Share

4. Keputusan

Emily memasuki Bar dan segera memesan minuman pada bartender.

"New York Sour" ujarnya.

Bartender dengan cekatan menyajikan pesanan Emily.

Emily meminumnya dengan pikiran yang kacau, tunangannya yang sangat dia cintai ternyata berkhianat begitu lama di belakangnya dengan adik kandungnya sendiri. Bahkan tak ada satupun keluarganya yang menghibur dirinya atas kejadian ini. Sungguh miris. Tidak bisa dipercaya. Apa itu keluarga? Apakah hanya hiasan agar terlihat sempurna dari luar? Mereka berdua sungguh keterlaluan pikirnya.

"Hei aku melihat seseorang yang tampan memasuki bar ini tadi, apa kau tahu siapa dia?" tanya seorang wanita pada bartender itu sambil memberikan uang beberapa ratus dollar lewat meja.

Emily juga melihatnya masuk tadi, namun dia tak begitu tertarik saat ini, hatinya sedang tak karuan saat ini. Tapi Emily juga tahu, bahwa ada beberapa bartender yang menjual informasi seperti ini di sana.

"Dia seorang CEO muda yang merajai bisnis di kota ini, kabarnya dia baru kembali dari Amerika. Tapi dia sangat sulit untuk di dekati, apalagi seorang wanita" jawab bartender itu.

"Kenapa? Bukankah dia belajar di Amerika, negara itu menjamin kebebasan, kenapa dia tidak menyukai wanita? Aku pikir tadinya aku memiliki kesempatan untuk berkenalan dengannya" ujar wanita itu.

"Berhentilah berangan-angan kalau tidak ingin usahamu bangkrut" ujar bartender itu.

Wanita itu hanya mendesah pelan, lalu meminta di buatkan minuman lain.

Emily hanya tersenyum mendengarnya, bukankah itu artinya dia memiliki kelainan jika tak menyukai wanita? Dia pun berjalan menuju toilet karena merasakan perutnya yang tak nyaman. Emily segera memuntahkan isi perutnya ke dalam kloset dan merasa sedikit lega setelahnya. Dia membasuh wajahnya dan memperbaiki riasannya. Emily bergegas ingin segera pulang, karena kepala dan badannya sudah tak sanggup lagi untuk berada di sini. Namun tiba-tiba ponselnya berbunyi di lorong yang sepi itu. Sebuah nama yang tak ingin dia lihat lagi muncul di layar ponselnya, Steve. Emily menolak panggilan itu, namun ponsel itu terus berdering, dengan terpaksa dia mengangkatnya sambil bersandar di dinding yang dingin.

"Apalagi?" tanya Emily

"Emily, kita bisa membicarakan ini baik-baik, aku dan Stella adalah sebuah kesalahan dalam semalam" jawab Steve.

"Cih, kesalahan dalam semalam? Siapa yang ingin kau bodohi disini? Steve berhentilah menggangguku, ini menyebalkan" ujar Emily

"Emily.... "

Emily langsung mengakhiri panggilan itu, dia kemudian berjongkok dan menangis tanpa dia sadari ada seseorang yang berdiri tidak jauh darinya sedang merokok.

"Hah, kesalahan dalam semalam? Tapi adikku hamil? Apa itu? Kalian benar-benar berniat bersekongkol membodohiku. Bagaimana bisa aku dulu jatuh cinta pada laki-laki seperti itu, hiks hiks" Emily masih menangis sambil meracau tak karuan

"Berisik sekali, bisakah kau diam? Kalau tidak bisa, pergilah dari sini"

Tiba-tiba suara berat dari seorang lelaki menghentikan tangis Emily. Emily cepat-cepat menghapus airmatanya, dan mencari sumber suara itu. Sosok tampan itu berbalik dan melihat ke arah Emily dengan dingin. Emily merasa tak terima di kritik seperti itu.

"Bukankah ini tempat umum? Ada apa denganmu?" tanya Emily dengan nada tegas.

"Ini wilayahku" jawab lelaki itu.

"Apa kau yang di maksud oleh gadis tadi? Kau tidak bisa dekat dengan wanita?" tanya Emily memastikan.

"Kau menyelidiki aku?" tanya laki-laki itu.

"Aku hanya kebetulan mendengar, apa itu salah?" tanya Emily.

"Kau...." laki-laki itu belum sempat menyelesaikan kata-katanya, tapi Emily sudah beranjak mendekatinya dan berbisik.

"Tuan, jika kau ada masalah dengan orientasi seksualmu, setidaknya kau bisa berpura-pura memiliki istri agar orang tak curiga. Apa kau bodoh?" tanya Emily.

Mata lelaki itu menatapnya semakin tajam, dan aura membahayakan menyeruak di sekitar mereka. Tapi tiba-tiba dia tertawa terkekeh-kekeh, hingga membuat Emily heran.

"Bagus sekali, kau benar-benar berani mengatakan hal itu didepan ku. Apa kau tahu siapa aku?" tanya laki-laki itu.

"Apa peduliku? Bukankah kau seorang homo?" Emily balik bertanya, tapi sebenarnya dia sedang mengejek laki-laki itu karena sudah mengusirnya saat dia menangis tadi.

"Baiklah, kau akan segera mengetahuinya nanti" jawab laki-laki itu.

"Cih, sebaiknya kau menjauh dariku!" ujar Emily sambil berlalu pergi.

"Sam, cari tau tentang gadis itu, dan berikan laporan itu padaku segera" perintahnya.

"Baik tuan" jawab Sam

Emily pulang mengendarai mobilnya dengan senyuman yang puas setelah membalas perlakuan lelaki tadi. Kini dirinya bertekad tak ingin menjadi gadis baik saat di tindas. Tanpa dia ketahui, perbuatannya ini adalah kesalahan fatal.

"Tuan"

"Aku mendengarkan" ujar laki-laki itu.

"Gadis itu bernama Emily Carolina, anak pertama dari seorang bangsawan keturunan Inggris William Edward. Saat ini dia berusia dua puluh tiga tahun, baru lulus kuliah tahun lalu jurusan Sastra inggris. Baru-baru ini dia membatalkan pertunangannya, dan ini nomor teleponnya" jelas Sam.

"Bukankah William Edward rekan bisnis kita?" tanya laki-laki itu.

"Belum tuan, anda menangguhkan penanda tanganannya" jawab Sam

"Menarik" ujarnya laki-laki itu.

***

Keesokan harinya, tiba-tiba terjadi kegaduhan di ruang keluarga. Saham perusahaan milik keluarga Edward melemah secara signifikan. Telepon di rumah itu tak henti-hentinya berdering. Kepala tuan William kini seakan mau pecah, dia bingung, bagaimana bisa perusahaan yang tadinya baik-baik saja kini seolah jungkir balik dan bahkan hampir bangkrut.

Emily mendatangi ayahnya yang sedang bingung di ruangan kerja.

"Ayah, boleh aku masuk?" tanya Emily.

"Ya tentu saja, ayah juga ingin menanyakan sesuatu padamu" jawab tuan William.

"Bagaimana dengan perusahaan? Kenapa bisa tiba-tiba begini?" tanya Emily

"Entahlah, mungkin ini dampak dari batalnya pertunanganmu. Tapi ayah rasa itu tidak akan sampai bisa membuat perusahaan ini bangkrut. Emily, ayah yakin ada orang yang ingin menjatuhkan kita, dan dia sangatlah mampu untuk melakukan ini" ujar ayah Emily.

"Tapi siapa ayah? Semua orang-orang dengan kekayaan tertinggi di negri ini tidak ada yang bermusuhan dengan kita. Mungkinkah ini sebab dari batalnya pertunanganku?" tanya Emily sambil melamun dan menatap ke kejauhan dengan hampa.

Bunyi telepon di meja kerja tuan William berdering, membuyarkan lamunan Emily. Walaupun rasanya enggan untuk menangkat telpon itu, tuan William berharap, kali ini ada kabar baik dari para koleganya.

"Tuan William, ini aku"

Emily melihat raut wajah ayahnya berubah-ubah, dari terkejut, diam, serius, lalu ada raut wajah bahagia. Apakah ini pertanda baik? Apa yang mereka bicarakan?

"Baiklah, aku mengerti" ujar tuan William sambil menutup telponnya.

"Ayah, apa yang terjadi? Apakah ada hal baik yang terjadi?" tanya Emily.

"Emily, maukah kau menolong ayahmu dan menyelamatkan perusahaan kita?" tanya Tuan William.

"Tentu ayah, apapun akan ku lakukan untuk menolongmu" jawab Emily.

"Seseorang menelpon ayah, dia ingin menolong perusahaan kita, tapi dengan satu syarat, dia ingin menikahimu, apakah kau bersedia" tanya ayah Emily.

Perkataan tuan William seolah menghunjam jantungnya, apakah kini dia akan "dijual" oleh ayahnya sendiri? Haruskan dia melakukannya.

"Ayah, aku akan melakukannya, aku bersedia" jawab Emily mantap.

Betapa dunia sungguh kejam padanya, tunangannya dan adiknya bersekongkol mengkhianatinya, ibunya sama sekali tak memperdulikannya, kini ayahnya memintanya menikahi seseorang yang tak dia ketahui sama sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status