Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 1: Libero “Maaf, ini serius? Ini beneran? Asli?” “Iya, Bu, itu memang nama saya.” “Joko Aja?"“Betul, Bu.” Ibu Joyce, manajer perusahaan tempat aku melamar ini serentak mengalihkan pandangannya dari berkas lamaranku. Ia menatap wajahku seperti sedang berusaha mengenali seseorang. “Saya kira nama kamu bakalan seperti Lee Min Ho, atau Kim Soo Hyun, begitu.” Berarti Ibu Joyce ini hobi nonton drakor alias drama Korea, batinku. “Atau, bakalan seperti Tom Cruise, atau Leonardo Dicaprio, begitu.” Hobi nonton film Barat juga, batinku lagi. “Atau paling tidak, seperti Shah Rukh Khan.” Suka film India juga. “Yah, minimal yang mirip-mirip dengan Mr. Sugimoto-lah.” Mister Sugimoto, siapa lagi ini? Menyadari aku yang hanya kikuk dan serba salah, Ibu Joyce kembali mencermati berkas lamaranku. Ia kemudian menggumam seakan tidak percaya dengan pandangannya. “Joko Aja…, hemm, Joko Aja. Ngomong-ngomong, tinggi badan kamu berapa?” “Seratus sembilan puluh senti, lebih kurang.” “Tinggi
Bab 2: Bohlam Lampu “Sebelum melamar ke sini, kamu bekerja di mana, Ko?”“Di kampung, Bu.” “Bukan, bukan itu maksud saya. Tapi, di perusahaan apa?” “Di perusahaan perkebunan, Bu.” “Sebagai?”“Buruh harian lepas.”“Bisa diperjelas?”“Tukang semprot hama.”“Keren tuh.”Mungkin Ibu Joyce ini bermaksud “meninggikan” aku yang memang telah “rendah” ini. Jika benar begitu, maka pintar juga dia berbasa-basi.“Saya suka disemprot kok.” Katanya lagi, sembari menumpangkan sebelah kakinya ke kaki yang lain.Fiuhh, untung kursi yang aku duduki ini memiliki roda sehingga dengan sedikit dorongan menggunakan ujung kaki aku bisa menyelamatkan lututku yang sekarang persis berada di ujung sepatu si Ibu Manajer ini.“Ibu punya kebun juga?” tanyaku, sembari melirik ke arah jam dinding.“Punya, di perbatasan kota.”“Kebun apa, Bu?”“Kebunnya kosong, Ko. Tidak pernah dicocok-tanami lagi.”“Seberapa luas, Bu?”“Tidak terlalu luas sih. Sempit saja, k
Bab 3: Susuk Pemikat Ini adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada diriku. Yaitu—aku ingin bilang ganteng, tetapi khawatir nanti disebut sombong. Baiklah, sebagai ilustrasi, begini saja; kalau aku tinggal di Jakarta, aku bisa menjadi artis sinetron meskipun tidak punya bakat akting. Wajahku memang pantas untuk dipampang di kalender atau papan reklame. Minimal, di pintu belakang bak truk. “Tapi, wajah kamu kok ada mirip-miripnya sama orang Korea ya?” Itu kata Bu Joyce, manajer di perusahaan penyalur tenaga kerja tadi siang.“Kalau diperhatikan, wajah kamu agak mirip orang India, Ko.” Itu kata Tante Resmi. Orang India? India dari Hongkong, komentarku dalam hati. “Kamu seperti aktor Hongkong, Mas.” Itu kata Arini, dulu, dulu sekali.“Kamu mirip Robert Pattinson, Mas.” Qori yang bilang.Robert Pattinson, pemeran utama di film Twilight?Oh, sudahlah. Singkatnya, di kota kelahiranku sana banyak gadis-gadis yang menyukai aku. Mereka semua punya penafsi
Bab 4: Balada Si Tukang Semprot Sumpah mati aku jadi penasaran. Apakah susuk yang ada pada diriku ini ampuh untuk memikat Ningsih? “Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa berlaku kecuali atas izin Tuhan.” Begitu kata Ki Ageng Gemblung padaku. “Jadi, mau pakai susuk ataupun tidak, berarti sama saja dong, Ki.” “Nah, ini, ini..,” Ki Ageng Gemblung menuding-nuding wajahku.“Ini yang salah kaprah.” “Maksudnya, Ki?” “Takdir, itu ketentuan Tuhan, Mas Joko!” Ki Ageng Gemblung memang sering meninggikan aku dengan panggilan “mas”. Namun, jari telunjuknya yang kemudian mendorong keningku seolah kembali merendahkan aku. “Kewajiban kita sebagai manusia hanyalah berusaha, berikhtiar, dan berdoa!” Aku mengangguk-angguk. “Masalah keinginan kita nanti dikabulkan oleh Tuhan, itu soal belakangan. Di situlah perlunya sikap tawakkal, yaitu berserah diri pada Tuhan.” “Lalu, bagaimana hukumn