Share

Suratan Takdir Sang Anak Paranormal
Suratan Takdir Sang Anak Paranormal
Penulis: anoen_27

Prolog

“Tak bisakah mereka menghargai keberadaanku?" ucap Angi. "Tak bisakah mereka menilaiku dengan cara yang lain?.” Menggumam suaranya di sudut sebuah kota yang ramai dan tak bersahabat. 

 

Sebuah kota tempat ia tinggal dan menghabiskan masa mudanya untuk mencari penghasilan. Sebuah kota yang memberikan harapan besar untuk seorang Angi. Kota harapan dan masa depan, Jakarta. 

 

Hiruk pikuk isi kehidupan Jakarta membuat Angi merenung tentang tujuan dan impian ia untuk melangkah dan berpijar di ibu kota ini. Keangkuhan ibu kota ini, kegaduhan kota raksasa ini membuatnya seperti semut yang kapan saja dan dimana saja bisa terinjak tak berbekas.

 

”Sungguh aku muak dengan kehidupan ini. Benar-benar tidak ada yang bisa aku harapkan dari semua ini,” ucapnya lagi. Angi merintih dan menangis di sudut jalan ibu kota dengan baju lusuh dan memegang erat lembaran-lembaran kertas bukti pengabdiannya bertahun-tahun di perguruan tinggi.

 

Tak lama hujan pun turun mengiringi kegelisahan dan keresahan hati Angi atas kejamnya kehidupan Jakarta. Lembaran-lembaran kertas itupun ternodai oleh hujan yang tak sabar ingin memeluk tubuh Angi. Percikan air dari trotoar pun jatuh bertubi-tubi dan tak bisa diredam. Percikan itu membuatnya sadar bahkan air pun tak bisa disentuh oleh bumi kota jahanam ini. Hujan ini hanya sekedar menyapa tanpa tau harus menyapa siapa dan berakhir dimana.

 

”Tuhaannnn…, apa lagi rencanamu? Aku sungguh tak bisa berharap apapun dari keadaanku saat ini,” menangis Angi dalam kesedihan ditemani sang hujan yang tak kunjung pergi. 

 

”Hujan, tolong sampaikan doaku kepada langit yang cerah bahwa aku sudah tak sanggup menanggung beban hidup seperti ini,” rintih Angi.

 

Rupanya hujan mendengar rintihan doa dari sang pejuang hidup ini. Hujan pun bergegas pergi dan memanggil sang langit cerah. Terlihat warna langit yang berubah menjadi cerah. Lembayung senja menghiasi langit ibu kota yang kotor nan lusuh. Nampak sang pelangi perlahan melingkari ibu kota raksasa ini. Pertanda bahwa hujan telah selesai melakukan tugasnya. 

 

Perlahan, mulai terlihat orang-orang berlalu lalang di sekitar tempatnya duduk. Mereka terlihat sangat takut sekali dengan hujan. Mereka bahkan tak suka dengan hadirnya hujan. Sungguh peradaban kota yang sangat unik.

 

Tapi di sebrang jalan raya ini, Angi melihat hal berbeda. Angi melihat sekumpulan anak kecil dengan pakaian seadanya dan tak terlihat apik sangat menikmati hujan yang turun ke bumi kota ini. Mereka seakan menunggu kehadiran hujan tersebut sejak lama. Mereka memuja bahkan memeluk erat air hujan tersebut. Mereka takjub dengan apa yang telah hujan berikan diatas langit kota yang keras ini. Seperti sebuah harta karun gratis ditengah kerasnya kehidupan.

 

”Aku tersenyum, ah iya akhirnya aku sadar aku bisa tersenyum,” berkata Angi dengan nada sedikit antusias.

 

Mendengar anak-anak tersebut bernyanyi hujan, Angi teringat masa kecilnya. Masa dimana tidak ada beban apapun kecuali PR dari sekolahnya. Angi teringat kala itu ia mulai berteman dengan hujan. Angi tak pernah menyentuh hujan sebelumnya karena orang tuanya selalu bilang hujan akan membuatmu basah dan jelek. Tetapi teman-temannya terlihat sangat senang dan berpesta dibawah hujan yang sedang turun lebat. Mereka seakan-akan sedang mendapat hadiah dari langit. 

 

Angi yang sedang berdiri di teras rumahnya memberanikan diri untuk menyentuh air yang jatuh dari atas genting. Angi mulai dengan memasang jemarinya dan membiarkannya basah. 

 

Angi berkata pada dirinya, ”basah sedikit tidak apa-apa."

 

Angi memulai lagi dengan membasahi kakinya. Angi membiarkan celana yang ia pakai ikut merasakan senangnya air hujan. Angi berpikir bahwa celananya sangat menerima keberadaan air hujan itu. Akhirnya, Angi memberanikan diri untuk membiarkan seluruh tubuhnya diselimuti hujan deras yang sedang turun di depan rumahnya. Angi tidak merasa basah dan jelek dibawah gemuruh hujan. Angi hanya merasakan bahagia seperti semua dosanya luntur terbawa oleh arus hujan.

 

”Angiiii.., masuk ke dalam!,” terdengar suara merdu yang sangat tidak asing di telinganya.

 

Angi. Begitu sapaannya. Mandala Wangi Permata nama terindah yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Angi anak kedua dari dua bersaudara. Orang tuanya tidak memiliki banyak harta tapi mereka selalu berkecukupan. Angi memiliki seorang kakak laki laki. Mereka berbeda 7 tahun. Raka itu nama kakaknya. Dia tak banyak berbicara pada Angi. Dia banyak melakukan kegiatan bersama bapak setiap harinya. Bapak Angi selalu berjuang keras agar emak selalu tersenyum saat bapak pulang. Angi senang kehidupan keluarganya berjalan dengan baik. 

 

Namun saat ini keadaannya sedang yang tidak baik. Semua tidak semudah yang dibayangkan saat sebelum Angi memutuskan pergi ke kota ini. Semua informasi yang ia dapat tentang kemewahan dan kejayaan kota ini menjadikannya berbinar tentang kehidupan yang lebih mapan. Angi memutuskan pergi ke kota ini dengan persiapan dan rencana yang begitu matang. Sayang, semua itu hanya rencana. Tuhan lebih tahu harus bagaimana dan dengan cara apa ia hidup.

 

Angi saat ini hanyalah seorang yang sedang duduk di sudut jalan kota Jakarta. Angi seperti kertas kosong tanpa nama dan tanpa pemilik. Ia tak pandai menyapa orang. Ia tak pandai tersenyum manis. Semua itu terasa berat baginya.

Banyak orang berjalan di depannya. Mereka terlihat seperti sama. Tidak ada penolakan dan pasrah. Udara pengap dan kotor adalah bukti kerja keras mereka terbayarkan dengan rupiah. Sayup-sayup suara rintihan kendaraan terdengar sudah tak kuat menahan panas dan beban di atas aspal ini. 

 

Angi mengangkat kepalanya dan melihat ke atas langit jingga ini berharap ia bisa melewati semua ini. Angi berdiri dari tempat lusuhnya dan mulai melangkah menuju rumah. Perjalanan menuju rumah terasa begitu jauh. Rasanya angi tak ingin cepat pulang. Begitu berat rasanya menjalani hidup dengan mandiri. Angi yang masih baru dan tak tahu apa-apa hanya bisa menerka dan berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.

 

“Akhirnya, aku tiba di tempat tinggal sementara ini. Senang rasanya bisa kembali kesini,” menggumam Angi saat membuka kedua sepatu pantofel hitamnya.

 

Segera angi membuka pintu yang terkunci dan masuk ke dalam ruangan yang gelap. Udara pengap dan panas mengelilingi setiap sudut ruangan. Dengan segera angi menyalakan lampu dan kipas angin sebagai pengupah rasa panas. Angi mengganti pakaiannya yang basah dan lusuh. Kemudian ia berbaring di atas tempat tidurnya. Angi memikirkan bagaimana rencana Tuhan esok hari. 

 

Kemudian, ia melihat handphone di tangannya sudah menunjukkan pukul 21.00 malam hari. Handphone yang sejak tadi ia bawa seharian tidak memberikan manfaat apapun. Ia hanya menatap layar dan memandangi wallpaper di handphone nya.

 

”Hari ini begitu melelahkan, bisakah besok lebih baik,” harap Angi sebelum ia tertidur.

 

Tak sadar dengan keadaannya yang sudah terlelap. Wallpaper handphone Angi masih menyala dengan kontras cahaya tinggi terlihat gambar abstrak di HP itu. Tak nampak jelas dan absurd.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status