Bab 5: Pergulatan
Aku lupa, ketika itu sedang hari apa. Pastinya, itu adalah hari libur sekolah. Aku dimintai tolong oleh Bu Suratih untuk membetulkan genteng yang bocor di rumahnya. Aku senang sekali, sebab ada kemungkinan aku bisa melihat dan bertemu dengan Ningsih.
Di suatu kamar di bagian belakang rumah Pak Sadeli itu, aku naik ke atas plafon untuk mengecek kebocoran. Sampai di atas, aku merasa heran karena tidak menemukan tanda-tanda kebocoran di ruangan itu. Aku turun kembali dan bermaksud untuk memeriksa genteng dari luar.
Sampai di bawah, jejakan kakiku di lantai bersamaan dengan ceklek! Bu Suratih menutup pintu kamar. Ia bersedekap di depanku dengan kedua kaki yang sedikit direnggangkan.
“Tapi, di sini tidak ada yang bocor, Bu.” Kataku dengan tetap lugunya.
“Iyakah?”
“He-eh. Aku mau coba periksa di luar.”
“Tidak usah, Ko.”
Bu Suratih menghalangi maksudku yang ingin keluar. Ia bahkan menangkap tanganku yang hampir menyentuh handel pintu. Setelah itu, ia maju dan mendekatiku yang serentak mundur beberapa langkah.
“Bu, saya periksa dari luar ya? Saya mau naik ke atas genteng.”
“Tidak usah, Ko. Kamu naiknya di sini saja.”
Aku mulai blingsatan, karena ketika Bu Suratih mengatakan “di sini”, tangannya menunjuk dadanya sendiri.
Aku terus mundur ke belakang, Bu Suratih tetap mengejar. Aku berjalan mengitar, dan Bu Suratih tetap mengejar.
“Ayolah, Mas Joko,” kata Bu Suratih dengan nafas yang mulai memburu.
“Pak Sadeli tidak sada di rumah, Ko. Di pergi keluar kota, besok lusa baru pulang. Sementara Ningsih sekarang lagi nginep di rumah temennya.”
Aku semakin panik. Posisiku sudah berada di sudut kamar. Tak berkutik.
“Bu, maaf ya, Bu. Aku harus pulang sekarang. Aku mau nyemprot di kebun.”
“Tak usah, Ko. Kamu nyemprotnya di sini saja.”
Aku menelan ludah. Bu Suratih mulai mengurai simpul baju kimononya. Aku pun tak habis pikir, sejak kapan dia pakai baju kimono.
“Aduh, maaf banget, Bu. Aku tidak bisa.” Kataku dengan wajah memelas.
“Tidak bisa? Tidak bisa kenapa, Mas Joko?”
“Aku.., aku..,”
Bu Suratih mendekap tubuhku, memeluk erat dan…,
Oh, Ya Tuhan, aku tidak mau kisah hidupku seperti kisah novel stensilan. Aku berusaha melepaskan tangan Bu Suratih. Usahaku berhasil. Namun, ia kembali memeluk aku dari posisi yang berbeda, dan semakin gencar memberi aku umpan bola tiga, bola dua, bola satu, dan juga umpan cepat. Bahkan, ia juga mengajakku untuk berjungkir balik.
Brug! Aku terjatuh di kasur. Hei! Kenapa bisa semudah itu aku dijatuhkan Bu Suratih? Aku memang lebih tinggi darinya, namun tak kusangka ternyata Bu Suratih mempunyai tenaga yang lumayan besar.
Bu Suratih segera menubruk dan menindihku. Aku berusaha mendorongnya untuk lepas dari jebakan. Namun, ia bertahan, dan terus melancarkan serangan demi serangan. Ini bukan lagi mirip permainan voli, tetapi lebih mirip pertandingan gulat. Ada yang menyerang dan ada yang diserang. Ada yang mendesak dan ada yang didesak. Kelit berkelit, lepas berkait, luput pun bertaut, dan aku nyaris semaput.
Pada satu kesempatan, aku berhasil membalikkan keadaan. Sehingga aku yang selanjutya berada di atas, dengan kedua tangan yang aku tekankan pada tangan Bu Suratih supaya dia tidak bisa memberontak.
“Mohon maaf, Bu, aku tidak bisa,” kataku dengan terengah-engah.
Tiba-tiba saja…, krieeet! Pintu kamar terbuka, lalu muncullah di ambang pintu seseorang yang serta-merta membuatku bagai tersengat listrik. Yaitu, Ningsih!
“Astaghfirullah!” pekiknya spontan.
Spontan pula aku bangkit dari tubuh ibu tirinya dan cepat melangkah mendekati Ningsih.
“Jangan salah paham, Ningsih. Aku tidak bermaksud jahat sama ibumu.”
Ningsih mundur selangkah demi selangkah untuk menjauhi aku. Wajahnya terperangah, kepalanya menggeleng, dan bibirnya terbuka seperti ada sejuta kata yang tersangkut di sana.
Bu Suratih menyusul bangkit, dan cepat ia membenahi baju kimononya. Namun, sungguh tak kuduga, sekonyong-konyong saja ia memaki aku.
“Kurang ajar kamu, Joko! Berani sekali kamu menyentuh saya!”
Tak cukup di situ, Bu Suratih juga menampar wajahku. Plak!
“Dasar kamu laki-laki tak bermoral!”
********
Begitu pandainya Bu Suratih bersandiwara. Begitu lihainya ia membalikkan keadaan. Hingga seterusnya, akulah yang terus terpojok oleh fitnah yang tak berkesudahan. Satu hal yang membuat aku tak bisa berkelit adalah, Ningsih yang melihatku sedang berada “di atas”, sehingga siapa pun orangnya pasti akan mengira bahwa akulah aktor utama dan juga inisiator dari drama “pergulatan” di dalam kamar itu.
Ningsih kemudian mengadukan perihal kejadian itu kepada Pak Sadeli. Sontak saja, ayahnya itu naik pitam dan mencari aku untuk membuat perhitungan. Desas-desus yang dulu kudengar tentang Pak Sadeli yang di masa mudanya adalah seorang berandalan ternyata benar. Karena ia telah bertekad untuk menghabisi aku, di mana pun, dan kapan pun bisa mendapatkan aku.
Aku terpaksa bersembunyi ke sana-sini, menumpang di rumah teman yang satu ke teman yang lain. Sementara Pak Sadeli terus saja mengejar dan memburu aku. Ia sampai menyatroni sebuah proyek bangunan di mana aku pernah bekerja sebagai kuli. Ia juga sampai menyisir perkebunan tempat biasa aku bekerja sebagai buruh harian.
“Kamu ada urusan apa dengan Pak Sadeli?” tanya seorang temanku.
Aku menelan ludah kecut.
“Dia mencari-cari kamu, sambil menenteng pentungan!”
Aku menelan ludah, semakin kecut. Sungguh, aku tidak punya kesempatan untuk membela diri dan menjelaskan segala duduk perkara dengan sebenar-benarnya. Aku pun tak tahu, entah bagaimana mulanya desas-desus di masyarakat itu menyebar, tentang diriku yang menggoda Bu Suratih, dan mencoba melakukan aksi pelecehan pula terhadapnya. Aku merasa semuanya seakan-akan telah berkonsprirasi untuk mencemarkan nama baikku.
Di suatu kesempatan, aku berhasil pulang ke rumahku sendiri. Aku masuk berjingkat-jingkat dari pintu belakang yang kebetulan tidak dikunci. Sampai di dalam, ternyata ibuku sedang mengadon tepung untuk membuat kue.
Ibu melihatku, anak kandungnya sendiri, seperti melihat najis. Beberapa saat ia terpaku dengan wajah yang sontak merah padam. Aku yang haus, aku yang lapar, sama sekali tak diberi kesempatan untuk minum atau makan. Bahkan, mengucapkan sepatah kata pun tidak.
“Dari mana saja kamu, Joko??” Sentak Ibu tiba-tiba.
Ia kemudian bangkit, dan dengan tangannya yang berlepotan tepung ia menampar wajahku. Plak!
“Untuk ini kamu sekolah?! Untuk ini kamu dididik dan dibesarkan??”
“Jawab, Joko, jawaaaab! Untuk ini kamu aku lahirkan??”
“Haah?? Untuk mencoreng aib di muka ibumu??”
Ibu histeris, sementara aku sendiri sudah hampir tak mampu menahan tangis.
“Aku berani sumpah, Bu, aku tidak pernah mengganggu Bu Suratih.”
“Bikin malu saja kamu! Ini aib, Ko! Ini aib keluarga! Mau Ibu taruh di mana muka ini??”
“Demi Allah, Bu. Aku tidak pernah menggoda Bu Suratih.”
“Bohong kamu! Buktinya, Pak Sadeli dan Bu Suratih sendiri yang datang ke sini dan mengatakan semuanya pada Ibu!”
“Itu tidak betul, Bu. Itu tidak betul! Aku, aku..,”
“Pergi kamu dari rumah ini! Pergi yang jauh!”
“Bu, aku bersumpah…,”
“Aku bilang, pergiiiii…!”
Ke mana aku harus pergi? Ke mana aku akan membawa cinta suciku pada Ningsih ini? Juga, bagaimana aku bisa menceritakan tentang kebenaran yang sesungguhnya terjadi?
********
Bab 6: Segelas Teh Manis Hari sudah menjelang pukul delapan malam ketika Alex sampai di rumah. Ketukan yang ia lakukan di pintu membuatku kembali tertarik dari perenunganku akan masa lalu. Aku tak sempat berpikir bagaimana tadi aku tidak mendengar suara motornya ketika sampai dan diparkir di teras depan. Aku bahkan tidak ingat apa-apa saja yang aku tonton di televisi sedari tadi.“Kamu sudah makan, Ko?” tanya Alex, begitu sosok kurus dengan rambut keritingnya muncul di ambang pintu.“Sudah,” jawabku sembari mengecilkan volume televisi.“Tumben kamu pulang malam. Lembur ya?” tanyaku pula.“Iy
Bab 7:Hikayat Tentang Sapi Setelah mandi, Alex mengajakku keluar dengan motornya. Kami membeli sembako dan beberapa barang lain yang terkait kebutuhan dapur. Setelah sampai kembali di rumah, Alex memintaku memasak mie instan untuk kami berdua.“Jadi, bagaimana interview kerja kamu tadi siang, Ko?” tanya Alex sembari mengutak-atik ponselnya.“Agak aneh, Lex.”“Agak aneh? Aneh bagaimana?”Aku yang tengah merajang bawang dan cabai rawit, membagi konsentrasiku supaya bisa menceritakan perihal kejadian yang aku alami tadi siang bersama Bu Joyce.“Sampai begitu? Dia duduk di meja? Di
Bab 8:Foto ProfilAku ingat sekali. Dulu, beberapa hari sebelum ayahku meninggal dunia, di saat-saat sakitnya beliau pernah mengatakan sesuatu kepadaku.“Joko, Bapak titipkan dua orang wanita ke kamu.”“Yang pertama, ibu kamu. Hormati dia, sayangi dia, dan berbaktilah kamu padanya.”“Yang kedua, adik kamu. Sayangi dia, lindungi dia, dan jagalah kehormatannya.”Mungkin, ketika itu Bapak telah mendapat firasat bahwa ia akan pergi, sehingga ia pun menyampaikan amanah itu kepadaku. Aku diam saja, dan tidak tahu harus menjawab apa. Bapak selalu ingin menjadikan aku sebagai laki-laki yang “laki-laki”, berani, tegas, dan bertanggung-jawab. Untuk itulah, Bapak juga selalu menuntutku untuk menjawab pertanyaannya itu.“Kamu bersedia, Joko?”“Iya, Pak,&r
Bab 9:Muka Ganteng Besok-besok saja aku bayangkan lagi, akan bagaimana pertemuan Alex dengan gebetannya itu. Karena sekarang, hari ini, jam sebelas siang ini, aku harus memfokuskan perhatianku pada semua keterangan Ibu Joyce.Syukurlah, akhirnya aku diterima bekerja, bersama sekitar selusinan orang yang semuanya sedang duduk takzim di meeting room ini. Satu hari setelah obrolanku dengan Alex tentang Lo Rena yang ia kenal dari facxbook itu, aku mendapat telepon dari seseorang bernama Ibu Dewi, yang mengaku sebagai asisten Ibu Joyce. Ia memberitahuku untuk bisa hadir pada pertemuan ini, ya hari ini, ya saat ini, ya malangnya aku ini karena terlambat setengah jam dari waktu yang telah ditentukan.Kelihatan sekali wajah Ibu Joyce segera masam begitu melihat sosokku
Bab 10: Sebidang Kebun “Nasib baik kamu sekarang, saya masih punya hati. Kalau tidak, kamu sudah langsung saya pecat sekarang juga!” Aku mengangkat wajah pelan-pelan, memberanikan diri menatap wajah Ibu Joyce untuk menebak kesungguhan dari semua kata-katanya barusan. Sungguh, sikapnya sekarang ini bertolak belakang sekali dengan sikapnya beberapa hari yang lalu. Aku ingin mengatakan sesuatu. Namun, karena bingung, akhirnya mulutnya terbuka dan tertutup dengan sendirinya, seperti dumang, alias duyung mangap. “Hayo! Kamu mau ngomong apa??” sentak Bu Joyce. Akhirnya, aku menemukan cara untuk mendinginkan hati ibu manajer ini, dan mudah-mudahan ia tak pernah berpikir lagi untuk memecat aku. “Anu, Bu, eee,” “Anu, apa??” “Kalau Ibu masih kepengin saya smash…,”“Whaatt??”“Ups, maaf, maaf, Bu. Maksud saya, sebagai ucapan terima kasih karena Ibu telah menerima saya bekerja di perusahaan ini, maka saya bersedia meng
Bab 11:Lupa Memencet Tombol Beberapa saat aku terus berdiri di tepi jalan, memandangi mobil Ibu Joyce yang telah melaju dan semakin jauh meninggalkan aku. Ternyata Ibu Joyce tidak mempunyai kebun, dan sekali lagi dia berhasil menipuku mentah-mentah. Aku merasa sangat, sangat kecewa. Namun, aku berusaha membesarkan hatiku sendiri dengan mengingat-ingat bahwa,“Kecewanya karena patah hati jauh lebih menyakitkan daripada ini.”Aku menghela nafas sekali, masih berdiri dengan perasaan yang hampa. Aku mengulum bibirku sendiri dan menggigit-gigitinya sampai terasa sakit. Aku melakukan ini karena rasa kecewa akibat tingkah-polah Ibu Joyce tadi telah berubah menjadi sakit hati.Bagaimana tidak?
Bab 12:Dang-ding-dong Dua hari kemudian…,Aku bangun subuh supaya tidak terlambat di hari pertamaku bekerja. Jarak antara rumah Alex dengan kompleks perkantoran tempatku bekerja memang cukup jauh. Aku sudah keluar dari rumah Alex ketika hari masih gelap, dan berjalan ke arah persimpangan jalan raya untuk menyetop angkot. Untuk ongkos, syukurlah, aku mendapat sedikit uang dari Tante Resmi ketika disuruh untuk menguras dan membersihkan kolam hias di depan rumahnya.Ketika mengerjakan itu, aku belum juga bertemu atau bahkan hanya melihat Resti, anak Tante Resmi yang menurut keterangan Alex sangat cantik, menyamai kecantikan semua artis Hollywood yang bernama Jennifer.“Belum rejeki kamu,” kata Alex.Biar saja. Toh, aku jatuh c
Bab 13:Onde-onde Ruangan yang sedang aku pandangi itu tidak mempunyai label. Namun, menurut keterangan Ibu Kemas itu adalah ruangan serbaguna, tempat para karyawan beristirahat, duduk-duduk, atau menggosipi para atasan yang menjengkelkan.Ruangan serbaguna itu sendiri ukurannya cukup besar. Dimensinya lebih dari satu setengah kali lapangan voli. Di pojok ada sebuah toilet untuk dua gender; ladies dan gentleman, dilengkapi dengan keran air untuk mengambil wudhu. Kemudian, ada sebuah mushola dengan garis batas suci yang jelas di lantainya, dan ditabiri dengan sebuah dinding lipat portabel yang terbuat dari anyaman rotan. Simpel, tetapi cantik.Berseberangan dengan itu, ada beberapa set meja kursi yang jika aku bayang-bayangkan kalau menduduki salah satun