Share

Bab 7: Teman Lama

 

Keesokan harinya aku terbangun masih dengan morning sickness yang luar biasa. Bolak-balik kamar mandi. Kebetulan memang di rumah bunda yang sederhana setiap kamar tidak memiliki toilet, tak seperti di rumah mas Juan.

Karena merasa lelah kuletakan bokong di kursi meja makan. Ternyata seperti ini rasanya mengidam yang sering para wanita bersuami keluhkan. Aku menelungkup kan wajah di atas meja dengan di topang kedua tangan.

Tubuhku rasanya lemas sekali, ditambah kepala pusing dan mual yang tiada berkesudahan.

“Minumlah, ini bisa mengurangi sedikit rasa mualmu,” kata bunda menyodorkan segelas teh lemon hangat dengan madu di hadapanku.

Aku mengangkat kepala, meraihnya lantas meminumnya perlahan. Benar saja, rasa mual sedikit berkurang, bunda memang terbaik.

Bunda tersenyum melihat perubahan raut wajahku yang terlihat lega. Mengelus kepala ini yang tak tertutup hijab saat di dalam rumah, karena tak ada pria yang buka mahram di sini.

“Hari ini kita ke Dokter ya?” ajak Bunda. Aku menatapnya lantas mengangguk seraya menyetujui ajakannya.

 Sepertinya memang bunda sangat menghawatirkan keadaanku yang mulai memprihatinkan. Bagaimana tidak semenjak di rumah aku jarang makan, nafsu makan hilang begitu saja. Entah karena memang bawaan hamil atau memang karena stres memikirkan nasib pernikahanku yang entah akan seperti apa ke depannya.

Mas Juan, aku benar-benar berharap ia segera menghubungiku. Entahlah, dari semalam aku sangat merindukannya, rindu dengan wangi parfumnya yang selalu menjadi canduku.

Namun, dadaku kembali perih, saat kembali teringat akan ucapannya yang mengatakan jika bayi yang aku kandung bukanlah anaknya.

Aku tahu mas Juan hanya terhasut oleh Mala dan temannya itu, tapi apakah semudah itu ia percaya jika ini bukan anaknya.

Bahkan jika harus melakukan tes DNA pun aku siap untuk membuktikan dalam kendunganku ini anak siapa.

“Jangan terlalu banyak melamun, apalagi stres. Ini makan dulu bubur ayam,” ucap bunda meletakkan semangkuk penganan terbuat dari beras itu.

“Makasih, Bun?” aku tersenyum kepadanya. Untunglah aku masih memiliki kedua orang tua yang sayang terhadapku. Jika tak ada mereka entah ke mana aku pergi.

***

“Jaga pola makanya, dan sebisa mungkin biasakan untuk makan. Walaupun mual setidaknya ada yang masuk, kasihan bayinya butuh nutrisi, dan satu lagi jangan stres,” ucap wanita berpakaian serba putih itu dengan name tag Winda.

Aku tersenyum mengiyakan apa yang ia sampaikan. Setelah selesai kami pun keluar dari ruangan serba putih itu. Kemudian menuju apotek untuk menebus vitamin yang Dokter resepkan tadi.

Memang benar aku butuh banyak makan, bayi dalam kandunganku membutuhkan nutrisi agar pertumbuhannya baik.

Jadi merasa bersalah pada janinku. Dua hari aku membuatnya kelaparan. Maafkan bunda sayang. Batinku, sembari mengelus perut yang masih rata.

Usai menebus obat aku dan bunda menuju pintu keluar. Namun, tak sengaja aku melihat seorang perempuan yang tak asing mengenakan kaca mata dan kerudung hitam, yang menutupi kepalanya.

“Bun, Laras mau makan batagor,” rengekku. Yang sebenarnya aku ingin mengikuti wanita tadi.

Jika bunda tahu aku ingin mengikuti perempuan yang kurasa mirip dengan Mala itu pasti tidak boleh. Apalagi dalam keadaan hamil begini.

“Ingat kata Dokter tadi, jaga pola makan, jangan sembarangan.” Bunda mengingatkan.

“Sekali saja Bun, habis itu Laras janji mau makan apa saja yang Bunda kasih. Ya, please,” mohonku meyakinkan bunda sambil menelungkup kan kedua telapak tangan di hadapannya.

“Dasar anak nakal.” Bunda tersenyum lalu mencubit hidungku. “Ayo kita cari di kantin sini saja!” ajak Bunda. Namun, aku menolaknya dengan alasan kaki pegal dan lelah.

Setelah kepergian bunda, aku berbalik menuju apotek dan mencari wanita yang kurasa itu adalah Mala. Karena aku hafal gerak-gerik tubuhnya saat berjalan.

“Ok, fix, itu Mala,” gumamku.

Perempuan itu terlihat tengah berbincang serius dengan apoteker di sana. Tak lama perempuan yang bertugas menjaga apotek itu menyodorkan sebuah bungkusan plastik yang kuyakini bahwa itu adalah obat. Tapi obat apa?

Tak lama Mala berbalik hendak meninggalkan tempat obat itu. Cepat aku berbalik, dan tak sengaja menabrak seorang pegawai rumah sakit tengah membawa troli yang berisi peralatan bedah.

Aku yakin semua mata tertuju padaku tak terkecuali Mala. Segera berjongkok pura-pura memungut peralatan di lantai seraya menyembunyikan wajah.

“Laras?” panggil seseorang dari belakang. Seketika tubuhku membeku sembari memejamkan mata.

 

"Kamu Laras, kan?" tanya seseorang. Dari suaranya sepertinya pria.

 

Aku berdiri, lantas menoleh menatapnya bingung, apa aku mengenalnya?

 

"Iya, kamu Laras, kan?" sekali lagi pria itu bertanya untuk memastikan.

 

"Iya, saya Laras. Maaf Anda siapa?" Aku masih belum bisa mengingat siapa pria di depanku ini.

 

"Ini aku David si kutu buku,” jawabnya, sembari melepas kaca mata hitamnya.

 

Aku terperangah, tak percaya melihat penampilan pria yang dulu pernah mengatakan suka padaku di depan ayah yang saat itu menjemput putrinya ini di sekolah, kini penampilannya berubah drastis.

 

Pantas saja aku tak mengenalinya, sekarang penampilannya berbeda sekali dengan David si cupu beberapa tahun lalu, yang suka memakai kemeja dan celana rompi serta kaca mata tebal.

 

"Kau sudah ingat?" tanyanya, membuyarkan lamunan dari masa lalu mengenainya dulu.

 

Aku mengangguk lantas tersenyum. “Apa kabar?”

 

“Aku baik, dan kau, bagaimana kabarmu juga?” David balik bertanya, kali ini tak ada wajah malu-malu seperti dulu. Pria itu benar-benar sudah banyak berubah.

 

"By The Way, kau sedang apa di sini? Apa ada yang sakit?" tanyanya kembali.

 

Aku menggeleng cepat. "Tidak, aku di sini la_" belum selesai aku menjawab suara bunda lebih dulu memanggil.

 

Wanita paru baya itu berjalan cepat menghampiriku sembari menenteng bungkusan plastik warna hitam yang sudah bisa kutebak isinya sudah pasti batagor yang kuminta tadi.

 

"Kamu ini ke mana saja, bunda cari-cari ternyata di sini!” omelnya.

 

"Iya, Laras minta maaf, Bun. Tadi enggak sengaja lihat Mala di apotek." Aku memasang wajah menyesal di hadapkannya, agar wanita yang melahirkanku itu tak lagi kesal.

 

Untuk saat ini aku belum sanggup mendengarkan pidatonya yang panjang kali lebar kali lebar dan kali panjang lagi, yang bisa membuat kepalaku kembali sakit.

 

"Mala?" timpal David. Aku lupa jika pria itu masih berada di sini.

 

Aku dan bunda menoleh padanya. "Kau siapa?" tanya bunda, mengerutkan kening.

 

"Saya David teman SMA-nya Laras.” Pria yang mengenakan kemeja putih itu menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.

 

"Saya Amira, ibunya Laras.” Bunda juga memperkenalkan diri. "Baiklah, Laras ayo kita pulang!" Lanjutnya kemudian.

 

"Biar saya antar!" sahut David cepat. Pria itu tersenyum ramah pada bunda.

 

Bunda menatapku. Wanita itu memberikan kode dengan sedikit menggelengkan kepalanya, kalau ia tak setuju diantar oleh orang asing.

 

"Terima kasih Vid, tapi kami sudah memesa taksi Online." Aku menolak secara halus, agar ia tak tersinggung.

 

"Oh, ya sudah, lain kali jika kita bertemu lagi, aku akan mengajakmu minum kopi, dan tak ada penolakan,” katanya. Untuk menghormatinya aku mengangguk tersenyum ramah.

 

“Laras, tunggu!” panggil David, saat aku dan bunda hendak beranjak.

 

Aku dan bunda berbalik kembali. “Iya?”

 

“Boleh minta nomormu?” pintanya terlihat sungkan. Lantas ia merogoh kantung celana bahannya. Mengeluarkan Handphone dan menyodorkan benda pipih itu ke hadapanku.

 

Bunda menyikut lenganku. Seraya  memberi kode agar aku tak memberikan nomor teleponku pada David. Namun, aku tak menggubrisnya—tetap meraih benda pintar itu dari tangan David.

 

Sebenarnya aku tak ingin memberikan nomorku, tapi mengingat tadi pria yang terkenal cupu di kelasku itu dulu sempat kaget mendengar kami menyebut nama Mala.

 

Aku jadi penasaran, apa David mengenal perempuan licik itu? Setahuku angkatan sekolah kami dulu tidak ada wanita bernama Mala.

 

“Ini.” Aku mengembalikan Handphone miliknya usai mengetikkan dua belas digit nomorku di sana.

 

Ia tersenyum. “Thanks, Ya?”

 

“Sama-sa_” belum selesai aku membalas ucapan hi David, bunda lebih dulu menarik lenganku, untuk segera pulang.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status