“Nggak usah dibayar. Anggep aja kamu habis dapat rejeki. Nggak bersyukur namanya kalau nolak rejeki.” Maura kembali sok bijak. Memang menolak rejeki bukan tindakan yang baik. Masalahnya kasus Sena tidak seperti itu. Dia ditraktir orang tidak kenal. Bagaimana mungkin Sena bisa tenang.
“Rejeki sih, rejeki. Masalahnya kamu nggak tau orangnya kayak gimana.”
“Emang orangnya kayak gimana? Eh, kita lewat depan rumahnya aja, ya? Siapa tau orangnya ada di luar. Penasaran aku, pengin tau orangnya kayak gimana.”
Sena tidak langsung menjawab. Dia sedang menimbang, haruskan dia masuk ke rumah itu dan mencari Quin untuk mengembalikan uang laki-laki itu atau dia titipkan saja pada pengawal di gerbang rumah Quin?
“Ayo,” ajak Maura setelah memasukan semua bukunya. Untuk Maura yang otaknya lebih encer dibanding Sena, kuliah kali ini cukup menguras energi. Apalagi untuk Sena? Otaknya sudah panas dingin. Geometri transformasi sama sekali tidak ada yang masuk ke dalam otaknya.
Sena berdiri seraya menyampirkan tas selempangnya. Keduanya berjalan menuju lift, tapi pada akhirnya berbalik ke arah tangga setelah melihat penuhnya orang yang mengantri lift. Pada dasarnya, lift tidak terlalu berguna untuk keduanya. Mereka lebih sering menaiki tangga meski kelas mereka lebih sering di lantai lima.
“Ceritain orangnya kayak gimana?”
“Siapa?” Otak lemot Sena kembali. Kalau mau bertanya pada Sena, hendaknya harus bertanya dengan kalimat yang sejelas-jelasnya.
“Kok siapa, sih? Ya, penghuni rumah hantu itu.”
“Oh, Quin.”
“Dih, Quin. Sudah akrab, ya?” goda Maura. Dia cekikikan saat melihat Sena yang bergidik ngeri.
“Terus aku harus nyebut dia apa?”
“Iya-iya. Coba ceritakan.”
“Orangnya ganteng, tinggi, putih, style-nya nggak usah ditanya. Sudah pasti keren. Lalu? Apa lagi?” Sena berkata apa adanya. Walau mengesalkan, tapi Quin memang memiliki fisik yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya, berdecak kagum.
“Seganteng apa?”
“Lebih ganteng dari adikmu,” jawab Sena asal.
“Ih, serius.”
“Ya, pokoknya gitu, deh. Nanti barangkali kita bisa lihat dia.”
“Jadi, kita lewat di depan rumahnya? Yakin, nggak takut lagi?”
“Nggak. Ngapain takut?”
Padahal hati Sena cemas bukan main. Orang penakut seperti dia, ditatap oleh pengawal Quin saja sudah seperti ketemu hantu.
“Aku penasaran, rumahnya isinya apa aja, ya? Bisa sebesar itu. Perasaan jarak pintu sama gerbang aja deket. Bukan rumah yang kalau dari gerbang sampai pintu tetap harus pakai kendaraan biar nggak capek.”
“Apa hubungannya jarak pintu rumah ke gerbang sama isi rumah itu?”
“Kan berarti rumahnya benar-benar besar. Bukan cuma lahannya aja.”
Sena hanya mengangguk-angguk tanpa minat. Keduanya berjalan memasuki Jalan Hawa IV yang langsung disambut oleh rumah super besar milik Quin.
Tanpa sadar Sena merangkul lengan Maura. Rangkulan itu semakin kencang ketika mereka tiba di gerbang rumah hantu. Pengawal di sana tampak waspada saat dua gadis itu menghentikan langkah.
Sena menatap Maura, meminta dukungan.
“Kayaknya aku nunggu di sini saja, deh,” bisik Maura dengan tatapan jatuh pada pengawal Quin. Selama ini dia selalu lewat jalan ini saat ke kampus, tapi dia diantar ayahnya dengan motor, jadi dia tidak pernah melihat pengawal Quin. Sekarang setelah melihatnya, nyali Maura mendadak menciut. Ternyata Sena tidak salah. Mereka memang menakutkan.
Sena menggeleng dengan kuat. Dia tidak mau kalau sendirian. Dia butuh teman.
“Sana cepat atau mereka akan curiga.”
Mereka sudah terlanjut berhenti. Akan aneh kalau tiba-tiba pergi tanpa melakukan apapun.
“Temenin,” pinta Sena dengan wajah memelas.
“Nggak mau!”
“Ayolah, Ma.”
“Nggak mau! Aku nggak mau!”
“Ish!”
Sena melepaskan rangkulannya dengan kesal. Maura yang kadang sok berani, sebenarnya sama saja seperti Sena. Sama-sama penakut.
Sena terpaksa berjalan mendekat dengan langkah pelan. Sesekali dia menoleh ke arah Maura, berharap temannya itu berubah pikiran. Tapi, bukannya berubah pikiran, Maura justru mengibaskan tangannya, meminta Sena agar berjalan lebih cepat.
“Teman macam apa dia?” gerutu Sena.
Nyali Sena semakin menciut dan pada akhirnya hilang ketika berhadapan dengan salah satu pengawal. Kenapa pula menempatkan pengawal di depan rumah? Bukankah umumnya satpam? Kalau di tivi-tivi, satpam biasanya lebih santai dan mudah diajak berteman. Kalau pengawal bertubuh besar ini? Jangankan mau diajak berteman, senyum saja tidak. Wajahnya selalu tertekuk. Apa tidak lelah itu wajahnya?
Sena mengangsurkan amplop dengan gerakan ragu. Pengawal berkumis tebal itu hanya menatap Sena, tanpa bertanya.
“Kemarin Quin bayarin aku makan, tapi aku nggak mau. Jadi, aku mau balikin uang Quin. Di sini juga ada bukti struk jumlah uang yang harus kubayar,” jelas Sena dengan nada sedikit bergetar. Dia sudah seperti menahan tangis saja.
Pengawal itu tampak mengerutkan keningnya. Dia menatap salah satu temannya dan baru kembali menatap Sena setelah temannya itu menggeleng.
“Tidak perlu. Tuan Quin tidak pernah mengambil kembali uang yang sudah dia bayarkan.”
Nada yang begitu tegas dengan suara berat. Sangat sepadan dengan bentuk tubuhnya yang kemungkinan hanya terdiri dari otot.
“Aku nggak mau hutang sama Quin.”
“Tuan Quin tidak menganggap itu sebagai hutang. Itu hanya sedekah.”
Sena berjengit. Apa dia tipe memprihatikan sampai Quin memberinya sedekah? Atau Quin memang hobi memberi sekedah pada siapa saja dan di mana saja?
Pengawal itu menujuk ke arah jalan, sebagai tanda bahwa dia meminta Sena untuk pergi.
“Terima dulu, nanti aku pergi.”
Sebagai jawaban, pengawal itu berkacang pinggang, membuat Sena mundur seketika. Sepertinya lebih aman jika dia pergi saja. Lupakan tentang hutang. Sena akan menganggap kalau dia baru saja mendapat sedekah!
***
Sena merapalkan doa sepanjang jalan. Matahari sudah menghilang sejak dua jam yang lalu. Jalanan sudah sangat sepi, apalagi di depan rumah Quin. Sena hanya ingin pulang lebih cepat, jadi dia memilih tetap lewat di depan rumah Quin.
“Bodoh! Kenapa aku sampai lupa waktu, sih?”
Tugas yang menumpuk dan deadline yang semakin dekat, membuat Sena dan Maura lembur sampai lupa waktu. Dua hari lagi semua tugas harus sudah selesai sebelum minggu tenang sebelum ujian. Padahal tugas mereka masih menggunung.
Tanpa sadar Sena menghembuskan napas ketika melewati gerbang rumah Quin. Setengah jalan lagi maka dia akan bebas dari rumah Quin. Namun, yang tidak pernah Sena duga justru terjadi.
Sebuah mobil mewah yang hanya dimiliki segelintir orang, keluar dari rumah itu. Awalnya hanya mengikuti Sena, tapi detik berikutnya mobil itu sudah mensejajari langkah Sena.
Sena menoleh, merasakan ada yang janggal dengan mobil itu. Mana ada mobil yang kecepatannya sama dengan kecepatan langkah orang, kalau bukan karena disengaja? Dan ketika kaca jendela mulai turun, barulah keheranan Sena menghilang.
“Katanya mau bayar utangnya, ya?” tanya Quin. Siapa lagi kalau bukan Quin? Mobil mewah dan kelakukan aneh. Walau baru dua kali bertemu, rasanya Sena sudah bisa menebak kelakukan Quin.
Sena merogok tasnya dan mengambil amplok yang sebelumnya batal dia berikan. Dia menyodorkan amplop itu pada Quin, tapi Quin tidak berniat mengambilnya.
“Ayo, masuk. Biar kuantar.”
Sena menjatuhkan amplop itu di mobil, tapi detik berikutnya amplop itu melayang melewati jendela dan jatuh tepat di depan Sena. Sena mendelik kesal. Apa sih, maunya orang ini?
“Aku nggak butuh itu. Aku maunya kamu masuk ke mobilku.”
Sena bergidik ngeri. Dia mempercepat jalannya. Jika keluar dari hiri raya, dia akan tiba di jalan sidodadi timur yang cukup ramai. Banyak tempat makan di sana. Anak-anak UPGRIS juga sering nongkrong di sana sampai tengah malam.
“Nggak mau, nih?”
Sena semakin mempercepat langkahnya hingga kini dia berlari secepat yang dia bisa. Padahal dia sudah lewat di gang yang penuh dengan tempat fotokopi. Melihat itu, Quin justru tertawa dengan keras. Dia seperti sedang bermain-main dengan Sena.
***
Quin melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul empat sore. Artinya dia sudah ada di atap selama satu jam. Duduk dengan kaki berayun pada dinding pembatas atap. Hal yang sebenarnya berbahaya, tapi tidak ada yang berani melawan Quin. Padahal pengawal yang melihatnya dari bawah, selalu menahan napas setiap kali melihat Quin mengganti posisi duduknya. Takut bos muda mereka jatuh dari atap karena nyawa mereka pun dipastikan akan ikut melayang. Bukan tanpa alasan Quin duduk di sana. Biasanya memang Quin hanya iseng saja, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Namun, kali ini berbeda. Dia sedang menunggu Sena. Sayang, yang ditunggu sudah dua hari ini tak terlihat batang hidungnya. “Kalau gadis itu datang, segera hubungi aku!” pesan Quin sehari setelah dia membuat Sena ketakutan. Sayangnya, belum ada kabar dari Sena. Quin hanya sering melihat Maura dan dia tidak tertarik dengan Maura. “Kenapa nggak datang lagi?” gumam Quin. Dia meregangkan lengannya ke atas,
Menghirup udara pagi ketika segala beban telah berlalu ternyata menyegarkan. Tidak ada tugas. Tidak ada ujian. Yang menantinya hanya liburan! Oh, indahnya menjadi mahasiswi. Setelah disibukan dengan tugas dan ujian, satu bulan lebih ujian telah menanti. Pulang kampung rasanya terdengar begitu merdu di telinga Sena. “Packing, ke rumah Maura ambil oleh-oleh, dan ke stasiun! Oh, indahnya,” gumam Sena yang masih bergulat di balik selimut. Tetangga sebelah kamarnya sudah pulang sejak kemarin. Sena sengaja menunda kepulangannya satu hari karena ibu Maura yang minta. Katanya ibu Maura hendak menyiapkan sesuatu untuk orangtua Maura. Seperti kata Maura, rejeki tidak boleh ditolak. Tidak masalah kalau harus menunda pulang satu hari. Yang penting tidak menyakiti hati ibu Maura. Sena menutup mulutnya yang sedang menguap. Di raihnya ponsel yang sejak tadi tidak ada bunyinya. Entah sejak kapan, tapi Quin sudah tidak menerornya dengan pesan dan panggilan telepon lagi. “Kaya
Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari. Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar. Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lem
Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil. “Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.” Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima. Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yan
Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa
Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan
Sena meringis saat kapas yang sudah diberi alkohol menyentuh permukaan telapak kakinya yang terluka. Siapa yang sangka, Quin yang sebelumnya menampar dan membentak Sena, justru kini berjongkok untuk membersihkan luka Sena.“Bandel sekali kamu,” gumam Quin.Sebelum Quin bertindak bak pangeran yang menyelamatkan putri idamannya, Sena kembali merasakan panasnya tamparan di pipinya. Quin sepertinya gemas karena Sena tak mau mendengarkan perintahnya dan tetap membersihkan pecahan kaca tanpa peduli kakinya menginjak pecahan kaca juga.Dengan gerakan cepat, Quin menarik tangan Sena agar menjauh dari lantai yang terkena pecahan kaca. Perih. Sungguh perih kaki Sena, tapi dia sengaja membiarkan kakinya perih. Dia sengaja ingin memindahkan rasa perih di hatinya pada telapak kakinya. Setidaknya luka di telapak kaki lebih mudah diobati dibanding luka di hati. Ah, sudah seperti gadis yang baru patah hati saja dia.“Bodoh ya, Kamu? Lihat darah di kamu. Bodoh!”Sena ta
Sena tertidur! Tepat pukul enam pagi gadis itu baru membuka matanya. Padahal semalam dia hanya pura-pura tidur saja. Hanya agar Quin meninggalkan kamar ini. Namun, dia justru tertidur. Dia bahkan tidak tahu kapan Quin meninggalkannya. Semoga saja Quin tidak melakukan apapun saat Sena tertidur. Sena sedikit merintih saat merasakan sakit di perutnya. Bukan sakit yang berbahaya. Dia hanya lapar. Tidak! Sangat lapar! Seingat Sena, makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanya roti dengan cream keju yang dia beli di indomart dan susu coklat yang sengaja dia habiskan karena akan pulang kampung. Setelahnya, tidak ada lagi makanan yang masuk sampai saat ini. Jadi, tidak heran jika kini perut Sena keroncongan. Sena mengelus perutnya. Bodoh! Dia memang bodoh! Di mana-mana orang yang berjuang juga butuh makan! Harusnya dia tidak sok memberontak dengan membuang makanan. Dia melupakan perkataan Maura, bahwa rejeki tidak boleh ditolak. “Terlanjur. Semua sudah terlanjur. Ak