Bab 6: Segelas Teh Manis
Hari sudah menjelang pukul delapan malam ketika Alex sampai di rumah. Ketukan yang ia lakukan di pintu membuatku kembali tertarik dari perenunganku akan masa lalu. Aku tak sempat berpikir bagaimana tadi aku tidak mendengar suara motornya ketika sampai dan diparkir di teras depan. Aku bahkan tidak ingat apa-apa saja yang aku tonton di televisi sedari tadi.
“Kamu sudah makan, Ko?” tanya Alex, begitu sosok kurus dengan rambut keritingnya muncul di ambang pintu.
“Sudah,” jawabku sembari mengecilkan volume televisi.
“Tumben kamu pulang malam. Lembur ya?” tanyaku pula.
“Iya.”
Alex menuju ke belakang. Aku menyusulnya, barangkali ada yang bisa aku bantu untuk sahabatku yang baru pulang kerja ini. Aku sering merasa tak enak hati dengan keadaan diriku yang tentu saja membebani kehidupan Alex. Untuk itulah, semua pekerjaan di rumah Alex ini aku yang mengerjakannya. Setiap hari aku menyapu, mengepel, memasak, dan bila ada pakaian Alex yang kotor aku juga yang selalu mencucinya. Meski sebenarnya, untuk hal yang terakhir itu dia sangat melarangnya.
“Astaghfirullah,” seru Alex tiba-tiba. Sosoknya mematung beberapa saat pada sebuah meja kecil di dapur. Ia kemudian berbalik dan menatapku.
“Beras kita habis ya?”
Karena segan, aku hanya menyahut dengan sebuah senyuman.
“Jadi, kamu tadi makan apa, Ko?”
“Mm, aku makan di rumah Tante Resmi.”
“Kapan?”
“Sekitar jam empat sore tadi.”
“Kok bisa kamu makan di situ?”
Aku ceritakan sekilas tentang bohlam lampu yang aku ganti di dapur Tante Resmi.
“Oh, begitu,” Alex mengangguk-angguk.
“Tidak ketemu dengan Resti?”
“Anak Tante Resmi itu?”
“Iya.”
Aku menggeleng. Jujur, sudah tiga bulan aku tinggal bersama Alex di rumahnya ini, tetapi belum sekali pun aku melihat anak Tante Resmi yang bernama Resti itu.
“Berarti kamu belum beruntung.” Alex mengambil handuk.
“Kenapa mesti beruntung kalau mau ketemu cewek saja?” tanyaku.
“Si Resti itu cantik, Ko.”
Tanganku menjangkau panci kecil yang tergantung di dinding, mengisinya dengan air dari dispenser dan menjerangnya di atas kompor. Aku akan membuat teh manis untuk Alex. Dia pasti letih setelah kerja lembur.
“Secantik apa sih?” lanjutku bertanya.
Alex membuka baju dan kaos singletnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi yang berada persis di samping meja kompor. Beberapa saat kemudian aku mendengar suaranya yang sedang mandi.
“Kamu tahu Jennifer Aniston, Ko?” tanya Alex di sela-sela aktifitasnya mengguyur badan. Suaranya memang jelas kedengaran karena hanya terbatasi oleh dinding.
“Siapa tuh?” sahutku yang tetap berdiri di depan meja kompor.
“Jennifer Aniston, bintang film asal Amerika.”
“Enggak. Kenapa rupanya?”
“Jennifer Lawrence, kamu tahu?” tanya Alex lagi.
“Enggak. Kenapa?”
“Jennifer Lopez, kamu tahu?”
“Enggak.”
“Jennifer Hewitt?”
“Enggak.”
“Kalau, Jennifer Dunn?”
“Enggak juga. Ada apa sih? Segala Jennifer kamu tanyain?”
“Si Resti anak Tante Resmi itu sama cantiknya dengan semua Jennifer itu, Ko!”
********
Siapa pun orangnya, jika melihat Alex dengan segala sosok dan penampilannya, mereka pasti akan bilang; “gak nyambung!” Maksudku adalah, antara nama dengan orangnya.
Alex berpostur sedikit kurus, kulitnya sedikit gelap, dan rambutnya sedikit keriting. Semuanya memang serba sedikit, termasuk untuk ukuran—maaf—wajah. Aku pernah bilang tentang wajahku yang pantas dipampang di pintu belakang bak truk. Nah, wajah Alex ini pantasnya dipampang di sepakbor—sekali lagi, maaf. Namun, tentu saja aku tidak akan jujur untuk ukuran yang terakhir itu, apalagi jika harus mengatakannya langsung kepada yang bersangkutan.
Orang seperti Alex ini idealnya memang mempunyai nama yang berbau kampung, “ndeso”, atau udik, begitu. Waktu kecil dulu, bahkan sampai duduk di bangku SMA, pekerjaannya adalah menggembala sapi. Jika berdekatan dengannya, aku sering mencium aroma sapi dari tubuhnya itu. Pokoknya, terasa “kampung” sekali. Faktanya, nama dia yang sebenarnya memang sudah sangat cocok dengan penampilan udiknya itu. Yaitu—nanti saja aku sebutkan, supaya seru.
Kenapa bisa menjadi Alex? Nah, ini yang seru!
“Mulai detik ini, kamu panggil aku Alex, ya,” pintanya, ketika dia menjemputku di terminal kota Bandar Baru ini tiga bulan yang lalu.
“Alex?” tanyaku yang butuh penegasan.
“Iya.”
“Kenapa, Din?”
Seketika saja dia menoleh padaku dengan mata yang sedikit melotot.
“Dan-din, dan-din…, Alex!”
“Oh, iya, Din. Ups, maaf, iya, Alex. Kenapa, Lex?”
Dia tak menjawab, tetapi segera mengajakku keluar dari terminal menuju tempat motornya diparkir. Aku pun tak habis pikir, mengapa dia memakai nama “Alex” dan harus menanggalkan nama aslinya? Apakah ia juga menyandang status sebagai “buronan” seperti aku?
“Yah, supaya keren saja.” katanya enteng sembari menarik gas motornya, membawaku meninggalkan terminal.
Aku terpaksa mencondongkan tubuhku sedikit ke depan supaya bobot ransel yang kupakai tidak membuatnya kesulitan mengendalikan motornya. Sekaligus mendekatkan mulutku ke telinganya untuk meningkahi suara kesiuran angin dari jalan.
“Supaya keren?” tanyaku.
“Iya.”
“Memangnya nama asli kamu belum cukup keren, Din?”
“Dan-din, dan-din lagi!”
“Hahaha!” Aku tertawa. “Oh, maaf, maaf! Maafkan aku, Din! Eeeeh.., maafkan aku, Alex!”
Tak urung, Alex pun ikut tertawa.
“Jadi begini, Ko. Sekarang kita berada di kota Bandar Baru. Ini kota besar, Ko. Ibukota provinsi. Semua hal yang berbau modernitas ada di sini. Enggak seperti di kota kecamatan kita tempat aku dulu mandiin sapi.”
Di belakang kepala Alex, kepalaku manggut-manggut.
“Terus?”
“Yah, aku rasa-rasakan, nama asliku itu terdengar kampungan, Ko.”
“Itu nama pemberian dari orang tua kamu lho, Lex. Bisa kualat nanti kamu, Lex.”
Syukurlah, aku tidak keceplosan bilang “din” lagi.
“Memang betul, Ko. Aku tetap menghormati nama pemberian orang tuaku itu kok. Aku tidak menggantinya. Namaku yang ada di ijazah dan di KTP juga masih sama.”
“Terus, nama Alex?”
“Aku pakai nama itu hanya di kota Bandar Baru ini saja, Ko.”
“Supaya apa?”
“Hemm, yaah, supaya terdengar gaul saja.”
Baiklah, aku tidak akan mendebat Alex lagi supaya dia tidak tersinggung. Sangat tidak etis, pikirku. Karena, sejak dari hari itu dan sepertinya untuk beberapa waktu yang lama aku akan hidup menumpang dengannya.
Setelah selesai membasuh tubuh, Alex pun keluar dari kamar mandi. Aku segera menunjukkan segelas teh manis yang tadi aku buat dan telah aku letakkan di atas meja.
“Terima kasih,” katanya. Ia mengambil gelas teh dan meniup-niup sedikit sebelum menyeruputnya.
Aku yang duduk di kursi, memperhatikan semua gerakan sahabatku yang baik hati ini dalam menikmati teh manisnya. Alex pun menyeruput teh manis, suaranya, “sluuurp”, terdengar nikmat sekali.
Tiba-tiba saja, Alex terkesiap, dan kedua matanya menyorot wajahku seperti ada yang aneh.
“Kok, tehnya pahit, Ko?” tanya dia.
“Iya, Lex.”
“Gak kamu kasih gula?”
Aku diam, dan wajahku tampak segan.
“Gula kita habis juga?”
Aku mengangguk dengan wajah yang semakin segan.
Tunggu! Apakah aku sudah menyebutkan nama asli Alex? Belum? Oh, berarti ceritaku ini nanti akan semakin seru! Ada manisnya, seperti harapan pada segelas teh manis. Juga ada pahitnya, seperti kenyataan segelas teh manis yang tak ada gulanya.
********
Bab 7:Hikayat Tentang Sapi Setelah mandi, Alex mengajakku keluar dengan motornya. Kami membeli sembako dan beberapa barang lain yang terkait kebutuhan dapur. Setelah sampai kembali di rumah, Alex memintaku memasak mie instan untuk kami berdua.“Jadi, bagaimana interview kerja kamu tadi siang, Ko?” tanya Alex sembari mengutak-atik ponselnya.“Agak aneh, Lex.”“Agak aneh? Aneh bagaimana?”Aku yang tengah merajang bawang dan cabai rawit, membagi konsentrasiku supaya bisa menceritakan perihal kejadian yang aku alami tadi siang bersama Bu Joyce.“Sampai begitu? Dia duduk di meja? Di
Bab 8:Foto ProfilAku ingat sekali. Dulu, beberapa hari sebelum ayahku meninggal dunia, di saat-saat sakitnya beliau pernah mengatakan sesuatu kepadaku.“Joko, Bapak titipkan dua orang wanita ke kamu.”“Yang pertama, ibu kamu. Hormati dia, sayangi dia, dan berbaktilah kamu padanya.”“Yang kedua, adik kamu. Sayangi dia, lindungi dia, dan jagalah kehormatannya.”Mungkin, ketika itu Bapak telah mendapat firasat bahwa ia akan pergi, sehingga ia pun menyampaikan amanah itu kepadaku. Aku diam saja, dan tidak tahu harus menjawab apa. Bapak selalu ingin menjadikan aku sebagai laki-laki yang “laki-laki”, berani, tegas, dan bertanggung-jawab. Untuk itulah, Bapak juga selalu menuntutku untuk menjawab pertanyaannya itu.“Kamu bersedia, Joko?”“Iya, Pak,&r
Bab 9:Muka Ganteng Besok-besok saja aku bayangkan lagi, akan bagaimana pertemuan Alex dengan gebetannya itu. Karena sekarang, hari ini, jam sebelas siang ini, aku harus memfokuskan perhatianku pada semua keterangan Ibu Joyce.Syukurlah, akhirnya aku diterima bekerja, bersama sekitar selusinan orang yang semuanya sedang duduk takzim di meeting room ini. Satu hari setelah obrolanku dengan Alex tentang Lo Rena yang ia kenal dari facxbook itu, aku mendapat telepon dari seseorang bernama Ibu Dewi, yang mengaku sebagai asisten Ibu Joyce. Ia memberitahuku untuk bisa hadir pada pertemuan ini, ya hari ini, ya saat ini, ya malangnya aku ini karena terlambat setengah jam dari waktu yang telah ditentukan.Kelihatan sekali wajah Ibu Joyce segera masam begitu melihat sosokku
Bab 10: Sebidang Kebun “Nasib baik kamu sekarang, saya masih punya hati. Kalau tidak, kamu sudah langsung saya pecat sekarang juga!” Aku mengangkat wajah pelan-pelan, memberanikan diri menatap wajah Ibu Joyce untuk menebak kesungguhan dari semua kata-katanya barusan. Sungguh, sikapnya sekarang ini bertolak belakang sekali dengan sikapnya beberapa hari yang lalu. Aku ingin mengatakan sesuatu. Namun, karena bingung, akhirnya mulutnya terbuka dan tertutup dengan sendirinya, seperti dumang, alias duyung mangap. “Hayo! Kamu mau ngomong apa??” sentak Bu Joyce. Akhirnya, aku menemukan cara untuk mendinginkan hati ibu manajer ini, dan mudah-mudahan ia tak pernah berpikir lagi untuk memecat aku. “Anu, Bu, eee,” “Anu, apa??” “Kalau Ibu masih kepengin saya smash…,”“Whaatt??”“Ups, maaf, maaf, Bu. Maksud saya, sebagai ucapan terima kasih karena Ibu telah menerima saya bekerja di perusahaan ini, maka saya bersedia meng
Bab 11:Lupa Memencet Tombol Beberapa saat aku terus berdiri di tepi jalan, memandangi mobil Ibu Joyce yang telah melaju dan semakin jauh meninggalkan aku. Ternyata Ibu Joyce tidak mempunyai kebun, dan sekali lagi dia berhasil menipuku mentah-mentah. Aku merasa sangat, sangat kecewa. Namun, aku berusaha membesarkan hatiku sendiri dengan mengingat-ingat bahwa,“Kecewanya karena patah hati jauh lebih menyakitkan daripada ini.”Aku menghela nafas sekali, masih berdiri dengan perasaan yang hampa. Aku mengulum bibirku sendiri dan menggigit-gigitinya sampai terasa sakit. Aku melakukan ini karena rasa kecewa akibat tingkah-polah Ibu Joyce tadi telah berubah menjadi sakit hati.Bagaimana tidak?
Bab 12:Dang-ding-dong Dua hari kemudian…,Aku bangun subuh supaya tidak terlambat di hari pertamaku bekerja. Jarak antara rumah Alex dengan kompleks perkantoran tempatku bekerja memang cukup jauh. Aku sudah keluar dari rumah Alex ketika hari masih gelap, dan berjalan ke arah persimpangan jalan raya untuk menyetop angkot. Untuk ongkos, syukurlah, aku mendapat sedikit uang dari Tante Resmi ketika disuruh untuk menguras dan membersihkan kolam hias di depan rumahnya.Ketika mengerjakan itu, aku belum juga bertemu atau bahkan hanya melihat Resti, anak Tante Resmi yang menurut keterangan Alex sangat cantik, menyamai kecantikan semua artis Hollywood yang bernama Jennifer.“Belum rejeki kamu,” kata Alex.Biar saja. Toh, aku jatuh c
Bab 13:Onde-onde Ruangan yang sedang aku pandangi itu tidak mempunyai label. Namun, menurut keterangan Ibu Kemas itu adalah ruangan serbaguna, tempat para karyawan beristirahat, duduk-duduk, atau menggosipi para atasan yang menjengkelkan.Ruangan serbaguna itu sendiri ukurannya cukup besar. Dimensinya lebih dari satu setengah kali lapangan voli. Di pojok ada sebuah toilet untuk dua gender; ladies dan gentleman, dilengkapi dengan keran air untuk mengambil wudhu. Kemudian, ada sebuah mushola dengan garis batas suci yang jelas di lantainya, dan ditabiri dengan sebuah dinding lipat portabel yang terbuat dari anyaman rotan. Simpel, tetapi cantik.Berseberangan dengan itu, ada beberapa set meja kursi yang jika aku bayang-bayangkan kalau menduduki salah satun
Bab 14:Surat Peringatan Gawat! Aku sampai termangu mendengar penuturan Ibu Kemas. Bahwa kejadian di ruangan serbaguna tadi ternyata berbuntut panjang. Rutenya “mbulet-mbulet”, maksudku melingkar-lingkar, dan itu semua terjadi dalam waktu yang tak lebih dari dua jam saja.Ibu berambut coklat tadi ternyata tersinggung berat dengan kata-kataku. Dia lalu menemui seseorang, yang mungkin itu adalah pemilik kewenangan terkait pekerjaan outsourcing di perusahaan ini. Orang kedua itu kemudian menelepon Ibu Joyce, Ibu Joyce kemudian menelepon Ibu Kemas, Ibu Kemas langsung mencari aku, yang Ibu Kemas temui justru Danil, Ibu Kemas kemudian menyuruh Danil mencari aku, lalu sekarang…,“Kamu ngomong apa tadi sama Ibu Anne?”&