Share

Bab 6

Penulis: Krisna
Mata mereka saling bertautan, suasana menjadi sangat canggung.

Dhana menatap Puspita, tak mampu mengalihkan pandangannya.

"K-Kak Puspita... aku disuruh Kak Bima ke sini."

Dhana berdiri gugup, menundukkan kepala seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah, tergagap saat berbicara.

Melihat wajah si bodoh Dhana, Puspita tidak merasa marah. Sebaliknya, suaranya malah melembut.

"Kamu keluar dulu, dan panggil Bima ke sini."

"Ya."

Dhana mengangguk dan berbalik pergi.

Sementara itu, Bima sudah kembali ke pinggir jalan dan mengisap rokoknya.

Dia bersandar pada pohon di dekat pintu depan, mengembuskan asap.

Demi menghindari perceraian dengan Puspita, dia siap melakukan apa saja.

Walaupun situasinya tampak tidak masuk akal, dia tahu hal yang sama pernah terjadi di desa sebelah.

Bima mematikan rokoknya dan bergumam pada dirinya sendiri, "Dhana, semoga bisa memberiku anak."

"Kebahagiaanku bergantung padamu."

Saat Bima sedang larut dalam pikiran, suara pintu terbuka terdengar dari belakang.

Dia menoleh dan melihat Dhana berjalan ke arahnya dengan kepala tertunduk.

"Sudah selesai?"

Bima berpikir dalam hati, anak ini benar-benar payah.

Dhana tampak malu dan menggelengkan kepalanya tanpa daya. "Sudah ketahuan sebelum mulai. Mungkin kita sebaiknya menyerah saja."

Dhana pun bersiap untuk pergi.

"Jangan, jangan!" Bima mencengkeram lengan Dhana. "Tunggu dulu, biar aku bicarakan dengannya. Tunggu di sini."

Dhana menggelengkan kepalanya seperti genta.

"Kak, jangan bikin aku serba salah. Dia nggak akan setuju. Biarkan aku pergi."

Dhana mencoba mendorong Bima.

Bima memegangnya erat.

"Dhana, aku nggak punya pilihan lain. Tunggu aku beberapa menit, aku pasti bisa meyakinkannya. Dia pasti setuju, aku janji. Kamu harus tunggu aku. Aku mohon."

Dhana terjebak berada dalam situasi yang sulit, dia hanya bisa mengangguk tanpa kata.

Dia ingin segera pergi ke rumah Mawar, tapi situasi ini membuatnya terjebak. Dia tidak bisa pergi, tapi tetap di sini juga sulit. Dia benar-benar bingung!

Melihat Dhana mengangguk lagi, Bima berbalik dan masuk ke dalam.

Puspita duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi khawatir.

"Bima! Inikah permainan yang kamu maksud?"

Dia mengambil selotip dan selendang sutra tadi dan melemparkannya ke arah Bima.

Menghadapi pertanyaan itu, Bima tidak marah. Dia menangkap barang-barang itu dan duduk di samping istrinya.

"Puspita, kamu pernah bilang mau cari laki-laki lain buat hamil. Dhana pintar dan bisa kuliah kedokteran, berkualitas dari segala sisi. Makanya aku terpikir ide ini. Tolong setujui permintaanku."

Puspita mengabaikan penjelasan Bima.

"Bisa-bisanya kamu terpikir ide macam ini? Apa bagusnya si bodoh itu? Kalaupun mau pakai ide ini, kenapa pilih orang bodoh?"

Menghadapi keluhan Puspita, Bima malah tertawa.

"Dia sudah sembuh habis jatuh di gunung tadi. Aku sudah memastikannya sebelum kusuruh dia masuk."

"Dia sudah sembuh?" tanya Puspita dengan mata terbelalak.

Jika memang begitu, mungkin layak dipertimbangkan.

Di Desa Mawar, Dhana terkenal dengan ketampanannya. Tubuhnya juga atletik dan tinggi badannya 178 cm.

Selain itu, dia anak pintar dan pernah kuliah kedokteran.

Pemuda sehebat itu tentu layak dipertimbangkan.

"Bima, apa kamu nggak marah kalau begini? Kamu nantinya nggak akan benci padaku? Aku takut."

Puspita bertanya dengan ragu.

Bima menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku malah senang! Mana mungkin aku marah padamu?"

"Dia masih menunggu di luar. Aku sudah susah payah membujuknya. Sayang sekali kalau dia berubah pikiran dan pergi."

"Biar kupanggil dia. Kamu cuma perlu kerja sama."

Puspita tersipu dan menundukkan kepalanya, tetap diam.

Setelah beberapa detik yang panjang, dia mengangguk lembut dan segera memalingkan muka, tidak mampu menatap mata Bima.

Melihat Puspita setuju, Bima tersenyum dan bangkit.

"Tunggu di sini, aku panggil dia."

Bima baru mengambil dua langkah ketika Puspita bangkit dan menggenggam lengannya.

"Bima, kamu nggak akan benci padaku, 'kan?"

Bima memeluknya, mengusap bahunya lembutnya.

"Mana mungkin aku membencimu? Kita sudah sepakat. Ikuti saja nanti."

Untuk menenangkan Puspita, Bima memberikan contoh lain.

"Kamu ingat nggak, ada orang di tetangga desamu yang susah payah membesarkan anak angkat, tapi anak itu ternyata nggak tahu terima kasih. Setelah besar malah tidak mengakui ayah angkatnya. Anak angkat nggak sebaik anak kandung, susah untuk dekat, ya nggak?"

Puspita mendengarkan dan mengangguk pelan.

"Ya sudah. Suruh dia masuk."

Melihat Puspita tampak mengerti, Bima akhirnya menghela napas lega.

"Tunggu di sini, aku suruh dia masuk."

Bima pun berbalik dan berjalan menuju pintu.

Setelah mengambil dua langkah, Puspita menambahkan, "Nanti kamu tutup pintunya, terus jalan-jalan dulu sebentar di luar."

Situasi seperti ini sangat canggung bagi semua pihak yang terlibat.

Jika Bima tetap di rumah, dia tidak akan sanggup melakukannya.

"Aku tahu!"

Bima kembali untuk memeluk Puspita dan mengusap bahunya dengan lembut, menyemangatinya. "Berusahalah sebaik mungkin."

Di luar pintu depan, karena Bima terlalu lama di dalam, Dhana tahu rencana ini pasti gagal. Hatinya dipenuhi perasaan campur aduk.

Situasi ini memang sangat tidak masuk akal.

Dhana terjebak dalam dilema.

Dia tidak bisa pergi, tinggal pun tidak bisa.

Bagaimana jika dia pergi, tapi ternyata Bima mencarinya?

Tapi jika dia tetap di sini, bagaimana jika Puspita menolak?

Jika Puspita setuju, Dhana tidak keberatan. Lagi pula, dia tidak akan menanggung rugi apa pun. Dia bahkan membantu orang lain.

Apalagi, tidak ada yang menjamin bantuannya akan berhasil.

Dhana pernah kuliah kedokteran, jadi dia tahu lebih banyak pengetahuan medis.

Di luar hari-hari tertentu, kemungkinannya kecil.

Saat pikiran Dhana berkecamuk, pintu berderit terbuka. Segera setelah itu, Bima muncul di belakangnya, tersenyum lebar.

"Ayo masuk, dia setuju."

"Menurutku, pertimbangkan lagi saja," ujar Dhana ragu-ragu. "Aku masih nggak sreg."

"Nggak usah bicara macam-macam lagi. Ayo masuk. Aku sudah berhasil meyakinkan dia, tapi malah ganti kamu yang bertingkah. Kamu mau aku memohon padamu sambil berlutut?"

Sambil mengatakan itu, Bima seperti hendak berlutut.

Dhana cepat-cepat menarik lengannya. "Jangan! Ya sudah, aku setuju, oke?"

Dia melepaskan Bima dan berjalan masuk. Tapi setelah dua langkah, Bima mengejar dan memegang lengannya lagi.

"Berusahalah, aku mengandalkanmu!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 50

    "Kalian bertiga, kenapa nggak hajar dia?"Dhana menatap ketiga pria yang berlutut di tanah dan memberi mereka perintah dengan tenang. Tentu saja, Jono yakin Dhana tidak mungkin bisa memerintah anak buahnya.Tapi, peristiwa yang benar-benar mengejutkan kembali terjadi.Seperti kerasukan, tiga pria itu melompat berdiri secepat kilat. Mereka menyingsingkan lengan baju dan mengencangkan otot, melancarkan serangan brutal kepada Jono, menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tendangan.Tubuh Jono membeku kaku. Suaranya tersangkut di tenggorokannya. Tak peduli seberapa keras dia dipukuli, dia tidak bisa berteriak.Saat itulah Jono akhirnya mengerti.Kejadian kerasukan di pasar dan perkelahian barusan, semuanya ulah Dhana.Jono menatap Dhana, matanya memohon belas kasihan.Setelah satu menit, Dhana mencabut mantra hipnotisnya.Dalam sekejap, ketiga anak buah Jono kembali berlutut di hadapannya, masing-masing menampar wajah mereka sendiri."Bang Jono, kami beneran kerasukan.""Bang Jono, tolong a

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 49

    "Sialan, sedang apa kalian? Ah!"Jono berteriak, mengayunkan tinju ke arah salah satu anak buahnya. Dalam sekejap, dia membuat pria itu terjatuh ke tanah.Namun, anak buah yang terjatuh itu seperti kerasukan, langsung bangkit kembali begitu menyentuh tanah dan mengayunkan tinjunya lagi kepada Jono.Dua orang lainnya juga melancarkan serangan dengan keras.Akhirnya, keempat pria itu bergulat bersama.Suara pukulan, tendangan, serta jeritan ketiga pria itu datang silih berganti.Jono yang sendirian menghadapi tiga lawan, segera merasa kewalahan.Menyaksikan para pria itu berkelahi, Dhana hanya tersenyum dingin. 'Kalau kalian masih angkuh, biarkan saja kalian berkelahi lebih lama.'Ayo, pukul. Pukul sekeras-kerasnya.Ratna berdiri di belakang Dhana, wajahnya membeku karena ngeri.Dia benar-benar tidak mengerti mengapa empat orang itu tiba-tiba saling menyerang.Secara logika, ketiga anak buah Jono tidak akan pernah berani menyerang bos mereka sendiri.Tapi, nyatanya mereka terjebak dalam

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 48

    Suaranya manis dan sangat merdu.Berkat teriakan mereka berdua, beberapa orang berkumpul di sekitar.Dalam waktu sepuluh menit, mereka menghasilkan beberapa ratus ribu.Meskipun beberapa orang curiga tentang keaslian ikan karena harganya yang terlalu murah, mereka tetap membeli karena tergiur harga murah.Keadaan berangsur-angsur membaik. Dhana menghela napas lega.Saat Dhana sedang sibuk, Jono datang dengan anak buahnya, menyerbu dengan marah.Dhana mengerutkan kening saat melihat rombongan itu mendekat.Para pengganggu ini perlu diberi pelajaran. Kalau tidak, mereka akan terus mengganggunya tanpa henti.Peringatan sebelumnya tampaknya belum cukup.Meskipun Dhana telah menakuti mereka, Jono dan anak buahnya mungkin belum menyadari apa yang terjadi. Jika sudah sadar, mereka tidak akan berani mengejar ke sini."Gawat, Jono datang lagi."Ratna bergumam dengan gemetar melihat Jono dan orang-orangnya."Jangan khawatir, mereka nggak akan bisa bikin masalah."Dhana berbalik dan melindungi Ra

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 47

    Apa yang terjadi?Di luar pasar, tidak jauh dari sana.Dhana dan Ratna memarkir sepeda motor di tepi jalan dan mulai menjajakan barang dagangan mereka lagi. Meski tidak banyak orang di luar, mereka berhasil menjual beberapa ekor ikan.Dalam sepuluh menit, mereka menjual lima ekor ikan lagi.Namun, Dhana sangat tidak puas dengan kecepatan ini.Muatan mereka beratnya lebih dari 500 kilogram. Jika terjual seluruhnya, bisa menghasilkan setidaknya 20 juta.Tapi, jika penjualannya selambat ini, kapan seluruh muatan akan terjual? Sepeda motor mereka tidak dilengkapi dengan peralatan oksigenasi.Jika terlalu lama, ikan-ikan itu akan kehabisan oksigen dan mati. Lalu harganya akan anjlok drastis.Bahkan, mungkin saja tidak ada yang mau beli.Dhana sudah bekerja keras menangkap ikan-ikan berkualitas tinggi ini. Dia tidak ingin, hanya karena kejadian tak terduga tadi, dia gagal menjual ikan-ikannya.Ratna berdiri di samping, sama-sama merasa cemas.Dibandingkan dengan harga jual ikan, dia lebih kh

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 46

    Jono mengerutkan keningnya dan melirik para anak buahnya di samping, lalu menyadari bahwa mereka juga berdiri terpaku, sama sepertinya.Pemandangan itu membuat keringat dingin membanjiri punggung Jono sekali lagi.Kenapa situasinya jadi aneh seperti ini?Apa yang sebenarnya terjadi?Dia tidak bisa bergerak saja sudah gawat, kenapa anak buahnya juga sama, tidak bisa bergerak dan bicara?Sulastri ikut menyaksikan pemandangan mengejutkan itu.Apa yang sebenarnya terjadi?Dengan sikap biasanya, Jono tidak akan mungkin membiarkan dua orang itu pergi. Muatan sepeda motor itu berisi ikan senilai lebih dari 20 juta.Mana mungkin dia biarkan mereka pergi begitu saja?Sulastri memberi isyarat kedipan mata kepada Jono, tapi Jono dan anak buahnya tetap membeku, tidak bergerak sama sekali.Sulastri merasa cemas, tapi tidak bisa apa-apa.Dia tidak bisa mengingatkan Jono di depan semua orang untuk menghentikan sepeda motor itu dan lanjut memaksa meminta uang.Dhana duduk di atas sepeda motor roda tig

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 45

    "Sulastri yang dagang ikan itu sepupunya Bang Jono. Jelas, si Sulastri yang panggil Bang Jono ke sini.""Dua anak muda ini dalam masalah besar."Setelah menerima warisan, kondisi fisik Dhana mengalami transformasi total. Tulang-tulangnya digantikan oleh Tulang Naga Agung, dan darahnya menjadi darah Phoenix Emas Langit Sembilan.Oleh karena itu, indra penciuman dan pendengaran Dhana melampaui manusia biasa. Percakapan antara pedagang tetangga terdengar jelas di telinganya.Tidak heran Jono datang begitu cepat.Ternyata Sulastri yang memanggilnya.Bahkan di pasar kecil ini, politiknya sangat kuat.Memang, di mana-mana pasti ada politik.Menyaksikan Jono dan anak buahnya bersikap sangat angkuh, Dhana hanya tersenyum simpul. "Bang Jono, aku cuma jualan buat hari ini. Aku bisa kasih 40 ribu. Kalau kamu mau 14 juta, aku nggak punya."Jono bersandar pada bak muatan sepeda motor, memandang ikan-ikan di dalamnya. Matanya langsung berkilat dengan keserakahan.Lalu dia menatap Dhana."Nggak punya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status