Share

6. Di Usir

Emily terdiam setelah masuk ke dalam mobil, pikirannya kacau, dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih lagi. Jonathan yang melihat sikap diamnya Emily merasa puas.

"Kenapa kau diam? Jika kau tidak suka dengan pernikahan ini, kau bisa menolaknya sejak awal," ujar Jonathan.

"Kau sengaja bukan? Kau membuat perusahaan ayahku hampir bangkrut, lalu menawarkan kerja sama, benar kan?" tanya Emily.

"Kau benar-benar pintar. Apa kau ingat insiden di lorong toilet tempo hari? Mulai sekarang kau bisa membuktikan apakah rumor itu benar, atau salah," jawab Jonathan.

"Kau benar-benar brengs*k!" maki Emily pada Jonathan.

Emily semakin kesal mengingat kejadian itu. "Apakah Jonathan hanya melakukan balas dendam padanya? Dia bahkan menjebak dirinya agar bisa menikah dengannya, apa laki-laki ini memiliki otak yang normal?" pikir Emily.

"Aku tidak mau tau, karena kau sudah menjadi istriku, maka kau harus tinggal serumah denganku," ujar Jonathan.

"Tidak usah repot-repot menyediakan tempat tinggal, aku masih memiliki rumah!" ujar Emily.

"Baiklah, aku tidak memaksa," ujar Jonathan.

"Turunkan aku di sini," pinta Emily.

Mobil pun berhenti, Emily turun di tengah jalan, dia lalu memberhentikan taksi dan kembali ke rumah. Dia terpaksa pulang ke rumah karena ingin mengambil peninggalan neneknya. Setelah tiba di rumah, hatinya bertambah kesal karena melihat Steve sudah berada di sana.

"Emily, kita perlu bicara," ujar Steve.

"Apalagi yang ingin kau bicarakan?! Menjauhlah dariku, aku muak melihatmu!" ujar Emily.

"Emily, aku dan Stella hanyalah sebuah hubungan kecelakaan saja, di hatiku saat ini hanya ada kau," ujar Steve.

Emily berhenti menaiki anak tangga, dan berbalik menatap Steve. Steve menjadi lebih antusias, karena Emily akhirnya berhenti dan menatapnya.

"Apa kau sudah selesai bicara? aku ingin segera ke kamar mandi, karena tiba-tiba perutku mual mendengar kata-katamu barusan," ujar Emily.

Raut wajah Steve yang tadi semangat kini berubah menjadi suram. Di lihatnya Emily terus menaiki anak tangga tanpa menoleh lagi padanya. Tak jauh dari Emily, Stella keluar dari kamarnya karena dia mendengar suara Steve dan Emily saling bicara. Stella melirik Emily yang sedang naik dengan sudut matanya. Emily yang sudah lelah dan kesal, tak mau ambil pusing lagi atas sikap Stella.

"Steve kau kemari?" ujar Stella bersemangat.

Steve yang melihat Stella turun semakin memasang wajah suram, karena dia benar-benar tidak ingin melihat Stella saat ini.

"Kenapa kau keluar? Sebaiknya istirahat saja dikamar," ujar Steve kesal.

"Perutku mual, aku merasa tidak enak, anakmu sedang membuatku merasa tak nyaman, sekarang kau malah kesal padaku. Apa-apaan ini?" tanya Stella dengan kesal.

"Aku sedang tidak mood hari ini, aku pergi dulu," ujar Steve sambil berlalu pergi meninggalkan Stella.

Stella kembali ke atas dan menerobos masuk ke kamar Emily, saat itu Emily tengah duduk di depan meja rias nya terkejut melihat Stella yang berani masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu.

"Apa kau puas? Kau seharusnya tidak usah meladeni Steve saat dia datang menemui. Bukankah kau sudah memutuskan untuk berpisah dengannya? Aku sedang mengandung anaknya, jangan jadi perempuan tak tau diri! Kau sudah diusir dari rumah ini, tapi kau masih berani kembali?" teriak Stella.

"Apa kau gila? Siapa yang kau maksud dengan perempuan tak tau diri?" tanya Emily.

Emily kemudian menarik tangan Stella, dan membawanya ke depan cermin meja rias nya yang besar.

"Lihat, siapa yang ada di cermin itu, itulah perempuan yang tak tau diri, yang bahkan lebih rendah dari seorang pelac*r," bisik Emily di telinga Stella.

"Aaaakh, kau sialan!" teriak Stella.

"Ada apa ini? Kenapa begitu berisik?" tanya ibu Emily.

"Ibu, lihat dia! di sengaja memanggilku kemari dan mengatai anakku, anak ini bahkan belum lahir, tapi dia sudah mengutuknya dengan kata-kata sejahat itu," ujar Stella berbohong.

"Kau benar-benar keterlaluan! Kenapa kau kembali? Apa yang merasukimu hingga berbuat sejahat itu pada adikmu sendiri? Pergi dari sini, pergi dari rumah ini sekarang juga! pergi!" teriak ibu Emily.

"Aku akan keluar dari rumah terkutuk ini, tapi ingat, Stella, karma itu akan datang padamu cepat atau lambat," ujar Emily.

Emily menyambar tasnya, dia segera pergi dari rumah itu tanpa berpikir panjang. Entah Stella yang benar-benar pandai bersandiwara, atau memang ibunya yang tidak pernah menyayanginya selalu tidak percaya padanya. Emily berjalan keluar komplek rumahnya hingga mendapatkan taksi. Setelah berada di dalam mobil, sopir taksi yang melihat Emily berurai airmata hanya diam dan membawanya berkeliling, karena Emily sama sekali tidak menyebutkan kemana dia akan pergi. Sopir taksi itu baru berani bertanya setelah Emily sudah sedikit membaik.

"Nona, sebenarnya kemana tujuanmu? Kita sudah berkeliling kota cukup lama," tanya sopir taksi.

"Sebentar, aku akan menelpon seseorang, tapi tolong antarkan aku ke kantor catatan sipil, mobilku ada di sana," jawab Emily.

Emily tidak memiliki tujuan lain lagi selain rumah suami barunya, Jonathan. Walaupun sebenarnya dia malu, karena tadi sudah menolak tawarannya untuk kembali ke rumah Jonathan, tapi kali ini Emily benar-benar tidak memiliki tempat lain yang bisa dia tuju.

"Ada apa? Kau butuh sesuatu?" tanya Jonathan.

"Dimana alamat rumahmu?" tanya Emily.

"Kau mau tidur sekamar denganku?" tanya Jonathan.

"Kau! Bagaimana bisa aku tidur sekamar denganmu, kita baru menikah tadi pagi, dan aku baru mengenalmu!" teriak Emily dengan kesal.

"Aku suamimu sekarang, kalau kau tidak mau kau bisa tidur di rumahmu. Aku akan meminta sopir untuk menjemputmu saat kau tengah terlelap" ujar Jonathan.

Emily menahan amarahnya sejenak, dia menghiruo nafas dalam-dalam lalu memghembuskannya lagi. Sopir taksi yang mendengar percakapan Emily juga sedikit merasa geli. Namun dia berusaha keras untuk tidak tertawa.

"Baiklah, aku setuju, di mana alamat rumahmu?" tanya Emily.

"Mountain Beverly Hills no.1 aku akan meminta pelayan untuk menyambutmu," jawab Jonathan.

Emily langsung menutup sambungan teleponnya dan meminta sopir taksi untuk mengantarkannya ke rumah Jonathan. Beberapa saat kemudian mereka tiba di depan rumah Jonathan. Begitu Emily turun dari taksi ada beberapa pelayan yang menyambutnya.

"Selamat datang nyonya muda," ujar pelayan yang paling tua.

Sepertinya dia adalah kepala pelayan di rumah Jonathan.

"Kau tau siapa aku?" tanya Emily.

"Tentu saja, tuan muda sudah mengirim foto pengantinnya kepada kami, agar kami menyambutnya jika anda datang kemari," jawab kepala pelayan.

"Terima kasih sambutannya, tapi siapa namamu? Kapan Jonathan kembali?" tanya Emily.

"Sama-sama nyonya muda. Perkenalkan namaku Felix, anda bisa memanggilku kapan saja di rumah ini. Tuan muda biasanya kembali pada saat jam makan malam nyonya," jawab Felix.

"Baiklah, apa aku bisa masuk sekarang?" tanya Emily.

"Tentu saja, mari nyonya muda, saya akan menunjukkan kamar yang akan anda tempati," jawab Felix.

Felix membawa Emily berkeliling rumah Jonathan, dia juga memberi tau kebiasaan Jonathan sehari-hari. Emily juga sesekali bertanya tentang Jonathan, salah satunya sesuatu yang membuatnya penasaran selama beberapa hari ini.

"Apakah Jonathan pernah melakukan pesta di rumah? Atau dia sering membawa perempuan atau laki-laki ke rumah?" tanya Emily pada Felix.

"Tuan muda sangat menyukai kebersihan dan ketenangan nyonya. Jadi, selama saya bekerja dengannya, saya belum pernah melihat tuan muda membuat pesta dirumah atau membawa teman-temannya," jawab Felix.

"Ahh, itu bagus, aku juga tidak menyukai jika rumah berisik," ujar Emily.

Setelah tiba di kamar yang di tunjukkan oleh Felix, Felix undur diri dari sana. Sebelumnya, Felix memberi tau bahwa baju, dan semua keperluannya telah di siapkan di ruangan khusus.

Emily pun masuk ke dalam kamar Jonathan yang bernuansa putih abu-abu, Emily membuka ruangan demi ruangan yang ada di kamar Jonathan. Seperti ada ruangan kostum disana, benar saja, di ruangan itu penuh dengan baju. Di sebelah kanan adalah baju Jonathan yang dominan dengan warna hitam dan abu-abu. Di sebelah kiri adalah baju wanita, anehnya baju-baju itu sesuai dengan ukuran tubuhnya. Emily bergegas mandi karena tubuhnya benar-benar lelah dan gerah. Dia melepaskan penatnya dalam bak berendam, setelah beberapa saat lamanya dia beranjak dari sana, dan mencari baju yang pas untuk dia kenakan, namun rasa lelahnya membuatnya urung untuk mengganti handuk mandinya. Rasanya benar-benar menyegarkan setelah mandi, Emily jatuh tertidur setelah seharian dia di pusingkan oleh orang-orang aneh di sekitarnya.

Sementara itu Jonathan telah kembali dari kantornya, dia segera di sambut oleh Felix.

"Dimana dia?" tanya Jonathan.

"Nyonya muda sepertinya sedang tidur tuan, saat dia datang kemari, matanya sedikit bengkak, dan ada bekas air mata di pipinya," jawab Felix.

"Sudah ku duga, dia pasti mengalami hari yang sulit. Aku akan mandi di kamar sebelah, jangan ganggu dia sampai dia terbangun," ujar Jonathan.

"Baik tuan" jawab Felix.

Jonathan berjalan menuju lantai dua, dan segera masuk ke kamar sebelah. Namun, saat dirinya hampir menyentuh pintu, Jonathan penasaran dan ingin melihat keadaan Emily.

"Apakah dia benar-benar tertidur? Atau jangan-jangan dia sedang menangis?" pikir Jonathan.

Jonathan berjalan perlahan menuju kamarnya sendiri, dan perlahan-lahan membuka pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status