Share

05. Unsur Alam

Bocah dua belas tahun menelan ludah, tak banyak bicara setelah ditinggalkan Madiarta sendirian di tempat sepi nan berbahaya. Dia sudah bertemu dengan harimau di tepi sungai, hanya berjarak beberapa langkah dari air terjun yang ramai, merupakan sebuah tantangan tersendiri.

"Ini akan sulit," Suluh berkomentar. "Seperti kata Master, semakin berisik semakin sulit bermeditasi."

Suluh tak kenal menyerah, kembali memejamkan kedua mata. "Fokus, rasakan frekuensi yang ada di sekitarmu!" serunya dalam hati, menyemangati.

Suara serangga malam dan hembusan angin turut menemani, awas akan kehadiran hewan buas yang mungkin sekadar lewat tanpa permisi. Mengerutkan dahi, dia mencoba meningkatkan konsentrasi, mendeteksi bahaya maupun mencoba masuk ke alam bawah sadar.

Madiarta memberitahu bahwa akses masuk kultivasi dimulai saat berada di alam tersebut, tapi apabila dia masih belum membebaskan diri dari Prana Cahaya, mustahil dia dapat merasakan kehadiran Prana. Jadi yang harus Suluh lakukan adalah membersihkan diri sampai Sukma-nya murni kembali.

"Prana Bayangan," Suluh bertanya-tanya. "Apakah ada orang lain selain master dan leluhurku?"

Pertanyaan itu terus mengganggu Suluh, misteri yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Bila di Cenderawasih hampir tak ada satupun insan memiliki Prana Bayangan, Suluh semakin menerka-nerka, "Apakah mereka memang langka dan sedikit?"

Suluh mengabaikannya untuk saat ini, kembali berkutat dengan meditasi yang entah kenapa, suara air terjun mereda, mengecil, dan lama kelamaan seperti sirna. Tak menggubris, dia tahu ini akan terjadi sebab bila manusia menyelam ke alam bawah sadar, semua yang ada di sekitar memudar.

"Suluh ...." Suara serak dan terdengar mengerikan sontak membuat anak tersebut tersentak, terbangun seketika.

"Apa itu?" Dia menoleh ke sana kemari, dadanya naik turun tak karuan. "Apakah Master Madiarta memanggilku?"

"Tidak, frekuensi ini seperti bayangan-bayangan yang diciptakan Master," Suluh mencermati lebih dalam. "Itu artinya makhluk ini semacam arwah?"

Merinding, Suluh berusaha menenangkan diri, hawa dingin semakin membuatnya tak nyaman. Terutama menyadari bahwa di hutan dan di Gunung Andapan terdapat banyak sekali arwah bergentayangan, tak menutup kemungkinan bahwa suara yang Suluh dengar berasal dari mereka.

Perut keroncongan tiba-tiba berbunyi, menuntut keadilan. Tirakat berpuasa ini tak hanya harus menahan lapar, tetapi amarah, mengontrol emosi untuk tetap terjaga dan tak mudah dipengaruhi. Metode ini bertujuan menghilangkan Prana Cahaya dari tubuh Suluh karena Prana sendiri membutuhkan asupan.

"Semua akan baik-baik saja," Suluh menarik napas, mengeluarkan dari mulut. "Kau bisa melalui ini!"

Memantapkan niat, Suluh berkomitmen bahwa suara apapun dari luar, tidak akan berpengaruh. Master Madiarta tiba saat sinar mentari menyentuh kulit, memberikan indikasi bahwa suara apapun yang menyamainya harus diabaikan. Ini adalah kesempatan besar bagi Suluh berkultivasi, tak membiarkan siapapun menghalangi.

Bermeditasi untuk kesekian kali, Suluh menyelam ke alam lain. Awalnya semua berjalan lancar tanpa anomali, hingga suatu ketika dia sesekali menangkap suatu nada lembut enak diterima telinga. Suara harmoni membentuk suatu bintik-bintik cahaya, lama kelamaan berubah banyak di sekitar Suluh.

Sampai kalimat mengganggu kembali mencuat, membuyarkan sinar-sinar tersebut. "Suluh ...."

Berusaha untuk tetap fokus, Suluh menautkan alis. "Kami telah menunggu," kata makhluk halus yang terus merecoki. "Pergilah ke Andapan, balaskan dendam Krisan!"

"Suluh! Bangunlah!" Madiarta menepuk-nepuk sambil menggerakkan badan bocah itu sampai terbangun, keringat merembes dari wajah dan tubuhnya, membasahi busana. "Kenapa denganmu?"

Dengan napas tak beraturan, Suluh menyadari bahwa matahari telah berada di langit, menyebabkan kedua matanya silau. "Master?"

"Mari sarapan terlebih dahulu sembari kau ceritakan apa yang terjadi," saran Madiarta menyudahi sesi latihan Suluh.

Mereka duduk di tepian sungai, menikmati makanan dengan suasana tentram dan nikmat. Suluh melahap tanpa melambat, seperti orang kelaparan teramat sangat. Mengetahui ini, Madiarta berceletuk, "Pelan-pelan, tak usah buru-buru. Kau masih harus berpuasa untuk nanti malam."

"Master, aku merasakan ada banyak sekali bola-bola cahaya di dekatku," Suluh membuka obrolan. "Mereka bersuara sangat merdu hingga aku larut ke dalamnya."

"Aku tidak pernah merasakan kenyamanan seperti itu," imbuh Suluh menoleh kepada Madiarta, menyimak. "Seakan aku betah terus menerus di sana."

Mengerahkan senyuman, laki-laki berambut keperakan membalas, "Jadi kau sudah bertemu dengan mereka? Selamat, kau telah memurnikan kembali Sukma-mu."

"Bola-bola tersebut adalah unsur alam," Madiarta melanjutkan. "Progresmu melaju pesat, kau hanya membutuhkan tiga hari untuk mampu merasakan Prana."

Kebingungan bukan main, Suluh membisu, tak mengerti maksud masternya sebab Suluh baru sehari berada di sini. "Kau mungkin tak tahu, bahwa ketika memasuki alam bawah sadar dan berinteraksi dengan Prana, waktu berjalan teramat kencang tanpa disadari," tutur Madiarta sambil mengunyah.

"Jadi begitu," Suluh berbisik, menghabiskan sarapannya. "Tapi, Master, aku turut mendengar suara aneh yang memiliki frekuensi seperti bayangan yang Anda buat."

"Apa mereka adalah arwah di hutan ini?" imbuh Suluh bertanya-tanya, meletakkan wadah dari daun di atas alas kerikil.

Madiarta mengangguk. "Benar, apa ada sesuatu?" dia masih sibuk menikmati ikan buruan yang telah dibakar.

Suluh terdiam untuk sementara waktu, memutuskan memberi tahu, "Mereka menyampaikan pesan kepadaku untuk membalaskan dendam Krisan."

Secepat kilat, Madiarta mendadak beku tak merespons. Istilah itu merujuk ke suatu sekte yang telah lama tak ada rimbanya, seperti ditelan tanah. "Aku tidak tahu maksudnya," Suluh meneruskan.

"Jangan terlalu merasuk dan membebanimu, fokuslah sepenuhnya berkultivasi," kedua mata Madiarta tajam, melirik ke arah Suluh. "Mereka kebanyakan tidak mampu meraih keinginan sebelum tiba kematian. Tak akan istirahat hingga semua tercapai."

Walaupun belum cukup terpuaskan dengan penjelasan Madiarta, Suluh membiarkan berlalu. Dia sudah tidak diharuskan berpuasa karena tak ada lagi Prana Cahaya di tubuhnya, hanya ada satu tujuan dan berada di hadapan mata. Suluh tak boleh lengah karena inilah impiannya.

Duduk bersila di atas batu besar, suara alam untuk kedua kalinya teredam, lama-lama tak terdengar sama sekali. Di alam bawah sadar tak ada apapun melainkan kegelapan, Suluh ditemani kesendirian. Nada suara terdengar telinga, kali ini aman tiada yang mengacau sampai terbentuklah suatu cahaya.

Semakin lama semakin banyak, memenuhi kehampaan sampai tak dapat memperkirakan estimasinya. Suluh berusaha berkonsentrasi, mengatur emosi, dan menenangkan diri. Kenyamanan serta kenikmatan menjadi satu tatkala mereka merasuk ke tubuhnya, mengisi kekosongan Sukma.

"Mukhalis, apakah itu kau?" seseorang tengah berbicara dengan lembut. "Bebanmu sangatlah berat."

Wanita misterius melangkah mendekatinya, menarik tangan Suluh masuk ke dalam suatu ruangan. "Harapan bagi kami semua."

Disaat bersamaan, Sukma Suluh tak lagi dapat menampung semua Prana yang meresap ke dalam tubuh. "Untuk memberikan kedamaian abadi di tanah Bentala."

Seperti dipaksa, Suluh tersadar dengan tersentak, hampir terjatuh ke sungai. Kali ini dia diperlihatkan sesuatu yang lain, bukan dari makhluk halus maupun kepingan memori masa lalu. "Apa maksudnya? Siapa Mukhalis?" ucap Suluh disambut oleh sinar kemerahan mentari, menandakan sore hari.

Disaat bersamaan, Suluh merasakan bahwa tubuhnya berbeda. Lebih ringan dan kuat, mengalir energi di dalamnya. Dia semringah, senyuman lebar menghias ekspresinya. "Apakah aku sudah berkultivasi?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status