Share

3. Tamu Tak di Undang

Waktu berjalan dengan cepat, tak terasa dua hari telah berlalu. Malam itu bunyi bel seolah tak berhenti berbunyi di depan rumah Emily, dengan cepat pelayan membukakan pintu. Tampaklah Steve bersama ayah dan ibunya datang berkunjung ke rumah Emily dengan wajah canggung. Ayah Emily yang mengetahui hal itu bergegas turun dan menemui mereka, Stella dan nyonya Monica yang terlihat berbeda dari biasanya juga ikut turun melihat apa yang akan terjadi. Tapi, Emily sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Ayah Emily yang mengetahui hal ini segera meminta bi Surti, si mbok kesayangan Emily, untuk memanggilnya turun.

"Noooon, non Emily," panggil bi Surti.

"Ya mbok, masuk saja, tidak di kunci mbok," jawab Emily.

"Non, di suruh bapak turun ke bawah, ada tamu," ujar bi Surti.

"Siapa mbook?" tanya Emily.

Dengan ragu bi Surti memberi tahu tamu yang datang.

"Ada tuan muda Steve bersama orang tuanya," jawab bi Surti.

"Aduuuuh mau apa lagi dia ke sini mbok, mbok sajalah yang menemui dia, Emily capek," ujar Emily.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa sampai pertunangan ini di batalkan? Apakah nona mau berbagi cerita sama saya?" ujar mbok Surti

"Tapi mbok janji ya jangan bilang siapa-siapa," pinta Emily.

"Iya, mbok janji tidak akan cerita sama siapapun, memang biasanya mbok juga tidak pernah cerita kepada siapapun tentang rahasia nona," ujar mbok surti.

Emily pun mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga mbok Surti dan memperlihatkan video yang dia ambil tempo hari, dengan mata terbelalak, mbok surti menutup mulutnya yang ternganga.

"Ya ampun, kegatelan banget ya itu perempuan, kayak tidak ada laki-laki lain saja," geram mbok Surti

"Sssssttt diam mbok, nanti pembicaraan kita terdengar sama yang lain," ujar Emily.

"Betul non, di putusin saja, laki-laki tidak mutu kayak gitu nggak pantes buat non," ujar bi Surti geram.

"Makanya aku putusin bi, masak iya aku harus pura-pura nggak tau," ujar Emily.

"La terus itu gimana, orangnya ada di bawah mau nemuin Non, nanti bapak marah lo sama kita berdua kalo non nggak turun" ujar si mbok.

"Huh, ayah paling bisa ngancem aku pakek si mbok, ngapain juga harus marahin si mbok kalo aku nggak mau turun. Ayo bi, aku juga mau lihat apa yang bakalan terjadi kalau kita turun," ajak Emily.

Mereka berdua pun turun kebawah tempat di mana para tamu sudah menunggu Emily. Steve adalah orang pertama yang melihat Emily turun, lalu di ikuti oleh beberapa pasang mata lainnya. Turunnya Emily yang di dampingi si mbok, di mata Stella yang membencinya bagaikan putri yang di dampingi sang dayang. Stella iri melihat Emily yang memiliki pengasuh pribadi sejak kecil. Sedangkan dirinya hanya di asuh oleh pelayan biasa yang entah sudah berapa kali berganti.

"Emily, kemarilah, Steve dan orang tuanya ingin bicara denganmu," ujar ayah Emily.

"Ada apa?" tanya Emily datar.

"Emily, sebenarnya apa yang terjadi? Tolong berikan alasan padaku, kenapa kau memutuskan hubungan kita," tanya Steve.

"Bukankah aku sudah bilang, bahwa aku tak pantas untukmu?" jawab Emily.

Si mbok berdiri di samping Emily dan hanya mendengarkan percakapan mereka. Tapi, karena si mbok sudah tau perangai Steve pun ikut muak melihat tingkah Steve yang memohon pada Emily.

"Dasar buaya," ujar si mbok dalam hati.

"Kenapa bicara seperti itu nak, bukankah sebelumnya kalian baik-baik saja?" tanya ibu Steve.

"Ya tante, tapi itu kemarin karena saya bodoh," jawab Emily.

"Apa maksudnya itu?" tanya ayah Steve yang sudah merasakan ada yang tak beres.

"Seseorang seharusnya ikut berbicara di sini, bukankah begitu, Stella?" tanya Emily tanpa basa-basi lagi menudingnya.

"Apa maksudmu?" tanya Stella yang kaget tiba-tiba di sebut namanya.

"Kau yang paling tau hal itu, kalian berdua yang paling mengetahuinya," jawab Emily.

Wajah Steve dan Stella pun berubah pucat pasi, akhirnya mereka ketahuan oleh Emily.

"Kak yang duluan merayuku adalah kak Steve," ujar Stella.

Dan semua orang yang ada di ruangan itu kini sedikit paham dengan apa yang terjadi.

"Keterlaluan! Kau bermain serong dengan pacar kakakmu? Di mana harga dirimu?!" teriak ayah Emily.

"Tidak om, ini salah paham, aku dan Stella hanya berteman baik. Beberapa hari yang lalu aku hanya menemaninya ke mall dan membeli perlengkapan make up nya, hanya itu," bela Steve.

"Tidak hanya itu, kau juga membawaku ke hotel dan menghabiskan malam bersama," teriak Stella.

"Stella apa-apaan ini?!" tanya Steve.

"Emily, dia bohong, aku sama sekali tak seperti itu, dia hanya menjebakku," ujar Steve menjelaskan.

"O ya, apakah video ini juga berbohong? Apakah aku perlu memutarnya di sini?" tanya Emily sambil menggoyang-goyangkan ponselnya.

"Emily, itu semua salah paham," ujar Steve ketakutan.

"Salah paham katamu?! Aku sekarang hamil, dan kau bilang salah paham!!" teriak Stella.

Dirinya benar-benar marah tak di anggap oleh Steve, padahal di atas kasur Steve selalu mengumbar janji akan menikahinya. Tapi kini, dirinya seolah-olah di tolak, tidak, tidak bisa begini, Stella pun akhirnya berbohong bahwa dirinya hamil, agar Emily semakin menolak Steve.

"Hamil?"

"Apa?"

"Tidak mungkin,"

suara terkejut di ruangan itu terdengar bersaut-sautan, saat mendengar berita kehamilan Stella.

"Sudahlah, sudah, Steve tenanglah, kini Emily sudah menolakmu, dan Stella sedang hamil, bagaimana jika sekarang kau fokus saja pada kehamilan Stella. Biar bagaimanapun juga Ayah dari bayi itu adalah dirimu," ujar ibu Steve.

Emily sudah tak terkejut lagi dengan penuturan ibu Steve, ibu Steve memang sudah lama menginginkan cucu, karena usia Steve sudah mendekati kepala tiga, dan dia hanya anak satu-satunya.

"Steve, mulai sekarang, jangan pernah mencariku lagi, fokus saja pada Stella. Kalian benar-benar pasangan yang serasi, seharusnya aku menyadari perselingkuhan itu dari dulu," ujar Emily.

"Emily, Stella kini sedang hamil, jangan bicara yang menyakitkan," ujar Ibu Emily.

"Ya, terus saja bela anakmu. Anakmu memang hanya dia seorang. Ayo mbok, bawa camilan ke kamar mbok, aku mau nonton di kamar" ujar Emily sambil pergi meninggalkan mereka.

"Anak itu, melawan saja bisanya," ujar ibu Emily.

Berbeda dengan ayah Steve, dia benar-benar malu dengan kelakuan Steve. Wajar saja jika Emily memutuskan hubungan mereka, ternyata Steve ada main di belakang Emily.

Akhirnya malam itu mereka malah membicarakan tentang pernikahan Stella sebelum perutnya membesar. Walaupun marah, ayah Emily tetap menjaga emosinya, biar bagaimanapun juga, ini juga kesalahannya karena gagal mendidik dan menjaga Stella. Hingga dua kakak beradik itu terlibat cinta segitiga. Stella sedikit takut jika mereka tiba-tiba membawanya ke rumah sakit untuk chek up kandungan.

Sementara itu di kamar Emily, si mbok hanya terdiam, dia tak tau harus bicara apa untuk menghibur Emily. Walaupun dirinya marah, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Emily yang sedih karena tak ada satu orangpun yang membelanya, akhirnya memutuskan untuk pergi keluar. Dia ingin bersenang-senang saja malam ini dan minum sepuasnya di Bar Bintang Malam. Dirinya tak perduli lagi dengan panggilan dari Stella yang terus meminta maaf padanya. Emily tau, permintaan maaf Stella hanyalah di bibir saja, sebenarnya dia sedang pamer, bahwa dia telah mendapatkan Steve dengan caranya sendiri.

Di malam yang gelap sebuah mobil Maserati berlalu dengan cepat di jalanan sepi. Wajah tampan pengendara mobil itu terpantul oleh cahaya bulan. Rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung, dan tatapan matanya yang tajam terlihat jelas dalam remang-remang cahaya bulan purnama. Auranya bagaikan raja yang baru pulang dari medan perang, begitu mendominasi, dingin, dan kejam. Mobil yang di kendarainya berhenti tepat di sebuah bar kelas atas betuliskan Bintang Malam.

"Jadi, gadis itu ke sini sendirian? Beraninya dia" gumannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status