Hari ini, aku datang menjenguk Elfira sekaligus membawakan makanan kesukaannya.
Kupandangi dari kejauhan wajah cantiknya, karena semenjak menjadi pasien rumah sakit jiwa dia selalu berpenampilan rapi, selalu memoles wajahnya dengan make-up dan kata dokter yang menangani dia selalu mengatakan kalau saat ini sedang menunggu aku pulang dari restoran.“Kalau menurut saran dan pendapat saya, Pak. Sebaiknya Bapak merujuk Ibu, siapa tahu dengan cara kembali hidup bersama Bapak beliau memiliki semangat hidup, karena obat penyakit jiwa yang sesungguhnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Soalnya kalau saya perhatikan, Ibu itu sangat mencintai Bapak, sementara Bapak setiap membesuk saja selalu bersembunyi, tidak mau menemui Ibu dengan alasan trauma dianiaya. Padahal, bisa jadi jika Bapak melakukan pendekatan, membantu kami tim medis untuk mengobatinya mungkin penyakit Bu Elfira tidak akan separah sekarang,” ujar dokter panjang lebar ketika aku hendak pamit setelah sPOV Hanina.“Fran, coba kamu lihat ke depan. Ayah sudah sampai apa belum?” Aku meminta anak keduaku untuk mencari Mas Abi di antara para tamu yang datang, karena sebentar lagi rombongan akan berangkat menuju rumah Pak Sadewa untuk melamar Safania putrinya.“Iya, Bun.” Zafran yang sudah terlihat gagah dengan kemeja berwarna abu-abu segera mengayunkan kaki ke depan, akan tetapi katanya tidak melihat sang ayah dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya.Aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi nomor mantan suami malah sedang berada di luar jangkauan.Apa dia lupa kalau hari ini aku mengundangnya datang untuk mendampingi sang anak melamar pujaan hatinya?“Abi belum datang, Mbak?” tanya Mas Rendi sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Belum, Mas. Nomornya juga enggak aktif,” jawabku.“Ke mana dia kira-kira. Tapi Mbak Hanina udah kasih tahu kalau hari ini ada acara kan?” tanyanya lagi.
Dua hari sudah berlalu setelah acara pertunangan Zafran dengan Safania, dan sekarang mereka sudah mulai mencicil barang-barang yang akan dijadikan seserahan.Sebagai seorang ibu aku menyarankan supaya Zafran membawa calon istrinya saat berbelanja barang yang akan dibawanya nanti, supaya menyesuaikan selera Safania dan tidak salah beli. Takut mubazir jika hanya kami yang berbelanja.“Calon istrinya Zafran cantik banget, ya Bunda Zarina. Anak orang kaya tapi kelihatan kalem, sopan, juga kelihatan sayang banget sama Bunda Zarina,” komentar salah seorang tetangga ketika tanpa sengaja bertemu di warung sayur.“Alhamdulillah, Bu. Doain ya, semoga pernikahan mereka berdua lancar nantinya. Jangan lupa juga nanti pada ikut ngebesan,” jawabku sambil mengukir senyum.“Iya. Omong-omong tapi kok Pak Abi nggak ikut nganter ya? Padahal kemarin sebelum kita jalan beliau ada loh, malah nanya ke saya ada acara apa, saya jawab ada acara lamaran, tapi habis itu
Aku menatap lekat wajah Zafran yang tengah berdiri di sebelahku.“Maaf, Dokter. Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan ini, karena saya yakin kalau ayah saya masih bisa sembuh,” tolak anakku kemudian.“Untuk masalah itu terserah Mas dan Ibu, karena keputusan mutlak ada di tangan kalian,” kata dokter lagi. “Tapi sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan supaya Bapak ditunggui, minimal oleh putra-putrinya jika memang beliau sudah bercerai dengan Ibu, karena di saat seperti ini Bapak juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat. Dan jika pun beliau tidak panjang umur, beliau akan merasa bahagia karena ketika sedang sakaratul maut semua anaknya mendampingi dan mendoakan beliau,” imbuhnya, benar-benar mengena di hati.Sepertinya aku harus terus berusaha membujuk Zarina dan Zafir untuk menjenguk ayahnya, sebab takut kalau Mas Abi memang sudah hendak pergi, hanya saja merasa berat karena sedang menunggu mereka berdua.“Ya sudah, kalau
Esok harinya, aku kembali datang ke rumah sakit menyusul Zafran yang sejak kemarin masih setia menunggui Mas Abi, ditemani oleh Safania, karena aku berniat mengenalkan dia dengan calon ayah mertuanya sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu setelah melihat calon menantunya Mas Abi bisa memiliki semangat hidup kembali.“Tadi dokter baru saja memeriksa, dan kata dokter keadaan Ayah semakin bertambah parah, Bun. Dokter juga sudah angkat tangan,” ujar Zafran ketika aku baru saja sampai.“Innalillahi, ya Allah. Terus, apa kata dokter lagi?” tanyaku.“Tidak ada. Dokter hanya menyuruh kita untuk terus berdoa supaya ada keajaiban dari Allah,” jawab anakku, membuat dada ini terasa semakin sesak karenanya.Kupandangi wajah pucat Mas Abi, ekspresinya terlihat begitu sedih juga kelelahan.“Mas, saya minta maaf karena belum berhasil membuat anak-anak datang ke sini menjenguk Mas Abi. Tetapi lihat, saya bawa calon menantu kita. Namanya Safania. Dia adalah ca
"Tante! Tante! Kemarin kan Om Abi main ke rumah aku loh? Kami main petak umpet, tapi Om sama Mama aku ngumpetnya di dalam kamar, ditutup selimut, dan pas aku masuk Om Abi sama Mama lagi nggak pake baju. Seru deh!" celoteh Sabrina, putri semata wayang Elfira, istri mendiang Mas Restu sahabat suamiku.Dadaku berdebar tidak karuan mendengar pengakuan bocah berusia lima tahun itu, dan mendadak rasa curiga memenuhi rongga dada, khawatir kalau Mas Abi diam-diam telah mengkhianati pernikahan kami yang sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun itu."Mama dan Om nggak pake baju?" Aku bertanya seraya menatap wajah polos gadis kecil itu."Iya, Mama sama Om Abi sampai keringetan, katanya capek!" jawabnya lagi, dengan mimik polos selayaknya anak kecil ketika sedang bercerita kepada temannya.Aku memang sering membawa Sabrina pulang ke rumah karena selalu merasa kesepian jika putra kedua dan ketigaku sudah berangkat ke sekolah, sementara Zarina putri sulung kami sudah berumah tangga, bahkan saa
Mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang diimpit batu besar lalu membuangnya secara perlahan. Lekas menghapus air mata yang terus saja memburai membasahi pipi, mengayunkan kaki menghampiri si bungsu kemudian tersenyum kepadanya.“Ada apa, Bun? Kok muka Bunda kelihatan sembab? Bunda menangis?” Dua bulat bening milik Zafir terus terpantik ke wajah. “Nggak kok, Dek. Mana mungkin Bunda menangis, memangnya Bunda anak kecil?” elakku, tetap berusaha menerbitkan senyuman kepada remaja berusia delapan belas tahun itu.“Tapi mata Bunda kelihatan memerah, wajah Bunda juga sembab?”“Bunda enggak apa-apa. Ayo kita pulang. Ayah kamu katanya sudah sampai di rumah!” Zafir mengangguk patuh lalu memakaikan helm di kepalaku. Dia memang selalu bersikap manis kepadaku, persis seperti Mas Abi. “Pegangan, ya Bun. Soalnya aku paling merasa nyaman kalau dipeluk sama Bunda!” perintahnya, dan aku segera mencubit pinggang jagoanku yang telah beranjak remaja namun masih selalu
“Mas Abi!” panggilku seraya keluar dari persembunyian, membuat mata suami serta perempuan di sebelahnya membelalak hingga hampir lepas dari kelopak.“Bu—nda?” gagap pria itu, segera menjauhkan tangannya yang tengah menggenggam jemari Elfira.“Jadi benar kalau selama ini kalian berdua memiliki hubungan spesial?” Menatap tajam wajah mereka berdua.“Semua tidak seperti yang kamu lihat, Bun. Ayah bisa jelaskan semuanya!” Dia berjalan menghampiri, mencoba meraih tangan ini namun aku segera menepisnya.“Apanya yang mau dijelaskan, Mas. Semua sudah terpampang nyata, kalau kalian berdua telah bermain di belakangku, mengkhianati aku!”“Mbak, aku bisa jelaskan. Aku sama Mas Abi memang tidak memiliki hubungan apa-apa, Mbak. Mbak jangan salah sangka!” Kini wanita perebut suami orang itu ikut bicara.Aku mengangkat satu ujung bibir, sedikit mendongak menahan genangan air mata agar tidak luruh di hadapan mereka. Namun sekuat apa pun diri ini menahan, bulir-bulir bening tersebut tetap merembes melew
"Ini maksudnya apa, Mbak? Hutang? Mas Abi punya banyak hutang?" Tanpa disangka Elfira mengejar hingga ke dapur, menanyakan kebenaran dari apa yang baru saja aku katakan.Aku menoleh sambil tersenyum, lalu menatap wajahnya yang terlihat semakin memucat dengan perasaan tidak karuan.Ingin rasanya menjambak rambutnya, mencakar wajahnya, lalu membanting tubuhnya ke lantai, namun enggan mau melakukan sebab itu termasuk kekerasan. Aku tidak mau menghabiskan banyak waktu di persidangan, apalagi jika harus mendekam di balik jeruji besi karena apa yang telah aku lakukan. Biar tangan Allah saja yang bekerja, dan aku sebagai hamba cukup meminta keadilan atas apa yang sudah Mas Abi dan Elfira lakukan."Kenapa? Kamu nggak nyangka ya kalau Mas Abi punya hutang? Banyak, Dek. Banyak sekali. Nanti juga kamu tahu siapa saja yang bakalan nagih ke dia, karena mulai detik ini saya sudah tidak mau lagi ikut mengurus masalahnya. Pusing kepala saya karena harus membagi penghasilan restoran untuk membayar hut