya menjadi terlena hingga tidak sadar jika pedang tersebut mungkin saja sudah menghunus ke dalam dadanya. Begitulah ciri khas seorang Dastan Kazeem. Walaupun tampak tenang di luar, namun sebenarnya pikiran Dastan sedang tidak baik-baik saja. Segala hal memenuhi pikiran pria itu. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab kenapa ia lebih memilih melatih ilmu ped