Share

Part 2

Mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang diimpit batu besar lalu membuangnya secara perlahan. Lekas menghapus air mata yang terus saja memburai membasahi pipi, mengayunkan kaki menghampiri si bungsu kemudian tersenyum kepadanya.

“Ada apa, Bun? Kok muka Bunda kelihatan sembab? Bunda menangis?” Dua bulat bening milik Zafir terus terpantik ke wajah.

“Nggak kok, Dek. Mana mungkin Bunda menangis, memangnya Bunda anak kecil?” elakku, tetap berusaha menerbitkan senyuman kepada remaja berusia delapan belas tahun itu.

“Tapi mata Bunda kelihatan memerah, wajah Bunda juga sembab?”

“Bunda enggak apa-apa. Ayo kita pulang. Ayah kamu katanya sudah sampai di rumah!”

Zafir mengangguk patuh lalu memakaikan helm di kepalaku. Dia memang selalu bersikap manis kepadaku, persis seperti Mas Abi.

“Pegangan, ya Bun. Soalnya aku paling merasa nyaman kalau dipeluk sama Bunda!” perintahnya, dan aku segera mencubit pinggang jagoanku yang telah beranjak remaja namun masih selalu berperilaku manja.

“Mampir ke mamang martabak langganan, ya Dek? Bunda lagi kepingin martabak soalnya!” titahku, sengaja mengulur waktu agar Mas Abi sampai di rumah terlebih dahulu.

Jarak antara rumah kami dengan kediaman Elfira memang lumayan cukup jauh, dan pasti Zafir akan curiga kalau ayahnya belum ada ketika kami berdua sampai di rumah.

Untuk sementara aku ingin merahasiakan masalah ini dari anak-anak, sebab saat ini Zafir sedang mengikuti ujian kelulusan, khawatir mengganggu konsentrasinya belajar.

Lagian, semua yang dikatakan Sabrina belum tentu benar adanya, karena setahuku Mas Abi bukan tipe laki-laki seperti itu.

Tapi anak kecil seperti dia tidak mungkin mengarang cerita, apalagi sampai mengatakan kalau Elfira dan Mas Abi sama-sama tidak berbusana di bawah selimut yang sama.

Astagfirullah ....

Aku benar-benar merasa dilema saat ini. Mau percaya kepada Sabrina takut menimbulkan prasangka, berusaha mengelak pun hati kecil ini seakan telah meyakini semua yang dikatakan olehnya.

Memang jika dipikir-pikir, selama ini banyak sekali perubahan yang selalu Mas Abi tunjukkan. Dia yang selalu cuek dengan penampilan mulai suka berdandan, selalu menggunakan wangi-wangian ketika pergi ke restoran. Tidak lupa juga ia menyemir rambutnya yang sudah ditumbuhi uban, sehingga penampilannya terlihat lebih muda dari biasanya.

Tetapi, ya Allah. Aku nggak berpikir kalau dia akan membagi cinta kepada wanita lain, sebab kami sudah hidup bersama hingga pernikahan kami melewati perkawinan perak, dan yang membuat diri ini selalu percaya serta yakin kalau Mas Abi seorang pria setia dia itu selalu memperlakukan aku selayaknya ratu juga sosok pria yang begitu taat menjalankan segala perintah-Nya.

“Bun, ponselnya bunyi!” ucap Zafir, mengusap pelan lenganku namun mampu membuat diri ini berjingkat kaget.

Aku menatap layar ponsel yang tengah berkedip, terlihat nama Mas Abi terpampang di sana.

Karena tidak mau membuat si bungsu semakin curiga aku segera menggeser tombol hijau, menyapa suami dengan salam serta intonasi lembut seperti biasanya.

“Bunda di mana? Ayah sudah sampai rumah tapi Bunda sama Zafir nggak ada?” tanya suami setelah menjawab salam dariku.

“Bunda lagi beli martabak!” jawabku singkat, karena mendadak suaraku tercekat di kerongkongan.

“Ayah susul ya, Bun?”

“Tidak usah. Sebentar lagi saya pulang!”

“Bunda kenapa sih?”

“Nanti kita lanjut bicara di rumah, ya Yah. Ini martabaknya sudah jadi soalnya. Assalamualaikum!” Menggeser tombol merah tanpa menunggu suami menjawab salam dariku.

Zafir sudah berdiri di sebelahku sambil menenteng sekotak terang bulan di tangan, merangkul pundak ini lalu membimbingku menuju parkiran.

Mas Abi sudah menunggu di kursi teras ketika kami sampai, dan seperti biasanya aku segera menyalami tangan pria itu disambut kecupan hangat di kening.

“Bun, tadi Ayah ....”

“Maaf, Ayah. Sebaiknya kita bicaranya nanti saja!” potongku, sebab ada Zafir diantara kami. Ini kali pertamanya aku menyela ucapan suami, karena di dalam keluarga ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai akidah sesuai apa yang selalu diajarkan oleh Mas Abi.

Menit berikutnya Zafran keluar lalu mencomot terang bulan yang sudah aku buka, duduk bersila di lantai sambil bercanda dengan adik bungsunya.

Perasaan sedih kembali memenuhi rongga dada ketika melihat dua buah hati kami. Apa yang harus aku lakukan jika Mas Abi benar-benar telah membagi hati?

“Bunda melamun terus sih?” tegur Zafir sambil menatapku.

“Bunda tidak melamun, Sayang. Bunda sedang menikmati wajah tampan kalian berdua. Teruslah menjadi anak yang saleh dan taat beribadah, ya Sayang!” Mengusap kepala Zafir, lalu bergantian ke kepala Zafran agar tidak merasa iri melihat adiknya yang masih dimanja.

“Aamiin. Omong-omong, Ayah sama anak-anak gantengan siapa, Bun?” Lagi-lagi Mas Abi menggoda, mengerling nakal seperti biasanya. Hambar, itu yang aku rasakan saat ini.

Baru satu saja kebohongan Mas Abi yang terbongkar membuatku seperti ini, bagaimana jika apa yang Sabrina katakan memang benar adanya?

Allahu Akbar ... tolong jauhkan hati ini dari segala prasangka, biarkan kekhawatiranku memudar dan kembali mempercayai bahwa Mas Abi sosok suami yang setia.

“Ayah sama anak-anak gantengan siapa, Bun?” Mas Abi mengulangi pertanyaannya.

Aku hanya merespons dengan senyum dipaksakan, lalu pamit masuk dengan alasan kurang enak badan, berharap Mas Abi mengikuti lalu kami bisa membahas masalah ini di dalam kamar.

Meringkuk di atas kasur, perlahan air mata kembali lolos dari sudut netra, membentuk peta tidak beraturan di bantal.

Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu terbuka, seiring derap langkah kaki mendekat, dan bisa kurasakan kalau saat ini suami mulai menaiki tempat peraduan kami.

“Sayang, kamu kenapa? Ada masalah apa?” bisik Mas Abi sambil melingkarkan tangan di pinggang.

Aku segera memutar badan, menatap wajah suami dalam keremangan dan entah mengapa ada yang tercabik-cabik kala melihat sorot mata lelaki di hadapanku.

“Kamu kenapa tadi berbohong, Mas?” tanyaku tanpa melepas pandang dari wajahnya.

“Maaf, Ayah tidak bermaksud berbohong. Ayah tadi pergi ke suatu tempat yang mungkin akan membuat Bunda khawatir, jadi Ayah memilih untuk sedikit berbohong!” sahutnya, membuang pandang ke arah lain seperti enggan membalas tatapanku. Lebih tepatnya khawatir kebohongannya terbaca.

“Ke mana?”

“Ke suatu tempat. Suatu saat Ayah pasti memberitahu!”

“Rumah Elfira?”

Spontan Mas Abi kembali menatap wajah ini.

“Kenapa Bunda bertanya seperti itu?” Nada suaranya kini mulai terdengar bergetar.

“Sudah berapa kali Mas datang ke rumah Fira tanpa saya?” Dengan susah payah mengeja kata, karena bibir ini mendadak kelu dan suara seakan tertahan di tenggorokan.

“Bun, Ayah tidak pernah ke sana kalau nggak sama Bunda, karena Ayah tahu batasan.”

“Bagaimanapun dengan permainan petak umpet yang kalian mainkan? Di bawah selimut, tanpa pakaian?”

Rasanya hati ini seperti ingin meledak kala kata tersebut terlontar. Hancur, remuk redam hingga terberai berantakan.

“Astagfirullah, Bun? Pertanyaan macam apa yang Bunda lontarkan? Apa Bunda sudah tidak percaya lagi sama Ayah?” Dia mengusap pipiku, dan telapak tangannya terasa begitu dingin.

“Sudah berapa kali kalian melakukannya, Mas?!”

“Bun?”

“Jawab dengan jujur. Sudah berapa kali kalian melakukannya?!” Walaupun rasa emosi kian membumbung tinggi aku masih berusaha untuk mengontrolnya agar tidak meledak-ledak apalagi jika sampai anak-anak mendengar pertengkaran kami.

“Apa Bunda meragukan kesetiaan Ayah?”

“Iya. Tadi siang Sabrina bercerita tentang apa yang kalian lakukan di sana!”

“Hanya celoteh anak kecil terus kamu percaya begitu saja?!”

“Justru karena Sabrina yang mengatakannya makanya saya percaya, Mas!”

Terdengar suara helaan nafas panjang dari mulut suami.

“Tolong percaya sama Ayah, Bun?”

“Apa kamu bisa bersumpah atas nama Allah kalau kamu tidak melakukannya, Mas?!”

“Bunda, please. Ayah mohon. Kita ini sudah sama-sama tua, jadi Bunda tidak usah berpikir yang tidak-tidak ke Ayah.”

“Apa kamu bisa bersumpah atas nama Allah kalau kamu tidak melakukannya, Mas?!” Mengulangi pertanyaan, dan lagi-lagi Mas Abi malah membuang pandangan.

“Ayah tidak bisa melakukannya, Bunda. Ayah nggak bisa!”

“Karena Ayah memang melakukannya kan?”

“Sepertinya Bunda terlalu lelah karena seharian mengurus rumah. Besok kita jalan-jalan yuk! Quality time.” Dia menggenggam jemari tanganku, akan tetapi dengan cepat aku mengelak, menghindari sentuhannya.

“Apa kurangnya saya selama ini, Mas? Kenapa kamu mematahkan kepercayaan saya?” Terus menuntut jawaban darinya.

“Terserah Bunda mau percaya apa tidak, yang pasti Ayah tidak melakukan hal sehina itu!” Dia beranjak dari petiduran, mengayunkan kaki keluar dari kamar lalu menutup pintu perlahan meninggalkan aku dalam selimut kehancuran.

Astaghfirullahaladzim ....

Aku mengucap istigfar berkali-kali, mencoba memejamkan mata agar lara yang tengah mendera perlahan sirna. Aku juga berharap semua ini hanya mimpi, dan ketika mata ini kembali terbuka semuanya dalam keadaan baik-baik saja.

Samar-samar terdengar suara sang muazin mengumandangkan salawat tarhim. Aku memutar badan, mengusap permukaan seprai kosong di sebelahku dengan perasaan terluka.

Entah berapa lama mata ini telah terpejam, mungkin karena lelah setelah menangis hampir semalaman membuat kepala terasa berdenyut nyeri seperti ini.

Pelan-pelan aku turun dari petiduran lalu segera membasuh badan, kembali menitikkan air mata kala ucapan Sabrina lagi-lagi terngiang di telinga.

Gegas menggelar sajadah setelah iqamah, bertafakur diri, memohon ampunan kepada Illahi Rabbi serta meminta agar Allah senantiasa menguatkan hati ini.

Mungkin selama ini sembah sujudku belum cukup khusyuk, terlalu terlena dengan cintaku kepada seorang manusia sehingga Allah memberikan cobaan yang begitu berat, membuktikan kepadaku bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal abadi, termasuk cinta Mas Abi.

Melepas pakaian salat, berdiri cukup lama di depan cermin menatap pantulan wajah yang terlihat sembab serta kuyu.

Apa yang harus aku katakan jika anak-anak bertanya?

“Bun!” Terdengar suara berat Zafran memanggil namaku.

Buru-buru mengikat rambut, membuka pintu untuk putraku lalu tersenyum kepadanya.

“Bunda menangis?” tanya Zafran, menatap khawatir ke arahku.

“Bunda kangen Kumpi, makanya Bunda menangis. Ah, jadi malu sama kamu!”

“Besok kalau saya libur kuliah saya antar Bunda ke Bekasi, berziarah ke makam kumpi!”

“Terima kasih, Sayang. Omong-omong, ada apa pagi-pagi nyariin Bunda?”

“Nggak ada apa-apa, Bun. Mendadak perasaan saya tidak enak dan terus memikirkan Bunda, eh, ternyata Bunda lagi nangis karena kangen Kumpi!”

Tanganku terulur, mengusap lembut pipi anak keduaku. Dia memang begitu perhatian, ikatan batin antara kami terasa begitu kuat sejak ia masih kecil hingga sekarang tubuhnya sudah lebih tinggi dari ayahnya.

“Yasudah, sekarang sebaiknya kita sarapan!” ajakku kemudian, dan ketika berjalan menuju meja makan Mas Abi serta Zafir sudah menunggu di sana.

Ah, saat ini rasanya malas sekali bersitatap dengan suami, namun jika sengaja menghindar anak-anak pasti akan curiga. Aku pun tetap bersikap biasa, terlihat ceria walaupun nyatanya hati dalam mode terluka.

Zafir sudah berangkat ke sekolah, sementara Zafran telah berangkat kuliah. Kini tinggal Mas Abi yang sudah bersiap pergi ke restoran, menghampiri diriku yang sedang membersihkan daun-daun kering di taman.

“Ayah berangkat, Bun. Tolong jangan bersikap kekanak-kanakan. Jangan berprasangka buruk terhadap saya dan Elfira, sebab kami tidak melakukan hal yang kamu tuduhkan!” pamitnya sambil mengecup puncak kepalaku seperti biasanya.

“Kalau Mas tidak melakukannya kenapa tidak mau bersumpah?” Pertanyaan yang sama masih terlontar dari mulut ini.

“Sudahlah, masih pagi. Saya sedang malas berdebat!” Mas Abi mengayunkan kaki menjauh, seperti sengaja menghindari pertanyaan lanjutan yang akan aku ajukan.

Aku menghela napas panjang, terus menatap punggung suami yang kini telah menghilang di balik pintu mobil.

[Assalamualaikum, Mbak, Bapak sudah sampai belum? Soalnya ada barang Bapak yang tertinggal]

Satu jam setelah keberangkatan Mas Abi aku sengaja mengirimkan pesan kepada Revi pegawai kami.

[Belum, Bu.] jawabnya.

[Kalau Dek Fira sudah sampai?]

[Kayaknya dia absen hari ini, soalnya masih sakit.]

[Oke, terima kasih, Mbak.]

Aku menggenggam ponsel, meletakkannya di dada karena degub jantung kembali mengentak tidak karuan. Aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah Elfira, ingin memastikan apakah suamiku datang ke sana supaya hati tidak terus menerus diselimuti oleh prasangka.

Mobil yang kukemudikan perlahan memasuki perumahan tempat Elfira tinggal. Semakin dekat dengan kediamannya, semakin berdebar pula rasa di dalam dada.

Aku sengaja menepikan mobil sedikit jauh dari parkiran rumah wanita itu. Sambil mengucap basmalah terus mengatur napas serta degup jantung, mengetuk pintu rumah Elfira perlahan tanpa mengucapkan salam. Sepi, tidak ada sahutan sama sekali.

Hingga lima belas menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kalau dia berada di dalamnya.

Sebenarnya ke mana Elfira? Dia tidak masuk bekerja, sementara Mas Abi juga belum sampai di restoran. Apa mereka pergi bersama?

Deru mobil terdengar mendekat ke arah rumah Elfira. Aku begitu mengenal suaranya, lalu memilih bersembunyi di samping rumah agar mereka tidak melihatku berada di tempat ini.

Menit berikutnya Mas Abi keluar, lalu mengitari moncong mobilnya dan membukakan pintu untuk istri mendiang sahabatnya.

“Hati-hati, Sayang. Apa perlu Mas gendong?”

Tungkai ini mendadak terasa lemas mendengar Mas Abi memanggilnya sayang. Bumi tempatku berpijak seakan berhenti berputar, sementara langit terasa runtuh menimpa seluruh tubuh.

“Mas Abi!” panggilku seraya keluar dari persembunyian, membuat mata suami serta perempuan di sebelahnya membelalak hingga hampir lepas dari kelopak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status