Share

3. Quin Lagi, Quin Lagi

“Nggak usah dibayar. Anggep aja kamu habis dapat rejeki. Nggak bersyukur namanya kalau nolak rejeki.” Maura kembali sok bijak. Memang menolak rejeki bukan tindakan yang baik. Masalahnya kasus Sena tidak seperti itu. Dia ditraktir orang tidak kenal. Bagaimana mungkin Sena bisa tenang.

“Rejeki sih, rejeki. Masalahnya kamu nggak tau orangnya kayak gimana.”

“Emang orangnya kayak gimana? Eh, kita lewat depan rumahnya aja, ya? Siapa tau orangnya ada di luar. Penasaran aku, pengin tau orangnya kayak gimana.”

Sena tidak langsung menjawab. Dia sedang menimbang, haruskan dia masuk ke rumah itu dan mencari Quin untuk mengembalikan uang laki-laki itu atau dia titipkan saja pada pengawal di gerbang rumah Quin?

“Ayo,” ajak Maura setelah memasukan semua bukunya. Untuk Maura yang otaknya lebih encer dibanding Sena, kuliah kali ini cukup menguras energi. Apalagi untuk Sena? Otaknya sudah panas dingin. Geometri transformasi sama sekali tidak ada yang masuk ke dalam otaknya.

Sena berdiri seraya menyampirkan tas selempangnya. Keduanya berjalan menuju lift, tapi pada akhirnya berbalik ke arah tangga setelah melihat penuhnya orang yang mengantri lift. Pada dasarnya, lift tidak terlalu berguna untuk keduanya. Mereka lebih sering menaiki tangga meski kelas mereka lebih sering di lantai lima.

“Ceritain orangnya kayak gimana?”

“Siapa?” Otak lemot Sena kembali. Kalau mau bertanya pada Sena, hendaknya harus bertanya dengan kalimat yang sejelas-jelasnya.

“Kok siapa, sih? Ya, penghuni rumah hantu itu.”

“Oh, Quin.”

“Dih, Quin. Sudah akrab, ya?” goda Maura. Dia cekikikan saat melihat Sena yang bergidik ngeri.

“Terus aku harus nyebut dia apa?”

“Iya-iya. Coba ceritakan.”

“Orangnya ganteng, tinggi, putih, style-nya nggak usah ditanya. Sudah pasti keren. Lalu? Apa lagi?” Sena berkata apa adanya. Walau mengesalkan, tapi Quin memang memiliki fisik yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya, berdecak kagum.

“Seganteng apa?”

“Lebih ganteng dari adikmu,” jawab Sena asal. 

“Ih, serius.”

“Ya, pokoknya gitu, deh. Nanti barangkali kita bisa lihat dia.”

“Jadi, kita lewat di depan rumahnya? Yakin, nggak takut lagi?”

“Nggak. Ngapain takut?”

Padahal hati Sena cemas bukan main. Orang penakut seperti dia, ditatap oleh pengawal Quin saja sudah seperti ketemu hantu.

“Aku penasaran, rumahnya isinya apa aja, ya? Bisa sebesar itu. Perasaan jarak pintu sama gerbang aja deket. Bukan rumah yang kalau dari gerbang sampai pintu tetap harus pakai kendaraan biar nggak capek.”

“Apa hubungannya jarak pintu rumah ke gerbang sama isi rumah itu?”

“Kan berarti rumahnya benar-benar besar. Bukan cuma lahannya aja.”

Sena hanya mengangguk-angguk tanpa minat. Keduanya berjalan memasuki Jalan Hawa IV yang langsung disambut oleh rumah super besar milik Quin.

Tanpa sadar Sena merangkul lengan Maura. Rangkulan itu semakin kencang ketika mereka tiba di gerbang rumah hantu. Pengawal di sana tampak waspada saat dua gadis itu menghentikan langkah.

Sena menatap Maura, meminta dukungan.

“Kayaknya aku nunggu di sini saja, deh,” bisik Maura dengan tatapan jatuh pada pengawal Quin. Selama ini dia selalu lewat jalan ini saat ke kampus, tapi dia diantar ayahnya dengan motor, jadi dia tidak pernah melihat pengawal Quin. Sekarang setelah melihatnya, nyali Maura mendadak menciut. Ternyata Sena tidak salah. Mereka memang menakutkan.

Sena menggeleng dengan kuat. Dia tidak mau kalau sendirian. Dia butuh teman.

“Sana cepat atau mereka akan curiga.”

Mereka sudah terlanjut berhenti. Akan aneh kalau tiba-tiba pergi tanpa melakukan apapun.

“Temenin,” pinta Sena dengan wajah memelas.

“Nggak mau!”

“Ayolah, Ma.”

“Nggak mau! Aku nggak mau!”

“Ish!”

Sena melepaskan rangkulannya dengan kesal. Maura yang kadang sok berani, sebenarnya sama saja seperti Sena. Sama-sama penakut.

Sena terpaksa berjalan mendekat dengan langkah pelan. Sesekali dia menoleh ke arah Maura, berharap temannya itu berubah pikiran. Tapi, bukannya berubah pikiran, Maura justru mengibaskan tangannya, meminta Sena agar berjalan lebih cepat.

“Teman macam apa dia?” gerutu Sena.

Nyali Sena semakin menciut dan pada akhirnya hilang ketika berhadapan dengan salah satu pengawal. Kenapa pula menempatkan pengawal di depan rumah? Bukankah umumnya satpam? Kalau di tivi-tivi, satpam biasanya lebih santai dan mudah diajak berteman. Kalau pengawal bertubuh besar ini? Jangankan mau diajak berteman, senyum saja tidak. Wajahnya selalu tertekuk. Apa tidak lelah itu wajahnya?

Sena mengangsurkan amplop dengan gerakan ragu. Pengawal berkumis tebal itu hanya menatap Sena, tanpa bertanya.

“Kemarin Quin bayarin aku makan, tapi aku nggak mau. Jadi, aku mau balikin uang Quin. Di sini juga ada bukti struk jumlah uang yang harus kubayar,” jelas Sena dengan nada sedikit bergetar. Dia sudah seperti menahan tangis saja.

Pengawal itu tampak mengerutkan keningnya. Dia menatap salah satu temannya dan baru kembali menatap Sena setelah temannya itu menggeleng.

“Tidak perlu. Tuan Quin tidak pernah mengambil kembali uang yang sudah dia bayarkan.”

Nada yang begitu tegas dengan suara berat. Sangat sepadan dengan bentuk tubuhnya yang kemungkinan hanya terdiri dari otot.

“Aku nggak mau hutang sama Quin.”

“Tuan Quin tidak menganggap itu sebagai hutang. Itu hanya sedekah.”

Sena berjengit. Apa dia tipe memprihatikan sampai Quin memberinya sedekah? Atau Quin memang hobi memberi sekedah pada siapa saja dan di mana saja?

Pengawal itu menujuk ke arah jalan, sebagai tanda bahwa dia meminta Sena untuk pergi.

“Terima dulu, nanti aku pergi.”

Sebagai jawaban, pengawal itu berkacang pinggang, membuat Sena mundur seketika. Sepertinya lebih aman jika dia pergi saja. Lupakan tentang hutang. Sena akan menganggap kalau dia baru saja mendapat sedekah!

***

Sena merapalkan doa sepanjang jalan. Matahari sudah menghilang sejak dua jam yang lalu. Jalanan sudah sangat sepi, apalagi di depan rumah Quin. Sena hanya ingin pulang lebih cepat, jadi dia memilih tetap lewat di depan rumah Quin.

“Bodoh! Kenapa aku sampai lupa waktu, sih?”

Tugas yang menumpuk dan deadline yang semakin dekat, membuat Sena dan Maura lembur sampai lupa waktu. Dua hari lagi semua tugas harus sudah selesai sebelum minggu tenang sebelum ujian. Padahal tugas mereka masih menggunung.

Tanpa sadar Sena menghembuskan napas ketika melewati gerbang rumah Quin. Setengah jalan lagi maka dia akan bebas dari rumah Quin. Namun, yang tidak pernah Sena duga justru terjadi.

Sebuah mobil mewah yang hanya dimiliki segelintir orang, keluar dari rumah itu. Awalnya hanya mengikuti Sena, tapi detik berikutnya mobil itu sudah mensejajari langkah Sena.

Sena menoleh, merasakan ada yang janggal dengan mobil itu. Mana ada mobil yang kecepatannya sama dengan kecepatan langkah orang, kalau bukan karena disengaja? Dan ketika kaca jendela mulai turun, barulah keheranan Sena menghilang.

“Katanya mau bayar utangnya, ya?” tanya Quin. Siapa lagi kalau bukan Quin? Mobil mewah dan kelakukan aneh. Walau baru dua kali bertemu, rasanya Sena sudah bisa menebak kelakukan Quin.

Sena merogok tasnya dan mengambil amplok yang sebelumnya batal dia berikan. Dia menyodorkan amplop itu pada Quin, tapi Quin tidak berniat mengambilnya.

“Ayo, masuk. Biar kuantar.”

Sena menjatuhkan amplop itu di mobil, tapi detik berikutnya amplop itu melayang melewati jendela dan jatuh tepat di depan Sena. Sena mendelik kesal. Apa sih, maunya orang ini?

“Aku nggak butuh itu. Aku maunya kamu masuk ke mobilku.”

Sena bergidik ngeri. Dia mempercepat jalannya. Jika keluar dari hiri raya, dia akan tiba di jalan sidodadi timur yang cukup ramai. Banyak tempat makan di sana. Anak-anak UPGRIS juga sering nongkrong di sana sampai tengah malam.

“Nggak mau, nih?”

Sena semakin mempercepat langkahnya hingga kini dia berlari secepat yang dia bisa. Padahal dia sudah lewat di gang yang penuh dengan tempat fotokopi. Melihat itu, Quin justru tertawa dengan keras. Dia seperti sedang bermain-main dengan Sena.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status