Share

Part 3

“Mas Abi!” panggilku seraya keluar dari persembunyian, membuat mata suami serta perempuan di sebelahnya membelalak hingga hampir lepas dari kelopak.

“Bu—nda?” gagap pria itu, segera menjauhkan tangannya yang tengah menggenggam jemari Elfira.

“Jadi benar kalau selama ini kalian berdua memiliki hubungan spesial?” Menatap tajam wajah mereka berdua.

“Semua tidak seperti yang kamu lihat, Bun. Ayah bisa jelaskan semuanya!” Dia berjalan menghampiri, mencoba meraih tangan ini namun aku segera menepisnya.

“Apanya yang mau dijelaskan, Mas. Semua sudah terpampang nyata, kalau kalian berdua telah bermain di belakangku, mengkhianati aku!”

“Mbak, aku bisa jelaskan. Aku sama Mas Abi memang tidak memiliki hubungan apa-apa, Mbak. Mbak jangan salah sangka!” Kini wanita perebut suami orang itu ikut bicara.

Aku mengangkat satu ujung bibir, sedikit mendongak menahan genangan air mata agar tidak luruh di hadapan mereka. Namun sekuat apa pun diri ini menahan, bulir-bulir bening tersebut tetap merembes melewati pipi, jatuh ke dada di mana di dalamnya terdapat sebongkah daging yang sedang terluka.

“Salah sangka? Sudah jelas-jelas Mas Abi memanggil kamu dengan sebutan sayang kalian masih mengatakan kalau saya salah sangka?!” Sedikit meninggikan nada bicara, tidak peduli dengan para tetangga yang satu persatu mulai keluar karena mendengar kegaduhan di halaman rumah Elfira.

“Bunda tolong dengerin dulu. Ayah tadi panggil sayang ke Sabrina, bukan ke Elfira!” sangkal Mas Abi, belum mau mengakui.

“Saya tidak tuli, Mas. Lagian jelas-jelas di dalam mobil hanya ada kalian berdua kan?”

“Kita bicarakan di dalam yuk? Soalnya di luar banyak tetangga yang melihat, nanti mereka langsung berprasangka buruk ke Fira, Bunda. Ayah mohon tenangkan hati, baca istigfar supaya Bunda bisa mengontrol emosi. Ayo, Sayang kita masuk ke dalam rumah!” bujuknya, terus menoleh ke kanan juga kiri, merasa begitu khawatir kalau hubungan haram mereka menjadi buah bibir para tetangga.

“Biar saja tetangga tahu siapa Elfira sebenarnya, agar mereka bisa antisipasi, supaya para suami-suami di sini tidak tergoda oleh bujuk rayunya!”

“Mbak Hanin tolong berhenti. Jangan buat aku malu di hadapan orang-orang!” pekik wanita itu sambil menutup telinga kemudian berjalan setengah berlari masuk ke dalam rumahnya.

“Kamu benar-benar sudah keterlaluan, Bunda. Selain mempermalukan Fira kamu juga sudah menjatuhkan harga diri Ayah!” tudingnya, malah menyalahkan aku atas masalah ini.

Mereka yang berselingkuh, akan tetapi malah aku yang disalahkan. Dasar playing victim.

“Sekarang sebaiknya kamu pulang, nanti kita bicarakan masalah ini di rumah. Kamu tahu kan kalau Restu itu mengamanahkan istri serta anaknya ke saya?!” usir Mas Abi, menatap murka.

“Diamanahi bukan berarti harus ditidur* juga kan, Mas?” Membalas pindaian laki-laki yang selama ini begitu aku cintai, yang telah menancapkan duri beracun tepat di dalam relung hati.

“Kamu bisa diam nggak, Hanin. Bisa nggak kamu jaga bicara kamu sedikit saja dan hargai saya sebagai seorang suami?!” bentaknya. Ini kali pertamanya ia meninggikan nada bicara kepadaku, karena selama lebih dari dua puluh lima tahun bersama Mas Abi selalu lemah lembut dalam bertutur kata, tidak pernah berkata dengan nada meninggi apalagi sampai menyakiti hati ini.

Air mata lolos begitu saja, seiring dengan rasa sesak yang kian memenuhi rongga dada. Aku tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini dari suami, dibentak di depan semua orang hanya karena ingin membela wanita yang baru beberapa tahun dikenalnya.

“Astagfirullah, saya minta maaf, Bun. Maafin Ayah!” Jemari kekar pria itu terulur, hendak mengusap air mata yang mengalir semakin deras namun aku segera memalingkan muka menghindari sentuhannya.

Dengan hati kecewa kuayunkan langkah, berjalan terhuyung meninggalkan pekarangan rumah Elfira sambil merema* dada sendiri, merasakan pedihnya tikaman-tikaman luka di dalam sanubari.

Allahu Akbar ....

Menekan tombol buka di remote control, aku segera menarik tuas pintu, masuk ke dalam mobil lalu menyandarkan kepala di penopang kursi sambil menangis meluapkan semua lara yang tengah menggerogoti jiwa.

Tidak lama kemudian terdengar kaca mobil diketuk, akan tetapi aku sengaja mengabaikan lalu segera melajukan kendaraan roda empatku membelah jalanan kota.

Sambil menangis mencengkeram kemudi hingga buku-buku tangan memutih, lalu menepikannya sebentar karena sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi.

“Sakit, ya Allah ... sakit!” Aku terus memekik.

Suara dering ponsel memaksa aku harus kembali dalam mode waras. Ada panggilan masuk dari Zarina, dan aku tidak berani menjawab telepon dari si sulung sebab ia pasti bisa menebak kalau saat ini sang bunda tengah menangis.

[Bunda lagi nyetir, Sayang. Nggak bisa jawab panggilan kamu. Ada apa, Cantik?] Send, Zerina Bidadari Bunda.

[Nggak apa-apa, cuma kangen sama Bunda karena sudah beberapa hari ini nggak ketemu. Bunda baik-baik saja kan di rumah? Soalnya entah mengapa akhir-akhir ini perasaan saya nggak enak terus. Saya juga selalu bermimpi melihat Bunda menangis.] balas Zarina.

Aku berusaha menyembunyikan masalah rumah tanggaku kepada anak-anak, akan tetapi mereka memiliki ikatan batin yang kuat sehingga luka yang tengah mendera mereka ikut merasakannya juga.

Mas Abi. Aku tidak menyangka kamu tega berbuat sekejam itu. Mengkhianati pernikahan ini, melakukan dosa besar dengan istri mendiang sahabat sendiri sampai berani membentak di depan orang banyak.

Kembali memacu kendaraan, aku segera masuk ke dalam kamar ketika sampai di rumah lalu membasuh badan menghilangkan jejak air mata yang tertinggal. Aku tidak mau terus menerus bersedih, sebab menangis tidak akan mengembalikan keadaan rumah tanggaku seperti sebelumnya. Pondasi istanaku sudah hampir runtuh, surgaku telah retak.

Deru mesin mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Aku segera keluar dari dalam bilik, sengaja menyibukkannya diri di dapur untuk menghindari bersitatap dengan suami.

“Ayah minta maaf karena sudah membentak Bunda. Ayah minta maaf!” Tiba-tiba tangan kekar Mas Abi bertengger di pinggang, lalu pria itu menautkan hidung di pipi.

Aku bergeming, diam tanpa kata sambil terus menikmati tikaman-tikaman luka.

“Ayah sangat mencintai Bunda!” bisiknya lagi, namun entah mengapa kali ini kata-kata itu terdengar hanya sekedar bualan saja.

Pelukan itu perlahan aku urai, berjalan sedikit menjauh akan tetapi dengan sigap Mas Abi menangkap lengan ini lalu kembali menarik tubuhku hingga mendekat, hanya pakaian kami yang menjadi sekat.

“Jangan diam saja, Bun. Tolong bicara supaya Ayah tidak merasa terluka!”

Rasanya ingin tertawa mendengar ucapannya kali ini. Aku diam saja bisa melukai perasaannya, bagaimana dengan dia yang sudah jelas-jelas telah membagi cinta juga raga? Egois.

“Bun?” panggilnya lagi, dan mata teduh itu terus mengunci mataku dengan tatapannya.

Aku segera memalingkan wajah, agar tidak terhanyut dalam telaga cinta yang telah menenggelamkan aku ke dalam luka.

“Katakan sesuatu, Bunda. Ayah tidak mau kalau Bunda sampai puasa berbicara!” katanya lagi.

“Sudah berapa kali kalian melakukannya, Mas?” Itulah kata yang akhirnya keluar dari mulut ini.

“Bun ... Ayah ....”

“Sudah berapa kali kalian melakukannya?!” ulangku, sedikit membentak meskipun tahu dosa hukumnya jika seorang istri berbicara dengan nada lebih tinggi dari suaminya.

“Ayah tidak pernah melakukan apa yang Bunda tuduhkan!” Dia terus saja mengelak.

“Apa Mas bisa bersumpah atas nama Allah?”

“Sumpah atas nama Allah itu tidak bisa untuk mainan, Bun.”

“Saya tahu, maka dari itu saya ingin Mas bersumpah atas nama Allah supaya saya bisa percaya kalau kalian memang tidak melakukannya!”

Dua bulat bening itu bergerak-gerak, menandakan kalau saat ini si empunya tengah berbohong.

“Ceraikan saya saat ini juga, Mas. Talak saya supaya kamu bisa bahagia bersama Elfira!” pintaku, walaupun rasa sesak terasa semakin mengimpit dada.

“Ayah tidak bisa, Bun. Ayah tidak bisa berpisah sama Bunda. Bagaimana dengan anak-anak kalau kita berpisah? Apa Bunda tidak memikirkan mental Zafir? Dia sedang ujian kelulusan sekolah, dan bisa dipastikan masalah ini akan mempengaruhi nilainya jika sampai ke telinga anak kita. Zafir ingin menjadi seorang dokter, dan dia juga ingin kuliah di universitas impiannya. Apa Bunda tega melihat impiannya hancur karena masalah kita?”

“Kenapa Mas tidak memikirkan itu sebelum melakukannya dengan Elfira? Kenapa?”

“Bun, Ayah minta maaf. Ayah khilaf. Ayah berjanji setelah ini tidak akan lagi menemui dia.”

Aku menekan dada yang terasa begitu sakit luar biasa, mencoba menghirup dalam-dalam udara yang beterbangan, supaya ada pasokan oksigen masuk ke dalam paru-paru.

Gagal. Napas ini hanya sampai di tenggorokan saja. Rasanya begitu sakit mendengar jawaban yang secara tidak langsung mengakui bahwa mereka memang melakukannya.

Kembali mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya, tetapi bukannya kelegaan yang aku dapat malah justru air mata yang memburai tanpa bisa dikendalikan, padahal sebisa mungkin aku terus menahan agar tidak terurai, supaya tidak terlihat lemah di hadapan Mas Abi.

“Tolong jangan menangis, Sayang. Karena Ayah tidak tega melihat kamu menitikkan air mata!” Dia berkata seraya menarik tubuh ini ke dalam dekapannya, akan tetapi aku terus memberontak, merasa jijik karena tangan itu baru saja ia pakai untuk menyentuh barang haram nan menjijikkan.

“Ya Allah, Bun. Tolong jangan begini. Jangan kekanakan, karena kita sudah sama-sama dewasa!” ucapnya lagi.

“Tidak usah bawa-bawa nama Allah, Mas. Kamu selalu sok religius tetapi tetap saja melakukan dosa besar. Apa arti ibadah kamu selama ini? Tidakkah kamu takut dengan murka Allah? Zina itu dosa besar!” Aku mendorong tubuhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam, menangis sendiri, menumpahkan segala lara yang tengah menggerogoti jiwa dengan cara bertilawah agar syaitan tidak semakin menggoda supaya aku melakukan hal yang lebih menggila.

Pagi hari aku lalui seperti biasa. Masih dengan senyuman, canda tawa, bersandiwara di depan anak-anak seolah sedang dalam keadaan baik-baik saja.

Zafir dengan seragam putih abu-abunya sudah menunggangi kuda besi, berboncengan dengan sang kakak karena kebetulan antara kampus dan sekolah masih satu arah.

Aku melambaikan tangan, menjawab salam dari mereka lalu mencari kegiatan dengan cara merapikan taman, hingga suara salam dari seorang wanita membuatku menghentikan aktivitasku seketika.

“Ada apa kamu datang ke sini, Dek? Belum cukup kamu menghancurkan rumah tangga saya dan Mas Abi?” Meskipun marah aku masih berbicara dengan nada rendah, supaya tidak ada tetangga yang tahu kalau rumah tanggaku dengan Mas Abi sedang berada di tengah-tengah prahara.

“Saya minta maaf karena sudah menjadi penyebab keretakan rumah tangga Mbak dan Mas Abi!” jawabnya sambil menundukkan wajah.

“Mari kita bicara di dalam!” ajakku kemudian.

Ragu Elfira berjalan mengikuti, duduk di sofa setelah dipersilakan dan terlihat gamang ketika aku menyodorkan segelas minuman.

“Tidak usah takut, Dek. Saya tidak menaruh racun di dalam minuman kamu, karena tangan saya terlalu bersih untuk melakukan itu kepada wanita kotor seperti kamu. Saya memberi minum juga bukan sebagai ucapan selamat datang, justru berterima kasih karena kamu sudah menggoda Mas Abi. Ya, setidaknya saya tidak perlu capek-capek mengurus dan memikirkan semuanya, karena sekarang ada kamu yang akan menggantikan posisi saya!” ucapku panjang lebar, tanpa emosi, meski sebenarnya hati tengah berapi-api.

Sementara Elfira, hanya diam, gemetar, terlihat berkeringat walaupun air conditioner di ruang tamu menyala dengan suhu enam belas derajat Celsius.

“Kamu tunggu sebentar, ya Dek!” Aku beranjak dari sofa, mengayunkan kaki menuju ruang kerja suami lalu mengambil beberapa lembar kertas yang tersimpan rapi di dalam sebuah map berwarna merah.

Aku kembali menghampiri Elfira dengan senyuman terukir di bibir, duduk di depannya hanya terhalang oleh meja.

“Ini, untuk kamu!” Menyodorkan map tersebut kepadanya.

Dahi Elfira berkerut-kerut ketika membaca isinya, sedangkan aku masih berusaha untuk menegarkan hati juga menenangkan jiwa.

“Apa ini, Mbak?” Pertanyaan yang aku tunggu akhirnya terlontar juga dari mulutnya.

“Hutang Mas Abi kepada beberapa orang temannya, karena beberapa bulan yang lalu, di saat pandemi melanda restoran kami hampir mengalami kebangkrutan dan akhirnya Mas Abi harus meminjam uang kepada beberapa orang rekan. Jatuh temponya bulan delapan, jadi masih tersisa dua bulan!” sahutku.

“Terus maksudnya apa Mbak Hanin memberikan map ini ke saya?” Kini dia mulai berani mengangkat wajah, membalas tatapan mata ini.

“Sekarang semuanya menjadi tugas kamu ya? Kamu sudah mengambil paksa Mas Abi dari tengah-tengah keluarganya, jadi segala urusan dia pun beralih menjadi urusan kamu, Dek. Bismillah, saya menyerahkan Mas Abi beserta semua hutang-hutangnya ke kamu. Selamat ya?” ucapku seraya beranjak dari sofa lalu pergi meninggalkan Elfira dengan mulut menganga lebar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
taerotonin
mantep banget, buk hanin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status