Share

Bab 2. Mulai Curiga

Aku berjalan menuju kamar mandi khusus perawat. Dan sesampainya di sana, kubuka perlahan surat dari pasien tersebut. Dan seketika aku terkejut karena isinya adalah sebuah puisi dan kalimat minta tolong.

Saat kulihat semua pekat di langit yang seharusnya membiru.

Aku sempat mengira duniaku takkan pernah berwarna lagi sampai aku melihat senyumanmu yang bagai mentari pagi.

Cerah matamu yang menjanjikan kedamaian.

Membuatku yakin bahwa kebahagiaan ku akan datang.

Tolong temani aku lusa saat kunjungan keluargaku.

Ada yang tidak beres dengan rumah sakit ini dan keluargaku.

Dan kalau sudah membaca surat ini, silakan robek keci-kecil dan masukkan ke dalam kloset, atau bakar saja sampai jadi abu. Yang pasti, jangan biarkan seorang pun tahu tentang surat ini. 

Jangan tanya kenapa aku meminta pertolongan padamu, karena pelan tapi pasti, kamu akan segera tahu.

Aku mengerutkan dahi. Tak kupungkuri sejuta tanya muncul di hati setelah membaca surat ini.

Sejak awal datang kemari, aku sudah merasa ada yang aneh pada Romi. Tidak mungkin lelaki sebersih dan seganteng dia menderita gangguan jiwa.

Kubaca sekali lagi puisi itu. Indah. Tapi entah mengapa menyiratkan seseorang yang putus asa pada awalnya dan kenapa dia memilih aku untuk menolongnya?

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. "Siapa sih di dalam?" terdengar suara Nia, perawat yang satu sihft denganku.

"Bentar, baru mau nyiram pup nih. Kamu di toilet sebelah dong!" seruku sambil melipat surat di kertas bergaris yang diberikan oleh Romi untukku.

"Toilet sebelah mampet! Ayo buruan, aku diare!"

Nia semakin menggedor-gedor pintu. "Oke, oke. Sebentar lagi aku keluar."

Aku menghela nafas panjang dan akhirnya membasahi wajah dan tangan sampai siku lalu membuka pintu toilet yang langsung disambut wajah cemberut Nia.

"Hih! Lamanya. Ngapain saja sih di dalam?" tanyanya dan tanpa menunggu jawabanku dia langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Aku mengedikkan bahu dan berlalu begitu saja menuju taman rumah sakit. Lalu duduk di semacam bangku yang terbuat dari semen dan berbentuk melingkar yang di tengah-tengahnya tumbuh rumpun bunga Bougenville.

Kubuka kembali surat Romi dan kubaca ulang. Lalu kuedarkan lagi pandangan mataku ke sekeliling taman untuk mencari pemuda itu. Biasanya dia asyik bercanda maupun bernyanyi-nyanyi dengan pasien lain. 

Tapi nihil, sosok itu tidak ada di taman tengah rumah sakit. Akhirnya kubaca ulang kata demi kata yang ada di surat tersebut.

"Hai, baca apa?"

Sebuah suara dan tepukan di pundak nyaris membuatku terlonjak.

"Astaga, Adimas! Ngagetin aja kamu!" Aku yang ingat pesan Romi segera melipat kertas di tanganku dan memasukkannya ke dalam saku baju, tapi tak urung juga Adimas melihatnya. Dia lalu duduk di sebelahku.

"Apa itu?" tanyanya menatapku. Terlihat ekspresinya dibuat sedatar mungkin. Tapi aku tahu sebenarnya dia penasaran setengah mati pada kertas yang baru saja kupegang.

"Biasa, catatan pembelian kebutuhan perempuan, Dim," tukasku tersenyum. 

Adimaspun tertawa. "Memang ya, cewek itu ribet. Kalau mau beli kebutuhan saja harus dicatat. Mungkin bisa beli kebanyakan atau malah gak jadi beli ya kalau nggak dicatat?" tanya Dimas.

Aku mendengus. "Bukan ribet. Tapi cewek itu istimewa. Kami suka hal-hal yang bersifat detail, agar terlatih menjadi ibu yang pekerjaannya super banyak," sahutku.

Dimas melirikku. "Iya, iya. Eh, bagaimana rasanya setelah 2 minggu bekerja di sini?" tanya Dimas kepo.

Belum sempat aku menyahut, Dimas sudah melanjutkan kalimatnya. "Kamu sepertinya dekat dengan Romi. Hati-hati dia berbahaya dan suka lepas kendali."

Aku menoleh pada Dimas. "Benarkah lusa adalah jadwal kunjungan keluarga Romi?" tanyaku tanpa menanggapi perkataannya tadi.

Dimas memandangku sekilas lalu mengangguk.

"Kalau begitu, biar aku saja yang menemani Romi dalam kunjungan keluarganya, bisa kan?" tanyaku.

Sekilas tampak wajah Dimas terkejut. "Kamu jangan ikutan kunjungan keluarga dulu, capek lo. Apalagi kalau pasien dan keluarga tidak kooperatif," jawab Dimas tersenyum.

"Ada apa sih kok melarang-larang segala?" tanyaku curiga seraya berdiri dari duduk. 

"Romi itu sering kumat 'sakitnya' kalau keluarganya datang."

"Hah? Masak sih?"

"Ya sudah kalau gak percaya. Aku sudah membuktikannya. Aku kan yang selalu menemani Romi kalau dia ada kunjungan keluarga," kata Dimas meyakinkan.

"Kalau begitu, biar lusa aku yang menemani kunjungan keluarga Romi. Jadi kita tukeran dines ya?"

Dimas mengerutkan dahi. 

"Duh, gimana ya?"

"Kamu mencurigakan banget, Dim. Kenapa sih aku nggak boleh ikut?" Aku menatapnya mata Dimas tajam, mencoba mencari tahu jawaban atas pertanyaanku.

Tapi Dimas justru menunduk dan pandangannya menekuri sepatu yang dikenakannya.

"Nanti kalau Romi kumat, gimana? Kamu kan cewek, seorang diri lagi." Dimas terus keberatan. 

"Aku kan peraih sabuk hitam di kelas sedang karate saat SMA. Insyallah mudah untuk mengatasinya. Jadi biar aku yang kali ini menemani kunjungan keluarga Romi ya. Lagipula dilihat-lihat Romi sekarang sudah tenang banget dan kooperatif."

Dimas akhirnya menarik nafas panjang. "Huft, iya sudah. Siapa sih yang bisa menolak permintaan cewek cantik kayak kamu. Keponakan pemilik rumah sakit pula."

Aku tersenyum penuh kemenangan. "Nah gitu dong!" 

"Eh, kamu merasa nggak kalau Romi itu aneh?" tanyaku pada Dimas. Setelah kemarin aku mengurungkan niat untuk bertanya pada Nia karena sudah diledek sebelum aku bertanya, kini aku mencoba bertanya pada Dimas. 

Karena tidak mungkin kalau Dimas ikut-ikutan meledekku. 

"Aneh? Aneh gimana maksudnya?" tanya Dimas. Tak kusangka Dimas akan menanggapi pertanyaanku dengan serius.

"Dia tuh pintar merangkai kata manis. Seperti menggombal dan merayu. Masalahnya dia sering merayuku!" bisikku mengerutkan dahi. Lalu aku menceritakan apa yang telah Romi katakan padaku. Tentu saja bagian suratnya tidak kukatakan. Urusan surat hanya antara aku dan Romi saja.

Dimas mendelik. Lalu selanjutnya tersenyum penuh misteri. "Kamu harus menjauhi dia. Seperti kataku tadi. Percaya sama aku, Yuk!"

Kini giliran aku yang bingung. Tidak menyangka tanggapan yang diberikan oleh Dimas seperti itu. Aku menghela nafas sejenak. 

"Ya sudah, aku kembali ke ruang perawat dulu," sahut Dimas seraya berlalu dan menepuk bahuku. Aku pun mengangguk.

Baru saja Dimas menghilang dari pandanganku, sebuah suara mengagetkanku.

"Sus, jangan duduk di situ!"

Aku menoleh ke belakang. "Astaga! Kamu kok tiba-tiba muncul Rom, padahal dari tadi kulihat nggak ada?" tanyaku bingung.

Romi hanya cengengesan. Aku membalikkan badan menghadapnya. 

"Memang kenapa aku nggak boleh duduk di sini?" tanyaku penasaran.

Romi menatapku dan langsung memetik setangkai bunga Bougenville yang ada di belakangnya.

"Karena seharusnya Suster duduknya sama aku di pelaminan," sahutnya tersenyum lebar dan memberikan bunga yang baru dipetiknya padaku.

Aku tercengang. 'Bisa saja pasien ini! Masak pasien seperti ini bisa kumat dan berbahaya? Aku harus mencari tahu diagnosa pasti dan riwayat gangguan kejiwaan yang lain dalam lembar status Romi nanti.'

Aku pun menerima tangkai bunga yang disodorkannya. 

"Terimakasih, Rom. Semoga kamu lekas sembuh dan bisa pulang ke rumahmu lagi. Lalu tentang surat itu ...,"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Romi dengan cengar cengir memandang ke arah belakangku dan tiba-tiba sebuah suara bass terdengar. "Yulia, ikut saya sebentar!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
maulida priyanti
penasaran huuuuu
goodnovel comment avatar
Tegar hariyanto16
keren sih ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status