Share

Bab 3. Kunjungan Keluarga

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Romi dengan cengar cengir memandang ke arah belakangku dan tiba-tiba sebuah suara bass terdengar. "Yulia, ikut saya sebentar!"

Aku menoleh ke belakang. "Dokter Andri?" 

"Yulia, bisa ikut saya sebentar?" Sekali lagi suara bass dari direktur rumah sakit jiwa yang sekaligus merupakan pamanku terdengar kembali.

"Tentu Dokter."

Aku berdiri dan mengibaskan debu dari rok spanku lalu menoleh ke arah Romi yang asyik 'bicara' dengan bunga di hadapannya.

Aku menghela nafas lalu segera mengikuti Om Andri yang sudah berjalan lebih dahulu ke arah ruang direktur. 

Dalam benakku terbayang perkataan Dimas untuk menjauhi Romi. Tapi aku tak mengerti apa alasan Dimas melarangku mendekat ke arah Romi. 

Apa Dimas mengetahui sesuatu tentang Romi? Sesuatu yang tidak kuketahui. Dan hanya Dimas saja yang tahu. Atau jangan-jangan Dimas mengenal Romi? Tapi apa hubungan antara keduanya? Aduh, semakin dipikirkan semakin membuat pusing.

Aku sibuk dengan pikiranku sendiri sampai tanpa sadar aku sudah sampai di ruangan direktur. Om Andri membuka pintunya dan masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan. 

"Duduk Yul!" instruksi Om Andri membuyarkan lamunanku. 

"Iya Dokter," sahutku pelan.

Aku lalu menghempaskan pantat ke sofa berwarna abu-abu tua dan menghadap ke arah dokter Andri. Beberapa saat kami terdiam sejenak. Tapi aku tahu walaupun aku menundukkan kepala, pandangan om Andri mengarah padaku dengan serius. 

"Langsung saja Yul pada topik yang ingin saya sampaikan."

Om Andri memandangku dengan serius. Akupun mengangkat wajah untuk memandang Om Andri dan menjadi antusias dengan apa yang akan diucapkannya.

"Kamu harus bisa jaga jarak dengan para pasien di sini. Jangan terlalu dekat dengan mereka."

Aku terkejut dan mengerutkan dahi. "Bukankah kita harus merawat para pasien di sini dengan ilmu dan hati agar mereka lekas sehat kembali? Lalu bagaimana mungkin kita selaku tenaga medis masalah kejiwaan tidak diperbolehkan dekat dengan mereka?" protesku.

Om Andri menatapku tajam. "Yulia, kamu memang jebolan terbaik di kampus kamu dan lulus dengan nilai cumlaude. Itu pula yang membuat Om menerimamu bekerja di sini. Tapi ada beberapa hal yang membuat kamu tidak boleh terlalu akrab dengan pasien. Memberikan asuhan keperawatan pasti sangat boleh dalam batas sewajarnya, hanya jangan terlalu dekat dengan mereka. Terutama Romi, dia berbahaya. Apalagi kalau kamu sampai baper pada ketampanannya."

Aku menghela nafas. 'Orang-orang di sini aneh. Tadi Dimas, sekarang Om Andri yang melarang dekat dengan Romi. Ada apa sih? Semakin dilarang, aku semakin penasaran.'

"Om pasti sudah dengar dari Dimas kan? Sebenarnya ada apa sampai Dimas keberatan kalau saya menemani Romi dalam kunjungan keluarganya sendiri? Ayolah Om, ijinkan saya sekali saja untuk menemani Romi. Minggu-minggu berikutnya, saya akan menemani pasien lainnya."

Om Andri terlihat menghela nafas.

"Baiklah. Aku memang tidak bisa memaksa gadis keras kepala sepertimu. Apalagi Om sering berhutang budi pada ayahmu. Lusa kamu yang menemani Romi saja. Dan silakan kamu lihat apa yang terjadi pada Romi saat keluarganya datang berkunjung."

Aku tersenyum. "Baiklah Om, saya kembali bekerja dulu," pamitku dan berlalu meninggalkan ruangan Om Andri.

***

Aku berjalan melalui koridor rumah sakit. 

Rumah sakit jiwa ini baru berdiri sekitar delapan tahun atas prakarsa Om Andri dan teman-temannya sesama dokter spesialis kejiwaan. 

Ada lima ruangan untuk ruang rawat inap yaitu bougenville untuk ruang rawat inap kelas 1, anyelir ruang rawat inap kelas 2, mawar dan melati untuk ruang rawat inap kelas 3 dan Flamboyan untuk ruang isolasi, pasien yang mengalami kondisi khusus. UGD sekaligus unit rawat jalan biasa, ruang dapur atau gizi, generator, incenerator dan rehabilitasi narkoba 1 ruang.

Aku segera berjalan ke arah dapur dan bertemu dengan karwayannya lalu meminta korek api.

Karyawan dapur menatapku dengan keheranan tapi tak urung juga dia memberiku korek seperti yang kupinta.

Aku memasukkan korek api ke saku baju dan menuju taman belakang rumah sakit yang biasanya sepi. Aku menghela nafas sekali lagi saat kubuka surat dari Romi kembali. 

Lalu tanpa berpikir panjang, aku membakarnya.

"Suster."

Sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh pada empunya suara yang sudah kuhafal. 

"Ya Rom?"

"Lusa jadi kan menemani saya dalam acara kunjungan keluarga?" tanyanya lirih dan mendekat padaku.

Dia menggendong boneka anak perempuan yang biasanya digendong oleh pasien gadis cilik yang selalu bermain dengannya. Kakinya juga menginjak-injak abu bekas pembakaran suratnya sehingga berhamburan kemana-mana tertiup angin.

Aku mengangguk dan memandanginya dengan penuh keheranan. "Rom, kamu harus menjawab pertanyaan saya. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"

Romi cengar cengir lagi dan memandang berkeliling pada taman belakang itu. 

Aku mengerutkan dahi. "Ada apa sih? Kamu nyari siapa? Atau takut sama seseorang di sini? Bilang saja. Kamu aman kok sama aku!"

"Suster, tahu nggak skin care yang paling cocok sama wajah Suster?" tanya Romi membuatku ternganga.

'Ini orang kenapa sih? Aneh banget. Tadi ngomong serius sekarang slengekan lagi.'

"Nggak tahu. Saya nggak pake skincare macem-macem. Emang kenapa? Apa wajah saya burik?" 

Romi menggeleng dan tertawa. "Menurut saya, Suster itu harusnya pakai serum!" serunya dengan wajah serius.

"Serum? Kok bisa?"

"Iya! Serumah dengan saya!" tukas Romi  bersemangat lalu bersenandung kecil dan berjalan meninggalkan taman belakang.

Aku yang berulangkali dibaperin secara unpredictable oleh pasien rumah sakit jiwa ini hanya bisa menahan tawa dan mengikuti langkahnya.

Dan saat mencapai belokan koridor dekat dengan ruang gizi, aku melihat Dimas sedang berdiri di tembok dan menyedekapkan tangan di dadanya.

"Dimas? Kamu kok di sini? Emang nggak ada dokter yang akan visite? Atau kamu sedang nguntit aku?" tanyaku.

Dimas sepertinya terkejut dengan kedatanganku dan Romi secara mendadak. 

"Iya. Aku ke sini karena mencari kamu. Ayo ikut. Ada pasien baru datang lagi. Perempuan. Tugas kamu mandiin dia, karena Nia sedang diare."

"Oke," sahutku lalu mengangguk dan mengikuti langkah lebar Dimas menuju UGD.

***

Hari ini merupakan hari kunjungan keluarga Romi. Aku membawa keluarga Romi menuju ke bangsal Bougenville, tempat Romi dirawat.

Seorang perempuan yang masih tampak muda, cantik, berambut hitam model bob pendek yang mungkin hanya selisih beberapa tahun denganku dan dua orang laki-laki yang memakai kaus biasa. 

Aku berjalan bersisian dengan keluarga Romi menuju ke kamarnya.

Dan saat kelurga Romi muncul di ambang pintu bangsal lalu bertatapan dengan Romi, mendadak Romi berkeringat dingin dan gemetar. 

"Rom? Ada apa? Kenapa kamu menjadi gemetar seperti ini?" tanya ku bingung sambil memandang Romi dengan pandangan tidak percaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status