"Haikal, bawa Neneng ke rumah sakit sekarang!" Ibu nampak panik bukan main, sedangkan si cempreng itu masih meringis menahan rasa perih.Dipikir ke rumah sakit ga pake duit kali, siapa yang bayar, aku? Ogaahh!Baiklah mungkin harus ada sedikit pelajaran bagi orang tukang bohong dan caper."Neneng! Ada tikus di belakang p4nt4t kamu itu!" teriakku heboh sambil bergidik jijik"Apa?! Tikus! Ihh gelii! Mana tikusnya." Neneng berdiri sambil berjingkat-jingkat dan mengibaskan daster kedodorannya.Tuh 'kan ketahuan, katanya sakiit."Itu tikusnya gelantungan di dalam daster kamu, Neneng!" teriakku masih so panik.Wanita itu menjerit histeris sambil lari dan loncat-loncat, membuat ibu dan Mas Haikal melongo tajam, ibu dan anak itu saling berpandangan dengan tatapan aneh.Saatnya jadi kompor diantara mereka nih!"Lihat, Bu, si Neneng itu ga sakit, masa lagi sakit tapi loncat-loncat sambil lari-lari gitu," bisikku yang hanya didengar oleh kedua orang itu."Iya, Bu, berarti Neneng bohong perutnya
Suasana mendadak dingin dan mencekam, Ibu mertua fokus pada jalan pemikirannya sendiri, sedangkan Neneng merasa putus asa atas pilihan dari Mutia, bagaimana tidak belakangan ini wanita itu selalu saja menyudutkannya, seolah Neneng tak pantas lagi menjadi bagian dari hidup Haikal.'Aku sudah terlanjur mencintainya tak mungkin kita berpisah begitu saja,' bisik Neneng dalam hatinya sambil memandang dengan sendu lelaki yang sedang duduk berdampingan dengan kakak madunya.'Harusnya aku yang menjadi istri satu-satunya A Haikal, bukan wanita itu.' Neneng mendelik tajam pada wanita yang duduk di sebelah orang tercintanya."Bagaimana, Bu? apa pilihan Ibu? Apa Ibu sudah punya jawaban?" pertanyaan bruntun Mutia kembali menggema di telinga Neneng yang hampir saja merobek gendang telinganya.Sementara Mutia duduk manis sambil melipat tangannya di dada, sesekali pandangannya tajam memandangi adik madunya yang mati gaya tiba-tiba.'Lihat saja akau kubalas perbuatanmu itu Teh!' Neneng berbisik, dadan
Neneng menatap ke bawah jembatan dengan mata sayu, pandangannya berkabut karena air mata yang terus mengalir tanpa jeda.Ibu mertua yang matre juga suami yang tak peka membuatnya putus asa, umurnya belum cukup untuk berpikir bijaksana, emosinya masih labil bak anak sekolah menengah pertama.Walau mulutnya pedas tapi hatinya rapuh, tak disangka ternyata menaklukan Haikal tidak semudah membalikkan telapak tangan, ia berambisi ingin membuat Haikal cinta mati dan meninggalkan istri keduanya, tapi ternyata malah dia sendiri yang terjebak dalam ikatan pernikahan tanpa cinta.Melepaskan sulit bertahan pun rasanya sakit."Neneng!" sapa seseorang sambil menepuk bahunyaBahunya terguncang karena terkejut, lalu ia menoleh ke samping sambil menyeka sisa tetesan bening di pipinya."Kamu ngapain di sini sendirian? nangis lagi, mau bunuh diri?" tanya lelaki itu."Raka, kok kamu ada di sini?" tanya Neneng keheranan."Iya, sekarang aku kerja di kota ini, kamu ngapain di sini sambil nangis?" Lelaki y
"Ayo pulang, Neneng! Malu-maluin aja makan berdua sama cowo di sini, kamu itu udah punya laki!" timpal mertuaku Mulut merahnya tak berhenti mengomel sampai kami duduk di dalam mobil, bahkan sampai kami tiba di rumah ibu."Mas, kita langsung pulang aja ya," ujarku pada Mas Haikal yang sedang memarkirkan mobil.Dari wajahnya ia kelihatan sedang marah, apa dia cemburu?"Kita mampir dulu ke rumah Ibu ya, Sayang, terus nanti pulang bareng," jawab Mas Haikal mesra Pasti mau manas-manasin nih! Sebel! Tapi baiklah kapan lagi bisa nonton drama seorang cewe di marahin rame-rame."Ayo ngaku sama Ibu dia siapa kamu?" tanya mertuaku sambil membetulkan gelang keroncongnya yang sedikit menghitam."Itu temen Eneng, bukan siapa-siapa kok." Wanita itu mencebik, kesal karena terus menerus diintimidasi.Dah kaya tersangka kasus korupsi aja kamu, Neng, padahal ngaku juga ga bakalan babak belur kok."Kalau dia pacar kamu juga ga apa-apa kok, silakan aja pacaran jadi aku ada alasan buat ke pengadilan," ce
"Neneng pendarahan, Mut, Mas pergi dulu ya mau bawa dia ke klinik." Mas Haikal terlihat panik menyambar jaket dan juga kunci mobil."Untung mobilnya belum kejual," bisiknya tapi masih terdengar olehku."Aku ikut, Mas," pintaku dan iya mengiyakan.Bercampur panik Mas Haikal menyetir, ia mengerang kesal saat terjebak macet, mobilnya tak bisa maju ataupun putar balik untuk mencari jala alternatif."Macet lagi! Gimana nih?!""Coba telpon Ibu dulu bilang kalau kita kemacetan, jadi Ibu suruh bawa Neneng duluan ke rumah sakit," ujarku memberi usul."Ga diangkat lagi, Mut." Mas Haikal semakin panik entah mengapa ibu tak mengangkat telponnya."Coba telpon Neneng," usulku lagi.Ia pun menurut dan untuk kesekian kalinya merasa kecewa karena si cempreng itu tak juga mengangkat telponnya, Mas Haikal mengacak rambut belakangnya juga membunyikan klakson berkali-kali."Udahlah, Mas, berisik."Kami terjebak kemacetan selama satu jam, saat mobil Mas Haikal sudah di depan rumah ibu, ternyata Neneng dan
Aku terus memposting ponsel ini di grup-grup jual beli online terdekat, juga menawarkan pada teman-teman dekat, jika ponsel ini dijual harganya lumayan bisa membayar biaya rumah sakit Neneng.Beruntung istri keduaku itu tak mengalami keguguran, Tuhan menyelamatkan nyawa anak itu sesuai keinginan ibu.Saat ke luar dari ruangan kulihat Mutia dan Raka sedang berbincang-bincang, mereka duduk bersisian hanya berjarak satu bangku saja.Mata Mutia terlihat letih, aku merasa bersalah karena sudah menghadirkan Neneng yang sudah pasti mengusik ketenangannya, andai waktu bisa diputar kembali, aku pasti akan lebih sabar bersama wanita itu ketimbang buru-buru nikahin Neneng seperti usul ibu.Jika sudah begini hanya penyesalan yang kudapat, batin Mutia tertekan juga Neneng yang tak bisa kubahagiakan, lagian aku pun lama-lama tak nyaman beristri dua, apalagi memiliki istri macam Neneng yang bawelnya minta ampun."Haikal, ruangan kelas tiga buat Neneng sudah ada, sana urus dulu administrasinya," ujar
(Pov Haikal)Ibu Tak Setuju"Loh, Neng, kenapa kamu nangis?" tanya ibu saat menyadari suara sesenggukan Neneng.Entah ini drama atau nyata, apa mungkin ia cari perhatian minta di kasihani oleh ibu? entahlah, ada rasa gembira dan tak enak saat mengetahui keputusan Neneng."Neng." Ibu membalikkan tubuh Neneng hingga ia terlentang, kini wajah Neneng yang basah oleh air mata sempurna terlihat."Kamu kenapa nangis? anakmu baik-baik aja, cepetan tidur besok ibumu mau jenguk ke sini," ujar ibu lembut.Wanita itu hanya menganggukkan kepala sedangkan ibu tercenung merasa heran, entah mengapa hatiku terus memikirkan Mutia walau raga ini sedang bersama Neneng.Sungguh, aku ingin menua bersamanya tak ingin lagi membagi cinta ini, tapi bagaimana dengan wanita itu yang mengorbankan masa mudanya demi bisa hidup enak bersamaku.Nyatanya kehidupan indah yang diimpikan Neneng hanyalah sebuah angan, ibu memang keterlaluan memujiku hingga berlebihan..Memikirkan derita Mutia membuatku gelisah di penghuj
(POV Haikal)"Kamu ini gimana sih, Ningsih! Katanya anakmu itu bos pemilik garmen expor-impor yang banyak duitnya, kok pengangguran?" Ibu mertua melotot memarahi ibuku.Ingin membela tapi ibuku memang salah sudah mengatakan kebohongan yang berlebihan, wanita yang sudah melahirkanku itu nampak salah tingkah, wajahnya terlihat tegang dan merah."Gini loh Minah, biar aku jelaskan, sebenarnya pabrik itu milik Haikal kok cuma sekarang dikelola istri pertamanya, aku akan bujuk Mutia supaya seperti dulu lagi Haikal mengelola pabrik itu dan putrimu akan tercukupi hidup di sini," ujar ibu dengan suara bergetar.Kenapa ibu mengarang cerita lagi coba, jangankan masih jadi suami Neneng sudah bercerai dengannya saja aku tak berani kembali bekerja di pabrik itu, terkesan banget kalau aku ini laki matre."Apa ucapanmu bisa dipercaya, Ningsih?" Mertuaku sedikit tegas.Gawat kalau sampai rayuan maut ibu berhasil meluluhkan hati mertuaku, gagal sudah aku bercerai dari Neneng, aku harus bertindak."Bu,