Share

Bab 7

Author: Krisna
Dhana tidak terlalu paham apa maksudnya. Apa lagi yang bisa dia lakukan dalam hal semacam ini? Bukankah semuanya sama saja?

Bima terpaksa menjelaskan sekali lagi.

Setelah mendengarkan, Dhana pun mengerti.

Melihat Dhana masuk ke dalam rumah, Bima akhirnya menghela napas lega.

Dia mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya dengan senyum.

Masalah yang telah mengganggunya selama bertahun-tahun akhirnya menunjukkan titik terang.

Setelah semua lika-liku, dia cukup puas.

Puspita sangat cantik, lembut, dan penuh perhatian. Jarang sekali ada wanita seperti dia yang mau tinggal di tempat seperti Desa Mawar.

Jika dia menceraikan Puspita, Bima yakin dia tidak akan pernah menemukan wanita lain yang sama baiknya. Dia mungkin hanya bisa menduda seumur hidupnya.

Belum lagi, dia mandul.

Wanita mana yang mau menerima pria seperti dia?

Bima mengembuskan asap rokok, senyum tipis terlukis di bibirnya.

Setelah beberapa isapan, dia merasa sudah tidak pantas lagi berlama-lama di depan pintu. Jadi, sambil masih menggigit sebatang rokok, dia menutup pintu dan berjalan menuju ujung barat desa.

Dhana masuk ke kamar dan melihat Puspita duduk di kursi kecil mengenakan baju tidur longgar. Semburat merah masih terlihat di pipinya.

Sebelum dia bisa bicara, Puspita bertanya lebih dulu, "Dhana, aku dengar dari Bima kalau kamu sudah sembuh habis jatuh."

Suasananya agak canggung, dan Puspita tidak ingin langsung ke intinya.

Dia mengalihkan pembicaraan, pura-pura perhatian tentang keadaan Dhana.

Dhana menggaruk kepalanya, sedikit malu.

"Aku tadi jatuh, entah kenapa pikiranku tiba-tiba jernih. Aku nggak tahu di masa depan kambuh lagi atau nggak."

Puspita berdiri dan memegang lengan Dhana.

"Dasar anak bodoh, kalau sudah sembuh ya sembuh, mana mungkin kambuh lagi? Karena sudah sembuh, kamu harus menghargainya."

"Terima kasih, Kak Puspita. Aku pasti menghargainya."

Dhana menjawab dengan patuh seperti anak kecil.

Untuk meredakan kecanggungan, Puspita bertanya, "Kamu nggak dipaksa Bima, 'kan? Kalau kamu nggak mau, jangan memaksakan diri."

Dhana menggelengkan kepalanya. "Aku nggak dipaksa. Aku cuma ... merasa nggak pantas. Aku takut menyakitimu."

Dia berhenti sejenak.

"Atau kamu yang dipaksa Kak Bima? Mungkin sebaiknya jangan dilanjut."

Suara Dhana bergetar, hatinya berdebar seperti genderang.

Tangan Puspita melingkar di lengannya, memancarkan aroma lembut yang samar. Dhana merasa dirinya terbuai dalam aroma itu. Ini pasti yang biasa dikatakan sebagai aroma seorang wanita.

Puspita menggeleng kecil. "Aku juga nggak dipaksa, ini ideku sendiri. Akhirnya malah menyusahkanmu."

"Apanya yang susah? Aku pria."

Detak jantung Dhana semakin cepat.

Puspita berdiri di sampingnya, memancarkan keharuman yang menggugah jiwa.

Selain dengan mantan pacarnya, ini kali pertama Dhana sedekat ini dengan seorang wanita.

Tangan mungil Puspita lembut dan hangat.

Suaranya manis dan lembut, setiap kata dan gerakannya begitu memikat.

"Matikan lampu dan kunci pintunya," perintah Puspita.

Dhana mengangguk, bangkit untuk mematikan lampu.

Tiba-tiba, seluruh ruangan menjadi gelap gulita.

"Tok, tok tok!"

"Puspita! Puspita, kamu di rumah?"

Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di pintu, diikuti oleh suara Bibi Ratih.

"Sialan, mau apa Bibi Ratih ke sini?"

Puspita menggerutu, wajahnya mendung.

"Jadi, mau gimana?"

Mendengar suara Bibi Ratih, Dhana bertanya dengan gugup.

Dia benar-benar panik. Jika Bibi Ratih si mulut besar itu tahu tentang hal ini, semua orang juga akan tahu.

Masalah ini tidak boleh sampai diketahui orang lain sama sekali.

Dhana berdiri kaku, tidak tahu harus berbuat apa.

Dia baru saja mematikan lampu, dan kini tergopoh-gopoh menyalakannya kembali.

Puspita bangkit, wajahnya dipenuhi rasa dendam.

"Kenapa harus sekarang dia datang? Aku nggak utang apa-apa kepadanya. Kenapa dia ganggu kita? Sial sekali."

Puspita sedang dilema. Jika dia tidak membuka pintu, Bibi Ratih dengan sifat keras kepalanya pasti akan terus mengetuk pintu tanpa henti.

Tapi, membuka pintu berarti mengganggu kesenangannya.

Kenapa harus ada yang datang mengganggu di saat-saat penting begini?

Puspita hanya ingin menyelesaikan peristiwa penting dalam hidupnya ini, kenapa sulit sekali? Di saat kritis, Bibi Ratih datang dan mengacaukan segalanya.

Sialan!

"Tok, tok tok!"

"Puspita, kamu di rumah? Ini Bibi Ratih."

Ketukan itu berlanjut, disertai lagi dengan suara Bibi Ratih. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.

Bibi Ratih terus menggedor pintu. Puspita tidak punya pilihan selain membuka pintu, membuat tetangganya itu segera pergi, lalu kembali untuk melanjutkan urusan ini.

Setelah ragu sejenak, Puspita berbicara pelan.

"Dhana, sembunyi dulu di dalam. Jangan keluar. Aku usir dia dulu, nanti ke sini lagi."

Dhana mengangguk pelan dan berbisik mengingatkan.

"Hati-hati. Jangan sampai ketahuan."

Puspita keluar dengan enggan dan membuka pintu.

"Ada apa? Aku sedang tidur."

Bibi Ratih menyipitkan mata dan mengamati Puspita dari kepala hingga kaki.

"Kamu sudah pakai gaun tidur, baru jam segini kenapa sudah tidur?"

Puspita mengerutkan kening dan menggerutu, "Aku nggak enak badan hari ini, jadi tidur lebih cepat. Aku tadi sudah tidur, tapi terbangun karena kamu!"

Selama mengobrol, Puspita terus memikirkan Dhana. Tetangga sialan, merusak segalanya. Kalau nggak, dia harusnya sudah berhubungan sama Dhana.

Bibi Ratih bergurau, "Pakai gaun tidur begini, kamu nggak sedang melakukan sesuatu dengan Bima, 'kan?"

Dia berbicara blak-blakan dengan nada bercanda.

Komentar itu membuat Puspita merinding. Meski Bibi Ratih masih kurang tepat, tebakannya sudah benar sebagian. Lagi pula, pipi Puspita yang merona merah tidak bisa berbohong.

Puspita langsung panik mendengarnya.

"Dasar mesum, jangan bicara sembarangan!" gerutu Puspita, lalu dia lanjut menjelaskan, "Aku sedang bertengkar dengan Bima. Dia diam-diam keluar merokok, sampai sekarang belum pulang."

"Apa masalah apa? Ayo masuk, beri tahu aku."

Melihat Bibi Ratih tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi, Puspita terpaksa menyingkir dan membiarkannya masuk ke dalam rumah.

Setelah duduk di ruang tamu, Bibi Ratih akhirnya bicara. "Puspita, matamu masih bagus. Bisa bantu lihatkan tanganku? Rasanya ada serpihan kayu yang menancap, dari tadi sakit."

Dia mengulurkan tangannya ke arah Puspita.

Membuat Puspita merasa sangat kesal.

Wanita tua ini datang mengganggu malam-malam hanya untuk masalah remeh? Kenapa tidak datang lebih awal?

Benar-benar!

Tapi, Puspita tidak bisa menunjukkan kekesalannya. Dia harus tetap tenang dan santai sebisa mungkin dan segera mengusir wanita itu pergi.

Dia meraih tangan Bibi Ratih dan memeriksanya sebentar.

"Benar, ada serpihan kayu yang menancap. Aku ambil jarum dulu, kubantu keluarkan."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 50

    "Kalian bertiga, kenapa nggak hajar dia?"Dhana menatap ketiga pria yang berlutut di tanah dan memberi mereka perintah dengan tenang. Tentu saja, Jono yakin Dhana tidak mungkin bisa memerintah anak buahnya.Tapi, peristiwa yang benar-benar mengejutkan kembali terjadi.Seperti kerasukan, tiga pria itu melompat berdiri secepat kilat. Mereka menyingsingkan lengan baju dan mengencangkan otot, melancarkan serangan brutal kepada Jono, menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tendangan.Tubuh Jono membeku kaku. Suaranya tersangkut di tenggorokannya. Tak peduli seberapa keras dia dipukuli, dia tidak bisa berteriak.Saat itulah Jono akhirnya mengerti.Kejadian kerasukan di pasar dan perkelahian barusan, semuanya ulah Dhana.Jono menatap Dhana, matanya memohon belas kasihan.Setelah satu menit, Dhana mencabut mantra hipnotisnya.Dalam sekejap, ketiga anak buah Jono kembali berlutut di hadapannya, masing-masing menampar wajah mereka sendiri."Bang Jono, kami beneran kerasukan.""Bang Jono, tolong a

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 49

    "Sialan, sedang apa kalian? Ah!"Jono berteriak, mengayunkan tinju ke arah salah satu anak buahnya. Dalam sekejap, dia membuat pria itu terjatuh ke tanah.Namun, anak buah yang terjatuh itu seperti kerasukan, langsung bangkit kembali begitu menyentuh tanah dan mengayunkan tinjunya lagi kepada Jono.Dua orang lainnya juga melancarkan serangan dengan keras.Akhirnya, keempat pria itu bergulat bersama.Suara pukulan, tendangan, serta jeritan ketiga pria itu datang silih berganti.Jono yang sendirian menghadapi tiga lawan, segera merasa kewalahan.Menyaksikan para pria itu berkelahi, Dhana hanya tersenyum dingin. 'Kalau kalian masih angkuh, biarkan saja kalian berkelahi lebih lama.'Ayo, pukul. Pukul sekeras-kerasnya.Ratna berdiri di belakang Dhana, wajahnya membeku karena ngeri.Dia benar-benar tidak mengerti mengapa empat orang itu tiba-tiba saling menyerang.Secara logika, ketiga anak buah Jono tidak akan pernah berani menyerang bos mereka sendiri.Tapi, nyatanya mereka terjebak dalam

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 48

    Suaranya manis dan sangat merdu.Berkat teriakan mereka berdua, beberapa orang berkumpul di sekitar.Dalam waktu sepuluh menit, mereka menghasilkan beberapa ratus ribu.Meskipun beberapa orang curiga tentang keaslian ikan karena harganya yang terlalu murah, mereka tetap membeli karena tergiur harga murah.Keadaan berangsur-angsur membaik. Dhana menghela napas lega.Saat Dhana sedang sibuk, Jono datang dengan anak buahnya, menyerbu dengan marah.Dhana mengerutkan kening saat melihat rombongan itu mendekat.Para pengganggu ini perlu diberi pelajaran. Kalau tidak, mereka akan terus mengganggunya tanpa henti.Peringatan sebelumnya tampaknya belum cukup.Meskipun Dhana telah menakuti mereka, Jono dan anak buahnya mungkin belum menyadari apa yang terjadi. Jika sudah sadar, mereka tidak akan berani mengejar ke sini."Gawat, Jono datang lagi."Ratna bergumam dengan gemetar melihat Jono dan orang-orangnya."Jangan khawatir, mereka nggak akan bisa bikin masalah."Dhana berbalik dan melindungi Ra

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 47

    Apa yang terjadi?Di luar pasar, tidak jauh dari sana.Dhana dan Ratna memarkir sepeda motor di tepi jalan dan mulai menjajakan barang dagangan mereka lagi. Meski tidak banyak orang di luar, mereka berhasil menjual beberapa ekor ikan.Dalam sepuluh menit, mereka menjual lima ekor ikan lagi.Namun, Dhana sangat tidak puas dengan kecepatan ini.Muatan mereka beratnya lebih dari 500 kilogram. Jika terjual seluruhnya, bisa menghasilkan setidaknya 20 juta.Tapi, jika penjualannya selambat ini, kapan seluruh muatan akan terjual? Sepeda motor mereka tidak dilengkapi dengan peralatan oksigenasi.Jika terlalu lama, ikan-ikan itu akan kehabisan oksigen dan mati. Lalu harganya akan anjlok drastis.Bahkan, mungkin saja tidak ada yang mau beli.Dhana sudah bekerja keras menangkap ikan-ikan berkualitas tinggi ini. Dia tidak ingin, hanya karena kejadian tak terduga tadi, dia gagal menjual ikan-ikannya.Ratna berdiri di samping, sama-sama merasa cemas.Dibandingkan dengan harga jual ikan, dia lebih kh

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 46

    Jono mengerutkan keningnya dan melirik para anak buahnya di samping, lalu menyadari bahwa mereka juga berdiri terpaku, sama sepertinya.Pemandangan itu membuat keringat dingin membanjiri punggung Jono sekali lagi.Kenapa situasinya jadi aneh seperti ini?Apa yang sebenarnya terjadi?Dia tidak bisa bergerak saja sudah gawat, kenapa anak buahnya juga sama, tidak bisa bergerak dan bicara?Sulastri ikut menyaksikan pemandangan mengejutkan itu.Apa yang sebenarnya terjadi?Dengan sikap biasanya, Jono tidak akan mungkin membiarkan dua orang itu pergi. Muatan sepeda motor itu berisi ikan senilai lebih dari 20 juta.Mana mungkin dia biarkan mereka pergi begitu saja?Sulastri memberi isyarat kedipan mata kepada Jono, tapi Jono dan anak buahnya tetap membeku, tidak bergerak sama sekali.Sulastri merasa cemas, tapi tidak bisa apa-apa.Dia tidak bisa mengingatkan Jono di depan semua orang untuk menghentikan sepeda motor itu dan lanjut memaksa meminta uang.Dhana duduk di atas sepeda motor roda tig

  • Sungguh Nikmat Jadi Tabib Desa!   Bab 45

    "Sulastri yang dagang ikan itu sepupunya Bang Jono. Jelas, si Sulastri yang panggil Bang Jono ke sini.""Dua anak muda ini dalam masalah besar."Setelah menerima warisan, kondisi fisik Dhana mengalami transformasi total. Tulang-tulangnya digantikan oleh Tulang Naga Agung, dan darahnya menjadi darah Phoenix Emas Langit Sembilan.Oleh karena itu, indra penciuman dan pendengaran Dhana melampaui manusia biasa. Percakapan antara pedagang tetangga terdengar jelas di telinganya.Tidak heran Jono datang begitu cepat.Ternyata Sulastri yang memanggilnya.Bahkan di pasar kecil ini, politiknya sangat kuat.Memang, di mana-mana pasti ada politik.Menyaksikan Jono dan anak buahnya bersikap sangat angkuh, Dhana hanya tersenyum simpul. "Bang Jono, aku cuma jualan buat hari ini. Aku bisa kasih 40 ribu. Kalau kamu mau 14 juta, aku nggak punya."Jono bersandar pada bak muatan sepeda motor, memandang ikan-ikan di dalamnya. Matanya langsung berkilat dengan keserakahan.Lalu dia menatap Dhana."Nggak punya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status