Share

Surat dari Pasien Rumah Sakit Jiwa
Surat dari Pasien Rumah Sakit Jiwa
Author: Ananda Zhia

Bab 1. Surat dari Romi

"Sus, aku hitung ya, 1,3,4,5,6,7,8,9,10. Sudah benar belum aku ngitungnya Sus?"

Aku tersenyum. "Nggak ada angka 2 nya, Rom!" Aku menukas dengan cepat.

Romi nyengir sambil menggaruk kepalanya.

"Sama kayak Suster dong. Bagiku suster itu tidak ada duanya!" serunya penuh percaya diri.

Aku hanya bisa tersenyum. 'Wah, dasar kenthir! Untung ganteng. Eh, kebalik. Kasihan sekali wajah ganteng tapi berakhir di sini.' 

Aku menghela nafas panjang dan tersenyum. Lama-lama di rumah sakit ini, bisa ketularan geser semeter. Huft.

"Sus, mau kemana?" tanya pasien itu lagi saat aku mulai berdiri dan meninggalkan Romi untuk kembali ke ruang perawat. 

"Aku mau balik ke ruang perawat, Rom. Sekarang sudah waktunya pulang."

Wajah Romi mendadak mendung. "Jangan tinggalkan saya, Sus!"

"Kenapa? Kan besok dapat bertemu lagi denganku. Lagipula ada perawat lain yang akan menjagamu dan teman-teman kamu yang lainnya di sini kan?"

Romi terdiam sehingga aku hanya tersenyum dan menggeleng kan kepalaku lalu melanjutkan langkah. 

Namun sayang sekali, belum sempat aku melangkah lebih jauh, Romi memegang lengan bajuku. 

"Ada apa Rom?" tanyaku kembali menoleh ke arah pasienku yang berparas setengah bule itu. 

"Jangan pergi. Tanpamu aku butiran debu!" sahut Romi tertawa. 

Dan aku hanya bisa tertawa. 'Astaga, apa katanya tadi? Tanpamu aku butiran debu? Darimana dia belajar judul lagu itu?' batinku heran. 

***

"Suster Yuli, kita berjodoh loh!"

Lagi-lagi aku menghentikan langkahku yang hendak kembali ke ruang perawat setelah aku membagikan sarapan pagi pada keesokan harinya.

Aku membalikkan badan dan menghadap ke arah Romi yang cengengesan sambil memainkan ujung bajunya.

Aku berusaha tersenyum. "Kok kamu bisa tahu kita berjodoh?" tanyaku berusaha ramah untuk kesekian kali.

"Karena aku Romeo dan kamu Juliet!" jawabnya sambil tertawa.

Fix kenthir! 

Aku bergumam sambil menahan tawa. "Kamu keluar dari sini dulu, bekerja yang giat, beribadah yang rajin, baru mungkin kita bisa berjodoh, Rom." 

Mata Romi berbinar-binar seperti anak kecil yang baru saja mendapat permen.

"Benarkah Sus?" 

Aku mengangguk. 'Semoga saja PHP in pasien sakit jiwa dosanya tidak terlalu besar.'

"Asiikk, kalau gitu aku mau keluar dari sini dan bekerja biar bisa menikah dengan suster Yuli." 

Romi berseru sambil melompat dan mengepalkan tangannya. Seperti seseorang yang bereuforia karena jagoan sepakbolanya menang tanding.

Aku tersenyum dan mulai membalikkan badan lalu melangkah menjauhinya.

"Suster, tunggu!"

Aku menoleh dan melihat Romi sekali lagi. 

"Ya Rom?"

"Tahu nggak persamaan hubungan kita dengan ompol?"

Kali ini aku gagal menahan tawa, akhirnya aku tergelak di hadapan Romi.

"Suster cantik sekali kalau tertawa. Seperti adiknya bidadari," katanya polos.

Doweng! 

Aku langsung terdiam. 'Beh, digombalin pasien Rumah Sakit Jiwa. Nasib jomlo!'

"Emang persamaan hubungan kita sama ompol apaan Rom?" tak urung juga aku kepo dengan perkataannya.

"Persamaan hubungan kita dengan ompol adalah orang lain hanya bisa melihat celana kita yang basah, tapi hanya kita yang bisa merasakan kehangatannya," sahutnya dengan pipi merona sambil berlari menjauh meninggalkanku yang terbengong keheranan.

Elah digombalin lagi!

"Suster!" 

Aku menoleh ke arah asal suara saat baru saja keluar dari ruang perawat dengan membawa beberapa spuit untuk injeksi dan obat oral. 

Tampak Romi berlari-lari kecil menghampiri ku. Setangkai bunga bougenville warna ungu tergenggam di tangannya.

"Ya Rom?"

"Ini buat Suster!"

"Hm, terima kasih," sahutku menerima bunga yang telah diberikan Romi. 

Romi mengulurkan bunga yang dipegangnya lalu memberikannya padaku. 

Lelaki muda itu hanya cengengesan saja setelah bunga dari tangannya berpindah ke tanganku. 

"Sus," panggil Romi berusaha mensejajarkan langkahnya denganku. 

"Ya Rom? Ada apa?" tanyaku. 

Romi terdiam sejenak sambil berpikir seraya menghadap ke atas. 

"Coba tebak, kenapa aku kalau berpikir, pandangan mataku selalu menghadap ke atas?"

Aku berpikir sejenak, tanpa terasa sampai mengerutkan dahi.

"Enggak tahu. Memang kenapa, Rom?" 

"Karena kalau aku berpikir sambil memejamkan mata, yang terbayang justru wajahnya suster Yuli!" 

'Alamak! Cukup Roma! Eh, Romi! Terlalu sering kamu membuat hatiku kebat kebit karena gombalanmu itu!' seruku. Tentu saja hanya dalam hati. 

Karena pelaku yang menyebabkan hatiku kacau bagaikan meletuskan balon hijau telah lari dan kabur dengan tawanya yang berderai. 

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan langkahku menuju ke ruang perawat.

"Eh, kamu pernah merasa nggak kalau pasien atas nama Romi Alexander itu aneh?"

Nia, rekan sesama perawat yang sedang menulis laporan pasien menoleh saat aku baru saja duduk di kursi di sampingnya.

Nia mengerutkan keningnya. "Pasien yang ada di bangsal Bougenville?"

Aku mengangguk. "Iya. Romi yang bule itu. Dia aneh nggak sih menurut kamu?"

Nia memandang ku dengan serius laki tertawa. 

"Eh, sepertinya kamu deh yang aneh. Kenapa mendadak bertanya tentang Romi? Kamu suka ya padanya?" tanya Nia membuat hatiku berdebar. Namun sedapat mungkin aku menahan senyum yang hendak melebar saat mendengar tuduhan Nia. 

"Eng-gak! Siapa yang suka sama dia? Aku cuma tanya apa dia aneh? Soalnya ...,"

Aku menghentikan kalimatku. Aku bisa dianggap ikut gila kalau mengatakan bahwa Romi jago nggombal dan merayuku. 

Huft.

***

"Suster, mau ikut main?" tanya Romi ramah saat aku selesai memandikan pasien yang baru datang.

Aku melihat ke arah Romi yang sedang duduk di hadapan seorang gadis cilik dengan tatapan mata kosong. Beberapa tumpuk daun ada di hadapan mereka.

"Boleh. Mau main apa?" tanyaku sambil berjongkok diantara mereka. 

"Ini Sus, main duit-duitan. Aku punya uang banyak!" seru Romi sambil menggerakkan kedua tangannya membentuk lingkaran di udara.

"Wah iya, banyak ya uangnya."

Aku tersenyum pada Romi dan mengelus rambut gadis kecil di hadapanku.

"Ya sudah Sus, ini aku beri uangnya."

Romi mengulurkan beberapa daun padaku. Aku menerimanya dan tersenyum. 

"Maka ...sih."

Ucapanku terhenti saat melihat kertas putih menyembul dari daun yang kupegang.

"Sus, tolong baca saat sendirian dan jangan sampai tahu orang lain."

Romi berkata lirih sambil menggenggam daun dan surat yang ada di telapak tanganku.

Serta merta aku mendongakkan kepala seraya menatap matanya. Romi pun menatapku dengan serius lalu dia berbisik di telingaku.

"Saya mohon baca surat ini, karena hanya Suster yang mampu menolong saya."

Aku terdiam. Seolah terhipnotis sesaat. Tidak menyangka akan ada seorang pasien di sini yang berbuat seperti orang waras 

Apa dia benar-benar gil*? 

Aku mengangguk lalu berdiri dan melangkah meninggalkan Romi dan gadis itu. 

Sesekali aku menoleh ke belakang. Tampak Romi sibuk bercanda dengan gadis itu tanpa menoleh padaku. Seolah dia tidak pernah memberikan aku surat apapun.

Aneh!

***

Aku berjalan perlahan menuju kamar mandi khusus perawat. Dan sesampainya di sana, kubuka perlahan surat dari pasien tersebut. Dan seketika aku terkejut karena isinya adalah ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
dor64708
bagus nggak?! semoga suka ya buat yang baca...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status