"Astaghfirullah ... Astaghfirullah."Semua yang duduk dalam mobil itu menyebut kalimat istighfar, dengan napas yang tersengal Haikal memandang tajam kedua istrinya satu persatu."Kalian mau kita mati konyol sama-sama?!" teriak Haikal bertanya.Mutia ataupun Neneng tak ada yang bersuara, keduanya sibuk mendamaikan perasaan yang semula terguncang hebat."Kalau kalian masih tetap ribut, lebih baik kita pulang masing-masing!" tegasnya lagi sambil memandang keduanya dengan tajam."A-aku minta maaf, Mas, semua ini gara-gara Neneng," ujar Mutia lemas tak bertenaga."Jika saja barusan aku ga menghindar mungkin kita sudah mati dihantam truk tadi, jadi aku mohon selama perjalanan jangan ada yang bersuara!" tegas Haikal yang dibalas anggukan oleh kedua istrinya yang masih gemetaran.*Tiga jam perjalanan dilalui dengan kebisuan, mereka melalui jalanan yang menanjak dan menurun yang cukup terjal dengan keheningan.Memasuki kawasan perbatasan desa, Neneng mulai merapikan rambutnya yang sedikit ber
Pov MutiaSaat Neneng keluar dari kamar mandi jantung ini berpacu hebat, aku takut wanita itu yang akan mengabulkan impian Mas Haikal.Tidak! Rasanya hatiku belum siap menerima."Gimana hasilnya, Neng?" tanya ibu antusias, ia memang yang paling semangat menunggu hasilnya.Neneng memperlihatkan benda berukuran mungil itu dengan ragu, hati ini berdegup kencang menantinya."Gimana hasilnya?" tanya Uwa mewakili rasa penasaranku."Garis satu, Teh," jawab ibu membuatku bisa bernapas lega.Aku membawa diri ini ke teras depan untuk menikmati segarnya udara di depan, dari kejauhan kulihat Mas Haikal tercenung seorang diri menatap cakrawala luas di depannya.Perlahan langkah kaki ini mendekatinya tanpa suara, sengaja aku mengendap-endapl agar tak menimbulkan suara, terlihat pandangannya beralih pada benda pipih di tangannya.Apakah yang ia lihat? Ya Tuhan, hampir berderai air mata ini, ia memandang poto bayi yang begitu lucu dan menggemaskan, tak sampai di situ ia juga memutar kelucuan Vidio b
"Perjanjian apa hah?!" tanyaku sedikit membentak.Neneng menciut dan mundur beberapa langkah ke belakang, sorot matanya lurus menatapku penuh ketakutan.Hemm, belum tahu dia bagaimana buasnya seorang Mutia."E-engga ada kok, Sayang, dia ini asal bicara, ga usah di dengerin ya," ujar Mas Haikal memegang bahuku dengan mesra.Sontak saja perempuan bersuara cempreng itu terbelalak menatap kemesraan kami."Lepas! Aku tanya sama kamu Neneng! Perjanjian apa yang kalian maksud?!" tanyaku sambil berteriak.Tak peduli berapa pasang mata yang serius memandang kami bertiga, tubuh Neneng kulihat bergetar, mulutnya mengatup dan terbuka seolah ragu untuk bersuara."Jawab Neneng!" tegasku sekali lagi, membuat ibu-ibu berbisik-bisik."Pe-perjanjian itu ... emmm ....""Apa katakan!" tegasku lagi sambil maju dua langkah.Byuuaarr! Tanpa sadar ia terus mundur ke belakang lalu tubuh mungil itu tercebur ke dalam Empang milik Uwa, padahal Empang itu ditanami beratus-ratus ikan lele."Aaa! Tolong!" Neneng b
Bahagia dan segala rasa bercampur menghiasi hati ini, sungguh mukjizat Allah itu nyata, saat dokter berkata tidak maka, tak ada yang mustahil baginya.Dialah yang maha kuasa dan berkehendak, jangankan meniupkan ruh pada rahim yang dicap mandul, meniupkan ruh ke dalam rahim wanita suci tanpa suami saja ia bisa.Lihatlah Maryam binti Imran ibundanya Nabi Isa a'laihi salam, ia bisa mengandung walau tubuhnya tak pernah tersentuh oleh lelaki manapun.Air mata ini meleleh laksana lilin yang terbakar api, tak kuasa diriku menahan rasa suka cita yang membuat hati teramat berbunga.Beribu-ribu pujian padanya yang Maha Agung dan ucapan rasa syukur kulangitkan, sebagai bentuk terima kasih padanya yang telah memberikan keajaiban, yang tak mungkin diwujudkan oleh mahluknya."Mas, kita harus bersedekah lebih banyak lagi," ucapku sambil meregangkan pelukannya, terlihat Bidan Risa sedang menyeka air mata, mungkin ia terenyuh terbawa suasana.Bidan Risa tahu segala bentuk perjuanganku, tak jarang aku
"Ayo ngaku! Sampai kapan mau bohong hah!" tegasku pada wanita bermata bulat itu."Emmm, Eneng minta maaf Teh, iya Eneng salah," jawabnya dengan menundukk menyembunyikan rasa malu."Jadi gimana? jadi ga lehernya dipotong?" tanya Mas HaikalNeneng tertawa terpaksa, gigi kampaknya terlihat berdiri kokoh."Ta-tadi Eneng bercanda, A, kalau gitu Eneng mau pulang aja ya, Aa temenin Teh Mutia aja," jawabnya gelagapan."Eh tunggu dulu dong, barusan kamu sudah nyakiti istri dan juga calon anakku masa mau pergi gitu aja."Mas Haikal mencegah langkah istri keduanya."Tapi Eneng sudah minta maaf, A, apa lagi?" tanya wanita itu tak punya hati."Kamu harus dihukum, Neng! Enak aja main langsung pergi." Mas Haikal tak terima."Sudahlah biarakan dia pergi! Itu biar jadi urusan Ibu di rumah, Ibu juga kesel sama tingkah lakunya, inget Neng! Kalau kamu kaya gitu lagi, Ibu akan pulangkan kamu ke kampung!"Ancaman Ibu berhasil membuat wanita itu menciut, beberapa detik kemudian matanya terlihat mengembun."
Kubanting ponsel itu ke pembaringan berukuran king size, di mana aku dan Mas Haikal selalu membagi kehangatan di sana.Jika diperhatikan sepertinya Mas Haikal sedang tertidur pulas, bukan karena kelelahan karena telah memanjakan dirinya, percaya diri sekali kau, Neneng! Kamu kira aku akan panas dan membabi buta gitu?Oh tidak, aku tak seliar itu dalam menghadapi situasi, akan kubalas semua perbuatanmu dengan cantik, hingga membekas dalam hati.Selir tetaplah selir, jangan harap bisa menggeser posisi ratu sesungguhnya!Di bawah cahaya rembulan aku duduk merenung sambil mengelus perut yang masih rata ini, begitu banyak impian dan harapan di masa depan sana, merajut keluarga bahagia penuh cinta dan kehangatan.Dan satu lagi impian yang terkubur dalam angan, yaitu memiliki cintaku seutuhnya tanpa berbagi dengan siapapun, bukankah kini kebahagiaan kami hampir sempurna? untuk apa lagi Neneng ada diantara kami, keberadaannya sungguh tak dibutuhkan lagi.Terdengar kejam. Namun, bahkan lebih k
Tak banyak yang bisa dilakukan suamiku, meski hatinya tak pernah memendam cinta terhadap istri kedua. Namun, itu tak menjadikannya alasan untuk melepaskan, ia masih mengurung semua dilema itu dalam sangkar kebimbangan.Hatinya hanya terpaut untukku dan anak ini, sejatinya tak pernah ada ruang untuk Neneng walau secuil. Akan tetapi, ia tak berdaya jika Neneng selalu menggunakan tameng ancaman akan bunuh diri jika Mas Haikal menceraikan.Ia bukan tipe lelaki b3j*t yang akan mencampakkan wanita begitu saja, meski tanpa cinta ia tetap menganggap wanita itu istrinya, tetap pulang dan mungkin selalu memberikan nafkah batinnya.Sakit?Tentu saja, aku tak memiliki hati dan iman sekuat baja seperti istri-istri para nabi yang di poligami, air mataku kerap meleleh kala Mas Haikal berkunjung ke rumah ibu dan menghabiskan malam di sana, sementara malamku terlewati dengan dingin begitu saja.Bagiku, berbagi cinta itu sakit dan butuh perjuangan, padahal dokter katakan jika aku harus bahagia, tak bol
"Ternyata Neneng lagi hamil, Haikal, nih lihat hasil tespek-nya garis dua," ujar ibu semringah sambil memperlihatkan benda mungil di tangannya.Aku mengerling malas, sungguh berita yang sangat tidak penting untuk dibahas, kini aku tak lagi merasa iri, karena di dalam perut ini sudah ada dua bayi sekaligus yang menghuni rahimku.Mau dia hamil kek, ambeien kek, ga ngaruh! Buodo amat!"Haikal! Kok kamu malah bengong sih, lihat ini istrimu lagi hamil, sebentar lagi Ibu akan punya dua cucu sekaligus," ungkap ibu dengan jumawa."Bukan dua, Bu, tapi tiga." Mas Haikal menyangkal."Maksudnya?" Ibu melongo"Kata dokter Mutia mengandung anak kembar," jawab Mas Haikal penuh suka cita."Haaah, anak kembar!" Neneng dan ibu serentak menjawab."Ya ampuun akhirnya ibu akan memiliki banyak cucu, Ibu harus segera update status di WA dan pesbuk, supaya temen-temen arisan dan alumny tahu kalau Ibu akan punya tiga cucu sekaligus."Dengan heboh ia mencari-cari ponselnya yang entah di taruh di mana."Duhh ha