Share

Surga yang Telah Retak
Surga yang Telah Retak
Penulis: Ida Saidah

Part 1

"Tante! Tante! Kemarin kan Om Abi main ke rumah aku loh? Kami main petak umpet, tapi Om sama Mama aku ngumpetnya di dalam kamar, ditutup selimut, dan pas aku masuk Om Abi sama Mama lagi nggak pake baju. Seru deh!" celoteh Sabrina, putri semata wayang Elfira, istri mendiang Mas Restu sahabat suamiku.

Dadaku berdebar tidak karuan mendengar pengakuan bocah berusia lima tahun itu, dan mendadak rasa curiga memenuhi rongga dada, khawatir kalau Mas Abi diam-diam telah mengkhianati pernikahan kami yang sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun itu.

"Mama dan Om nggak pake baju?" Aku bertanya seraya menatap wajah polos gadis kecil itu.

"Iya, Mama sama Om Abi sampai keringetan, katanya capek!" jawabnya lagi, dengan mimik polos selayaknya anak kecil ketika sedang bercerita kepada temannya.

Aku memang sering membawa Sabrina pulang ke rumah karena selalu merasa kesepian jika putra kedua dan ketigaku sudah berangkat ke sekolah, sementara Zarina putri sulung kami sudah berumah tangga, bahkan saat ini sedang mengandung anak pertamanya.

"Apa Mama dan Om Abi sering melakukan itu di rumah Sabrina?" cecarku lagi, walaupun sebenarnya ada yang tercabik-cabik dalam hati.

Bocah berusia lima tahun itu hanya mengangguk, lalu menautkan telunjuk di bibir, meminta aku untuk tidak mengatakan kepada siapa pun.

"Soalnya kata Mama dan Om Abi ini rahasia, dan aku nggak boleh cerita sama orang lain!" katanya lagi.

"Oke, Tante janji nggak bakal cerita ke siapa pun." Aku berusaha mengulas senyum, walaupun nyatanya air mata lolos begitu saja dari sudut netra.

Segera memalingkan wajah, agar Sabrina tidak tahu kalau aku sedang menangis. Ya Allah, apa benar suamiku telah melakukan hal serendah itu dengan Elfira?

Hatiku terus bertanya-tanya serta menduga-duga, hingga akhirnya terlintas di pikiran untuk segera menanyakan semuanya ke mereka.

"Assalamualaikum!"

Aku segera menghapus jejak air mata yang telah menganak sungai di pipi ketika mendengar Elfira mengucapkan salam, menjawab salam darinya dan tidak lama kemudian perempuan yang usianya lebih muda dua belas tahun dariku itu berjalan menghampiri lalu menyalami serta mencium punggung tangan ini penuh dengan ketakziman.

Melihat mamanya datang Sabrina langsung berlari menghambur ke dalam pelukannya dan bergelayut manja seperti biasanya.

Terus kuperhatikan gerak gerik wanita berusia tiga puluh dua tahun di hadapanku, tidak ada yang mencurigakan. Dia terlihat baik juga sopan, bahkan ketika bertemu dengan Mas Abi selalu saja menghindar juga menundukkan pandangan.

"Kok tumben jam segini Sabrina sudah kamu ambil, Dek?" tanyaku, masih bersikap biasa kepadanya.

Aku memanggilnya dengan embel-embel 'dek' sebab sudah menganggap dia seperti adik sendiri, apalagi usia kami juga terpaut lumayan jauh walaupun dari segi fisik maupun wajah tidak terlihat begitu kentara perbedaannya. Aku yang rajin merawat diri masih terlihat sepantaran, bahkan banyak yang mengira kalau usiaku masih tiga puluhan.

"Iya, Mbak. Soalnya aku capek banget hari ini. Badanku terasa lemas, pusing. Makanya aku pamit pulang cepat ke Mas Abi," jawabnya sambil tersenyum.

Memang jika diperhatikan dia terlihat sedikit pucat, tidak sebugar biasanya.

"Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, ya Mbak!" pamit Elfira kemudian, kembali menyalami serta mencium punggung tanganku dengan penuh khidmat lalu menggandeng putrinya keluar.

Aku mengekor di belakang mereka, menatap penuh tanda tanya punggung wanita yang sudah dua tahun ini bekerja di restoran milik suami karena saat ini ia menjadi orang tua tunggal dan harus mencukupi kebutuhan Sabrina tanpa mau dikasihani oleh siapa pun.

"Kamu yakin masih bisa pulang sendiri, Dek?" tanyaku memastikan, karena dia terlihat sempoyongan ketika berjalan.

"Insyaallah saya tidak apa-apa, Mbak. Mbak Hanin tidak usah khawatir!" Lagi, dia tersenyum kepadaku, memamerkan kedua ceruk di pipinya.

"Kalau begitu hati-hati di jalan!" Aku melambaikan tangan, lalu membantu Sabrina naik ke atas motor sebab Fira terlihat kepayahan saat mengangkat tubuh putrinya.

"Ingat, ya Tante. Jangan bilang ke siapa-siapa soal yang tadi, soalnya ini rahasia kita berdua!" bisik Sabrina dengan ekspresi polosnya, tanpa mengetahui bahwa di sini ada hati yang amat terluka mendengar ceritanya.

Ingin rasanya aku menanyakan kebenaran dari cerita itu, akan tetapi aku tidak mau bertindak gegabah. Tidak mungkin kan jika memang benar-benar melakukannya mereka akan mengakuinya, bisa jadi malah semakin bermain rapi supaya penghianatan itu tidak terendus olehku.

Menutup pintu rumah, ketika melintasi ruang tengah mataku tertuju pada potret yang menggantung di bilik dinding. Terlihat Mas Abi berdiri tegap layaknya seorang pemimpin, menggunakan baju koko berwarna abu-abu serasi dengan gamis yang aku kenakan.

"Kemarin kan Om Abi main ke rumah aku loh? Kami main petak umpet, tapi Om sama Mama aku ngumpetnya di dalam kamar, ditutup selimut, dan pas aku masuk Om Abi sama Mama lagi nggak pake baju. Seru deh!"

Kata-kata Sabrina kembali terngiang di telinga. Aku mengambil oksigen secara perlahan, mencoba melonggarkan dada juga menetralisir degup jantung yang mendadak berdenyut tidak karuan.

Rasa gelisah seketika menyelimuti pikiran, khawatir Mas Abi benar-benar melakukan hal yang selama ini tidak pernah terlintas dalam angan, sebab ia adalah sosok panutan, laki-laki salih yang tidak pernah meninggalkan salat lima waktu serta sunahnya.

Bahkan sejak kecil, Zarina begitu mengidolakan ayahnya, selalu meminta kepada Sang Pencipta agar diberikan jodoh yang sama persis seperti Mas Abi.

"Pokoknya Ayah itu pria idaman banget. Saleh, penyayang, setia, makanya aku selalu meminta kepada Allah supaya disisakan satu saja laki-laki seperti beliau!" ucap Zarina, selalu memuji Mas Abi baik di depan maupun di belakang orangnya.

Aku selalu mengaminkan doa anakku, sebab yang aku rasa selama ini Mas Abi memang sosok lelaki yang mendekati sempurna, bahkan sudah dua puluh lima tahun lamanya kami hidup bersama tidak pernah sekali pun ia berkata kasar, selalu memperlakukan aku selayaknya ratu sehingga banyak sekali yang merasa iri dengan sikap suamiku itu.

Paket komplit, itu yang selalu dikatakan oleh orang-orang, dan aku merasa bangga serta terbuai dengan segala pujian yang terdengar.

Hari ini, karena celoteh seorang anak kecil rasa cemas juga was-was mendadak menyelimuti hati yang selama ini tidak pernah sekali pun menaruh prasangka terhadap suami, sebab ia terlalu alim untuk dicurigai.

Astaghfirullahaladzim ....

Mengucap istighfar sambil mendaratkan bokong perlahan di sofa, mengambil tasbih lalu terus berzikir memohon ketenangan hati kepada Illahi Rabbi. Aku tidak mau terus menerus berprasangka buruk terhadap Mas Abi, karena sepertinya dia bukan laki-laki seperti itu. Jangankan melakukan zina, kepada yang bukan mahramnya saja ia selalu menjaga pandangan, tidak mau mengotori mata dengan menatap yang tidak halal baginya.

***

Senja perlahan berganti malam. Kedua anakku pun sudah kembali dari sekolah, sementara Mas Abi belum juga menampakkan diri.

"Bunda kok kelihatan gelisah? Ada apa?" tanya Zafir, anak bungsuku.

"Nungguin ayah kamu, Dek. Kok tumben jam segini dia belum pulang ya?" sahutku dengan perasaan cemas bercampur was-was.

"Mungkin restorannya lagi rame, Bun? Apa mau disusul saja? Kalau mau biar saya antar!"

"Boleh!" Menerbitkan senyuman sambil mengusap rambutnya.

"Yasudah saya ambil kunci motor dulu, Bunda juga jangan lupa pakai jaket, takut kedinginan di jalan!"

"Iya, Sayang."

Aku lekas masuk ke kamar, mengambil jaket Mas Abi yang tergantung di belakang pintu lalu memakainya dan menghampiri Zafir yang sudah menunggu di halaman.

Untung saja si bungsu sudah memiliki Surat Izin Mengemudi jadi kami tidak merasa khawatir jika di jalan bertemu dengan polisi.

Restoran terlihat sedikit sepi, bahkan para karyawan tengah sibuk membersihkan tempat usaha kami.

Sejak aku dan Mas Abi menikah, kami berdua memang mempunyai usaha restoran ayam bakar, dari mulai jualan di pinggir jalan sampai sekarang sudah dikenal hingga ke kalangan selebritis juga para penulis terkenal di Indonesia.

Tentu saja perjalanan kami dalam membangun bisnis ini tidaklah mudah, harus melewati ribuan rintangan terlebih dahulu hingga mendulang kesuksesan seperti sekarang ini.

"Loh, Bu Hanin? Tumben ke restoran malam-malam?" sapa seorang karyawati, menarikku dari lamunan.

"Iya, Mbak. Lagi kepingin mampir. Bapak ada?" tanyaku dengan intonasi selembut mungkin.

"Loh, bukannya Bapak sudah pulang sejak sore tadi ya, Bu?" Jawaban itu cukup membuat diri ini merasa kaget, pasalnya Mas Abi belum sampai rumah hingga saat ini.

Astagfirullah ....

Lagi-lagi perasaan curiga memenuhi rongga dada, apalagi setelah mendengar cerita dari Sabrina.

Ke mana perginya Mas Abi? Apa dia ke rumah Fira?

Merogoh tas yang aku bawa, mengambil ponsel lalu berjalan sedikit menjauh dari Zafir, menghubungi nomor Mas Abi dan tidak lama kemudian terdengar suara lembut nan mendayu-dayu suamiku mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam, Ayah ada di mana?" tanyaku, masih berusaha santai.

"Ayah masih di restoran, Bun. Memangnya kenapa? Tumben Bunda telepon jam segini? Pasti sudah kangen ya?" godanya.

Biasanya hati akan berbunga-bunga jika mendengar gombalan dari laki-laki yang menyandang gelar suami itu, namun tidak untuk kali ini. Dadaku terasa panas, seiring dengan air mata yang berlomba-lomba meluncur dari balik kelopak. Aku benar-benar tidak percaya kalau Mas Abi yang terkenal salih serta taat beribadah itu sudah mulai pandai melakukan kebohongan.

"Kok diem, Bunda? Ada apa, Sayang? Kamu baik-baik saja kan?" tanyanya lagi.

"Saya di restoran, dan kata pegawai kita Ayah sudah pulang sejak sore. Saya tahu Ayah sedang berada di mana, jadi tolong pulang sekarang dan kita bicarakan masalah ini di rumah!" Memutus sambungan telepon secara sepihak sampai lupa mengucapkan salam.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
kayaknya si ular yang menggoda
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status